Jumat, 13 September 2013

Seribu Vokabuler dan Satu Kamus Asing

Oleh Manshur ‘Tooftolenk’ Zikri

Diterbitkan Pertama Kali di “BukletHapmas”

Pagi ini, pukul 07.00, saya berbincang dengan seorang terman mahasiswa S2 di UGM, Program Studi Cultural Studies, yang kebetulan mampir ke Jakarta, menjadi asisten direktur festival OK. Video tahun 2013. Kira-kira beginilah isi percakapan kami:

“Menurut lu, jika ada sekelompok mahasiswa yang mengaku progresif. Mereka [se]harus[nya] bagaimana?”

“Yaa... mereka melakukan sesuatu yang mempertanyakan nilai-nilai kemapanan,” jawabnya. “atau bertindak di luar pemikiran-pemikiran yang sudah mapan”

“Bagaimana itu suatu aksi yang memiliki agenda sosial-politik?”

“Mereka harus melakukan sesuatu yang benar-benar memiliki dampak secara luas bagi lingkungan masyarakatnya.”

“Dengan apa itu, misalnya?”

“Tentu saja, kalau kita ngomong pada konteks lingkungan mahasiswa, akademis, mereka harus mampu menghadirkan pertarungan-pertarungan gagasan secara terus menerus.”

“Kapan kita bisa melihat pertarungan-pertarungan itu memiliki result?”

“Hasilnya bukan yang utama, gue pikir. Karena itu tidak akan pernah berhenti, terus bertarung dan menghasilkan gagasan-gagasan. Justru prosesnya, yang penting!”

“Yang bagaimana itu, proses yang kita anggap baik jalannya?”

“Selama proses itu ada peningkatan-peningkatan dari capaian-capaian yang diraih sebelumnya, tentu saja.”

“Menurut lu, aksi progresif yang relevan untuk konteks sekarang ini, apa sih?”

“Aksi yang bisa memberikan hal-hal baru, alternatif...!?”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, memberikan produk yang tidak kaku.”

“Bagaimana produk yang tidak kaku itu?”

“Ya, lu bisa lihat bagaimana kondisi sekarang ini: media, anak muda... ada banyak cara, pemanfaatan media, online,gelaran-gelaran kegiatan yang populer. Ya... lu mengerti lah, gak perlu gue jelasin”

(Jalan paling gampang untuk memahami maksud teman saya ini, mungkin mengetik kata ‘media literacy’ di Google atau Wikipedia. Tapi akan lebih baik jika misalnya kita mau melirik buku-buku teori yang berdebu di rak-rak perpustakaan kampus!).

“Bagaimana supaya yang mengaku progresif ini, yang senang dengan diskusi-diskusi itu, tidak terjebak pada... istilahnya kalau di kampus gue, “masturbasi intelektual” begitu?”

“Dengan tidak hanya menjadikan itu sebagai bahan di meja diskusi. Tentunya apa yang mereka lakukan harus memiliki respon baik dan mampu menembus benak-benak publik secara luas”

“Bagaimana caranya?”

“Aksi pemberdayaan masyarakat, memproduksi pengetahuan dan informasi dalam beragam bentuk, membuat akses seluas-luasnya bagi masyarakat, melakukan riset, kajian...”

___

Pada sebuah diskusi, tanggal 28 Agustus 2013 di TIM, saya mendengar pendapat Hikmat Darmawan. Kira-kira kalimatnya seperti ini, “yang menjadi PR bagi kita semua adalah melibatkan publik dalam pertarungan-pertarungan wacana, bukan justru mengeksklusifkan diri.”

___

Agaknya, kita perlu berpikir ulang tentang arah pemikiran dan aksi yang dilakukan mahasiswa sekarang. Saya tak mau menyoalkan secara lebih jauh masalah klasik yang menjadi kendala mahasiswa –contohnya, yang paling sering disebut, ‘kehilangan musuh bersama’ atau terjebak dalam mitos 65 dan 98’ –atau masalah basi, mulai dari euforia mahasiswa baru (maba), hingga ke polemik adanya hegemoni kelompok yang berkuasa di bangku birokrasi kampus (yang sesungguhnya pun, menurut saya, belum sampai di titik apa yang benar-benar dmaksud oleh istilah hegemoni yang sering kita kutip-kutip dari buku-buku kiri-progresif itu). Yang paling mungkin mendesak untuk kita pikirkan kembali ialah memahami dan menegaskan posisi mahasiswa dalam konteks kehidupan manusia di jaman sekarang.

Saya sering berceloteh seraya bertegak pinggang dengan sedikit pongah dan menantang, mengatakan bahwa mahasiswa kita cuma jago kandang. Sedangkan bagi mereka yang memiliki pengaruh cukup penting di lingkungan luar kampus, terkesan begitu pelit atau cuek dengan krisis yang terjadi di dalam kampusnya sendiri. Untuk saat ini, pendapat ini masih saya pegang untuk dipersoalkan,dan tentunya bukan dalam hal sehubungan dengan kegelisahan bahwa kita dijebak oleh mitos-mitos ‘musuh bersama’ atau ‘kejayaan masa lalu’, dan juga bukan karena tak sengaja terjebak, melainkan persoalan utamanya adalah kita secara sukarela menjebakkan diri (membiarkan diri terus berada di dalam jebakan).

Hari gini masih saja berbicara tentang Marxis dan Marxisme, berkoar-koar tentang bahaya kapitalisme dan neoliberalisme, tanpa mau menyadari bahwa kita masih berleha-leha di zona nyaman dan zona aman di tengah-tengah kalibut dan sengkarut tembok represi budaya. Barangkali, kita lupa bahwa apa yang tampak dan apa yang nyata sudah tak ada lagi beda. Sementara pedagang odong-odong dan dangdut keliling sudah melakukan hal paling esensial dari aksi subversif, kita masih saja berkutat pada bagaimana mengartikulasikan argumantasi-argumantasi berbau teoretik. Masalahnya, argumentasi-argumentasi ini tidak berdampak signifikan pada sirkulasi ekonomi, perkembangan sosial, kemajuan budaya, kearifan politik, dan kedewasaan berpikir. Hingga sekarang, saya masih bertanya-tanya, efek dari menghujat Idomaret dan Alfamart yang masih berdiri di stasiun-stasiun kereta api, pada saat demonstrasi penggusuran pedagang beberapa waktu yang lalu, apa? Kok, rasa-rasanya, justru perombakan sistem KRL justru diamini begitu saja dan dinikmati sebagai zona nyaman baru oleh kita, mahasiswa? Dan masih ada banyak kasus yang lain, tentu saja.

Nah, ini dia masalahnya, kan? Apa yang baru yang sudah kita tawarkan untuk publik? Kutipan sana-sini tanpa tafsir kekinian? Lah, jangan-jangan kita sedang tak sadar bahwa kita ini sesungguhnya masih bersandiwara dalam citra-citra; simulakra, atau biar lebih update, sebut saja dunia yang disesaki pemikiran vicky-gotisisme : era yang hidup dengan seribu vokabuler dan satu kamus asing.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar