Jumat, 21 Maret 2014

Sekali Lagi Tentang Pengawalan Pemilu

Oleh Rio Apinino, Sekjend SEMAR UI

Sebuah tanggapan untuk tulisan “Mengawal Pemilu Dengan Bijak: Melihat Kembali Peran BEM UI”[1]

Salah satu hal yang hilang dalam gerakan mahasiswa saat ini adalah hampir tidak adanya perdebatan yang serius, yang mencakup perdebatan ideologis dan substantif tentang visi gerakan mahasiswa. Miskinnya perdebatan tersebut, sedikit banyak mempengaruhi stagnansi dari gerakan mahasiswa itu sendiri. Tentu, selain daripada hilangnya tradisi perdebatan, masih banyak hal lain yang bisa ditunjuk untuk menjadi tersangka dalam tidak signifikannya gerakan mahasiswa dewasa ini. Dengan demikian, jika gerakan mahasiswa masih berharap pada masa depan mereka yang lebih baik, setidaknya tradisi perdebatan harus dimulai kembali, selain daripada pekerjaan rumah lain yang juga harus secara paralel dilakukan.


Perihal debat-mendebat, beberapa hari lalu saya menulis tentang advokasi pemilu yang dilakukan oleh banyak organsiasi gerakan mahasiswa, termasuk BEM UI. Dalam tulisan tersebut, saya berargumen bahwa isu pemilu yang dibawa oleh BEM UI tahun ini adalah tidak penting dan merupakan bukti ketiadaan visi gerakan mahasiswa yang galau dengan posisinya sendiri. Argumennya, dengan kenyataan bahwa gerakan mahasiswa semakin kehilangan signifikansinya, mau tidak mau pengawalan terhadap pemilu adalah isu yang sangat “menjual” untuk menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa masih eksis. Bahasa sarkasnya, gerakan yang genit-genitan.

Selang beberapa hari, saya menemukan sebuah link yang berisi kajian dari BEM UI yang sedikit banyak berisi tentang opini tandingan terhadap tulisan tersebut, meskipun tidak ditujukan secara langsung. Dalam tulisan tersebut, setidaknya ada beberapa poin penting yang dapat dianalisa lebih jauh dan dapat menjawab apakah gerakan yang BEM UI lakukan tersebut memang signifikan, memiliki visi dan tidak genit-genitan, ataukah justru sebaliknya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi hal tersebut.

Analisis yang Naif

Isu advokasi pemilu, sebagaimana tulisan dari BEM UI, didaku bukan sekadar gerakan anti-golput saja melainkan juga gerakan partisipasi pemilih cerdas dalam pemilu. Sederhananya, gerakan yang bertujuan untuk mengkampanyekan masyarakat untuk memilih para wakil rakyat yang tidak abal-abal, yang benar-benar murni bertujuan mengabdi untuk rakyat. Caranya? Menyerahkan kembali kepada masyarakat untuk mencari secara mandiri track record dan program orang-orang yang akan duduk di parlemen kelak. Bagi mereka, parlemen yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya terjadi karena parlemen tersebut diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten dan berdedikasi murni untuk kemaslahatan bersama sehingga terjadi diskoneksi antara rakyat dan wakil rakyat. Maka, jawaban dari keterputusan tersebut, tidak lain adalah benar-benar memberikan suara kepada orang-orang yang tepat.

Pandangan demikian, bagi saya, adalah pandangan moralis nan naif dan tidak memperhitungkan struktur kuasa yang terjadi di dalamnya. Apakah dengan diisi oleh orang-orang baik, memiliki track record yang baik, sholeh dan rajin mengaji  secara otomatis para wakil rakyat tidak korup? Tidak tidur ketika rapat? Tidak menonton film porno? Dalam analisanya, BEM UI  terlalu mengedepankan sentimen naif nan moralis sehingga menitikberatkan pada faktor individu atau agensi semata. Padahal, agensi tidak bisa dilepaskan dari struktur dimana agensi tersebut berada. Faktor agensi tersebut juga menjadi analisa dominan gerakan mahasiswa dalam membaca berbagai hal. Korupsi misalnya, analisis akan berakhir pada dakwaan bahwa sang koruptor adalah seorang yang tidak bermoral. Padahal, ada prakondisi struktural yang dapat menjadikan agensi tersebut melakukan korupsi dan hal-hal yang tidak dikehendaki lainnya. Dengan mengedepankan sentimen moral nan naif, gerakan mahasiswa tidak akan kemana-mana selain mengutuki kegelapan dengan khotbah-khotbah agamis.

Kemudian, BEM UI juga berargumen bahwa memang sedang terjadi disfungsi demokrasi di Indonesia, yang dalam konteks pemilu, membuat golongan putih semakin berlipat.  Hal ini, menurut mereka, adalah karena institusi politik yang tidak menjalankan fungsinya dengan benar. Institusi politik yang dimaksud oleh BEM UI terutama merujuk pada partai politik yang berkontestasi dalam pemilu saat ini tidak menjalankan fungsinya di masyarakat. Hal itu memang benar adanya, bahwa partai-partai politik tersebut memang tidak menjalankan fungsinya di masyarakat. Mengapa? Hal in idak lain karena raison d’tre dari partai-partai politik tersebut adalah untuk kepentingan segelintir pemodal, bukan sebagai agregasi kepentingan publik. Maka, kalaupun partai politik yang berkontestasi tersebut tidak menjalankan fungsinya di masyarakat, hal tersebut wajar adanya karena memang bukan diciptakan untuk itu.

Maka dari itu, dalam menganalisis golput kita tidak bisa melakukannya secara naif. Golput sendiri bukan hanya terdiri dari mereka yang memiliki “tingkat kesadaran yang rendah” sebagaimana yang dijelaskan oleh BEM UI. Tetapi juga justru terdiri dari mereka yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi yang menyadari bahwa parpol yang berkontestasi dalam pemilu saat ini adalah parpol yang hanya merepresentasikan kepentingan para pemilik modal. Menjawab pertanyaan itu, tidak cukup mengkampanyekan suaraku penting dengan “ayo memilih secara rasional”.

Berhentilah untuk secara naif menganggap bahwa institusi politik seperti partai politik, atau negara sekalipun, adalah representasi dan berdiri di atas semua golongan masyarakat. Mulailah melihat bahwa institusi politik yang ada, bagaimanapun, adalah kepanjangan tangan kelas yang berkuasa dalam masyarakat. Siapakah kelas yang berkuasa dalam sistem kapitalisme saat ini? ya pemiliki modal itu!

Janganlah menjadi seorang yang anakronistik, ahistoris, dan naif serta menutup mata atas sejarah, terutama apa yang terjadi pasca reformasi –karena bagaimanapun pemilu “demokratis” mulai dilakukan pada zaman itu. Berbagai macam regulasi yang ada, nyatanya, adalah cerminan dari kepentingan para pemilik modal untuk melakukan akumulasi kapital. Sebutlah beberapa Undang-Undang yang dibuat pada era pasca reformasi: UU Ketenagakerjaan, UU Minerba, UU Penanaman Modal, atau UU Pendidikan Tinggi yang kita tentang habis-habisan selama ini. Untuk siapah semua regulasi itu? untuk seluruh rakyat Indonesia, kah? Tentu tidak.

Kenyataan inilah yang membuat saya mengatakan bahwa tugas rakyat di era neoliberal saat ini adalah merebut demokrasi –demokrasi sejati, tentu, dari tangan segelintir elit dan para pemilik modal. Demokrasi yang saya maksud tentu untuk melawan demokrasi pasar, persis seperti apa yang kalian, para mahasiswa botolan, katakan: jangan golput! Jadilah pemilih rasional! Persis disini pula, bagi saya muaranya, kalaupun gerakan mahasiswa harus membawa isu pemilu sebagai isu yang diperjuangkan. Katakan dengan lantang bahwa demokrasi kita sedang dibajak para pemilik modal, katakan dengan lantang bahwa satu-satunya jalan adalah menegakkan kekuatan rakyat sejati. Kekuatan yang berasal dari rakyat itu sendiri, kekuatan dari para petani, buruh, nelayan, rakyat miskin kota yang dimiskinkan oleh demokrasi pasar. Katakan dengan lantang bahwa satu-satunya jalan menuju demokrasi sejati adalah mengubah corak produksi kapitalisme menjadi corak produksi yang lebih baik dari itu.

Benar adanya bahwa pemilu adalah prakondisi menuju pemerintahan yang lebih baik lagi. Tetapi, prasyarat untuk hal itu terwujud adalah, adanya kekuatan rakyat yang terorganisir dan merebut negara untuk mengubah kapitalisme. Selama belum adanya kekuatan rakyat yang terorganisir dalam corak yang politis tersebut, janganlah berharap pada partai politik borjuis yang ada, apalagi sampai terjebak pada slogan-slogan cantik nan menggiurkan dari para politisi tersebut.

Sekali Lagi, Tidak Adanya Visi Gerakan!

BEM UI menyakini bahwa partisipasi adalah jantung demokrasi. Sayapun mengamini hal itu. Kemudian, BEM UI juga menyadari bahwa, meskipun partisipasi yang dimaksud adalah partisipasi yang lebih luas, tetapi ikut serta dalam pemilu (dan juga tetap menjadi rasional) adalah bagian kecil dari partisipasi itu. Sebenarnya, disini BEM UI telah sedikit menemukan clue kemana seharusnya gerakan mahasiswa dibawa: partisipasi rakyat. Sayangnya, mereka tidak bisa menyelam lebih dalam selain daripada berhenti pada advokasi pemilu dengan slogan-slogannya tersebut.

Meskipun BEM UI menyadari bahwa partisipasi rakyat dalam politik keseharian adalah jantung dari demokrasi, tetapi mereka tidak mengargumentasikan lebih lanjut apa yang dimaksud “partisipasi politik secara luas” itu. Bagi saya sendiri, partisipasi politik lebih luas tercermin melalui perjuangan kelas, yaitu perjuangan kelas tertindas melawan kelas penindas yang menguasai demokrasi yang sedari tadi kita bahas. Partisipasi politik tercermin melalui perlawanan buruh melawan upah murah, outsourcing, kerja kontrak dari para kapitalis yang dilindungi negara. Partisipasi politik tercermin melalui perlawanan petani yang tanahnya diambil alih paksa, yang ditembaki oleh para tentara yang dibayar perusahaan sedangkan para politisi Senayan diam saja (tak tahu hal ini, kawan? Tidak semua diberitakan media-media besar yang dimiliki segelintir pemodal itu, memang). Partisipasi politik tercermin melalui para nelayan yang beberapa bulan lalu berdemonstrasi di Istana Negara karena solar untuk perahu mereka dinaikkan lebih dari 50 persen oleh sebuah Peraturan Presiden tetapi diacuhkan sama sekali. Inilah partisipasi politik sejati. Inilah partisipasi politik rakyat, partisipasi politik untuk mewalan demokrasi pasar, demokrasi yang digunakan segelintir elit untuk bebas berekspansi dimanapun, kapanpun.

Dengan agumentasi tersebut, saya harus bertanya, dimanakah BEM UI ketika rakyat yang sering diklaim oleh kalian mencoba berpartisipasi lebih luas dalam alam demokrasi ini?

Pada dasarnya, BEM UI, melalui tulisannya itu, tidak bisa membaca arah golput dan pemahaman yang minim mengenai demokrasi yang dibajak oleh elit-elit dan para pemilik modal. Argumen BEM UI, terutama yang berkaitan dengan gerakan hastag, menunjukkan argumen yang sungguh naif dan berusaha se-innocent mungkin. Wajar saja, rujukan dalam tulisan itu adalah Verba, seorang ilmuwan politik tahun 60-an yang teorinya sudah tidak dapat dipertahankan lagi, termasuk ditangan Laclau-Mouffe.

Mengawal pemilu adalah gerakan yang sungguh naif. Kembali lagi, dengan apa yang mereka lakukan, sejatinya mereka hanyalah sedang menjalankan fungsi-fungsi institusi negara lain yang berkaitan dengan pemilu seperti KPU dan Bawaslu. Dengan itu, maka gerakan mahasiswa justru akan selalu mungkin untuk bersifat permisif atas segala kebobrokan yang ada dalam sistem saat ini. Nyalakanlah lilin daripada mengutuki kegelapan, mungkin slogan tersebut yang tepat untuk menggambarkan masa depan gerakan mahasiswa.

Diantara poin penting yang coba saya paparkan dalam tulisan yang pertama, yang tidak saya temukan dalam tulisan BEM UI itu, adalah pertanyaan mengenai imajinasi gerakan yang dibayangkan. Suara ku penting, memang benar. Dalam sejarah, gerakan perempuan pertama yang ada di Amerika Serikat juga memperjuangkan agar perempuan memiliki hak suara selain melawan perbudakan. Pertanyaan kemudian adalah, penting untuk siapa? Jika mengikuti argumen naif dari BEM UI, maka suara ku penting adalah untuk diriku sendiri. Seakan, ketika kita menjadi pemilih rasional, maka prakondisi untuk situasi yang lebih adil telah terpenuhi. Padahal, sebagaimana yang telah saya paparkan, tidak bisa melepaskan faktor agensi dari struktur dimana agensi tersebut berada. Dalam konteks neoliberal, yang penting hanyalah partisipasi secara kuantitatif karena menjadi sumber legitimasi kekuasaan yang akan terbangun setelahnya. Partisipasi politik secara kualitatif, yang secara riil terjadi melalui perjuangan rakyat tertindas, justru diredam sebisa mungkin melalui semua mekanisme yang ada seperti aparat represif dan aparat ideologis seperti media massa dan institusi pendidikan.  

Penutup

Menegaskan pernyataan awal, bagi saya, membawa isu pemilu, terutama kampanye anti-golput dan memilih secara rasional untuk diadvokasi adalah hal yang tidak perlu dan hanya gerakan yang genit-genitan saja. Kalaupun kita bersepakat bahwa ada problem dalam partisipasi rakyat, maka jawaban dari problem tersebut tidak lain adalah bergeraklah secara organis dengan gerakan rakyat lain untuk merebut demokrasi yang telah dibajak ini. Mulailah untuk melirik dan menganalisa isu-isu yang memang berhubungan langsung dengan keseharian rakyat seperti perampasan lahan petani untuk korporasi atau sistem kerja yang hanya menjanjikan ketidakpastian masa depan sama sekali, bukan justru berkampanye untuk menjadi pemilih rasional (baca: menggantungkan nasib kepada para politisi borjuis). Sudah terlalu lama gerakan mahasiswa asyik sendiri di menara gading dan dengan pongahnya mengatas namakan rakyat. Turunlah, dan berjuanglah bersama rakyat. Karena kita sendiri juga adalah rakyat, yang hanya beruntung saja dapat mengenyam pendidikan di kampus ini.



[1] bem.ui.ac.id/mengawalpemiludenganbijak/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar