Oleh Rio Apinino, Sekjend SEMAR UI
Sebuah tanggapan
untuk tulisan “Mengawal Pemilu Dengan Bijak: Melihat Kembali Peran BEM UI”[1]
Salah satu
hal yang hilang dalam gerakan mahasiswa saat ini adalah hampir tidak adanya
perdebatan yang serius, yang mencakup perdebatan ideologis dan substantif
tentang visi gerakan mahasiswa. Miskinnya perdebatan tersebut, sedikit banyak
mempengaruhi stagnansi dari gerakan mahasiswa itu sendiri. Tentu, selain
daripada hilangnya tradisi perdebatan, masih banyak hal lain yang bisa ditunjuk
untuk menjadi tersangka dalam tidak signifikannya gerakan mahasiswa dewasa ini.
Dengan demikian, jika gerakan mahasiswa masih berharap pada masa depan mereka
yang lebih baik, setidaknya tradisi perdebatan harus dimulai kembali, selain
daripada pekerjaan rumah lain yang juga harus secara paralel dilakukan.
Perihal
debat-mendebat, beberapa hari lalu saya menulis tentang advokasi pemilu yang
dilakukan oleh banyak organsiasi gerakan mahasiswa, termasuk BEM UI. Dalam
tulisan tersebut, saya berargumen bahwa isu pemilu yang dibawa oleh BEM UI
tahun ini adalah tidak penting dan merupakan bukti ketiadaan visi gerakan
mahasiswa yang galau dengan posisinya sendiri. Argumennya, dengan kenyataan
bahwa gerakan mahasiswa semakin kehilangan signifikansinya, mau tidak mau
pengawalan terhadap pemilu adalah isu yang sangat “menjual” untuk menunjukkan
bahwa gerakan mahasiswa masih eksis. Bahasa sarkasnya, gerakan yang genit-genitan.
Selang
beberapa hari, saya menemukan sebuah link
yang berisi kajian dari BEM UI yang sedikit banyak berisi tentang opini
tandingan terhadap tulisan tersebut, meskipun tidak ditujukan secara langsung. Dalam
tulisan tersebut, setidaknya ada beberapa poin penting yang dapat dianalisa
lebih jauh dan dapat menjawab apakah gerakan yang BEM UI lakukan tersebut
memang signifikan, memiliki visi dan tidak genit-genitan, ataukah justru
sebaliknya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi hal tersebut.
Analisis yang Naif
Isu advokasi
pemilu, sebagaimana tulisan dari BEM UI, didaku bukan sekadar gerakan
anti-golput saja melainkan juga gerakan partisipasi pemilih cerdas dalam
pemilu. Sederhananya, gerakan yang bertujuan untuk mengkampanyekan masyarakat
untuk memilih para wakil rakyat yang tidak abal-abal,
yang benar-benar murni bertujuan mengabdi untuk rakyat. Caranya? Menyerahkan
kembali kepada masyarakat untuk mencari secara mandiri track record dan program orang-orang yang akan duduk di parlemen
kelak. Bagi mereka, parlemen yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya terjadi
karena parlemen tersebut diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten dan
berdedikasi murni untuk kemaslahatan bersama sehingga terjadi diskoneksi antara
rakyat dan wakil rakyat. Maka, jawaban dari keterputusan tersebut, tidak lain
adalah benar-benar memberikan suara kepada orang-orang yang tepat.
Pandangan
demikian, bagi saya, adalah pandangan moralis nan naif dan tidak
memperhitungkan struktur kuasa yang terjadi di dalamnya. Apakah dengan diisi
oleh orang-orang baik, memiliki track record yang baik, sholeh dan rajin mengaji secara otomatis para wakil rakyat tidak
korup? Tidak tidur ketika rapat? Tidak menonton film porno? Dalam analisanya,
BEM UI terlalu mengedepankan sentimen
naif nan moralis sehingga menitikberatkan pada faktor individu atau agensi
semata. Padahal, agensi tidak bisa dilepaskan dari struktur dimana agensi
tersebut berada. Faktor agensi tersebut juga menjadi analisa dominan gerakan
mahasiswa dalam membaca berbagai hal. Korupsi misalnya, analisis akan berakhir
pada dakwaan bahwa sang koruptor adalah seorang yang tidak bermoral. Padahal,
ada prakondisi struktural yang dapat menjadikan agensi tersebut melakukan
korupsi dan hal-hal yang tidak dikehendaki lainnya. Dengan mengedepankan
sentimen moral nan naif, gerakan mahasiswa tidak akan kemana-mana selain
mengutuki kegelapan dengan khotbah-khotbah agamis.
Kemudian,
BEM UI juga berargumen bahwa memang sedang terjadi disfungsi demokrasi di
Indonesia, yang dalam konteks pemilu, membuat golongan putih semakin
berlipat. Hal ini, menurut mereka,
adalah karena institusi politik yang tidak menjalankan fungsinya dengan benar. Institusi
politik yang dimaksud oleh BEM UI terutama merujuk pada partai politik yang
berkontestasi dalam pemilu saat ini tidak menjalankan fungsinya di masyarakat. Hal
itu memang benar adanya, bahwa partai-partai politik tersebut memang tidak
menjalankan fungsinya di masyarakat. Mengapa? Hal in idak lain karena raison d’tre dari partai-partai politik
tersebut adalah untuk kepentingan segelintir pemodal, bukan sebagai agregasi
kepentingan publik. Maka, kalaupun partai politik yang berkontestasi tersebut
tidak menjalankan fungsinya di masyarakat, hal tersebut wajar adanya karena
memang bukan diciptakan untuk itu.
Maka dari
itu, dalam menganalisis golput kita tidak bisa melakukannya secara naif. Golput
sendiri bukan hanya terdiri dari mereka yang memiliki “tingkat kesadaran yang
rendah” sebagaimana yang dijelaskan oleh BEM UI. Tetapi juga justru terdiri
dari mereka yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi yang menyadari bahwa
parpol yang berkontestasi dalam pemilu saat ini adalah parpol yang hanya
merepresentasikan kepentingan para pemilik modal. Menjawab pertanyaan itu,
tidak cukup mengkampanyekan suaraku penting dengan “ayo memilih secara rasional”.
Berhentilah
untuk secara naif menganggap bahwa institusi politik seperti partai politik,
atau negara sekalipun, adalah representasi dan berdiri di atas semua golongan masyarakat.
Mulailah melihat bahwa institusi politik yang ada, bagaimanapun, adalah
kepanjangan tangan kelas yang berkuasa dalam masyarakat. Siapakah kelas yang
berkuasa dalam sistem kapitalisme saat ini? ya pemiliki modal itu!
Janganlah
menjadi seorang yang anakronistik, ahistoris, dan naif serta menutup mata atas sejarah,
terutama apa yang terjadi pasca reformasi –karena bagaimanapun pemilu
“demokratis” mulai dilakukan pada zaman itu. Berbagai macam regulasi yang ada,
nyatanya, adalah cerminan dari kepentingan para pemilik modal untuk melakukan
akumulasi kapital. Sebutlah beberapa Undang-Undang yang dibuat pada era pasca
reformasi: UU Ketenagakerjaan, UU Minerba, UU Penanaman Modal, atau UU
Pendidikan Tinggi yang kita tentang habis-habisan selama ini. Untuk siapah
semua regulasi itu? untuk seluruh rakyat Indonesia, kah? Tentu tidak.
Kenyataan
inilah yang membuat saya mengatakan bahwa tugas rakyat di era neoliberal saat
ini adalah merebut demokrasi –demokrasi sejati, tentu, dari tangan segelintir
elit dan para pemilik modal. Demokrasi yang saya maksud tentu untuk melawan
demokrasi pasar, persis seperti apa yang kalian, para mahasiswa botolan,
katakan: jangan golput! Jadilah pemilih rasional! Persis disini pula, bagi saya
muaranya, kalaupun gerakan mahasiswa harus membawa isu pemilu sebagai isu yang
diperjuangkan. Katakan dengan lantang bahwa demokrasi kita sedang dibajak para
pemilik modal, katakan dengan lantang bahwa satu-satunya jalan adalah menegakkan
kekuatan rakyat sejati. Kekuatan yang berasal dari rakyat itu sendiri, kekuatan
dari para petani, buruh, nelayan, rakyat miskin kota yang dimiskinkan oleh
demokrasi pasar. Katakan dengan lantang bahwa satu-satunya jalan menuju
demokrasi sejati adalah mengubah corak produksi kapitalisme menjadi corak
produksi yang lebih baik dari itu.
Benar adanya
bahwa pemilu adalah prakondisi menuju pemerintahan yang lebih baik lagi.
Tetapi, prasyarat untuk hal itu terwujud adalah, adanya kekuatan rakyat yang
terorganisir dan merebut negara untuk mengubah kapitalisme. Selama belum adanya
kekuatan rakyat yang terorganisir dalam corak yang politis tersebut, janganlah
berharap pada partai politik borjuis yang ada, apalagi sampai terjebak pada
slogan-slogan cantik nan menggiurkan dari para politisi tersebut.
Sekali Lagi, Tidak Adanya Visi Gerakan!
BEM UI menyakini
bahwa partisipasi adalah jantung demokrasi. Sayapun mengamini hal itu. Kemudian,
BEM UI juga menyadari bahwa, meskipun partisipasi yang dimaksud adalah
partisipasi yang lebih luas, tetapi ikut serta dalam pemilu (dan juga tetap
menjadi rasional) adalah bagian kecil dari partisipasi itu. Sebenarnya, disini
BEM UI telah sedikit menemukan clue
kemana seharusnya gerakan mahasiswa dibawa: partisipasi rakyat. Sayangnya,
mereka tidak bisa menyelam lebih dalam selain daripada berhenti pada advokasi
pemilu dengan slogan-slogannya tersebut.
Meskipun BEM
UI menyadari bahwa partisipasi rakyat dalam politik keseharian adalah jantung
dari demokrasi, tetapi mereka tidak mengargumentasikan lebih lanjut apa yang
dimaksud “partisipasi politik secara luas” itu. Bagi saya sendiri, partisipasi
politik lebih luas tercermin melalui perjuangan kelas, yaitu perjuangan kelas
tertindas melawan kelas penindas yang menguasai demokrasi yang sedari tadi kita
bahas. Partisipasi politik tercermin melalui perlawanan buruh melawan upah
murah, outsourcing, kerja kontrak
dari para kapitalis yang dilindungi negara. Partisipasi politik tercermin
melalui perlawanan petani yang tanahnya diambil alih paksa, yang ditembaki oleh
para tentara yang dibayar perusahaan sedangkan para politisi Senayan diam saja
(tak tahu hal ini, kawan? Tidak semua diberitakan media-media besar yang
dimiliki segelintir pemodal itu, memang). Partisipasi politik tercermin melalui
para nelayan yang beberapa bulan lalu berdemonstrasi di Istana Negara karena
solar untuk perahu mereka dinaikkan lebih dari 50 persen oleh sebuah Peraturan
Presiden tetapi diacuhkan sama sekali. Inilah partisipasi politik sejati.
Inilah partisipasi politik rakyat, partisipasi politik untuk mewalan demokrasi
pasar, demokrasi yang digunakan segelintir elit untuk bebas berekspansi
dimanapun, kapanpun.
Dengan
agumentasi tersebut, saya harus bertanya, dimanakah BEM UI ketika rakyat yang sering
diklaim oleh kalian mencoba berpartisipasi lebih luas dalam alam demokrasi ini?
