Sabtu, 14 September 2013

Jangan Takut jadi Progresif! : Sebuah Tanggapan untuk Kawan 'Tooftolenk'

Oleh Anjani Chandrawati
Anggota Serikat Mahasiswa Progresif (SEMAR) UI

Apresiasi terbaik dari sebuah karya adalah kritik. Kritik, tradisi yang sempat hilang, termasuk di dalam dunia akademik adalah sangat penting, bukan hanya sebagai evaluasi. Lebih dari itu, kritik adalah tanda bahwa sesuatu tidak pernah berakhir begitu saja.

Tulisan dalam selembar kertas bertitel ‘buklethapmas yang disebarkan secara luas di Takor FISIP UI oleh kawan Manshur ‘Tooftolenk’ Zikri berjudul Seribu Vokabuler dan Satu Kamus Asing memang tidak ditujukan secara spesifik untuk siapa, dan untuk apa. Namun, kegelisahan yang tersirat dalam tulisan tersebut merupakan kegelisahan yang sama yang juga kami hadapi.

Berbagai pengalaman (radikalisasi) dan perlawanan, seperti menolak penggusuran sepihak PT.KAI, melawan kenaikan harga BBM, live in  di komunitas buruh, aksi bersama pekerja dan lain sebagainya, hanyalah sebagian kecil dari kondisi yang membuat kami bercita-cita menjadi mahasiwa progresif, membangun sebuah organisasi mahasiswa, yang progresif, yang berformat serikat. Cita-cita yang mungkin terdengar naif bagi sebagian orang, tapi juga kami sungguh yakin adalah harapan bagi sebagian lainnya.

Terjebak dalam “onani intelektual” atau “masturbasi intelektual” sangat mungkin terjadi ketika kita tidak menyatu secara organik dengan realitas sosial yang dialami rakyat luas termasuk permasalahan, krisis, dan konflik mereka sehari-hari dalam bentuk keluhan, perlawanan, hingga mogok dan berserikat. Namun,  jangan ditakut-takuti pula mereka yang sedang mulai “beronani” atau “bermasturbasi” karena itu merupakan tanda untuk mulai (siap) berinteraksi dengan “subjek lain”. Selain itu, mengutip dari perkataan kawan, bahwa “onani” atau “masturbasi” adalah tanda awal seorang subjek mulai dewasa.

Apakah kita menginginkan sebuah lingkungan akademis di kampus yang penghuni-penghuninya gagap berteori dan berkonsep di hadapan publik, di luar ruang-ruang kelas yang tampaknya kita sepakat seperti pada umumnya formalitas-demi nilai-pengen buruan kelar itu, hanya karena enggan dituding “Ah, onani doang Lu!”? Beronani intelektual bisa jadi indikasi subjek mulai mencari cara untuk memenuhi hasrat intelektualnya. Ia tinggal perlu ditunjukkan bagaimana memenuhi hasrat intelektualnya, panggilan nuraninya tersebut untuk menumpahkan apa yang sudah mempat disuapi ke dalam otaknya, dengan cara yang lebih lengkap. Yaitu, ‘intercourse’, berinteraksi intim, saling ‘memasuki’ satu sama lain.

Penegasan posisi mahasiswa yang selama ini disembunyikan dalam selubung mitos-mitos “agent of change” dan sebagainya, perlu terus dilakukan. Tentunya penegasan posisi tersebut tidak hanya dilakukan dalam level gagasan, tapi juga praktik perjuangan bersama gerakan rakyat (buruh, tani, nelayan, adat dsb) lain secara organik. Adalah benar bahwa bicara tentang Marxis dan Marxisme tak cukup dengan diskusi di zona nyaman masing-masing. Maka, penyatuan teori dan praktik atau dalam termin Marxian disebut sebagai praxis, menjadi tugas penting yang harus diwujudkan.

Adapun kecenderungan yang banyak diamini saat ini “talk less do more” seperti yang diilustrasikan kawan Manshur ‘Tooftolenk’ Zikri dalam tulisannya melalui contoh perlawanan pedagang kecil stasiun dan mahasiswa terhadap Indomaret dalam penggusuran sepihak oleh KAI, perlu dipertanyakan ulang. Kawan Manshur ‘Tooftolenk’ Zikri bertanya “efek dari menghujat indomaret dan alfamart yang masih berdiri di stasiun-stasiun kereta api, pada saat demonstrasi penggusuran pedagang beberapa waktu lalu, apa? Kok, rasa-rasanya justru perombakan sistem KRL justru diamini begitu saja dan dinikmati sebagai zona nyaman baru oleh kita, mahasiswa?”

Sah-sah saja bila menganggap menghujat Indomaret dan Alfamart tidak memberikan dampak atau efek apapun. Namun, apakah menghujat suatu hal yang dianggap salah menjadi tidak layak dilakukan, hanya karena kemudian tidak memberikan efek atau dampak apapun secara langsung? Perlawanan terhadap Indomaret dan Alfamart dalam kasus pengusuran pedagang stasiun perlu dimaknai dengan benar. Bukan pekerja Indomaret  atau Alfamart yang kami lawan, tapi Indomaret dan Alfamart adalah simbol kuasa sesuatu yang lebih besar (korporat) atas pedagang-pedagang kecil stasiun.

Maka, “talk less do more” kian tidak relevan dalam konteks perlawanan saat ini. “Talk more, do more”, katakan dan hujat dengan lantang semua yang salah dan menindas, tak usah ambil pusing apakah hujatan itu akan berdampak pada perubahan siklus ekonomi secara langsung atau tidak. Kemudian, seiring berjalan dengan itu, taktik dan strategi perlawanan lain tetap dilakukan sebagai bagian dari tindakan. Toh, selama sistem ekonomi politik masih dikuasai oleh kelas borjuasi, tuntutan apapun yang kita ungkapkan selalu tidak memberikan dampak langsung.

Terakhir, gagasan-gagasan baru tidak akan lahir begitu saja dan ketika ia lahir, tak perlu takut dianggap hanya sebagai “pencitraan” dan sebagainya. Toh, yang benar memang harus disampaikan.  Dan, sebagai salah satu tuntutan dari kawan Tooftolenk bahwa ciri progresifitas adalah pertarungan gagasan, maka dengan ini kami menjawab. “Qulil haqqa walau kaana murran.

2 komentar:

  1. Daripada jadi orang kritis mending jadi solutif, ya gak sih? Anda menuntut orang melakukan sesuatu yang sesuai kehendak anda/kelompok anda dengan kritikan tanpa solusi dan langkah nyata? Berapa orang yang sudah anda bantu diluar sana? Berapa banyak waktu yang anda gunakan untuk membantu orang2 diluar sana dibandingkan dengan mengkritik segala kebijakan? Bukankah lebih baik anda mencari solusi kreatif dan langsung terjun membantu mereka yang membutuhkan dgn tenaga dan pikiran anda? Bukan dengan cara demo rusuh atau berkoar2 di media saja tentunya. Kalo anda dan kelompok anda berjiwa ksatria silakan datangi orang2 kelaparan dan kurang berpendidikan di luar sana, ajari mereka dengan ilmu yang anda punya agar kehidupan mereka bisa lebih layak. Orang berakal itu lebih banyak bergerak dibandingkan berkoar2 menuntut ini dan itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. darimana asas solutif itu berangkat? tentu dari kritis. melihat ketidak sesuaian yang ada di realitas dan tahu mengapa ketidak adilan itu terjadi. maka, jika berangkat dari jiwa kritis, dari sebuah kritik imanen terhadap ketidakadilan, hal solutif itu pun akan semakin solutif dalam arti menyentuh benar pada akar masalah. nah, "daripada jadi orang kritis mending jadi solutif" itu seperti apa bentuknya? apakah dengan "datangi orang-orang kelaparan dan kurang berpendidikan" betul-betul solutif dan menyelesaikan masalah? tentu tidak toh karena bukan disitu akar masalahnya. tapi ini bukan berarti "datangi orang-orang kelaparan dan kurang berpendidikan" itu salah, tentu bukan. tetapi masalahnya adalah "solusi kreatif" yang anda bayangkan tidak akan menyelesaikan masalah itu sendiri. lantas, apakah "demo rusuh dan berkoar-koar di media" menyelesaikan masalah? tentu tidak juga. kami pun tidak sepakat dengan demo rusuh. berkoar-koar di media seperti apa yang kita lakukan dari blog ini? setidaknya berusaha untuk menyemai ide-ide di kalangan masyarakat yang sudah sangat kronis, misalnya yang menganggap "yang penting turun tangan", "yang penting gerak" dll dan menganggap golongan yang "mengkritik" dan menyemai ide sebagai "omdo" dll. padahal, jika mau jujur, mendikotomisasi solusi kreatif dan kritik kebijakan serta mengutamakan "yang penting turun tangan" akan menyelesaikan msalah? tidak.

      berhentilah mendikotomisasi teori dan praktik, kawan :)

      Hapus