Oleh Alldo Fellix Januardy
Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur
Mahasiswa 2013
Universitas Negeri adalah ‘kampus milik rakyat’. Jargon
kerakyatan yang menempatkan pendidikan sebagai hak untuk setiap warga Negara
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 mungkin saat ini terdengar sebagai
jargon yang klise. Biaya kuliah semakin mahal. Universitas Negeri kini tak lagi
terjangkau oleh rakyat kebanyakan dan malah digerogoti korupsi.
Beberapa waktu lalu kita lihat di berbagai media, terdapat
aksi mahasiswa di salah satu universitas ternama yang rela ‘menjual ginjalnya’
untuk membayar biaya pendidikan dan peristiwa tersebut bukan kali pertama.
Dalam kurun waktu tahun 2012 sampai tahun 2013 setidaknya berita-berita
mengenai mahasiswa yang tidak mampu membayar uang kuliah mewarnai media massa,
itupun belum menggenapi berita-berita yang tidak tersorot media namun lazim
terjadi di kebanyakan Universitas Negeri. Ada apa?
Penyebab Tingginya
Biaya Kuliah
Perdebatan mengenai bagaimana seharusnya Universitas Negeri dikelola
dimulai sejak era reformasi. Setelah bertahun-tahun menjadi ‘kampus rakyat’ dan
berhasil meluluskan ribuan anak nelayan hingga petani karena mendapatkan
bantuan mayoritas dari pemerintah, Universitas Negeri mulai dirasa pemerintah
mampu untuk mengelola institusinya masing-masing.
Pada tahun 2000, pemerintah memberlakukan berbagai Peraturan
Pemerintah yang mengubah status beberapa Universitas Negeri menjadi Badan Hukum
Milik Negara (BHMN) dan memberikannya otonomi pengelolaan keuangan. Ide ini
dipertahankan hingga dikukuhkan ke dalam bentuk Undang-Undang pada tahun 2009
melalui Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Undang-Undang ini rupanya dianggap sebagai ‘durian runtuh’
oleh berbagai Universitas Negeri. Universitas semakin kreatif di dalam
mengelola infrastrukturnya. Proyek-proyek yang tadinya tidak mendapatkan izin
untuk dilangsungkan oleh pemerintah karena tidak diprioritaskan dalam anggaran
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dilangsungkan oleh berbagai Universitas
Negeri karena hanya memerlukan izin dari organ internal universitas.
Kebebasan pengelolaan keuangan yang diberikan pemerintah
kepada Universitas Negeri ternyata menjadi bumerang. Pemerintah lupa bahwa
Universitas Negeri selama ini dikelola dengan sebagian besar hibah dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga tidak memiliki kemampuan
untuk menghasilkan dana secara mandiri dalam skala yang besar. Ketika wewenang
pengelolaan diberikan, kampus-kampus yang selama ini mengalami ‘diet’ anggaran
dari pemerintah sehingga sulit membangun proyek-proyek infrastruktur mulai
mengekspansi dirinya secara kreatif; dan berlebihan.
Dengan diberlakukannya berbagai peraturan perundang-undangan
di atas, pengembangan universitas berubah dari institusi keilmuan menjadi
institusi tempat munculnya proyek-proyek baru yang seringkali tidak relevan
dengan kebutuhan prioritas dari stakeholder sebuah universitas, terutama
mahasiswa. Universitas turut lupa bahwa ia adalah kawah candradimuka ilmu
pengetahuan, bukan lahan subur untuk membangun proyek-proyek mercusuar; yang
kemudian malah dikorupsi.
Darimana seluruh dana untuk membangun proyek-proyek
mercusuar tersebut? Kebanyakan masih bersumber dari APBN dan hibah dari pihak
swasta. Namun, pemerintah dan Universitas Negeri tidak mengkalkulasi biaya
pengelolaan rutin yang juga akan meningkat
dari bertambahnya proyek-proyek infrastruktur tersebut. Universitas
‘dilanda’ beban yang membengkak untuk membayar biaya rutin mulai dari
penggunaan listrik, air, tenaga kebersihan dan berbagai fasilitas baru dari
proyek-proyek yang ada.
Kepada siapa biaya sebesar itu dikorbankan? Mahasiswa.
Ironisnya, pembebanan biaya pengelolaan yang membengkak kepada mahasiswa ini
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Biaya kuliah Universitas Negeri pun
secara pasti dari tahun ke tahun naik drastis. Kuliah semakin mahal.
Universitas Negeritidak lagi aksesibel bagi masyarakat yang berasal dari
kalangan ekonomi lemah.
Antisipasi Yang Tak
Diindahkan
Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor 11-14-21-126
dan 136/PII-VII/2009 tentang Judicial Review Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan sebenarnya telah mencoba mengantisipasi semakin mahalnya biaya
pendidikan dengan mengetuk palu pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
pada tahun 2010, di dalam kutipan putusannya terdapat pernyataan,” … dalam keadaan tidak adanya kepastian
sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan
adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di
luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak
langsung membebani peserta didik.”
Mahkamah Konstitusi sudah memperingatkan bahwa otonomi
pengelolaan keuangan bukan solusi untuk universitas Negeri. Pemerintah dan
Universitas Negeri harus segera melakukan perombakan paradigma penyelenggaraan
pendidikan secara besar-besaran. Jika pola yang telah terbukti ‘menggugurkan’
kesempatan banyak mahasiswa untuk mendapatkan haknya mengenyam pendidikan terus
diulang, maka kuliah akan semakin jadi ‘barang mahal’ yang hanya mampu ‘dibeli’
oleh sebagian masyarakat. Indonesia sedang lari dari cita-cita pendidikannya.
Mengubah Paradigma
Pendidikan adalah hak. Milik publik. Milik setiap Warga
Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dengan menyadari hal ini, maka pertanyaan
klasik yang membenturkan antara aksesibilitas dan kualitas dari institusi
pendidikan dengan sendirinya telah menjawab prioritas mana yang wajib
didahulukan. Meski, menurut hemat penulis, keduanya tak saling bertentangan dan
tak perlu selalu dibenturkan. Syaratnya, Universitas Negeri harus terus
mengevaluasi dan mengukur diri.
Salah kaprah pengelolaan dari berbagai universitas yang
mengakibatkan tingginya biaya kuliah terjadi karena Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan bersama dengan organ internal pengelola Universitas Negeri lalai
menangkap kebutuhan utama dari berbagai pemangku kepentingan universitas
sehingga merusak ritme prioritas pembangunan infrastruktur universitas.
Universitas Negeri di seluruh Indonesia juga punya potensi
yang selama ini belum dikembangkan, yaitu riset dan ventura. Riset di mayoritas
universitas di Indonesia malah terhitung sebagai beban, menunggu bantuan dari
hibah donor dan pemerintah, bukannya sumber pendapatan potensial yang
sebenarnya bisa didapat dari kerjasama dengan industri. Ventura Universitas
Negeri juga tidak dikelola secara profesional sehingga kapasitas pendanaannya
terus turun setiap tahunnya. Jika mengelola dua hal mendasar ini saja
Universitas Negeri tidak becus, apakah mereka layak menyebut dirinya sebagai
universitas yang otonom? Apakah mereka layak bersaing dengan pusat-pusat
keilmuan di Eropa dan Amerika? Saya rasa jawabannya adalah tidak.
Pengelola universitas harus menyadari bahwa tingginya biaya
pengelolaan akibat pembangunan yang tak terkontrol, tidak boleh serta merta
dibebankan kepada mahasiswa semata melalui berbagai pembukaan program-program
pendidikan dan peningkatan biaya kuliah. Hal ini penting untuk menjaga kualitas
Universitas Negeri agar tetap dalam performa terbaik dengan jumlah mahasiswa
yang proporsional dan tidak melalaikan tanggung jawab mereka untuk menyaring
mahasiswa yang memiliki kekurangan dari sisi finansial.
Bukan Lagi Soal
Ideologi
Universitas Negeri yang tidak lagi aksesibel bagi masyarakat
kurang mampu adalah masalah besar. Apapun ideologi kita, kuliah mahal adalah
fakta dan merupakan masalah. Apapun ideologi kita, mismanajemen Universitas
Negeri adalah fakta dan merupakan masalah. Apapun ideologi kita, mahasiswa kurang
mampu setiap tahunnya ada yang drop out
karena masalah finansial adalah fakta dan merupakan masalah. Lewat perspektif
mana lagi kita harus berdebat jika masalahnya ternyata di depan mata dan tak
perlu lagi memerlukan perdebatan?
Ditambah, Universitas Negeri yang harusnya menjadi institusi
terpercaya juga terus mengalami demoralisasi. Korupsi ‘masuk´ kampus. Insan
akademis yang berkontribusi di bidang publik pun satu persatu jadi tersangka
korupsi. Pertanyaannya, masihkah memerlukan perdebatan ideologis untuk
menentukan apakah korupsi oleh institusi akademik adalah kesalahan yang
memalukan atau bukan?
Mengubah visi dan paradigma pengelolaan universitas adalah
kunci. Dunia pendidikan Indonesia, harus duduk tenang dan berpikir ulang untuk
menjawab pertanyaan,”Universitas Negeri untuk rakyat yang mana?”
Jika itu tidak mau dimulai, mari ucapkan selamat tinggal
kepada pendidikan terjangkau. Mari ucapkan selamat tinggal kepada ‘kampus
rakyat’.
..
Education for all.
Semoga kalimat ini bukan mimpi.
____
Penulis menerima kritik dan saran yang dapat disampaikan
melalui e-mail pribadi: alldofjanuardy@live.com atau akun twitter: @alldofj.
Thanks ya sob udah share .......................
BalasHapusbisnistiket.co.id