Rio Apinino, Sekjend Semar UI
Lagi, peristiwa pembubaran terhadap diskusi-diskusi yang
bernuansa 'kiri' kembali terjadi. Kali ini, pembubaran dilakukan
oleh ormas yang mengatasnamakan Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) di Surabaya.
Sebelumnya, Yayasan Pustaka Obor berencana menggelar diskusi buku tentang Tan Malaka berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (jilid 4) yang ditulis
oleh Harry A. Poeze, pada Jumat 7 Februari 2014 di perpustakaan C2O,
Surabaya.[1]
Latar belakang pembubaran, sebagaimana yang telah kita tebak, dianggap berusaha menyebarkan gagasan marxisme/komunisme pada masyarakat.
Pembubaran diskusi ini, dan diskusi-diskusi serta pertemuan sejenis, selain merupakan bentuk
pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, merupakan fenomena yang membuktikan bagaimana kuatnya pengaruh dan doktrinasi
orde baru terhadap segala sesuatu yang berbau ‘kiri’ sampai saat ini. Sebagaimana kita ketahui,
peristiwa G30S yang terjadi pada tahun 1965 yang menjadi titik tolak perpindahan dari orde lama ke orde baru, adalah momen dimana gerakan-gerakan kiri, atau berideologi
marxisme/komunisme, direkayasa sedemikian rupa hingga orang-orang yang memiliki
kepercayaan politik tersebut tak ubahnya binatang yang halal untuk disembelih. Selain
upaya-upaya doktrinasi yang sifatnya represif tersebut, orde baru juga
melakukan hegemonisasi yang bersifat lebih halus melalui, misalnya, buku-buku
yang memojokkan marxisme atau PKI, lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi hingga melalui film propaganda yang tentu masih sangat kita ingat.
Upaya doktrinasi yang terus menerus dilakukan orde baru selama 32 tahun lah yang kemudian sedikit banyak
masih mempengaruhi bagaimana stigma ‘kiri’ hari ini. Memang, adalah sebuah paradoks
ketika reformasi bergulir dan buku-buku kiri mulai dapat diakses dan dipelajari secara
bebas, bahkan menjadi top koleksi di toko buku terkenal, tetapi stigma tentang
kiri yang masih melekat dalam masyarakat tidak berbeda jauh dengan stigma yang dibangun oleh orde baru. Bagi penulis, hal ini dikarenakan oleh kekuasaan, dalam hal ini negara dan segenap perangkatnya, memang
masih menjalankan fungsinya sebagai aparatus ideologis. Meskipun banyak bahan
bacaan yang tidak akan mungkin kita jumpai di era orde baru saat ini dapat
dengan mudah kita akses, nyatanya negara memang masih melakukan
pelarangan terhadap penyebarluasan gagasan marxisme-leninisme secara legal
melalui TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Setidaknya, dalam buku-buku sejarah resmi peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 itu masih dilabeli dengan nama G30S/PKI. Pembiaran sejarah
inilah yang sedikit banyak masih melanggengkan stigma tentang
marxisme/komunisme, selain daripada variabel-variabel yang berkelindan satu
sama lain.
Di dalam beberapa kali pelarangan dan pembubaran terhadap diskusi-diskusi
yang mengangkat tema ‘kiri’, dapat dijumpai bahwa mayoritas pelaku
pembubaran adalah ormas yang mengatasnamakan agama tertentu, dalam hal ini
agama Islam. Hal ini tentu tidak terlalu mengagetkan sebab, dalam perjalanan
sejarahnya, PKI sebagai partai yang
berasaskan marxisme seringkali terlibat konfrontasi dengan pemuka-pemuka agama
Islam, terutama tentang persoalan reforma agraria. Kala itu, PKI dengan BTI
(Barisan Tani Indonesia –ormas petani yang dekat secara ideologis dan program
dengan PKI, meskipun bukan underbow PKI)
berusaha menjalankan amanat reforma agraria yang salah satu poinnya adalah
redistribusi lahan –tidak boleh ada yang memiliki lahan diatas 5 Ha. Di satu
sisi, para kiai-kiai NU di pedesaan lah yang memiliki lahan-lahan luas. Konflik inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh
tentara dengan mengagitasi kaum agamawan, tentu ditambahi dengan bumbu-bumbu seperti, PKI adalah penyebar ateisme dan Gerwani adalah kumpulan pelacur-pelacur jalanan. Saat ini, kalaupun ormas berasaskan agama
Islam menentang hingga membubarkan kelompok yang mereka anggap menyebarkan
marxisme, bukan lagi (atau minimal tidak
menjadi arus utama) berdasarkan sentimen agraria, tetapi murni karena
menganggap marxisme identik dan menyebarkan gagasan ateisme. Bagi mereka,
marxisme = komunisme = ateisme = kafir. Tidak ada kompromi. Memang, ada juga
kelompok yang berargumen bahwa pembubaran pertemuan-pertemuan sejenis dengan alasan
nasionalistik: bahwa marxisme bercita-cita mengganti Pancasila. Tetapi,
seberapakah percaya anda dengan argumen basi itu?
Aspek lain yang juga dapat dilihat tentang perisitwa sejenis ini adalah kenyataan bahwa tidak adanya pengetahuan yang memadai tentang objek pembubaran/pelarangan. Tidak memadainya pengetahuan tentang objek dari ormas-ormas fasis itu, setidaknya yang penulis tahu dan tentu membuat tertawa terbahak-bahak terlihat dalam beberapa kasus,
diantaranya adalah pembakaran terhadap buku Kapital karya Karl Marx. Alasannya?
Das Capital mengajarkan orang menjadi
kapitalis. Juga pernah di masa awal reformasi, ormas fasis membakar buku Frans
Magnis berjudul Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis Hingga Perselisihan Revisionis. Padahal, jika saja mereka mau membaca, buku itu tidak
lain adalah buku yang anti-marxis. Berita terakhir yang saya baca di timeline ketika menulis opini ini,
ormas-ormas fasis yang melakukan pembubaran terhadap diskusi bedah buku Tan Malaka tersebut bahkan tak tahu siapa dan apa yang diperjuangkan Tan. Sakit.
Hal yang
paling sering dijadikan argumen untuk melakukan pelarangan, pembubaran, hingga penyerangan tidak lain adalah alasan yang berputar pada argumen marxisme = ateisme. Pertanyaannya
kemudian adalah, darimanakah mereka bisa sampai pada kesimpulan itu selain
daripada ceramah-ceramah pemuka agama yang saya percaya tidak membaca
karya-karya Marx sama sekali. Paling jauh, argumen marxisme = ateisme didasari pada ucapan
Marx yang terkenal dan mungkin menjadi satu-satunya tulisan Marx yang dibaca
oleh mereka: agama adalah candu
masyarakat. Tentu, tanpa melihat konteks historis dan tanpa melihat pemikiran
Marx yang lain, ucapan Marx yang terkenal itu sangat menjustifikasi bahwa
marxisme = ateisme. Tetapi, apakah mereka lupa bahwa kita pernah memiliki seorang tokoh
seperti Haji Misbach? Seorang pejuang yang dikenal dengan “Haji Merah” karena percaya
bahwa Islam dan marxisme sejatinya bukanlah sesuatu yang bertolakbelakang sama
sekali. Apakah mereka tidak tahu bahwa Tan, yang memang memilih menjadi komunis
di hadapan manusia, juga berkata bahwa "di hadapan Tuhan aku Islam”? Apakah
mereka tau bahwa Tan dididik dan dibesarkan di tanah Minangkabau yang memiliki tradisi
Islam yang kuat? Apakah mereka tahu bahwa Tan khatam membaca Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini? Apakah mereka tau bahwa Tan Malaka-lah orang pertama yang mencetuskan ide tentang republik, yang mana tulisannya menjadi pegangan perjuangan orang-orang macam Sukarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dll? Dan juga,
apakah mereka tahu bahwa Tan Malaka memilih untuk keluar dari Komintern –organisasi komunis internasional, karena mereka tidak menerima usulan Tan bahwa
seharusnya komunisme bersatu dengan pan-Islamisme untuk melawan kolonialisme? Apa
mereka tau?
Iqra!
Bacalah! baca, bukan berwudhu, sholat, zakat atau puasa ayat pertama yang diturunkan kepada Umat Manusia dengan perantara Muhammad. Hanyalah mereka yang tidak membaca yang saat ini masih percaya bahwa marxisme menyebarkan ateisme, yang dengan pongahnya membubarkan suatu diskusi bedah buku, membakar buku-buku, hinggga mengancam membunuh keluarga anggota PKI seperti yang ramai diperbincangkan beberapa waktu yang lalu. Sungguh, hanyalah seorang fundamentalis nan fasis lah (dan tentu dipelihara negara) yang mampu berbuat demikian.
Terakhir, Tan Malaka dalam pembuka Naar de Republiek (1925) mengatakan
bahwa, kelahiran suatu pikiran sering
menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan
pembawaan kelahirannya. Sosok dan pemikiran Tan Malaka, bagi saya, dapat
diibaratkan sebagai kelahiran kembali setelah sekian lama digelapkan oleh penguasa. Mereka
yang menjadi ibu, niscaya akan mengalami sakit. Tinggal bagaimana anak
tersebut dirawat sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
[1] Lihat “Diskusi
Buku Tan Malaka Diganggu Ormas di Surabaya” www.tempo.co/read/news/2014/02/07/078552073/Diskusi-Buku-Tan-Malaka-Diganggu-Ormas-di-Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar