Sudah lama
orde baru runtuh, 16 tahun reformasi berjalan, tiga pemilu telah kita lewati
namun warisan orde baru yang memperkosa tanah Papua itu masih saja bertahan: PT.
Freeport Indonesia. Pertama kali, PT. Freeport masuk dengan Kontrak Karya tahun
1967. Dengan Kontrak Karya tersebut kita hanya “kecipratan” 1% saja dari hasil
PT. Freeport. Padahal, dalam aktivitasnya, PT. Freeport telah merusak alam dan
mengganggu kehidupan suku-suku di Mimika. Limbah tailing yang dihasilkan telah
mengotori sungai, dimana sungai tersebut adalah sumber kehidupan bagi suku Kamoro.
Akibatnya, suku Kamoro harus merubah pola kehidupannya yang sudah terbiasa
hidup dari alam, harus bergeser ke tengah kota dan hidup dari pasar. Selain
limbah tailing, PT. Freeport juga melubangi gunung-gunung yang ada untuk
kepentingan tambang. Padahal gunung-gunung tersebut dianggap suci oleh suku Amungme,
diamana mereka menganggap bahwa gunung adalah “Ibu”. Dengan Eksploitasi yang
telah dilakukan PT. Freeport, keseimbangan alam dan sosial yang telah ada telah
dirusak dan konpensasi akan hal itu hanya dibayar 1%. Dimanakah letak keadilan?
Banyak yang
berdalih bahwa adanya PT. Freeport akan mendorong kemajuan untuk Papua. Memang
terjadi perubahan yang signifikan di Mimika. Semua infrastruktur yang ada di
Mimika sekarang, tidak jauh dari peran PT. Freeport. Namun, itu hanya untuk
kepentingan aktivitas dari PT. Freeport saja, dan warga asli hanya menjadi
penonton. Komposisi dari pekerja PT. Freeport kebanyakan adalah warga Asing,
warga Indonesia di luar Papua, dan warga Papua di luar Mimika. Dari sini kita
bisa lihat bagaimana warga asli diabaikan, dimana seharusnya merekalah yang
menikmati kemajuan yang telah dihasilkan oleh PT. Freeport namun hanya jadi
penonton pembangunan.
Menurut Kontrak
Karya ke 2 pada tahun 1991, PT. Freeport akan berakhir pada tahun 2021. Namun,
pada akhir tahun kemarin Kontrak Karya ini diperpanjang sampai 2041. Padahal,
eksploitasi terhadap alam Papua semakin parah dilakukan dan banyak gerakan
separatis yang menginginkan PT. Freeport hengkang. Dengan adanya gerakan
separatis ini, seharusnya kita sadar bahwa betapa tidak nyamannya mereka
terhadap keberadaan PT. Freeport yang telah merusak alam Papua. Keberadaan PT.
Freeport membuat mereka tidak berdaulat atas tanah mereka sendiri. Ditambah
lagi, keberadaan aparatus kekerasan (tentara dan polisi) yang dibayar PT.
Freeport untuk memberantas gerakan-gerakan tersebut semakin menunjukkan
keberpihakan negara kepada kepentingan kapital.
Pada pemilu
kemarin, kita lihat tidak ada pihak manapun yang menjadikan masalah PT.
Freeport dan Papua sebagai masalah utama. Dengan membiarkan masalah ini sama
saja kita membiarkan kita diambil kedaulatannya secara Ekonomi atau bisa
dikatakan kita dijajah secara Ekonomi. Apa arti kata merdeka kalau kita masih
tidak berdaulat atas tanah sendiri?
Oleh karena itu kami dari SERIKAT MAHASISWA
PROGRESIF UI mengadakan #AksiKamisanUI sebagai upaya untuk mengingatkan publik
secara luas, dan khususnya warga UI, bahwa masih ada masalah yang besar dimana
saudara kita di Papua menjadi korbannya, yaitu EKSPLOITASI PT. FREEPORT masih
diperpanjang. Dengan itu, maka kami menyerukan kepada publik untuk:
1. Turut serta untuk
mendorong nasionalisasi PT Freeport dan perusahaan-perusahaan lainnya demi
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
2. Menuntut PT.
Freeport Indonesia untuk segera menyelesaikan krisis ekologis yang diakibatkan
oleh eksploitasi yang selama ini dilakukannya.
3. Bersama bangun
persatuan kekuatan mahasiswa dan rakyat untuk melawan kepentingan para pemilik
modal yang didukung negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar