Oleh Suryadi A Radjab
Dimuat dalam majalan Prisma, No.10, Tahun 1991.
Gerakan mahasiswa di masa Orde Baru belum pernah bisa keluar dari mitos
yang membentuk kesadaran subyektif dan identitas sosial mereka. Persepsi
tentang peran sosial ini merupakan pendorong kemunculan gagasan aksi-aksi
protes mereka di tahun 70-an maupun akhir 80-an. Tetapi melalui hegemoninya,
negara juga menyediakan panggung yang diperlukan bagi terciptanya mitos itu,
sehingga mahasiswa tidak mampu mengidentifikasi posisi sosialnya secara
struktural.
PENDAPAT dominan selama ini memandang bahwa mahasiswa merupakan kelompok strategis
yang berperan penting dalam perubahan sosial-politik. Bahkan sudah menjadi truisme
bahwa gerakan protes mahasiswa, terutama di Dunia Ketiga, memainkan peranan
yang sangat aktif dan berposisi sentral dalam percaturan politik. Tak ada satu
pun penguasa di negeri-negeri – yang dianggap berkembang ini – yang bisa
mengabaikan posisi sosial dan pentingnya representasi politik serta dampak
aspirasi dari golongan muda berpendidikan tinggi ini. Para ilmuwan sosial pun
sibuk mengkaji dan meneliti fungsi mereka dalam sistem sosial-politik, terutama
setelah menaiknya gelombang aksi protes mahasiswa di akhir dekade 60-an hingga
awal 70-an, baik di negeri-negeri maju maupun terbelakang, termasuk di
Indonesia.
Masih bisa diperdebatkan apakah mahasiswa berperan dalam menumbangkan
sebuah rezim dan melicinkan jalan bagi penguasa yang baru untuk naik tahta?
Jika memang berperan, seberapa besar andil mereka, baik dalam kemelut politik
pada saat tertentu maupun peran sosialnya dalam konteks sejarah yang lebih luas?
Rasanya rentang dua dekade kisah tentang gerakan mahasiswa di negeri ini lebih
dari cukup untuk memetakan posisi lalu menilai peran golongan terpelajar ini.
Tulisan ini sendiri hanyalah sebuah refleksi singkat atas posisi dan peran
gerakan (protes) mahasiswa sepanjang Orde Baru, rust en orde yang diakui
ditegakkan melalui sumbangan demonstrasi mahasiswa dalam menumpas komunisme.
Refleksi ini dimungkinkan karena saya meyakini bahwa sejarah merupakan gerak
dialektis antara subyektivitas pelaku dan struktur sosial-ekonomi yang
mendasarinya. Diterjemahkan dalam konteks pergerakan mahasiswa, tulisan ini
akan berangkat dengan melihat bagaimana terjadinya pembentukan dan perbenturan
antara subyektivitas peran mahasiswa dengan kondisi obyektif mereka sebagai bagian
dari universitas, institusi penting yang mereproduksikan kapitalisme.
Diskursus tentang Mahasiswa
Dari mana dan sejak kapan terbentuk identitas sosial mahasiswa sebagai
sebuah kekuatan politik? Persepsi dan konsepsi tentang peran sosial ini
terbentuk dan menguat sejalan dengan tegaknya hegemoni Negara Orde Baru (NOB).
Sejak aksi-aksi unjuk rasa yang diorganisasikan oleh KAMI (terutama di pusat:
Jakarta, sepanjang bulan-bulan akhir 1965 dan awal 1966) untuk meretaskan jalan
bagi pemberontakan PKI, kejatuhan Sukarno dan kenaikan Jenderal Suharto ke
pucuk pemerintahan itu, seakan-akan meledakkan semacam praktek diskursif[i]
tentang arti penting gerakan mahasiswa dan peranan mereka dalam perubahan
politik. Tak usah heran, karena situasi umum di dunia pada saat itu tengah
dimeriahkan gelombang gerakan protes yang dipelopori dan digalang dari dalam
kampus.[ii] Walaupun kita tidak boleh membayangkan bahwa teknologi informasi
dan komunikasi saat itu sudah sedemikian canggih seperti sekarang, namun kita
tidak boleh meremehkan gema yang meluas dari gerakan-gerakan protes mahasiswa
di luar negeri dalam membentuk pendapat umum dunia, dan kemudian melegitimasi
peranan mereka sebagai faktor kunci dalam perubahan kebijakan politik atau
bahkan suksesi kekuasaan.
Selain faktor pengaruh gaung internasional, yang unik dalam pembentukan
identitas sosial mahasiswa di masyarakat Dunia Ketiga adalah pandangan
historis-demografis tentang posisi politik mereka. Dalam arti ini, mahasiswa
dipandang sebagai bagian dari politik kaum muda yang dipertentangkan dengan establishment
yang diduduki orang tua (dewasa). Namun, berbeda dengan konsepsi youth
culture yang ada di Barat, pandangan tentang pemuda di Indonesia juga
bermakna politik serta memiliki kaitan masa lampau yang khas. Sumber legitimasi
perannya pertama kali didapat dari Kebangkitan Nasional 1908 lalu Sumpah Pemuda
1928, di mana pemuda dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa, dan
kemudian pada masa Perang Kemerdekaan, di mana pemuda dipandang sebagai
pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan dalam sebuah “revolusi yang
dilakukan pemuda”.[iii]
Pada tiga titik penting dalam pembentukan nasionalisme Indonesia itulah
mahasiswa lalu menemukan makna politiknya dalam kisah sukses aksi-aksi Tritura
yang kemudian disebut sebagai “Angkatan 1966”; bukan sekadar sebagai pemuda
tetapi juga mahasiswa. Yang unik dibandingkan dengan pra-1966 di mana agen
perubahan sosialnya adalah pemuda, maka setelah 1966, dalam arti demografis
yang sangat umum, peran tersebut dipegang oleh mahasiswa. Karena itu, acuan
untuk mengidentifikasi peran mahasiswa dalam sejarah politik Indonesia kemudian
juga ikut dipilah-pilah menurut pembagian angkatan: ’08, ’28, ’45 dan ’66.
Tentu saja kemunculan mahasiswa sebagai presentasi politik angkatan muda berkesesuaian
dengan kenyataan sosiologis dalam periode 50-an dan 60-an di mana terjadi
perluasan pendidikan tinggi dan proses politisasi masyarakat serta mobilisasi
massa yang menjangkau hingga ke kampus-kampus.[iv] Yang artinya, meluasnya
golongan terpelajar dan terdidik dengan kemungkinan munculnya tuntutan baru,
seperti mobilitas sosial, kesejahteraan hidup, serta pengintegrasian kembali ke
dalam sistem kapitalisme internasional.
Tetapi arti penting pembentukan Orde Baru di tingkat negara ialah
terjadinya aliansi segitiga antara perwira Angkatan Darat, teknokrat, dan
mahasiswa. Ketiganya merupakan bagian lapisan elite inteligensia yang bakal
menyerap, memelopori dan menyebarkan gagasan modernisasi. Dengan kata lain, di
samping militer dan teknokrat, mahasiswa juga dipercaya sebagai agen
modernisasi atau pembangunan. Tetapi aliansi segitiga itu pecah ketika terjadi
disintegrasi dalam KAMI, dan mulai muncul persoalan bagaimana mendefinisikan
peranan mahasiswa selanjutnya dalam sistem politik dan bagaimana seharusnya
tugas dan masa depan para eksponen Angkatan 1966. Akhirnya, setelah isu back
to campus muncul di akhir 60-an, mahasiswa tampaknya menemukan peranannya
yang cocok sebagai “calon intelektual” atau “inteligensia”.
Pandangan tersebut sebetulnya bertolak dari suatu diskursus yang
menggunakan konsep “moral”. Mahasiswa bukan kelompok politik yang berusaha
mendapat kekuasaan, melainkan kekuatan moral (moral force) yang secara
aktif ingin ikut berperan dalam mencapai cita-cita negara. Tugas mahasiswa,
dalam konsep ini, melakukan kritik terhadap keadaan sosial yang kacau. Dalam
pandangan ini peran mahasiswa dimiripkan dengan peran resi dalam konsepsi kuasa
dalam budaya feodal-kolonial Jawa.[v] Jika resi hidup di lereng-lereng
gunung terpencil sebagai tempat pertapaannya, maka mahasiswa berada di
kampus-kampus universitas. Mahasiswa dan kaum terpelajar baru turun dari
universitas jika terjadi ketidakberesan atau kekacauan di masyarakat, tentu
saja dengan tugas melancarkan kritik sosial terhadap penguasa.[vi]
Karena situasi awal tahun 70-an dianggap sudah menyimpang dari cita-cita
semula yang dicanangkan oleh Angkatan 66, yakni Tritura (bubarkan PKI, turunkan
harga, perombakan kabinet) maka mahasiswa kemudian merasa terpanggil untuk
membereskan keadaan yang ada. Mahasiswa menaruh keprihatinan tentang
berlanjutnya gejala korupsi dan berkembangnya jurang kaya-miskin. Mereka
melakukan kritik tentang kenaikan harga BBM, pembangunan Taman Mini, dan
golongan putih (Golput) di Jakarta,[vii] serta hak-hak sipil di Bandung.[viii]
Demonstrasi mahasiswa saat itu ditanggapi secara positif oleh pemerintah,
dengan dibentuknya “Komisi Empat” atau Komite Anti Korupsi (KAK) yang dipimpin
bekas Wapres Mohammad Hatta yang dikenal jujur dan bersih. Mahasiswa kemudian
membubarkan aksi-aksi mereka, sehingga gerakan mereka sebagai resi dalam
cerita wayang yang tak memiliki kepentingan politik (kekuasaan),[ix]
mendapatkan pembenaran praktisnya.
Kendati demikian, pada tingkat politik praktis, anggapan dan peranan
tentang gerakan mahasiswa yang berkembang kemudian tak selalu sejalan dengan
anggapan pemerintah terhadap kritik-kritik mereka. Kritik-kritik mahasiswa saat
itu diterima dan sekaligus juga ditolak pemerintah. Jika kritik terhadap
korupsi diakomodasi dengan dibentuknya KAK serta diundangnya mahasiswa untuk
membicarakan persoalan tersebut dengan membawa bukti-bukti, maka sebaliknya ada
pejabat tinggi yang membalas kritik tersebut dengan menyatakan bahwa mahasiswa
telah ditunggangi.[x] Jika tertembaknya seorang mahasiswa ITB diakomodasi
dengan diadilinya seorang anggota ABRI dalam Mahkamah Militer, sebaliknya
pemerintah juga mengingatkan akan partnership ABRI-mahasiswa di tahun
1966, sehingga “kecelakaan” tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.
Istilah “ditunggangi” dan “kenang-kenangan” tentang aliansi segitiga itu
menunjukkan bahwa negara sangat menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan mahasiswa. Protes dan kritik, dalam bentuk demonstrasi sekali
pun, diperbolehkan sejauh kritik dan protes mahasiswa tidak keluar dari
batas-batas panggung politik yang ditentukan oleh negara itu sendiri.
Panggungnya adalah sebuah “arena” di mana mahasiswa hanya mengakui diri sebagai
intelektual (resi) dan skenario yang dimainkan tidak boleh menyimpang
dari cerita di tahun 1966.[xi] Karena itu, misalnya, dibentuknya KAK oleh
pemerintah, dengan ketuanya Mohammad Hatta, merupakan titik kompromi antara
mahasiswa dan pemerintah untuk mengesankan citra bahwa intelektual itu jujur
dan bersih dari kepentingan kekuasaan.
Peran resi dalam skenario tersebut masih terus diwariskan hingga
“Peristiwa 15 Januari 1974” dan “Gerakan 1978”. Mahasiswa berusaha tetap setia
dengan skenario yang sudah dipakemkan. Tuduhan “ditunggangi” merupakan sebuah
rambu peringatan supaya mahasiswa tidak keluar dari “Skenario ’66” dan
melakukan “kritik yang konstruktif” jika hendak berperan sebagai resi.
Kritik juga tidak boleh mengancam stabilitas keamanan dan pembangunan nasional.
Karena itu, mahasiswa juga berusaha mati-matian untuk membuktikan bahwa mereka
tidak bermain mata dengan kekuatan sosial politik di luar panggung, karena
perannya memang bukan merebut kekuasaan, melainkan melancarkan koreksi dan
kritik sosial demi suksesnya modernisasi dan pembangunan. Meskipun kedua
peristiwa itu tak bisa mengulangi persis “Skenario ’66”, tapi persepsi tentang
peran sosial-politik mahasiswa sebagai penjaga kekuatan moral tak pernah pudar.
Tetapi pertunjukan harus terus berjalan. Apa yang dituntut oleh Tritura
harus dilaksanakan. Di samping identitas sosial sebagai resi yang dipakai
mahasiswa untuk menghadapi tuduhan “ditunggangi” dan “berkepentingan merebut
kekuasaan”, peran mahasiswa dalam panggung politik sebetulnya juga disediakan
negara lewat saluran-saluran resmi seperti organisasi pemuda, mahasiswa ekstra,
organisasi massa, dan terutama partai politik. Kini perbedaan berbagai kelompok
dipersatukan dalam satu ideologi baru: pembangunan, yang menggantikan ideologi
“revolusi”. Partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa yang masih
diakui, terkena program ini, sehingga membatasi ruang geraknya untuk
menyalurkan aspirasi dan mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok yang
ada di masyarakat. Dalam sistem politik semacam ini tidak diperbolehkan suatu
gerakan oposisi. Hal ini membawa akibat-akibat yang cukup serius bagi
pertunjukan dalam panggung-panggung yang disediakan negara (sistem politik),
yakni di satu pihak merosotnya peran partai politik dan organisasi massa dan di
lain pihak menobatkan mahasiswa sebagai satu-satunya “semi-oposisi” yang
direstui pemerintah.
Implikasinya terhadap posisi mahasiswa dan kehidupan kampus jadi jauh
sekali. Terjadi perenggangan antara organisasi atau lembaga kemahasiswaan di
kampus dengan ormas mahasiswa di luar kampus. Dengan kata lain terjadi semacam
“deormasisasi” dan “depolitisasi” di dalam kampus. Terjadi independensi semakin
tinggi dari aktivitas mahasiswa, diikuti proses liberalisasi kampus dan
organisasi kemahasiswaan, yang salah satunya tercermin dalam pemilihan umum (langsung)
ketua Dewan Mahasiswa (DM). Tetapi proses ini, menurut saya, lebih baik
ditafsirkan sebagai proses tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan Orde Lama
(partai politik non-Golkar, organisasi ekstra mahasiswa) dengan kekuatan Orde
Baru (aliansi segitiga mahasiswa-teknokrat-militer) dalam panggung yang
disediakan negara. Jadi, sementara mahasiswa hanya direstui peranan politiknya
sebagai intelektual atau resi, mereka juga menemukan identitas sosialnya
yang semakin kokoh sebagai satu-satunya oposisi yang ternyata cukup efektif
didengar kritiknya dan diperhatikan pemerintah, kendati melalui cara-cara
ekstra parlementer atau parlemen jalanan. Walaupun demikian, mahasiswa juga
membutuhkan sarana untuk berlatih dan mewariskan peran politiknya itu kepada
generasi selanjutnya.[xii] Untuk itu mereka menciptakan sarana dengan
membentuk “student government” di mana mereka bisa menjalani “pendidikan
politik”, melatih kepekaan terhadap persoalan-persoalan masyarakat, menyalurkan
pendapat umum, menggalang pendapat mahasiswa maupun membentuk opini umum. Pada
gilirannya nanti, “pemerintahan mahasiswa”[xiii] ini bukan sekadar suatu bentuk
organisasi kemahasiswaan belaka melainkan suatu manifestasi dari tekanan dan
dorongan mereka untuk tidak hanya sekadar bermain di dalam “Skenario ’66”.
Kelak mereka coba membangun panggung sendiri di luar panggung yang disediakan
negara.
Setelah berjalannya strategi pembangunan yang menekankan pertumbuhan GNP,
pada 1973 mahasiswa semakin gencar melancarkan kritik terhadap strategi ini termasuk
persoalan non-ekonomi.[xiv] Persoalan yang diangkat mahasiswa kemudian mendapat
tanggapan pemerintah dengan diterimanya delegasi mahasiswa yang mewakili 35
Dewan Mahasiswa (DM) untuk berdialog.[xv] Ketidakpuasan mahasiswa atas hasil
dialog ini – terutama dalam mempersoalkan pembangunan dan penanaman modal
asing, khususnya Jepang – kemudian meledak dalam “Peristiwa 15 Januari”.[xvi]
Peristiwa ini kemudian dipandang melibatkan juga beberapa faksi dalam tubuh
negara, khususnya tentara.[xvii] Meskpun ada yang membantah kedekatan hubungan
dalam salah satu faksi militer, namun masih terkesan kuat adanya partnership
ABRI-mahasiswa di dalam perubahan, yakni hadir kenangan tentang kencan ABRI
dan mahasiswa di tahun 1966. Kenangan ini akhirnya semakin sirna ketika gerakan
mahasiswa di akhir 70-an menolak untuk melakukan afiliasi dengan
kekuatan-kekuatan non-mahasiswa, dan memandang dirinya menjadi perwujudan sosok
resi yang sejati.
Gerakan 1978 berkembang dari kritik dan protes mahasiswa yang mulai
dirasakan menjelang pemilihan umum 1977. Sejumlah mahasiswa Bandung membentuk
“Gerakan Anti Kebodohan” (GAK) dan sempat berdialog dengan beberapa Menteri.
Setelah pemilu berlalu banyak pengaduan kesulitan-kesulitan masyarakat dari
desa kepada mahasiswa. Situasi panggung yang terus memanas ini berkaitan dengan
akan dilangsungkannya sidang umum untuk mengangkat presiden. Aparat negara
melihat perkembangan ini dengan mengirim tujuh menteri bidang ekonomi ke
kampus-kampus untuk berdialog dengan mahasiswa tentang jalannya pembangunan.
Usaha ini gagal di tiga kampus, yakni ITB, UI dan UGM, karena kehadiran para
pejabat ditolak mahasiswa. Dengan tegas mahasiswa menamakan gerakannya sebagai
gerakan moral yang menjauhi perhitungan politik praktis. Mereka melihat ABRI
telah dijauhi rakyat, sehingga perlu mengimbau “kembalikan ABRI kepada rakyat”.
Mereka juga menunjukkan kemandulan partai-partai politik, yang memupus harapan
mereka terhadap “wakil-wakil rakyat” di lembaga legislatif.[xviii] Bahkan
kemudian mereka sempat mengambil lembaga DPR dengan membentuk “DPR tandingan”.
Mereka mempersoalkan pucuk pimpinan negara dan menggugat keabsahannya. Tapi
karena masih memakai gerakan moral, mereka muncul dan menemukan diri sebagai
“pelopor yang terkucil”. Kekuatan mereka terbatas pada mahasiswa dan pelajar.
Mereka dibekuk justru dianggap “merongrong kewibawaan pemerintah”. Di sini
timbul sifat dilematis dan ambivalen. Dilematis karena di satu sisi ia
menyatakan diri sebagai gerakan moral yang bebas kepentingan politik, sementara
di sisi lain tuntutannya mengandung bobot politis yang besar, berikut aksi
massa yang dikerahkannya. Ambivalen karena ragu-ragu memilih antara moral atau
politik.
Meskipun “Gerakan 15 Januari 1974” dan “Gerakan 1978” tidak membawa sukses
dari apa yang jadi tuntutannya dalam hal ini tidaklah penting, yang penting
justru pengisahan kembali peranan mahasiswa dalam kedua gerakan ini, yang masih
menunjukkan adanya penciptaan kenang-kenangan tentang lakonnya sebagai
“kelompok intelektual pembaruan” dan penyandang “kontrol sosial”.[xix] Gema
“panggilan untuk berperan” tetap muncul ke permukaan dengan menaikkan
“idealisme” yang dulu pernah disuarakan mahasiswa, bahkan diselipkan dengan
kisah baru untuk berperan dalam pembangunan.[xx]
Dalam kondisi depolitisasi yang terus mengental, mahasiswa tetap dipanggil
buat berperan dan setelah itu menjadi kenangan dalam berbagai cerita sehingga
“peran sosial” yang dipersepsikan mahasiswa tetap hadir dalam
diskursus-diskursus politik. Jadi, singkatnya, yang terjadi adalah pertarungan
pada tingkat gagasan antara peranan yang dikehendaki oleh negara dengan peranan
yang dipersepsi mahasiswa. Yang disebut terakhir ini sering dipersepsi secara
berlebihan serta dijustifikasi sehingga berubah menjadi legenda, yakni bahwa
mahasiswa adalah agent of social change, kekuatan moral dan oposisi
satu-satunya, walaupun demikian, di tingkat gagasan pun pertarungan tersebut
tidak pernah “dimenangkan” oleh mahasiswa. Bahkan sebagian besar gagasan yang
membentuk persepsi tentang peran sosial mahasiswa justru datang dari negara.
Demitologisasi Setengah Hati
Di atas saya telah berusaha menunjukkan bagaimana identitas sosial
mahasiswa terbentuk. Identitas ini sarat dengan mitos tentang peran
sosial-politik yang harus dimainkan mahasiswa dalam panggung-panggung negara.
Sebagian besar mitologi ini memang dibentuk dan ditentukan oleh negara, melalui
pewarisan kepahlawanan dari Gerakan Mahasiswa di tahun 1966 dan dibumbui dengan
gagasan tentang peranan sosial di sebuah negeri yang sedang membangun. Kendati
mitologi tentang peranan ini terus merasuk ke kepala sang mahasiswa, diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang kemudian melahirkan berbagai
pertunjukan-pertunjukan baru dan tidak harus sesuai dengan “Skenario ’66” –
namun inti mitos-mitos tersebut terus lestari hingga saat ini. Walaupun
demikian, dari refleksi para bekas aktivis mahasiswa terhadap peristiwa 1966
sudah mulai muncul upaya sadar untuk melepaskan diri dari mitos-mitos tentang
peranan sosial-politik yang membebani mereka.
Salah satu upaya demitologisasi yang paling awal, misalnya, coba meluruskan
persoalan yang selalu membelenggu dan menjadi dilema bagi etos gerakan protes
mahasiswa, yakni antara pilihan gerakan politik atau moral. Dengan membongkar
apa yang sebenarnya terjadi pada bulan-bulan bersejarah di tahun 1966
mengemukakan bahwa sesungguhnya peranan mahasiswa dalam penggulingan Sukarno
dan meretaskan jalan bagi Orde Baru, sangatlah kecil.[i] Bahkan dia mengatakan
bahwa mahasiswa pada saat itu hanyalah alat legitimasi yang digunakan oleh
“lawan-lawan” Sukarno dan musuh-musuh komunisme untuk melajukan perpindahan
kekuasaan ke tangan Suharto. Karena itu sangatlah tidak berdasar dan sama
sekali tidak relevan untuk mengatakan bahwa gerakan mahasiswa bebas dari
penunggangan kepentingan politik tertentu.[ii] Per definisi, gerakan mahasiswa
merupakan sebuah kekuatan politik, entah atas nama dirinya atau atas nama
rakyat. Karena itu tidak logis untuk melihat gerakan mahasiswa sebagai kekuatan
yang bebas politik. Lebih jauh lagi dia menyimpulkan bahwa tuduhan ditunggangi
sesungguhnya merupakan strategi ganda yang khas digunakan penguasa mana pun
untuk mendapatkan legitimasi atau sebaliknya untuk men-“delegitimasi” gerakan
perlawanan.[iii] Legitimasi diperlukan karena dalam batas-batas yang
ditoleransi penguasa, kritik dan protes mahasiswa justru diperlukan oleh
penguasa untuk tetap menunjukkan masih hadirnya “kelompok penekan”.
Dengan demikian mengesankan adanya “demokrasi” dan mungkin saja: oposisi.
Tetapi jika kritik dan protes mahasiswa dipandang mengganggu tata tertib serta
tatanan yang ada dan delegitimasi tidak ampuh meredam protes, maka represi dan
koersi tak segan-segan digunakan. Strategi permainan “permen” dan “pentungan”
inilah yang digunakan negara untuk tetap mempertahankan tatanan yang ada.
Dalam versi lain, upaya demitologisasi juga coba dilakukan oleh seorang
mantan aktivis mahasiswa 1966.[iv] Upaya ini dilakukan supaya kacamata menjadi
proporsional memandang peranan mahasiswa, tanpa melebih-lebihkan dan tanpa isyarat
apologetic jika ternyata mahasiswa tidak memainkan peranan seperti yang
diharapkan oleh identitas sosialnya sendiri. Dipertanyakan anggapan yang
melihat bahwa Angkatan ’66 telah memainkan peranan besar, bahkan peranan yang
menentukan dalam “Skenario ’66”. Pertama, dipertanyakan sampai seberapa jauh
sebenarnya kesadaran “sejarah” dari para demonstran tersebut akan hadirnya
momentum perubahan. Menurutnya, kesadaran mereka sebenarnya baru sampai pada
seruan Tritura, sama sekali tidak sampai pada penciptaan paradigma dan platform
kehidupan politik nasional yang baru. Karena diusulkan pihak lain, peranan
angkatan ini tak lebih dari ornamen semata-mata.[v] Kedua, untuk mewujudkan
paradigma ini penggarisan atas dasar umur, status kemahasiswaan, dan “kekuatan
moral dan kontrol” tidaklah memadai. Artinya, dalam suatu rekayasa besar
perubahan politik sangatlah berlebihan meletakkan mahasiswa dalam peran yang
menentukan.
Memasuki dekade 80-an persepsi tentang gerakan mahasiswa sedikit bergeser.
Setelah pukulan berat melalui penangkapan dan pengadilan para pimpinan
mahasiswa akibat gerakan mahasiswa di tahun 1974 dan 1978, kampus dijinakkan.
Kampus dan universitas semakin ketat dikontrol oleh negara melalui aparat
birokrasi perguruan tinggi. Pada tahap ini negara bukan hanya melakukan
tindakan represi dan koersi terhadap pimpinan mahasiswa yang dianggap menjadi
biang kritik dan protes, tetapi dengan sistematis dan terencana negara juga
merubuhkan panggung-panggung yang coba dibangun mahasiswa di luar panggung negara.
Pemerintahan mahasiswa (Keluarga Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa) dilarang, dan
ancaman skorsing serta pemecatan terhadap para aktivisnya, yang nakal ke luar
panggung atau menolak bermain dalam panggung, mulai diberlakukan. Tanpa
organisasinya tersebut kekuatan politik mahasiswa tak lebih dari macan ompong.
Segala upaya untuk mengembalikan mahasiswa dalam perannya semula sebagai resi
maupun sebagai oposisi loyal yang efektif tampaknya akan sia-sia dan
ilusif.[vi] Situasi negara sudah berubah dan panggung pun berubah. Skenario
lama sudah tidak relevan lagi dan para aktor telah berganti. Generasi mahasiswa
yang baru tidak akan bisa sepenuhnya mereproduksi lakon-lakon yang pernah
dimainkan dulu. Kendati cerita tentang peran mahasiswa di tahun 1966 masih
terus bergema, tetapi bukan lagi fakta dan lika-liku peristiwanya (apalagi
refleksi kritis tentangnya) yang menjadi penting, melainkan pesan yang hendak
disampaikan dan kesan yang diterimalah yang menjadi penting. Fakta berubah
menjadi cerita, dan cerita berubah menjadi legenda. Dan semua bahan bakar motor
perubahan itu tetap bersumber dari negara. Mahasiswa hanya mendengar deru merdu
dari suara yang dihasilkannya.
Walaupun demikian, masih ada optimisme bahwa gerakan mahasiswa mungkin
sudah ditakdirkan demikian:[vii] timbul tenggelam, pasang surut dalam
panggung-panggung yang disediakan negara, ditolak sekaligus dibutuhkan; supaya
negara yang kini bertindak sebagai produser merangkap sutradara mudah
mengarahkan cerita. Setelah porak-poranda akibat NKK/BKK,[viii] seorang mantan
aktivis mahasiswa yang menyadari akan keterbatasan gerakan mahasiswa pun,
dengan metafora indah, masih mengharap bahwa “gerakan mahasiswa mungkin memang
sudah tuntutan zaman, yang mengandung kebesaran serta rohnya sendiri. Sehingga
kehadiran dan aspirasi yang mereka bawakan perlu ditangkap dengan tenang dan
dijadikan rohnya sendiri.”[ix] Roh itulah yang coba diisi dan tampaknya
menghidupkan kembali peran mahasiswa sebagai “pejuang rakyat” tetapi
disesuaikan dengan kondisi yang sudah berubah.
Akibat kehancuran lembaga-lembaga dan organisasi kemahasiswaan dan represi
yang mengeras dari birokrasi universitas, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa
kecuali merenungkan kembali peranan dan kedudukan mereka serta melakukan
otokritik terhadap gerakan mahasiswa sebelumnya. Aktivitas politik dan protes
tidak mampu lagi dilakukan, karena risiko terlampau besar yang harus
ditanggung, yakni dipecat dari universitas atau kehilangan status istimewanya
sebagai mahasiswa. Karena itu, kita saksikan, aktivitas mahasiswa dalam periode
awal 80-an lebih terkonsentrasi pada kegiatan diskusi dan “kontemplasi”.
Artinya, walaupun organisasi BKK berhasil dihambat mahasiswa pada kampus-kampus
utama di Jawa, tetapi sebagian tujuan dari konsep NKK berhasil diterapkan,
yaitu meletakkan mahasiswa bukan sebagai “agen politik praktis” tetapi sebagai man
of analysis.[x] Roh tadi kemudian ditangkap dan dijadikan semangat zaman
yang membentuk subyektivitas mahasiswa dan dibenturkan dalam kondisi obyektif
sosial ekonomi yang sudah berubah. Hasil dari benturan ini adalah hadirnya
kesadaran subyektif yang baru tentang konsepsi “kerakyatan”, yakni di satu sisi
mahasiswa menerima realitas dirinya sebagai bagian dari gerakan sosial yang
lebih besar dan di sisi lain menolak realitas kekuatan negara.[xi] Maka,
perumusan cita-cita sosial mahasiswa adalah “membangun kekuatan rakyat”.[xii]
Dalam konteks saat itu perumusan identitas sosial tersebut kelihatannya
merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk menemukan sintesa antara
“demitologisasi terhadap gerakan moral termasuk kritisisme terhadap peranan
mahasiswa sebagai resi” dan “panggilan untuk berperan yang masih tersisa
dari mitologi gerakan mahasiswa 1966”. Di satu pihak, perumusan kesadaran
subyektif tersebut juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mencari peran
mahasiswa yang lebih strategis serta struktural, dan di lain pihak upaya itu
sekaligus dapat mengatasi dilema atau ambivalensi naif yang selama ini
menguasai kesadaran mahasiswa, yakni sikap mendua antara gerakan moral yang
bebas politik dan gerakan politik yang memihak.[xiii] Walaupun penuh dengan
slogan yang meledak-ledak, perumusan tampaknya menemukan saluran praktisnya ke
dalam organisasi non-pemerintah (ornop), yang kemudian lebih dikenal dengan
sebutan lembaga swadaya atau pengembangan swadaya masyarakat (LSM/LPSM).[xiv]
Dengan muatan yang sama tapi dalam versi yang lebih luas, upaya mahasiswa
keluar dari mitos gerakan mahasiswa sebelumnya dan menemukan peranan sendiri
yang lebih strategis sesuai dengan tuntutan zaman diharuskan oleh seorang
mantan aktivis mahasiswa 70-an dalam sebuah retrospeksi yang menarik, kurang
lebih sebulan sebelum mencuat kembali demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di
akhir 80-an.[xv] Tolok ukur lama berupa peran mahasiswa yang tercermin dalam
gerakan mahasiswa tahun 1966, 1974, dan 1978 tampaknya seperti suatu beban
sejarah. Dalam menimbang-nimbang bagaimana menuntaskan hal ini, perlu
dirumuskan cita-cita tentang demokrasi dan keadilan sosial. Dari sini
barangkali beban kesejarahan bisa dihilangkan dan demitologisasi angkatan
sekaligus terjadi. Sekarang angkatan muda belum terlambat menolak kekalahan dan
juga belum telat mengukur keberhasilan sebagai unsur yang menegakkan demokrasi
dan keadilan sosial. Dan ironisnya, kunci keberhasilan peran angkatan muda justru
terjadi kalau mereka mampu meniadakan “mitos kesinambungan” yang menenggelamkan
mereka dalam immobilitas dan sikap curiga terhadap semua peran di luar
mereka.[xvi] Tentu saja dengan mendudukkan mahasiswa atau angkatan muda sebagai
agent of democracy, maka lakon yang harus dimainkan oleh mahasiswa menjadi
lebih “politis” dan struktural sifatnya dibandingkan lakon-lakon sebelumnya
yang berwatak kultural.[xvii]
Dengan retorika “demi rakyat”, “demi demokrasi” dan dibarengi dengan
pengalaman belajar bersama LSM/LPSM, maka ruang gerak di pinggiran panggung,
yang relatif lebih leluasa untuk berimprovisasi, kini tidak lagi berada dalam
kampus tetapi telah bergeser ke luar kampus. Pergeseran ini agak meleset dari
dugaan semula, bahwa sebagai akibat penghancuran organisasi intra kampus dan
akibat kontrol birokrasi universitas yang sangat ketat, aktivitas politik
mahasiswa akan kembali ke organisasi ekstra universitas.[xviii] Kenyataannya
tidak demikian. Di samping kelompok-kelompok kecil independen yang dibentuk di
luar kampus maupun di dalam kampus untuk tujuan diskusi maupun studi, mahasiswa
mulai bersentuhan dengan organisasi sosial kemasyarakatan (non-partai,
non-ekstra) yang langsung berhubungan dengan kelompok yang diklaim akan
diperjuangkan oleh mereka. Karena itu tak mengherankan jika beberapa tahun
kemudian, subyektivitas yang diteriakkan itu bertemu dengan persoalan konkret
yang dihadapi kelompok masyarakat tertentu, yakni para petani yang kehilangan
tanahnya, pedagang kaki lima yang tergusur, dan beberapa kalanga menengah dan
menengah bawah kota yang terkena penggusuran tanah. Mahasiswa 80-an menemukan
penampilan atau peranannya yang khas lewat komite-komite sebagai juru bicara
“rakyat” dalam bentuk aksi dan advokasi terhadap para “korban pembangunan” tersebut.
Pertunjukan pun kembali berulang, dengan kisah yang sedikit berbeda tapi
dengan plot dan lakon yang sama: parodi dan tragedi; diskusi, demonstrasi,
ditangkapi, diinterogasi, dihakimi, masuk bui. Namun berbeda dengan kisah 1974
atau 1978, para pemeran tokoh mahasiswa dalam melodrama ini menempuh akhir
terpenggal tragis: tidak dapat menyelesaikan lakonnya sebagai mahasiswa.[xix]
Panggung pun sempit dan sesak bagi sebuah pertunjukan kecil di bawah bayang-bayang
mitos agung tentang “mahasiswa sebagai pejuang rakyat”. Cahaya lampu jutaan
watt terang benderang menyoroti panggung menampakkan hegemoninya, dan rakyat
menonton di luar panggung. Lalu lakon apa lagi yang akan ditampilkan?
__________________
[i] Marsillam Simandjuntak, “Gerakan Mahasiswa Mencari Definisi?” Prisma,
No. 2, April 1973.
[ii] Marsillam Simandjuntak, Ibid., hal. 35.
[iii] Marsillam Simandjuntak, Ibid. Marsillam mengatakan bahwa
tuduhan ini khas gaya mereka yang berkuasa, seperti halnya Sukarno menuduh aksi
Tritura ditunggangi CIA (hal. 35). Atau seperti “Peristiwa 15 Januari 1974”
maupun “Gerakan 1978” pemerintahan Orde Baru menuduh mahasiswa ditunggangi oleg
faksi-faksi tertentu yang tidak puas kepada pemerintah atau barisan sakit hati.
[iv] Parakitri Tahi Simbolon, “Di balik Mitos Angkatan 66,” Prisma,
No. 12, Desember 1977.
[v] Parakitri Tahi Simbolon, Ibid., hal. 55-56.
[vi] Masmimar Mangiang, loc.cit.
[vii] Ibid., hal. 107.
[viii] Jika setelah “Gerakan 15 Januari 1974” dominasi Negara terhadap
perguruan tinggi ditunjukkan dengan keluarnya SK 028/1974 dari Menteri P dan K,
setelah “Gerakan 1978” dikeluarkan SK Kopkamtib No. Skep 02/Kopkam/1978 yang
membekukan Dewan Mahasiswa di seluruh perguruan tinggi, bahkan dilanjutkan
dengan keluarnya SK Menteri P dan K No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi
Kehidupan Kampus disertai perangkat BKK.
[ix] Masmimar Mangiang, loc.cit., hal. 106-107.
[x] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman tentang Normalisasi
Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan, Rektoriat ITB, 1979.
[xi] Harry Wibowo (ed), “Paham Kebangsaan: Sudut Pandang dan Pengalaman
Mahasiswa Purna 1978,” makalah dalam Pertemuan Kaum Muda tentang Paham
Kebangsaan, diselenggarakan Harian Kompas, Pacet, Mei 1985.
[xii] Ibid., hal. 39-40.
[xiii] Misalnya, Heri Akhmadi, “Gerakan Moral Tidak Relevan Lagi,” Kompas,
16 Juni 1985. Dalam sebuah liputan tentang kelompok studi/diskusi, Harry Wibowo
mengatakan: “Pilihan kami jelas, yakni menegakkan kekuatan rakyat…!” Kompas,
14 Mei 1986.
[xiv] Menarik untuk dicacat bahwa sebagian besar LSM/LPSM yang berdiri
sejak 1970-an didirikan oleh para bekas aktivis mahasiswa.
[xv] Sjahrir, “Pilihan Angkatan Muda: Menunda atau Menolak Kekalahan,” Prisma,
No. 6, Juni 1987.
[xvi] Sjahrir, Ibid., hal. 8-10.
[xvii] Ingat identifikasi peran mahasiswa sebagai resi. Arief
Budiman, Op.cit., membedakan antara cara pandang yang cultural dan
structural terhadap peranan mahasiswa. Meskipun dia mengaku seorang
strukturalis, tapi untuk lebih bisa menjelaskan hubungan antara mahasiswa dan
pemerintah di Indonesia, dia lebih condong pada pendekatan cultural.
Kecenderungan “kulturalisme” ini direproduksi menjadi gagasan yang mempersepsi
gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral dan mahasiswa sebagai cendekiawan muda.
[xviii] Seperti tersirat diperkirakan Masmimar Mangiang, loc.cit.
