Jumat, 07 Februari 2014

Tentang Pembubaran Diskusi Buku Tan Malaka

Rio Apinino, Sekjend Semar UI

Lagi, peristiwa pembubaran terhadap diskusi-diskusi yang bernuansa 'kiri' kembali terjadi. Kali ini, pembubaran dilakukan oleh ormas yang mengatasnamakan Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) di Surabaya. Sebelumnya, Yayasan Pustaka Obor berencana menggelar diskusi buku tentang Tan Malaka berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (jilid 4) yang ditulis oleh Harry A. Poeze, pada Jumat 7 Februari 2014 di perpustakaan C2O, Surabaya.[1] Latar belakang pembubaran, sebagaimana yang telah kita tebak, dianggap berusaha menyebarkan gagasan marxisme/komunisme pada masyarakat.


Pembubaran diskusi ini, dan diskusi-diskusi serta pertemuan sejenis, selain merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, merupakan fenomena yang membuktikan bagaimana kuatnya pengaruh dan doktrinasi orde baru terhadap segala sesuatu yang berbau ‘kiri’ sampai saat ini. Sebagaimana kita ketahui, peristiwa G30S yang terjadi pada tahun 1965 yang menjadi titik tolak perpindahan dari orde lama ke orde baru, adalah momen dimana gerakan-gerakan kiri, atau berideologi marxisme/komunisme, direkayasa sedemikian rupa hingga orang-orang yang memiliki kepercayaan politik tersebut tak ubahnya binatang yang halal untuk disembelih. Selain upaya-upaya doktrinasi yang sifatnya represif tersebut, orde baru juga melakukan hegemonisasi yang bersifat lebih halus melalui, misalnya, buku-buku yang memojokkan marxisme atau PKI, lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi hingga melalui film propaganda yang tentu masih sangat kita ingat.

Upaya doktrinasi yang terus menerus dilakukan orde baru selama 32 tahun lah yang kemudian sedikit banyak masih mempengaruhi bagaimana stigma ‘kiri’ hari ini. Memang, adalah sebuah paradoks ketika reformasi bergulir dan buku-buku kiri mulai dapat diakses dan dipelajari secara bebas, bahkan menjadi top koleksi di toko buku terkenal, tetapi stigma tentang kiri yang masih melekat dalam masyarakat tidak berbeda jauh dengan stigma yang dibangun oleh orde baru. Bagi penulis, hal ini dikarenakan oleh kekuasaan, dalam hal ini negara dan segenap perangkatnya, memang masih menjalankan fungsinya sebagai aparatus ideologis. Meskipun banyak bahan bacaan yang tidak akan mungkin kita jumpai di era orde baru saat ini dapat dengan mudah kita akses, nyatanya negara memang masih melakukan pelarangan terhadap penyebarluasan gagasan marxisme-leninisme secara legal melalui TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Setidaknya, dalam buku-buku sejarah resmi peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 itu masih dilabeli dengan nama G30S/PKI. Pembiaran sejarah inilah yang sedikit banyak masih melanggengkan stigma tentang marxisme/komunisme, selain daripada variabel-variabel yang berkelindan satu sama lain.

Di dalam beberapa kali pelarangan dan pembubaran terhadap diskusi-diskusi yang mengangkat tema ‘kiri’, dapat dijumpai bahwa mayoritas pelaku pembubaran adalah ormas yang mengatasnamakan agama tertentu, dalam hal ini agama Islam. Hal ini tentu tidak terlalu mengagetkan sebab, dalam perjalanan sejarahnya, PKI sebagai  partai yang berasaskan marxisme seringkali terlibat konfrontasi dengan pemuka-pemuka agama Islam, terutama tentang persoalan reforma agraria. Kala itu, PKI dengan BTI (Barisan Tani Indonesia –ormas petani yang dekat secara ideologis dan program dengan PKI, meskipun bukan underbow PKI) berusaha menjalankan amanat reforma agraria yang salah satu poinnya adalah redistribusi lahan –tidak boleh ada yang memiliki lahan diatas 5 Ha. Di satu sisi, para kiai-kiai NU di pedesaan lah yang memiliki lahan-lahan luas. Konflik inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh tentara dengan mengagitasi kaum agamawan, tentu ditambahi dengan bumbu-bumbu seperti, PKI adalah penyebar ateisme dan Gerwani adalah kumpulan pelacur-pelacur jalanan. Saat ini, kalaupun ormas berasaskan agama Islam menentang hingga membubarkan kelompok yang mereka anggap menyebarkan marxisme, bukan lagi (atau minimal tidak menjadi arus utama) berdasarkan sentimen agraria, tetapi murni karena menganggap marxisme identik dan menyebarkan gagasan ateisme. Bagi mereka, marxisme = komunisme = ateisme = kafir. Tidak ada kompromi. Memang, ada juga kelompok yang berargumen bahwa pembubaran pertemuan-pertemuan sejenis dengan alasan nasionalistik: bahwa marxisme bercita-cita mengganti Pancasila. Tetapi, seberapakah percaya anda dengan argumen basi itu?

Aspek lain yang juga dapat dilihat tentang perisitwa sejenis ini adalah kenyataan bahwa tidak adanya pengetahuan yang memadai tentang objek pembubaran/pelarangan. Tidak memadainya pengetahuan tentang objek dari ormas-ormas fasis itu, setidaknya yang penulis tahu dan tentu membuat tertawa terbahak-bahak terlihat dalam beberapa kasus, diantaranya adalah pembakaran terhadap buku Kapital karya Karl Marx. Alasannya? Das Capital mengajarkan orang menjadi kapitalis. Juga pernah di masa awal reformasi, ormas fasis membakar buku Frans Magnis berjudul Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis Hingga Perselisihan Revisionis. Padahal, jika saja mereka mau membaca, buku itu tidak lain adalah buku yang anti-marxis. Berita terakhir yang saya baca di timeline ketika menulis opini ini, ormas-ormas fasis yang melakukan pembubaran terhadap diskusi bedah buku Tan Malaka tersebut bahkan tak tahu siapa dan apa yang diperjuangkan Tan. Sakit.


Hal yang paling sering dijadikan argumen untuk melakukan pelarangan, pembubaran, hingga penyerangan tidak lain adalah alasan yang berputar pada argumen marxisme = ateisme. Pertanyaannya kemudian adalah, darimanakah mereka bisa sampai pada kesimpulan itu selain daripada ceramah-ceramah pemuka agama yang saya percaya tidak membaca karya-karya Marx sama sekali. Paling jauh, argumen marxisme = ateisme didasari pada ucapan Marx yang terkenal dan mungkin menjadi satu-satunya tulisan Marx yang dibaca oleh mereka: agama adalah candu masyarakat. Tentu, tanpa melihat konteks historis dan tanpa melihat pemikiran Marx yang lain, ucapan Marx yang terkenal itu sangat menjustifikasi bahwa marxisme = ateisme. Tetapi, apakah mereka lupa bahwa kita pernah memiliki seorang tokoh seperti Haji Misbach? Seorang pejuang yang dikenal dengan “Haji Merah” karena percaya bahwa Islam dan marxisme sejatinya bukanlah sesuatu yang bertolakbelakang sama sekali. Apakah mereka tidak tahu bahwa Tan, yang memang memilih menjadi komunis di hadapan manusia, juga berkata bahwa "di hadapan Tuhan aku Islam”? Apakah mereka tau bahwa Tan dididik dan dibesarkan di tanah Minangkabau yang memiliki tradisi Islam yang kuat? Apakah mereka tahu bahwa Tan khatam membaca Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini? Apakah mereka tau bahwa Tan Malaka-lah orang pertama yang mencetuskan ide tentang republik, yang mana tulisannya menjadi pegangan perjuangan orang-orang macam Sukarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dll? Dan juga, apakah mereka tahu bahwa Tan Malaka memilih untuk keluar dari Komintern –organisasi komunis internasional, karena mereka tidak menerima usulan Tan bahwa seharusnya komunisme bersatu dengan pan-Islamisme untuk melawan kolonialisme? Apa mereka tau?

Iqra!

Bacalah! baca, bukan berwudhu, sholat, zakat atau puasa ayat pertama yang diturunkan kepada Umat Manusia dengan perantara Muhammad. Hanyalah mereka yang tidak membaca yang saat ini masih percaya bahwa marxisme menyebarkan ateisme, yang dengan pongahnya membubarkan suatu diskusi bedah buku, membakar buku-buku, hinggga mengancam membunuh keluarga anggota PKI seperti yang ramai diperbincangkan beberapa waktu yang lalu. Sungguh, hanyalah seorang fundamentalis nan fasis lah (dan tentu dipelihara negara) yang mampu berbuat demikian.

Terakhir, Tan Malaka dalam pembuka Naar de Republiek (1925) mengatakan bahwa, kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya. Sosok dan pemikiran Tan Malaka, bagi saya, dapat diibaratkan sebagai kelahiran kembali setelah sekian lama digelapkan oleh penguasa. Mereka yang menjadi ibu, niscaya akan mengalami sakit. Tinggal bagaimana anak tersebut dirawat sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. 



[1] Lihat “Diskusi Buku Tan Malaka Diganggu Ormas di Surabaya” www.tempo.co/read/news/2014/02/07/078552073/Diskusi-Buku-Tan-Malaka-Diganggu-Ormas-di-Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar