Kamis, 26 September 2013

Tiga Fondasi Marxisme

Oleh Rio Apinino
Sekjen SEMAR UI

Marxisme menjadi desas-desus. Ia dibenci karena alasan yang tidak jelas, juga disuka karena alasan yang sama. Dibenci, karena umum meyakini bahwa marxisme adalah ajaran tentang anti tuhan –ateisme, yang tentu merupakan sebuah dosa, dan disukai, semata karena ajaran ini dilarang negara. Begitulah gambaran kasar tentang marxisme hari ini di Indonesia. Merupakan hal yang sangat naif, tentu. Sementara marxisme dalam gerak sejarah telah membuktikan diri sebagai ilmu pengetahuan yang revolusioner dan menjadi landas gerak berbagai macam revolusi yang pernah terjadi, di tempat lain marxisme masih sebatas gosip. Dan disitulah kita sedang berpijak sekarang. Tentu tempat ini harus diberikan lampu, atau minimal obor, agar marxisme tidak berada di ruang gelap dan menjadi terang dan jelas –sejelas-jelasnya.


Marxisme, secara garis besar bersumber dari 3 buah pemikiran manusia terbesar abad ke-19 –filsafat Jerman, ekonomi-politik Inggris, dan sosialisme Perancis. Sebelum beranjak pada hal yang lebih dalam mengenai marxisme, maka merupakan pendahuluan yang baik untuk mempelajari ketiga fondasi marxisme tersebut secara ringkas.

Filsafat Jerman

Filsafat marxisme adalah materialisme dialektika. Materialisme, adalah aliran filsafat yang meyakini ihwal indrawi sebagai hakikat. Kebalikan dari itu, idealisme, merupakan aliran filsafat yang meyakini ide sebagai hakikat, dan objek indrawi merupakan cerminan dari ide tersebut. Materialisme sendiri bukanlah sesuatu yang orisinil berasal dari Marx. Aliran ini ada bahkan sejak zaman Yunani Kuno ketika para filsuf mencoba mendefinisikan dunia. Materialisme sendiri diambil Marx dari seorang filsuf materialis lainnya, Ludwig Feuerbach. Materialisme Feuerbach merupakan materialisme yang menekankan pada sentralisme objek, dalam artian berhenti pada primasi dari materi sebagai esensi realitas dan menegasikan peran subjek-manusia dalam mengkonstitusikan objek-indrawi itu sendiri. Sebagaimana menurut Engels,

“Materialisme abad yang lampau adalah terutama mekanis ... Seperti hewan bagi Descartes, begitu juga manusia bagi kaum materialis abad ke-18 adalah suatu mesin. Penerapan secara eksklusif norma-norma mekanika ini pada proses-proses yang bersifat kimiawi dan organik - yang di dalamnya hukum-hukum mekanika memang berlaku tetapi didesak ke belakang oleh hukum-hukum lain yang lebih tinggi –merupakan keterbatasan khusus yang pertama tapi yang pada waktu itu tak terhindarkan dari materialisme klasik”[1]

Apa yang dilakukan Marx terhadap materialisme Feuerbach adalah sebuah koreksi besar-besaran. Jika Feuerbach menekankan pada sentralisasi objek dan sifatnya yang mekanik, maka Marx memberikan definisi baru terhadap materialisme. Sentralisasi pada objek dibalikkan oleh Marx dengan menunjukkan peran sentral subjek-manusia dalam mengkondisikan objek-indrawi. Sebagaimana penjelasan Marx dalam Tesis tentang Feuerbach,

“Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat ini—termasuk juga Feuerbach—adalah bahwa benda [Gegenstand], realitas, keindrawian, dimengerti hanya dalam bentuk obyek [Objekt] atau kontemplasi [Anschauung], tetapi tidak sebagai aktivitas indrawi manusia, praktik, [atau dengan kata lain] tidak secara subyektif”[2]

Dengan menekankan pada sentralitas subjek-manusia (sehingga materialisme ini disebut juga materialisme subjektif), maka materialisme Marx berkonsekuensi logis dalam konteks pembacaan terhadap realitas. Apa yang ada, objek inderawi, tidak lain merupakan hasil dari aktivitas, laku, kerja, dari subjek manusia dan tidak ada yang murni terjadi secara alami.

Selain merevisi total materialisme Feuerbach, Marx juga mengembangkan filsafat yang lebih tinggi kualitasnya. Dalam “membaca” materialisme, Marx menggunakan dialektika Hegel, seorang filsuf besar Jerman, yang pemikirannya telah “diletakkan diatas kaki-nya sendiri”. Dengan merekatkan dialektika dalam alam materialisme, Marx menunjukkan bahwa realitas selalu berada dalam kondisi yang selalu berubah/tidak statis. Hal ini (perubahan yang terus menerus) terjabarkan dalam beberapa karya Marx dan Engels seperti Manifesto Partai Komunis yang menunjukkan sejarah perkembangan umat manusia yang selalu diawali dengan dengan perubahan yang terjadi di basis (faktor ekonomi) sehingga mempengaruhi faktor suprastruktur (politik, hukum, dan faktor non-ekonomi lain).   

Ekonomi Politik Inggris

Sepanjang sejarahnya, pemikiran Marx secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian: Marx muda dan Marx tua. Pembabakan ini, bagi Althusser, seorang filsuf marxis, didasari atas problem spesifik yang dipersoalkan oleh Marx[3]. Althusser membagi sejarah pemikiran Marx kedalam dua periode utama: periode “ideologis” dan periode “saintifik”. Term “ideologi” mengacu pada pemikiran Marx yang masih berkubang dalam medan problematik idealisme Jerman dan term “saintifik” digunakan Althusser untuk menunjukkan periode ketika Marx telah berhasil merumuskan problem spesifiknya sendiri lepas dari problematik idealisme Jerman[4]. Dan problem spesifik yang dimaksud adalah kritik Marx terhadap ekonomi-politik kapitalisme.

Ekonomi-politik klasik sebelum Marx berkembang di negeri dimana muncul revolusi industri sekaligus negara kapitalis yang paling maju: Inggris. Ekonom-ekonom yang mempengaruhi pemikiran Marx dalam bidang ekonomi-politik diantaranya adalah Adam Smith dan David Ricardo. Pengujian Marx terhadap teori ekonomi klasik mereka, dan dikritik dengan sangat tajam dan ilmiah, terdapat dalam magnum opus-nya, Das kapital.

Salah satu tesis utama dalam Das kapital adalah teori Marx tentang ‘nilai lebih’ yang merupakan asal keuntungan kelas kapitalis. Jika para ekonom borjuasi seperti Smith dan Ricardo berkesimpulan bahwa sumber keuntungan dari para kapitalis didapat dari proses pertukaran (misal, si kapitalis x memiliki barang a yang seharga 100 dan dia menjualnya seharga 110, maka si kapitalis x mendapat keuntungan 10 dari penjualan barang a), Marx justru melihat sumber keuntungan para kapitalis terdapat dalam proses produksi. Penentangan Marx terhadap logika ekonom klasik tersebut berdasarkan pada logika bahwa setiap produsen adalah juga pembeli dan setiap pembeli adalah juga penjual. Jika seorang penjual bisa menjual barang di atas biaya produksinya, maka penjual lain juga bisa melakukan hal yang sama. Kalau semua penjual melakukan hal yang sama, maka semua orang akan menemukan penjualan dan pembelian barang di atas biaya produksinya, sehingga nyaris dalam proses pertukaran tidak akan ada yang mendapatkan keuntungan. Marx justru melihat keuntungan yang diperoleh para kapitalis berasal dari proses produksi. Dalam proses produksi sebuah komoditas, buruh, yang dalam sistem ekonomi-kapitalisme hanyalah menjadi salah-satu dari faktor produksi selain mesin dan bahan baku, menghasilkan nilai lebih terhadap komoditas yang mereka ciptakan. Nilai lebih inilah yang menjadi keuntungan dari para kapitalis. Sementara nilai lebih diambil kapitalis sebagai keuntungan, buruh hanya mendapat upah agar Ia mampu untuk bekerja lagi di keesokan harinya dan melakukan reproduksi calon buruh baru. Basis keuntungan dari kapitalis, dengan demikian, adalah eksploitasi terhadap buruh.

Selain teori nilai lebih, dalam Das Kapital, Marx juga menjelaskan bahwa hukum dasar dari kapitalisme adalah persaingan dan untuk itu si kapitalis harus terus menerus melakukan akumulasi kapital. Jika si kapitalis tidak melakukan akumulasi kapital, Ia akan dikalahkan dengan kapitalis yang lain. Sebagaimana dijelaskan Marx,

“Kebutuhan untuk senantiasa memperluas pasar bagi barang-barang hasil produksi merupakan dorongan dikalangan borjuis untuk merangkul muka bumi dengan barang-barangnya. Ia harus berada di mana-mana, bertempat di mana-mana, menjalin hubungan-hubungan di mana-mana”[5]

Sistem kapitalisme yang semakin kompleks mengharuskan produksi komoditas sendiri menjadi semakin sosial/memasyarakat –ratusan, bahkan jutaan buruh semakin terikat dalam suatu organisme ekonomi reguler tapi sebagian besar hasil produksi yang dilakukan secara kolektif tersebut dirampas oleh segelintir kapitalis. Proletariatisasi merupakan kondisi objektif yang telah diprediksi oleh Marx dari perkembangan kapitalisme. Adanya kapitalisme, adalah karena adanya kepemilikan segelintir individu terhadap faktor produksi sedangkan mayoritas yang lain hanya mampu memberikan tenaga kerjanya sebagai syarat agar mereka tetap hidup. Sistem yang eksploitatif inilah yang kemudian memunculkan gagasan-gagasan lain sebagai alternatif dari kapitalisme.

Sosialisme Perancis

Setelah kapitalisme lahir dari rahim masyarakat feodal, saat itu pula terlihat bahwa sistem ekonomi-politik kapitalisme merupakan sistem yang eksploitatif. Kemudian, berbagai doktrin sosialis bermunculan sebagai antitesa terhadap kapitalisme yang salah satu pusatnya berada di Perancis.

Mengapa disebut utopis? Menurut Lenin,

“Sosialisme utopis tidak memberikan solusi nyata. Ia tak dapat menjelaskan watak sebenarnya dari perbudakan-upah dalam sistem kapitalisme. Ia tak mampu mengungkapkan, tak mampu membongkar, hukum-hukum perkembangan kapitalis sehingga ia pun tak mampu menunjukkan kekuatan sosial apa yang sanggup mendirikan suatu masyarakat yang baru”[6]

Memang, para tokoh sosialisme utopis seperti Saint-Simon, Robert Owen dan Fourier melakukan eksperimen sosialisme hanya didasari atas keprihatinan terhadap kapitalisme yang eksploitatif dan tidak mensejahterakan para buruh. Mereka, dalam tujuannya untuk mensejahterakan para buruh, banyak melakukan eksperimen seperti membuat koloni-koloni buruh namun dengan minus perjuangan politik. Meskipun eksperimen ini gagal, perlu diingat, para sosialis utopis tersebut hidup di zaman ketika borjuasi dan proletariat belum menunjukkan kontradiksi yang nyata, kesadaran politik buruh yang belum tumbuh, dan industri modern yang baru berada di Inggris saja. Dan disinilah tepatnya peran Marx. Marxisme ada untuk “mengilmiahkan” sosialisme yang telah dirintis oleh para pemikir sosialisme utopis sebelumnya.

Untuk bisa menemukan kemungkinan mewujudkan sosialisme pada kenyataan kapitalisme, diperlukan analisa atas kontradiksi internal kapitalisme dan kemungkinan pelampauannya[7]. Disinilah kita akan berputar kembali kepada filsafat marxis –materialisme dialektis. Dengan materialisme dialektis, maka pelampauan atas kapitalisme adalah mungkin, dan syarat untuk itu ada di dalam kapitalisme sendiri, yaitu menjadikan kelas proletariat sebagai kelas yang revolusioner. Karena kapitalisme adalah sistem yang menempatkan segelintir orang sebagai pemilik alat produksi dan sebagian besar yang lain hanya bisa memberikan tenaga kerjanya saja, maka tujuan dari sosialisme adalah mentransformasikan alat produksi yang dimiliki segelintir orang itu menjadi milik sosial/bersama. Hanyalah proletariat yang sanggup menuntaskan revolusi ini karena mereka yang berkontradiksi sekaligus memiliki relasi saling mensyaratkan dengan kapital. Kapitalisme tidak akan ada tanpa menghisap nilai lebih yang dihasilkan para proletar, dan proletar pun akan berhenti menjadi proletar ketika tidak ada kapitalisme.

___


Kaum proletar tidak akan kehilangan suatu apapun kecuali belenggu mereka. Mereka akan menguasai dunia. Kaum buruh (dan calon buruh) sedunia, bersatulah!”

***


[1] Friedrich Engels. Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman. [internet]. Diambil dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1886/ludwig-feuerbach/
[3] Martin Suryajaya. Alain Badiou dan masa Depan Marxisme. Yogyakarta: Resist Book (2011). Hlm 46.
[4] Ibid. hlm 47
[5] Karl Marx dan Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis. [internet]. https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/index.htm  
[6] V. I. Lenin. Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme. Jurnal Prosveshcheniye (Pencerahan) No. 3 Tahun 1913
[7] Mohamad Zaki Hussein. Sosialisme Ilmiah. [internet]. http://indoprogress.com/lbr/?p=1297

Tidak ada komentar:

Posting Komentar