[xix] “Peristiwa 5 Agustus 1989” di kampus ITB mendapat pukulan telak hanya
karena sebuah demonstrasi berskala kecil dalam rangka menyambut kedatangan
Menteri Dalam Negeri, Rudini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah gerakan
protes mahasiswa, pimpinan universitas memecat mahasiswa, sementara aparat
negara memvonis keenam pelakunya masing-masing antara 3 sampai 3 tahun 3 bulan
untuk tuduhan “pelanggaran pidana” yang sama dengan pasal tuduhan terhadap
pimpinan mahasiswa di tahun 1978, tetapi aktivis ’78 hanya dihukum paling lama
satu tahun penjara dan tidak dipecat dari universitas.
Mistifikasi Struktur Kelas
Berulangnya kegagalan lakon yang dimainkan gerakan mahasiswa merupakan
konsekuensi logis dari upaya demitologisasi setengah hati yang dilakukan oleh
para bekas aktivis mahasiswa maupun para aktivis pasca-1978. Walau begitu
kegagalan ini tidak dapat ditimpakan sepenuhnya ke tangan para aktivis
tersebut. Pandangan dan gagasan yang dominan tentang peran mahasiswa juga
merupakan pandangan resmi penguasa yang terus disebarkan sebagai dasar
legitimasi untuk memperoleh dukungan kaum muda itu. Negara memandang bahwa
mahasiswa merupakan “harapan bangsa”, sehingga perlu memainkan peran untuk
kemajuan bangsa dan negara seperti “terjun ke desa” atau “membangun daerah”.
Dalam batas-batas yang ditentukan sendiri oleh negara, mahasiswa juga
diperbolehkan melakukan “politik praktis” tetapi disalurkan melalui
lembaga-lembaga politik dan organisasi kepemudaan. Sebaliknya mahasiswa melihat
bahwa unsur-unsur di dalam aparat negara juga bisa melakukan kesalahan dalam
menjalankan pembangunan atau modernisasi. Sebagai “calon intelektual” dan “agen
modernisasi”, mahasiswa bertugas menjalankan “fungsi kontrol sosial” dengan
kritik yang membangun dan bertanggung jawab. Jadi, persepsi mahasiswa tentang
peran mereka sendiri dan “ideologi” negara tentang mahasiswa pada hakekatnya
sama sekali tidak bertolak belakang. Mahasiswa menerima tawaran untuk memainkan
peranannya dalam panggung dan lakon yang dikehendaki negara, dan sebaliknya
negara mampu mengarahkan lakon seraya menjaga batas-batasnya.
Tentu saja, panggung yang disediakan dan skenario yang ditawarkan negara
tidak harus diterima sepenuhnya. Pasang surut gerakan mahasiswa menunjukkan
bahwa ada pola-pola resistensi tertentu yang dikerjakan mahasiswa untuk menolak
dan keluar dari panggung tersebut. Walaupun demikian gagasan dominan yang
menguasai hampir semua aktivitas mahasiswa tetaplah ideologi yang dominan. Oleh
karena itu perlu memeriksa bukan hanya mengapa terjadi proses mitologisasi
tentang peran sosial mahasiswa, tetapi lebih jauh lagi mengapa mitos tersebut
bisa terus bertahan, bahkan dipertahankan, padahal upaya demitologisasi juga dilakukan?
Salah satu jawabannya karena semua upaya demitologisasi di atas tidak
pernah meletakkan mahasiswa dalam posisinya yang lebih struktural. Alasan atau
dalih yang dikemukakan biasanya bersifat kultural dan penuh permakluman.[i]
Misalnya pandangan psiko-sosial yang menyatakan bahwa memang bukan peran dan
tanggung jawab mahasiswa untuk melakukan perubahan sosial-politik. Mahasiswa
hanyalah katalisator bagi adanya perubahan.[ii] Sehingga sangat berlebihan
untuk menuntut mereka dengan segala macam peran yang seharusnya dijalankan oleh
kekuatan politik non-mahasiswa. Walaupun demikian tetaplah tidak memadai untuk
menjawab mengapa – kendati selalu “gagal” dan “kalah” – gerakan mahasiswa terus
muncul dan harapan tentang peranan mereka sebagai agen perubahan masih
didengung-dengungkan.[iii] Karena itu perlu dilihat posisi sosial mahasiswa
dalam konteks sosial historis yang lebih konkret, yakni memeriksa basis
material di mana gagasan tentang peran tersebut berdiri dan terus dihidupi.
Selama ini posisi mahasiswa di dalam struktur kelas tak pernah diperiksa,
sehingga bukan hanya terjadi kekaburan, tapi juga pengaburan yang dihegemoni
oleh negara. Hal ini disebabkan, karena pertama, posisi kelas sosial
mahasiswa sebenarnya tidak jelas. Ada paradoks di dalam batas-batas lokasi
kelas dari mahasiswa. Di satu pihak, mereka tidak terlibat dalam proses
produksi komoditi sehingga bukan bagian dari kelas pekerja, tetapi di lain
pihak mereka justru berada di dalam lembaga reproduksi kapitalisme, yakni
universitas. Mereka bukan borjuis, juga bukan pekerja. Kalau pun mau diperjelas
posisi sosial historisnya, kurang lebih mahasiswa berada dalam situasi
pra-kelas. Artinya, mahasiswa merupakan kelompok sosial yang memasuki suatu
tahap persiapan kelas yang khusus, yakni semacam jalur (trajectory) yang
berkaitan dengan karier dan profesi tertentu di masa depan.[iv]
Dalam analisis ini tidak terlalu berguna memeriksa asal-usul kelas dari
keluarganya, karena yang paling penting adalah melihat: “ke posisi mana
mahasiswa akan bekerja” atau “akan memasuki karier dan profesi apa setelah
mereka lulus.” Karena determinasi pra-kelasnya itu, maka
kepentingan-kepentingan politik dan corak kesadaran kelasnya pun bisa
berubah-ubah, bergantung dari gagasan atau ideologi apa yang dominan menguasai
kehidupan masyarakat dalam kurun sejarah tertentu yang konkret dan spesifik.
Pada satu titik tertentu, mahasiswa bisa menjadi juru bicara untuk dirinya
sendiri, misalnya jika mereka mengartikulasikan protes-protes tentang sistem pendidikan,
uang kuliah, atau menuntut kebebasan yang lebih besar. Pada titik yang lain,
mahasiswa menjadi juru bicara kelompok lain dan bertindak atas nama kelas atau
kelompok yang tertindas, seperti yang diartikulasikan melalui kritik-kritik dan
gerakan protes mereka sepanjang dua dasawarsa ini. Tapi yang terakhir ini juga
tetap tergantung pada ideologi dominan tertentu yang menguasai masyarakat.
Seperti sudah saya tunjukkan terdahulu, gagasan yang dominan adalah gagasan
tentang peran mahasiswa sebagai agen modernisasi, pembaru dan pelopor perubahan
bagi bangsa dan demi negara. Kendati gagasan dominan ini merupakan mitologi,
tetapi karena mitos tersebut dibutuhkan dan dipegang oleh kekuatan yang
hegemonik, yakni negara, maka mitologi itu tetap bisa diwujudkan.
Penyebab kekaburan struktural yang kedua, karena sistem sosial yang
ada di Indonesia adalah kapitalisme pinggiran, yakni suatu bentuk kapitalisme
yang telah mengalami distorsi struktural akibat kolonialisme. Dalam
perkembangannya sejak kemerdekaan hingga masa Orde Baru, sistem kapitalisme
pinggiran ini tidak menghasilkan suatu kelas borjuasi yang tangguh, yang
relatif mandiri terhadap negara. Kelas kapitalis yang penting justru tumbuh
dari dalam tubuh negara dan didorong oleh negara berkat eksplorasi kekayaan
alam hasil hutan dan minyak mentah.[v] Kondisi historis semacam ini menyebabkan
kelas borjuasi yang muncul tidak dapat menjalankan tugasnya seperti kelas
borjuasi yang tumbuh di Eropa. Karena itu negara juga memiliki otonomi yang
besar dan memungkinkannya mendominasi seluruh kelas yang ada di masyarakat,[vi]
kemudian menegakkan hegemoninya hanya atas nama negara itu sendiri.
Universitas: Aparat Negara Warisan Kolonial
Untuk lebih memperjelas jalur kelas yang bakal ditempuh mahasiswa dalam
kondisi struktural seperti itu, maka perlu dipertimbangkan posisi universitas
di dalam masyarakat serta kaitannya dengan dominasi negara. Perguruan tinggi di
Indonesia merupakan konsep dan lembaga borjuis yang diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial pada awal abad ke-20 – seperti THS (sekarang ITB) pada 1920
dan disusul fakultas hukum pada 1924 serta kedokteran pada 1925 – dalam rangka
memperoleh tenaga kerja berketerampilan untuk mengisi jabatan-jabatan
administrasi dan birokrasi negara kolonial. Kemudian dengan terbentuknya negara
Republik Indonesia (RI), maka universitas kolonial beralih jadi universitas
negeri (baca: negara). Ini bisa diamati bahwa universitas terkemuka atau
terpenting di Indonesia seperti ITB, UI, UGM, Unpad, ITS, Unair, Undip, dan USU
merupakan universitas negara (state university). Karena iitu dapatlah
dipahami bagaimana universitas atau sistem pendidikan formal – yang di Eropa
merupakan lembaga borjuis ini – di sini merupakan bagian dari aparat
administrasi-birokrasi negara. Demikian pula, pembiayaan kebijakan pendidikan
maupun orientasi para lulusannya diarahkan buat memenuhi kepentingan negara.
Jika dulu kepentingan negara kolonial, maka kini kepentingan negara RI.
Melalui konsep NKK semakin jelas jalur yang mesti ditempuh mahasiswa untuk
memasuki teknostruktur sebagai bagian dari jaringan industri.[vii] Universitas
dilihat sebagai “pabrik” untuk melatih tenaga kerja, sedangkan mahasiswa jadi
komponen yang bakal mengisi sistem produksi. Kondisi ini makin diperkuat dengan
konsep Wawasan Almamater yang isinya, yakni institusionalisasi,
profesionalisasi, dan transpolitisasi. Dengan demikian, “arah obyektif”
universitas bagi mahasiswa jadi jelas, yakni universitas merupakan eskalator
untuk pengisian teknostruktur. Yang berarti bahwa arah obyektif ini justru akan
berfungsi mereproduksi dominasi negara. Sementara itu kondisi struktural
ekonomi Indonesia hingga saat ini belum memasuki tahapan industrialisasi yang
memadai, yang bisa melahirkan baik suatu kelas borjuasi industri maupun kelas
pekerja yang tangguh. Industrialisasi di Indonesia malah meledakkan sektor jasa
yang tidak “produktif”.[viii] Mahasiswa yang kemudian lulus (S-1)
berbondong-bondong berebut tempat kerja di seputar manajer madya – sebuah
karier dan profesi yang relatif aman dan nyaman – tanpa terganggu konjungtur
krisis kapitalisme yang akut.
Demikianlah karena kekaburan dan pengaburan posisi kelasnya, mahasiswa
tidak pernah berani secara jujur menyatakan kepentingan obyektifnya dalam
diskursus yang secara simultan mendorong aksi atau protes-protes mereka.
Ketakutan ini menjadi katarsis yang secara sistematis dimanipulasikan dalam
hegemoni negara sedemikian rupa sehingga mahasiswa merasa terus terpanggil
untuk memainkan peranannya dalam panggung-panggung mitologi tersebut. Di masa depan,
hanya ada dua pilihan bagi gerakan mahasiswa untuk menghindar dari katarsis dan
melakukan upaya demitologisasi yang sungguh-sungguh, yakni dengan segala
ilusinya tetap bermimpi menjalankan “tugas suci” seperti borjuasi (kelas
menengah) di Eropa: menegakkan demokrasi, atau bergabung bersama pekerja untuk
mematangkan kontradiksi yang ada di dalam sistem kapitalisme.
__________________
[i] Lihat misalnya, “Gerakan Orang Muda, Gelombang yang tak Kunjung
Mencapai Pantai,” Dialog para eksponen 66 dalam Prisma, No. 12, Desember
1977, hal. 25-47.
[ii] Pandangan tentang peran mahasiswa sebagai sekadar katalisator
perubahan merupakan permakluman yang dominan pada periode gerakan mahasiswa
pasca-1978, yang tercermin dalam makalah refleksi Harry Wibowo (ed.), Op.cit.
[iii] Misalnya, Sjahrir, loc.cit.
[iv] Erik Olin Wright, Class, Crisis, and the State, (London: New
Left Books, 1985), hal. 92-93.
[v] Lihat Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, (Sydney:
Allen & Unwin, 1986).
[vi] Hamza Alavi, “Class and State under Peripheral Capitalism,” dalam
Hamza Alavi dan Teodor Shanin, Introduction to Sociology of ‘Developing
Societies’, (New York: Monthly Review, 1982).
[vii] Lihat laporan Fauzie Syuaib, Op.cit.
[viii] Gejala yang paling terasa pada paruh akhir 80-an adalah bank, awal
90-an adalah pariwisata lewat “Visit Indonesia 1991”.
Bung, ini footnotenya perlu diedit lagi. terpotong di tengah2, kurang elok dipandang. agak mengganggu pembaca :)
BalasHapusTerimakasih Bung. akan kami perbaiki segera :)
Hapus