Oleh Rio Apinino
Mahasiswa Sastra UI
Salah satu aspek penting dalam Marxisme adalah analisisnya tentang kelas.
Pendekatan kelas yang merupakan prinsip metodologi Marxisme ini mengasumsikan
masyarakat terbagi ke dalam kelas-kelas yang pada dasarnya saling bertentangan.
Marxisme menjelaskan secara ilmiah bagaimana kelas-kelas ini secara historis
terbentuk, alasan-alasan kemunculannya dan bagaimana cara melenyapkannya
sebagai jawaban atas emansipasi manusia sejati.
Konsep Kelas Sosial
Kelas sosial secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai pengelompokkan dalam masyarakat. Namun pengelompokkan ini
ada yang tidak berdasarkan kelas. Misalnya, pengelompokkan berdasarkan jenis
kelamin, ras, usia, atau warna kulit. Lantas, atas dasar apakah pengelompokkan
yang berdasarkan kelas tersebut?
Para ilmuan sosial borjuis, seperti
Weber, seringkali melakukan pengelompokkan masyarakat berdasarkan konsep
“kelompok sosial ekonomi” yang ditentukan oleh tingkat pendapatan atau konsumsi.
Diantara kriteria yang sering digunakan adalah kriteria jenis pekerjaan,
kriteria kekayaan, kriteria pendidikan dan semacamnya. Sayangnya, para ilmuan
sosial borjuis ini tidak menekankan faktor yang paling utama dan menentukan
dalam pembagian ini. Berbeda dengan mereka, Marxisme mengelompokkan masyarakat
berdasarkan satu kriteria: kelas, yaitu posisi mereka dalam relasi produksi.
Menurut Lenin, kelas adalah:
“Segolongan besar masyarakat yang dibedakan dengan segolongan masyarakat lainnya berdasarkan posisi mereka secara historis dalam sistem produksi sosial, oleh relasi/hubungan mereka (yang dalam banyak kasus dilegitimasikan /disahkan oleh hukum) dengan alat-alat produksi, oleh peran mereka dalam organisasi kerja secara sosial dan, sebagai konsekuensinya, adalah hilangnya kemampuan untuk mendapatkan jatah kekayaan sosial dan cara untuk memperolehnya. Kelas-kelas adalah kelompok-kelompok masyarakat yang berkemampuan untuk merampas hasil kerja kelompok lainnya berdasarkan perbedaan posisi di tengah sistem sosial-ekonomi tertentu.”[2]
Analisa Marxian menjelaskan terbaginya masyarakat dalam
kelas-kelas sosial didasari oleh faktor ekonomi yang berbasis pada produksi. Jadi,
berbeda dengan para ilmuan sosial borjuis yang menihilkan peran sentral tahapan
historis perkembangan produksi dan menganggap kelas sosial merupakan fenomena
a-historis (dalam arti dari dulunya sudah
ada kelas-kelas sosial), Marxisme melihat kelas-kelas sosial merupakan fenomena
yang menyejarah yang dihubungkan dengan tahapan-tahapan historis perkembangan
produksi. Sebagaimana dikatakan Engels, “...kelas-kelas
dalam masyarakat selalu merupakan produk dari corak produksi dan pertukaran,
atau produk dari kondisi ekonomi pada jamannya.”[3].
Sebagai contoh, masyarakat
komunal-primitif di lembah sungai Tigris, perkampungan komunal Eufrat di Irak
Selatan dan perkampungan komunal di lembah Sungai Nil, Mesir pada masa
neolitik. Kelas-kelas sosial terbentuk akibat suatu faktor ekonomi, yaitu
pembangunan proyek-proyek raksasa. Proyek-proyek raksasa ini dilakukan karena ketidakcukupan
memenuhi kebutuhan jika hanya terjadi secara alami. Proyek raksasa ini tentu
memerlukan banyak tenaga kerja di sekitar wilayah yang dialiri aliran air
sungai. Kondisi ini juga melahirkan kelas yang memiliki spesialisasi dalam
mengorganisasi wewenang. Kelas-kelas ini (administrator dan organisator)
mengelompokkan diri kedalam kelompok-kelompok yang tinggal diperkotaan dan
mulai menarik upeti dari penduduk sekitar secara paksa. Dengan demikian
masyarakat terbelah menjadi (dua kelas, yaitu)
kelas petani-tukang –yang dihisap, dan kelas pejabat –yang menghisap.
Kelas penghisap ini seringkali menggunakan dalih sebagai wakil dewa di bumi
yang kemudian menegakkan dan mensahkan kepemilikan tanah secara pribadi. Pola
ini lahir dari corak produksi “Asiatik” yang muncul di Sumeria dan Mesir Kuno
sekitar 5.500 tahun yang lalu.
Karl Marx kemudian memberikan
penjelasan lanjutan tentang mengapa kelas-kelas sosial ini pada dasarnya saling
erat dengan hubungan produksi yang menghisap/eksploitatif:
“Bentuk ekonomi spesifik yang tujuannya menghisap nilai lebih tenaga kerja (produsen langsung) yang tidak dibayarkan menentukan hubungan antara yang menguasai dan yang diperbudak, dan akan meluas pada hubungan-hubungan di luar produksi karena bereaksi sesuai dengan determinan hubungan penghisapan tersebut. Di atas basis ini lah seluruh konfigurasi komunitas ekonomi terbentuk, yang merupakan akibat dari hubungan-hubungan produksi yang nyata, dan demikian pula akibatnya, pengaruhnya, pada bentuk politik spesifik. Berbagai bentuk hubungan langsung antara pemilik syarat-syarat produksi dengan produsen langsung --suatu hubungan yang memiliki bentuk khusus karena pada hakikatnya bertalian dengan tingkat tertentu perkembangan tipe dan cara tenaga kerja beroperasi, atau karenanya bertalian juga dengan tenaga produktif sosial-- bisa menjelaskan rahasia yang paling dalam, basis tersembunyi, seluruh struktur sosial, dan karenanya pula bisa menjelaskan pertalian politik antara kedaulatan dengan ketergantungan, pendek kata, berbagai bentuk spesifik negara”[4]
Dalam penjelasan Marx ini, kelas
sosial dilihat dari hubungan antara “pemilik syarat produksi” dengan “produsen
langsung”. Hubungan ini adalah hubungan yang mengizinkan si “pemilik syarat
produksi” menghisap nilai lebih tenaga kerja “produsen langsung” yang tidak
dibayarkan. Hubungan diantara kelas sosial yang pada dasarnya antagonistik ini
ini harus dikaitkan dengan corak produksi dimana mereka lahir, misal: pemilik
tanah dan petani; pemilik budak dan budak; kapitalis dan proletar.
Antagonisme kelas ini ditentukan
oleh sistem produksi. Posisi dimana suatu kelas yang saling bertentangan
tersebut ditentukan oleh relasi mereka terhadap alat-alat produksi. Relasi produksi
dalam masyarakat berkelas adalah relasi penghisapan dan dominasi karena kelas
yang berkuasa yang memonopoli alat produksi lah yang yang memiliki keuntungan
terhadap posisi mereka. Sedangkan kelas yang tidak memiliki faktor produksi,
hanya akan menjadi pekerja yang bekerja pada kelas pemilik faktor produksi
tersebut untuk kebutuhan mereka sehari-hari.
Meskipun perkembangan relasi
produksi semakin kompleks dan dengan itu membuat makin terkelompoknya
masyarakat dalam lapisan-lapisan tertentu (seperti pengelompokkan berdasarkan
upah meskipun pada dasarnya mereka berada dikelas yang sama, seperti kelas yang
memberikan tenaga kerjanya bagi para kapitalis, atau pengelompokkan bersadarkan
ras, suku, negara, dll), tetapi jelaslah pengelompokan yang paling pokok
berbasis pada kelas, yaitu pengelompokkan berdasakan pada kepemilikan faktor
produksi. Hal ini dikarenakan dua hal, pertama,
kelas tumbuh dari fondasi masyarakat yang paling mendasar, yaitu relasi
produksi yang menentukan relasi-relasi lainnya. Kedua, kelas merupakan pengelompokan sosial yang paling kuat dan
paling banyak keanggotaannya di tengah masyarakat, yang relasi-relasi serta
perjuangannya amat mempengaruhi jalannya seluruh sejarah kehidupan sosial,
politik dan ideologi masyarakat.
Struktur Sosial dan Cara Perubahannya
Struktur sosial masyarakat adalah
keseluruhan dari kelas, lapisan, kelompok, dan sistem yang mengatur hubungan
diantara mereka. Dalam menganalisa sttruktur sosial ini, Marxisme membaginya
dalam kelas fundamental dan kelas non-fundamental. Kelas-kelas fundamental
adalah kelas-kelas yang dilahirkan dari corak produksi yang berlaku, atau
kelas-kelas yang tidak mungkin kita temukan di bawah corak produksi
tertentu/lainnya. Selama berlakunya relasi produksi tertentu, format pembagian
kelas yang ada masih menyisakan hal-hal peninggalan corak produksi lama
sekaligus menyambung cikal bakal corak produksi yang baru. Keadaan seperti
inilah yang mampu menjelaskan keberadaan kelas-kelas non-fundamental atau
kelas-kelas transisional (kelas antara). Kontradiksi mendasar dari corak
produksi yang berlaku terwujud dalam pola hubungan dan pola perjuangan antar
kelas. Seluruh corak produksi yang antagonistik bisa ditunjukkan dengan adanya
dua kelas yang secara fundamental saling bertentangan.
Contohnya, sebagaimana sekilas
dinyatakan dalam paragraf awal, dalam corak produksi “Asiatik” yang merupakan
bentuk keberadaan kelas yang paling fundamental, disatu sisi ada para
bangsawan/pemuka agama sebagai satu kelas dan kaum tani dikelas lainnya. Atau
dalam corak produksi kepemilikan budak sebagaimana di zaman Romawi atau Yunani,
yang menjadi kelas fundamentalnya adalah tuan pemilik budak dan para budak.
Dengan demikian, pada masa corak produksi kapitalisme, kelas fundamentalnya adalah
kelas borjuis dan proletar sedangkan kelas non fundamental merupakan kelas yang
termasuk dalam borjuis kecil yang terdiri dari kaum tani, para tukang, pedagang
kecil dan para pemilik alat-alat produksi kecil.
Hubungan antara kelas-kelas
fundamental dengan kelas-kelas non-fundamental sendiri saling tergantung sama
lain. Hal ini disebabkan adanya perkembangan sejarah yang memungkinkan
beralihnya kelas-kelas fundamental menjadi kelas-kelas non-fundamental, begitu
juga sebaliknya. Kelas-kelas fundamental akan merosot menjadi kelas-kelas non-fundamental
ketika relasi-relasi produksi yang sebelumnya, yang menjadi dasar yang dominan
dari corak produksi tertentu, lambat-laun dominasinya digantikan (secara
bergilir) oleh relasi-relasi produksi yang baru. Kemunculan relasi produksi
yang baru kemudian mentransformasikan/mengubah kelas-kelas non-fundamental
menjadi kelas fundamental ketika relasi-relasi produksi yang baru berhasil
mentranformasikan dirinya, sehingga kemudian memunculkan corak produksi yang
baru sama sekali.
Kepentingan Kelas-Kelas dan Perjuangan Kelas
Sebagaimana telah dipaparkan, kelas
yang ada dalam masyarakat, apalagi kelas fundamental yang lahir dari corak
produksi khusus, pada dasarnya merupakan kelas yang saling bertentangan dan tak
terdamaikan. Munculnya kapitalisme saat ini menjadikan perjuangan kelas makin
intensif.
Bagi para ilmuan borjuis, pertentangan
kelas disebabkan karena adanya kesalah-pahaman diantara kelas, tersumbatnya
jalur komunikasi antarkelas, atau adanya provokasi dari elemen dalam
masyarakat. Untuk itu, para ilmuan ini (memberikan) sebuah seruan moral agar
kelas-kelas tersebut saling mendamaikan. Tentu, pengertian tersebut merupakan pengertian idealistik (dalam arti
filsafat, tentu) yang hanya akan melanggengkan penindasan yang ada.
Pertentangan kelas ini ada karena
kepentingan diantara kelas sosial saling bertentangan. Dasar dari kepentingan
kelas ini ditentukan oleh posisi dan peranannya dalam sistem produksi sosial,
bukan pada kesadaran masyarakat yang berada dalam suatu kelas tertentu. Maka,
kepentingan paling mendasar dari kelas proletar adalah menghapuskan kepemilikan
pribadi terhadap alat-alat produksi karena kepemilikan pribadilah awal mula
penindasan terjadi. Penghapusan milik pribadi ini bukanlah dalam artian secara umum, tetapi menghapuskan kepemilikan
ala borjuis, yaitu kepemilikan pribadi
yang eksploitatif. Marxisme tidak hendak menghapuskan kepemilikan seseorang yang didapatkan
dari kerja keras dan halal. Juga, bukan untuk menghapuskan kemerdekaan dan
kebebasan seseorang untuk memiliki sesuatu. Kita bisa lihat maksud ini dalam
Manifesto Komunis,
“Ciri istimewa Komunisme - bukanlah penghapusan milik pada umumnya, tetapi penghapusan milik borjuis. Tetapi milik perseorangan borjuis modern adalah pernyataan terakhir dan paling sempurna dari sistem menghasilkan dan memiliki hasil-hasil yang didasarkan pada antagonisme-antagonisme kelas, pada penghisapan terhadap yang banyak oleh yang sedikit…Kita kaum Komunis telah dimaki bahwa kita ingin menghapuskan hak atas milik yang diperdapat seseorang sebagai hasil kerja orang itu sendiri, milik yang dianggap sebagai dasar dari semua kemerdekaan, kegiatan dan kebebasan seseorang.
Milik yang diperoleh dengan membanting tulang, yang direbut sendiri, yang dicari sendiri secara halal! Apakah yang tuan maksudkan itu milik si tukang kecil, milik si tani kecil, suatu bentuk milik yang mendahului bentuk milik borjuis? Itu tidak perlu dihapuskan; perkembangan industri telah menghancurkannya banyak sekali, dan masih terus menghancurkannya setiap harinya.” [5]
Tetapi, yang ingin dihapuskan
adalah kepemilikan pribadi ala borjuis yaitu kepemilikan “kapital” pada
segelintir orang atau individu. Kapital yang menjadi titik kunci. Jika kapital
ini diubah menjadi milik sosial, maka watak sosialnya (watak kelas) juga akan berubah. Penghancuran kepemilikan
ala borjuis ini diterangkan Marx sebagai berikut,
“Ataukah yang tuan maksudkan itu milik perseorangan borjuis modern?
Tetapi adakah kerja-upahan, kerja si proletar, mendatangkan sesuatu milik untuk dia? Sama sekali tidak. Ia menciptakan kapital, yaitu semacam milik yang menghisap kerja-upahan, dan yang tidak dapat bertambah besar kecuali dengan syarat bahwa ia menghasilkan kerja-upahan baru untuk penghisapan baru. Milik dalam bentuknya yang sekarang ini adalah didasarkan pada antagonisme antara kapital dengan kerja-upahan. Marilah kita periksa kedua belah segi dari antagonisme ini.
Untuk menjadi seorang kapitalis, orang tidak saja harus mempunjai kedudukan perseorangan semata-mata, tetapi kedudukan sosial dalam produksi. Kapital adalah suatu hasil kolektif, dan ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari banyak anggota, malahan lebih dari itu, pada tingkatan terakhir, ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari semua anggota masyarakat. Oleh karena itu kapital bukanlah suatu kekuasaan pribadi, ia adalah suatu kekuasaan sosial.
Jadi, jika kapital itu dijadikan milik bersama, menjadi milik semua anggota masyarakat, dengan itu milik pribadi tidak diubah menjadi milik sosial. Hanyalah watak sosial milik yang diubah. Watak kelasnya hilang. “[6]
Inilah yang dimaksud dengan
perjuangan kelas (dalam konteks kapitalisme saat ini).
Perjuangan kelas berperan sebagai
motor penggerak perkembangan sejarah karena ia merupakan cara
mentransformasikan organisasi sosial yang usang menjadi sistem sosial yang baru
dan lebih tinggi. Konflik yang terjadi antara tenaga-tenaga produktif yang baru
dengan relasi-relasi produksi yang sudah usang tercermin dalam antagonisme
antar kelas. Konflik ini kembali diselesaikan melalui sebuah revolusi sosial,
yang merupakan manifestasi perjuangan kelas yang tertinggi. Berbeda dengan hal
ini, para ilmuan borjuis menunjukkan justru kerjasama antarkelas-lah motor
penggerak kemajuan sosial. Sebagaimana yang dikatakan Lenin:
“Menurut teori Sosialisme,…motor penggerak sejarah yang sesungguhnya adalah perjuangan kelas yang revolusioner. Sementara menurut teori para filsuf borjuis, yang menjadi tenaga penggerak kemajuan adalah persatuan di antara seluruh elemen masyarakat yang sama-sama menyadari “ketidaksempurnaan”/”kelemahan” beberapa institusi di dalamnya. Teori yang pertama berwatak materialis, sementara yang kedua berwatak idealis. Yang pertama berwatak revolusioner, sementara yang kedua berwatak reformis. Yang pertama merupakan basis bagi taktik perjuangan proletariat di negri-negri kapitalis modern, sementara yang kedua merupakan basis bagi taktik borjuasi”[7]
Bentuk-Bentuk Perjuangan Kelas dan Organisasinya
Bentuk perjuangan kelas berkaitan dengan bentuk organisasi kelas dan
hal ini tegambar jelas dalam perjuangan kelas proletariat menentang
kapitalisme. Perjuangan ini sendiri terangkum dalam tiga bentuk: ekonomi,
politik, dan ideologi.
Pertama, perjuangan ekonomi, dalam
kacamata historis, merupakan bentuk perjuangan kelas yang pertama. Bentuk perjuangan
kelas yang bercorak ekonomi ini seperti kenaikan upah, pengurangan jam kerja,
perbaikan kondisi kerja, dan lain sebagainya. Dalam perjuangan ekonomi ini
organisasi pertama proletar lahir: serikat. Tetapi, perjuangan ekonomi ini
tentu tidak cukup untuk menghancurkan kapitalisme. Untuk itulah perjuangan
politik harus juga dilakukan.
Perjuangan politik ini sangat
beragam bentuknya, dari mulai melalui jalan parlementer –yang ditujukan untuk
menghancurkan parlemen hingga merebut negara (yang merupakan) representasi
kelas borjuasi dan menegakkan negara proletariat serta membangun masyarakat
sosialis. Perjuangan politik ini penting dan lebih tinggi dari perjuangan
ekonomi, karena: pertama, perjuangan
ekonomi melulu hanya akan
menghasilkan kesadaran ekonomisme, kedua, perjuangan politik lebih bersifat
luas. Perjuangan politik ini dipimpin oleh partai revolusioner yang
menginjeksikan kesadaran revolusioner pada kelas proletar untuk memenuhi tugas
historisnya.
Dalam perjuangan kelas tersebut,
kelas proletar mmemperoleh bentuk politis dan ideologis. Kelas proletariat,
dari kelas yang hanya menjadi objek
sejarah yang pasif, kini menjadi subjek
yang aktif dan sedang menciptakan sejarah. Dalam menjadikan kelas proletar
sebagai kelas yang revolusioner, aktif dan sedang membuat sejarah, diperlukan
partai-partai politik yang tentu mengekspresikan kepentingan kelas proletariat
tersebut. Partai politik ini sendiri berbeda dengan kelas sosial, diantaranya: Pertama, partai-partai politik tidak
meliputi seluruh kelas namun hanya merupakan perwakilan sebagian dari kelas
--istilah partai berasal dari kata latin pars (partis), yang artinya adalah
satu bagian; kedua, partai-partai
politik merupakan hasil penggabungan perwakilan-perwakilan kelas yang paling
sadar dan aktif --dalam gagasan-gagasan dan cita-cita politiknya yang tegas--
karena kelas-kelas lahir secara spontan sebagai akibat dari perkembangan
ekonomi masyarakat. Dengan demikian partai muncul hanya setelah sebuah kelas
lahir/terbentuk. Oleh karena itu, ditengah kondisi krisis Kapitalisme saat ini,
peran Partai Pekerja yang berwatak Kelas sangat dibutuhkan. Dan, partai adalah satu-satunya
kendaraan politik untuk merebut itu kekuasaan politik dengan jalan demokratis. Sebagaimana
dijelaskan Marx:
“Gerakan politik kelas pekerja, tentu saja, tujuan akhirnya adalah merebut kekuasaan politik bagi dirinya, dan untuk itu sudah seharusnya membutuhkan organisasi kelas pekerja yang berkembang (maju) hingga mencapai tahap tertentu atau, tepatnya, tidak lagi merupakan perjuangan ekonomi.
Namun demikian, di sisi lain, setiap gerakan kelas pekerja yang dilancarkan untuk melawan kelas penguasa, dan mencoba untuk menekan mereka dengan paksaan dari luar, adalah perjuangan politik. Misalnya, upaya (di pabrik tertentu atau bahkan dalam perdagangan tertentu) untuk memaksakan hari kerja yang lebih pendek terhadap individu kapitalis dengan cara mogok, dan sebagainya, sepenuhnya merupakan gerakan ekonomi. Di sisi lain, gerakan untuk memaksakan hukum 8 jam kerja, dan sebagainya, adalah gerakan politik.
Bila kelas pekerja belum begitu maju (dalam organisasinya) untuk melancarkan serangan menentukan melawan kekuasaan kolektif --yakni kekuasaan politik kelas penguasa--- maka kelas pekerja sebelumnya harus lah dilatih dengan cara mengagitasikan (terus menerus) perlawanan terhadap kekuasaan tersebut dan dengan cara menunjukkan permusuhan mereka terhadap kebijakan-kebijakan kelas penguasa. Bila tidak, kelas pekerja hanya akan menjadi barang mainan di tangan kelas penguasa”[8]
***
[1] Tulisan ini merupakan
ringkasan dari Doug Lorimer, Fundamentals
of Historical Materialism: the Marxist View of History and Politics, Resistance Books, Sydney, 1999, Bab 7 dan 8, Social Classes and Class
Struggle, hal. 139-175
[2] Lenin,V.I., Collected Works,
Jilid 29, hal. 421, Progress Publishers, Moscow, 1964-1970.
[3] Engels, F., Anti-Dühring,
hal. 37.
[4] Marx, K., Capital, Jilid
III, Hal. 927.
[5] Karl Marx dan Friedrich
Engels, Communist Manifesto, diunduh
dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/index.htm diakses pada 25 Agustus 13.40 WIB.
[6] Ibid.
[7] Lenin, V.I, Collected Works,
Jilid 11, hal. 71, Progress Publishers, Moscow, 1964-1970.
[8] Marx, K. dan Engels, F., Selected Works (dalam 3 jilid), Jilid 2, hal.
423-424, Progress Publisher, Moscom, 1969-1970
Tidak ada komentar:
Posting Komentar