Pada dasarnya,
BEM UI, melalui tulisannya itu, tidak bisa membaca arah golput dan pemahaman
yang minim mengenai demokrasi yang dibajak oleh elit-elit dan para pemilik
modal. Argumen BEM UI, terutama yang berkaitan dengan gerakan hastag,
menunjukkan argumen yang sungguh naif dan berusaha se-innocent mungkin. Wajar saja, rujukan dalam tulisan itu adalah
Verba, seorang ilmuwan politik tahun 60-an yang teorinya sudah tidak dapat
dipertahankan lagi, termasuk ditangan Laclau-Mouffe.
Mengawal
pemilu adalah gerakan yang sungguh naif. Kembali lagi, dengan apa yang mereka
lakukan, sejatinya mereka hanyalah sedang menjalankan fungsi-fungsi institusi
negara lain yang berkaitan dengan pemilu seperti KPU dan Bawaslu. Dengan itu,
maka gerakan mahasiswa justru akan selalu mungkin untuk bersifat permisif atas
segala kebobrokan yang ada dalam sistem saat ini. Nyalakanlah lilin daripada mengutuki kegelapan, mungkin slogan
tersebut yang tepat untuk menggambarkan masa depan gerakan mahasiswa.
Diantara
poin penting yang coba saya paparkan dalam tulisan yang pertama, yang tidak
saya temukan dalam tulisan BEM UI itu, adalah pertanyaan mengenai imajinasi
gerakan yang dibayangkan. Suara ku penting, memang benar. Dalam sejarah,
gerakan perempuan pertama yang ada di Amerika Serikat juga memperjuangkan agar perempuan
memiliki hak suara selain melawan perbudakan. Pertanyaan kemudian adalah, penting untuk siapa? Jika mengikuti
argumen naif dari BEM UI, maka suara ku penting adalah untuk diriku sendiri. Seakan,
ketika kita menjadi pemilih rasional, maka prakondisi untuk situasi yang lebih
adil telah terpenuhi. Padahal, sebagaimana yang telah saya paparkan, tidak bisa
melepaskan faktor agensi dari struktur dimana agensi tersebut berada. Dalam
konteks neoliberal, yang penting hanyalah partisipasi secara kuantitatif karena menjadi sumber
legitimasi kekuasaan yang akan terbangun setelahnya. Partisipasi politik secara
kualitatif, yang secara riil terjadi melalui perjuangan rakyat tertindas,
justru diredam sebisa mungkin melalui semua mekanisme yang ada seperti aparat
represif dan aparat ideologis seperti media massa dan institusi pendidikan.
Penutup
Menegaskan
pernyataan awal, bagi saya, membawa isu pemilu, terutama kampanye anti-golput
dan memilih secara rasional untuk diadvokasi adalah hal yang tidak perlu dan
hanya gerakan yang genit-genitan
saja. Kalaupun kita bersepakat bahwa ada problem dalam partisipasi rakyat, maka
jawaban dari problem tersebut tidak lain adalah bergeraklah secara organis dengan gerakan rakyat lain untuk merebut
demokrasi yang telah dibajak ini. Mulailah untuk melirik dan menganalisa
isu-isu yang memang berhubungan langsung dengan keseharian rakyat seperti
perampasan lahan petani untuk korporasi atau sistem kerja yang hanya
menjanjikan ketidakpastian masa depan sama sekali, bukan justru berkampanye
untuk menjadi pemilih rasional (baca: menggantungkan nasib kepada para politisi
borjuis). Sudah terlalu lama gerakan mahasiswa asyik sendiri di menara gading
dan dengan pongahnya mengatas namakan rakyat. Turunlah, dan berjuanglah bersama
rakyat. Karena kita sendiri juga adalah rakyat, yang hanya beruntung saja dapat
mengenyam pendidikan di kampus ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar