Senin, 23 September 2013

“Kami Hanya Ingin Keadilan”


Ini merupakan wawancara lama Aris Ikhwanto (Ariza Bhagaskara) dengan ayahanda Yun Hap, Yap Pit Seng (alm.), dan ibundanya, Hu Kim Ngo, pada 2010. Wawancara ini pernah dimuat dalam majalah Mimbar Politik, Edisi 68, tahun 2010. Sekarang ini, Yap Pit Seng sudah meninggal dunia. Ia wafat pada 15 September 2012. Adapun kasus Yun Hap, sama seperti kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Indonesia, masih menggantung sampai saat ini.


Naskah: Aris Ikhwanto

Tanggal 24 September 1999, ribuan mahasiswa dan rakyat melakukan aksi menentang UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB), karena dianggap akan mengembalikan militerisme di Indonesia. Pecah pertempuran antara mahasiswa dan rakyat dengan aparat keamanan. Di Jakarta, 11 orang gugur tertembak dan 217 luka-luka. Di antara yang gugur adalah Yap Yun Hap, mahasiswa Fakultas Teknik UI, yang meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya. Berikut hasil wawancara wartawan Mimbar Politik, Aris Ikhwanto, dengan ayahanda Yun Hap, Yap Pit Seng (62), dan ibundanya, Hu Kim Ngo (59), di kediaman mereka di Jakarta (10/9).

Bisa diceritakan sedikit tentang Yun Hap?

Yun Hap adalah anak yang berprestasi dan sangat membanggakan saya sebagai orang tuanya. Yun Hap sendiri memiliki semangat untuk membela yang lemah dan itu sudah terlihat sejak Yun Hap masih kecil. Dia lahir di Pangkal Pinang pada tanggal 17 Oktober 1977. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Adiknya, Yunyi, kini sudah menyelesaikan pendidikan S2-nya di Universitas Esa Unggul, dan Liana yang sekarang sedang menempuh pendidikan S1 Arsitek di Binus. Yun Hap adalah sosok yang pendiam dan pintar.

Prestasi Yun Hap seperti apa?

Prestasinya luar biasa. Sejak SD sampai SMA selalu meraih peringkat tiga besar. Sewaktu bersekolah di SD Tanjung Duren 08 Petang, Yun Hap, dari kelas satu sampai enam, selalu meraih peringkat di tiga besar, tetapi Yun Hap lebih sering meraih peringkat dua. Ia juga meraih hasil Ebtanas tertinggi. Di SMPN 89, Yun Hap juga terbaik dengan tidak absennya ia dari peringkat tiga besar. Ketika di SMAN 78, hasil Ebtanas Yun Hap terbaik kedua di sekolahnya.

Bagaimana dengan keseharian Yun Hap?

Yun Hap sangat mengerti dengan keadaan orang tuanya yang serba apa adanya. Sewaktu dia masih kecil, dia tidak rewel dan makan apa adanya. Dia juga sering membantu ibunya membuatkan susu kacang. Ketika selesai membantu orang tua, ia lantas bergegas untuk belajar dan membaca buku. Yun Hap sendiri mendapatkan beasiswa untuk sekolah ke Singapura, tapi tidak jadi berangkat karena ketiadaan biaya dari kedua orang tuanya, Tetapi Yun Hap tidak patah arang dan terus berusaha sampai pada akhirnya ia mengikuti tes untuk melanjutkan studinya di Universitas Indonesia.

Kami sebagai orang tua merasa bangga apabila anak kami dapat menjadi anak yang pintar dan sangat respect terhadap orang tua. Yun Hap sendiri lebih senang membela kaum tertindas seperti orang miskin dan masyarakat yang terpinggirkan. Dia bangga jadi rakyat Indonesia keturunan dan lebih memiliki hati untuk membela bangsa pribumi dibandingkan masyarakat pribumi asli. Semangat Yun Hap untuk membela sesama jauh lebih aspiratif dan frontal. Dengan mengumpulkan dana perjuangan dari teman-temannya, Yun Hap menggalang kekuatan untuk hidup dan membantu mengurangi kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat yang terpinggirkan. Semangatnya tidak kunjung padam dan masih saya rasakan sampai saat ini

Bisa diceritakan tentang peristiwa Semanggi II yang menyebabkan gugurnya Yun Hap?

Sewaktu di Trisakti, Yun Hap sudah ikut melakukan demonstrasi di sana. Pihak keamanan pada saat itu menggunakan peluru tajam dan saya lihat selongsong peluru tajamnya. Bohong jika pada saat itu militer menggunakan peluru hampa. Waktu Semanggi I, dia tidak mau ikut karena ada peraturan bahwa jika ingin menurunkan presiden, maka akan digantikan oleh wakil presidennya. Kalau mau menurunkan wakil presidennya juga sangat beresiko, oleh karena itu dia tidak ikut dalam aksi tersebut.

Kala itu ada desakan dari pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk memperlakukan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB, karena peraturannya sudah lunak. Tapi mahasiswa pada saat itu, termasuk Yun Hap, tidak terima adanya kepanjangan tangan rezim Orba.

Pada 23 September 1999, sekitar pukul 18.00 sore, Yun Hap menelpon ke rumahnya, minta izin kepada kami, tidak bisa pulang, karena masih ada di Semanggi. Padahal saat itu, saya menyuruh Yun Hap untuk pulang ke rumah, tapi Yun Hap urung pulang juga. Tanggal 24 september 1999, sekitar pukul 08.00 pagi, Yun Hap kembali menghubungi rumahnya, dan saya kembali menjawab telepon Yun Hap. Saya tanya, kapan kamu pulang? Dia menjawab, iya sebentar lagi saya pulang. Dengan tenang saya tinggal pergi ke kantor.

Tidak lama dari komunikasi tersebut, saya ditelpon dari kantor kalau kantor saya kebobolan dijarah. Saya bingung. Di situlah saya loss contact dengan Yun Hap, karena pikiran saya terbagi dua. Sekitar pukul 23.00 malam, saya mendapat kabar dari seorang mahasiswa UI yang memberitahu ke rumah bahwa Yun Hap telah tiada. Jenazahnya ada di RSCM. Kemudian kami sekeluarga pergi sekitar jam 00.00 malam menuju RSCM. Saya sudah yakin sejak pagi, karena ada kontak bathin antara saya dengan Yun Hap sejak pagi harinya bahwa anak ini akan meninggalkan kami semua.

Kemudian, sekitar jam 02.00 pagi, kami semua terkejut dengan kedatangan beberapa mobil yang mau menculik jenazah anak saya. Untung saja kami masih dilindungi, di mana pada saat itu ada Munir, Edi Sasono dan rekan-rekan pers dan mahasiswa. Jadi mayat anak saya tidak jadi diculik atau dihilangkan pada saat itu, yang tujuannya cuma mengaburkan masalah yang ada. Waktu saya bertemu dengan Wiranto pada saat itu di Gedung DPR, Wiranto sendiri mengakui bahwa pembuktian memang sudah ada. Tapi sampai sekarang penegakan hukumnya mana? Penembaknya adalah anggota ABRI, orang Ambon, katanya sudah diadili, tapi mana? Memang anak saya binatang? Tidak jelas.

Apa anda yakin bahwa kasus Semanggi II akan terungkap?

Tidak yakin, karena Presiden sekarang maupun presiden dari zamannya Megawati, saya lihat kurang tegas dan kurang berani. Karena banyak kepentingan dalam pengungkapan kasus Semanggi II ini. Sebagai awalan, saya diundang makan malam dengan Presiden Megawati dan ia sangat kaget ketika saya duduk satu meja dengan keluarga saya. Tiba-tiba mulut saya tak bisa dikontrol lagi ketika saya bicara tentang pengungkapan kasus semanggi II yang menyebabkan nyawa anak saya melayang. Mega pun menjawab dengan nada rendahnya. Pak, saya turut prihatin dengan keadaan keluarga bapak. Habis bagaimana lagi, saya apa mesti melawan bapak (Taufik Kiemas), apa saya harus lawan ABRI. Tidak harus begitu setiap permasalahan. Kita cari jalan keluarnya ya Pak. Mulai dari situ, saya tidak yakin kalau kasus Semanggi II ini akan diungkap oleh Megawati.

Mungkinkah SBY mengungkap kasus Semanggi II?

Saya tidak yakin, karena presiden SBY adalah presiden yang masih takut. Dia cenderung lemah dalam bersikap, terutama dalam bidang hukum. Tapi dalam bidang ekonomi, saya melihat sudah cukup baik. Sebenarnya kasus ini bisa terungkap asal ada niat dari pemimpinnya.

Apa harapan anda terhadap pengungkapan kasus Semanggi II?

Adapun harapan saya adalah keadilan harus ditegakkan seadil-adilnya. Kita tidak meminta apa-apa, kami hanya ingin keadilan. Katakanlah yang putih itu putih dan yang hitam adalah hitam.

------------------------------------------------------------

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas, tidak
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang meneruskan
Kerja agung jauh hidupmu
Kami tancapkan kata mulia hidup penuh harapan
Suluh dinyalakan dalam malammu
Kami yang meneruskan kepada pelanjut angkatan

(Henriette Roland Holst)

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar