Oleh: Rio Apinino, Sekjen SEMAR UI
Pro dan kontra terhadap Prabowo Subianto, Ketua
Partai Gerakan Indonesia Raya atau lebih dikenal dengan Gerindra dan mantan
Danjen Kopassus, semakin menjadi diskursus yang panas akhir-akhir ini. Pro dan
kontra terhadap Prabowo memang tidak pernah usai, terutama setelah Suharto
jatuh dan dirinya disinyalir terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di masa Orde Baru Suharto. Pro
dan kontra tersebut kembali menemukan momentumnya: Pemilu 2014. Dalam Pemilu
kali ini, karena penguasaan modal dan kampanye yang masif, Gerindra merangsek
menjadi partai klasemen atas: berada pada posisi tiga, hanya kalah dari dua
partai tradisional, PDI dan Golkar. Ketika tulisan ini dibuat, dengan bekal
koalisi 6 Partai, Prabowo mantap mencalonkan diri sebagai calon presiden RI
didampingi Hatta Rajasa.
Tulisan
ini, hanya dilihat dari judulnya saja, jelas berposisi kontra terhadap Prabowo dan
Gerindra. Kita tahu, posisi apapun, di alam demokrasi saat ini sebenarnya
merupakan hak bagi seluruh warga negara. Asalkan posisi tersebut disertai
dengan argumentasi karena hari ini banyak sekali pihak yang berposisi tanpa
argumentasi alias manut-manut wae. Dalam konteks demikian, saya akan
menjabarkan argumentasi dari posisi saya tersebut dengan memprediksi atas apa
yang akan terjadi jika Prabowo memenangkan Pemilu 2014 ini melalui telaah
terhadap Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya yang merupakan
pernyataan sikap dan kerangka kerja Gerindra dalam politik. Tentu, mereka yang pro terhadap Prabowo
dan Gerindra seharusnya sudah membaca manifesto ini.
Ekonomi
Kerakyatan atau Kapitalis Pribumi?
Ketika membaca secara keseluruhan isi
manifesto ini, dan juga ditambah dengan pemberitaan media-media, maka Prabowo
dan Gerindra akan dekat dengan frasa seperti ekonomi kerakyatan yang tentu
saja, membuatnya terlihat pro-rakyat. Misalnya, dalam manifesto tertulis,
“Kebijakan perekonomian harus mendukung cita-cita
welfare state (negara kesejahteraan)
yang berkeadilan. Untuk itu diperlukan langkah yang tepat untuk menormalisasi
kehidupan ekonomi rakyat dengan kembali memperjuangkan paham ekonomi
kerakyatan.” (hlm. 14)
Selain menyinggung persoalan ekonomi kerakyatan,
manifesto ini juga membahas watak ekonomi kapitalistik yang menurutnya telah
dianut di Indonesia semenjak tahun 1980. Selain itu, manifesto ini juga
menjelaskan bagaimana liberalisasi ekonomi pasca refromasi justru membuat
perekonomian Indonesia tidak berdaulat dan hanya menjadi boneka asing,
diantaranya adalah IMF. Katanya,
“Sejak era Orde Baru, ekonomi Indonesia
cenderung berwatak kapitalistik... liberalisasi ekonomi pada tahun 1980-an
telah menyebabkan Indonesia rentan terhadap krisis ekonomi. Krisis ekonomi
1997-1998 merupakan buah liberalisasi yang didorong oleh kekuatan-kekuatan
organisasi dana moneter internasional (IMF)” (hlm. 14)
Sistem yang kapitalistik ini, berdasarkan apa
yang ada di manifesto, adalah sistem yang akan dikoreksi Gerindra dan Prabowo
kelak jika berhasil menjadi Presiden yang dirangkum dalam term ekonomi kerakyatan
yang telah disebutkan sebelumnya. Persoalan mengenai ekonomi kerakyatan, meskipun banyak sekali
definisi dari para ahli, dapat ditemukan konsepnya terutama dalam pasal 33 UUD
1945 yang merupakan konstitusi ekonomi dan pada pokoknya adalah sistem ekonomi
yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam ekonomi, baik dalam aras
produksi hingga konsumsi dan dengan koperasi sebagai sokogurunya. Dengan
manifesto yang demikian, maka kesan yang timbul adalah Partai Gerindra
merupakan partai yang berhaluan sosialis juga sekaligus nasionalis karena
selalu menyuarakan kepentingan rakyat banyak dengan menyerahkan sebabnya pada
kerakusan kapital asing. Tetapi
tunggu, benarkah demikian?
Martin Suryajaya dalam tulisannya berjudul
“Apa yang Sosialis dari Nasional-Sosialisme?”[2] menjelaskan hal
ini. Program ekonomi Gerindra, yang dicirikan sebagai nasional-sosialis dengan
program-program yang terlihat sosialis dan mengedepankan kepentingan nasional,
dan dengan demikan nasionalis, ternyata pernah juga menjadi program partainya
Hitler, sang Fasis berdarah dingin, Partai Nasionalis-Sosialis Jerman. Nazi,
sebelum berkuasa, juga menjanjikan perekonomian dengan corak kerakyatan dengan fokus
seperti nasionalisasi aset-aset yang dikuasai asing. Setelah berkuasa, bukan
program-program sosialisme yang dijalankan Hitler dan Nazinya, melainkan ‘Aryanisasi.’
Nasionalisasi bukanlah dari, oleh dan untuk rakyat Jerman melainkan justru diambil
alih oleh pengusaha-pengusaha Pribumi pendukung Hitler.
Nasionalisasi pura-pura ini bukan tidak
mungkin terjadi di Indonesia. Kembali ke manifesto Gerindra, dijelaskan bahwa,
“...kepemilikan negara terhadap alat alat perekonomian dan kekayaan yang
menyangkut hajat hidup orang banyak harus tetap dipertahankan, dan diusahakan
pengembalian seluruh alat-alat perekonomian dan kekayaan yang telah berpindah
kepemilikan terutama yang erat kaitannya dengan keamanan nasional.” (hlm.
15-16)
Yang perlu digarisbawahi dalam kalimat
tersebut adalah ‘kepemilikan negara.’ Selama ini, problem kepemilikan negara atau
penguasaan negara terhadap sumber daya di Indonesia adalah sumber daya tersebut
tidak benar-benar dikuasai rakyat. Penguasaan oleh negara telah secara otomatis
mengatasnamakan penguasaan rakyat atas sumber daya tersebut. Padahal, yang
terjadi adalah penguasaan sumber daya tersebut berada di segelintir tangan
birokrat (kapitalis birokrat) tanpa adanya kontrol dari rakyat banyak. Padahal,
problem utama dari nasionalisasi di Indonesia, sebagaimana yang dikatakan
Hilmar Farid,[3]
adalah ketidakmampuan membedakan kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Hal
ini terlihat jelas contohnya dalam penguasaan sumber daya alam di masa Suharto.
Sumber daya vital yang menguasai hajat hidup orang banyak secara mayoritas terlihat
seperti berada dalam penguasaan negara dan dengan demikian mengatasnamakan
rakyat sebagai penguasa kekayaan alam tersebut. Padahal, yang terjadi justru
penguasaan sumber daya berada di tangan Kroni-Kroni Suharto atau bahkan
keluarga-keluarganya.
Nasionalisasi aset memang dapat menjadi
prioritas jika ingin mengembalikan kedaulatan Indonesia dibilang ekonomi maupun
politik, dengan syarat, aset-aset tersebut dikelola oleh publik dan bukan oleh
segelintir pejabat korup. Tentu ada berbagai macam cara, seperti penguatan
kontrol buruh dalam keseluruhan proses produksi. Tetapi, adalah hal yang tidak
mungkin menganggap Prabowo akan melaksanakan nasionalisasi di bawah kontrol
publik ini ketika Prabowo jelas-jelas memiliki watak anti-buruh. Misalnya,
buruh-buruh di perusahaan milik Prabowo, PT Kertas Nusantara, pernah tidak
dibayar gajinya sejak November 2013 sampai Maret 2014.[4] Bagaimana
mungkin mengharapkan adanya kontrol buruh dalam pengelolaan aset-aset negara sedangkan saat ini buruh
yang bekerja di perusahaannya saja tidak dibayar?
Tidak ada kepentingan rakyat banyak disini,
yang ada adalah kepentingan kelas kapitalis pribumi yang –sama dengan kapitalis
di seluruh penjuru dunia, tujuannya adalah akumulasi kapital tanpa henti. Nasionalisasi
versi Prabowo dan Gerindra adalah nasionalisasi tipu-tipu, mirip seperti
peristiwa nasionalisasi besar-besaran pada tahun 1950-an dimana aksi sepihak
para buruh untuk mengambilalih perusahaan asing justru diambilalih segelintir
perwira militer demi kepentingan pribadi mereka.
Kapitalis pribumi berlindung di balik slogan
kepentingan rakyat dengan tujuan yang tidak lain agar tidak kalah dan terkubur
oleh kapitalis-kapitalis asing. Hal ini diperkuat dengan salah satu kalimat
dalam manifesto yang mengatakan bahwa PMA (Penanaman Modal Asing) perlu diatur.
Tentu, yang menggantikan adalah modal pribumi, dengan karakteristik
eksploitatif yang sama, hanya dengan warna kulit tuannya yang berbeda. Itulah
program ekonomi kerakyatan versi Gerindra dan Prabowo.
Bukti bahwa ekonomi kerakyatan hanyalah gincu
pemanis untuk menutupi apa yang ada di baliknya, diantaranya terlihat justru di
bagian lain dalam manifesto ini. Dalam bagian lain, dijelaskan bahwa visi
pendidikan Gerindra adalah menciptakan SDM-SDM siap pakai dari sekolah menengah
kejuruan. Dengan kata lain, pendidikan bagi Gerindra adalah hanya untuk
memenuhi kebutuhan Industri.
“Pendidikan tingkat
menengah (menengah tingkat pertama dan menengah atas) harus lebih dijuruskan
pada pendidikan kejuruan terutama teknik dan ekonomi, yang bisa langsung
terserap dunia kerja. Partai Gerindra mengusung konsep pendidikan siap pakai di
tingkat sekolah lanjutan, yang dapat menciptakan lulusan siap kerja.” (hlm. 30)
Visi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan
industri tersebut terlihat sangat kontradiktif dengan pernyataan dihalaman
selanjutnya dari manifesto,
“secara sistemik, Partai Gerindra akan
memperjuangkan pembangunan sistem pendidikan yang humanis, bukan sistem
pendidikan yang liberal-kapitalistik.” (hlm. 31)
Maka, pertanyaan ini harusnya dapat dijawab:
bagaimana mungkin membuat sistem pendidikan yang humanis sedangkan visi
pendidikannya saja hanya bertujuan untuk mencetak robot-robot bernyawa yang
dikondisikan menjadi sekrup-sekrup industri selain daripada visi pendidikan
yang humanis itu hanyalah bualan omong kosong di siang hari? Bukankah
pendidikan yang hanya bertujuan menciptakan robot-robot bernyawa itu tidak lain
digunakan untuk melanggengkan sistem liberal-kapitalistik? Another logical fallacy!
Hal yang juga penting dilihat ketika telah bersepakat
bahwa ekonomi kerakyatan yang diusung Prabowo dan Gerindra hanyalah gincu untuk
memproteksi kapitalis pribumi dari kapitalis asing adalah adalah: apa latar
belakang ekonomi Prabowo?
Berdasarkan tulisan dari George Junus
Aditjondro,[5]
keluarga besar Prabowo merupakan kapitalis sekaligus tuan tanah besar dengan
penguasaan lahan sebanyak 3 juta hektar (ingat, tulisan ini dibuat pada tahun 2009, 5 tahun yang lalu!).
Penguasaan tanah Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, tersebar dalam
bentuk perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi dan aren,
serta ratusan ribu hektar hutan pinus. Selain menguasai perkebunan, masih
berdasarkan sumber yang sama, keduanya juga menguasai berbagai konsesi hutan
dengan tujuan bisnis. Tercatat penguasaan konsesi seluas 96 ribu hektar yang
membentang dari dari Kabupaten Bener Meriah ke Kabupaten Aceh Tengah yang
merupakan sumber kayu pinus bagi pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Lhokseumawe; 30
ribu hektar perkebunan sawit di Sumatera Barat dan Jambi di bawah PT Tidar
Kerinci Agung; 290 ribu hektar konsesi hutan PT Tanjung Redep di Kalimantan
Timur yang dahulu dikuasai Bob Hasan, kroni Suharto; 350 ribu hektar konsesi
hutan hasil akuisisi Kiani Group di Kalimantan Timur; 260 ribu hektar konsesi
hutan PT Kartika Utama di provinsi yang sama; 260 ribu hektar konsesi hutan PT
Ikani Lestari; 60 ribu hektar konsesi Nusantara Energy yang merupakan holding company Prabowo serta perkebunan
PT Belantara Pusaka seluas 15 ribu hektar lebih.
Belum cukup sampai situ, Prabowo dan adiknya
juga memiliki budidaya mutiara serta perkebunan jarak seluas seratus hektar
untuk bahan bakar nabati di Bima, NTB dan perkebunan jarak seluas seratus
hektar untuk bahan bakar nabati. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka
berencana membuka Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585 ribu hektar.
Di Papua, mereka juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen
dengan kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik. Dengan kepemilikan tanah
seluas itu, maka HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yang merupakan
organisasi yang diketuai Prabowo seharusnya berubah namanya menjadi Himpunan Kerukunan
Tuan Tanah Indonesia (HKTTI).
Dengan latar belakang imperium bisnis
tersebut, dan dengan visi ekonomi yang orientasinya kepentingan kapitalis
pribumi, maka keduanya menjadi cocok. Bahwa politik, tidak lain dan tidak
bukan, digunakan secara kasar untuk mendapatkan akses secara langsung terhadap kebijakan
pengelolaan sumber daya. Apakah kita mau kembali memiliki Presiden yang
mengelola negara seperti mengelola sebuah imperium bisnis yang keuntungannya
tersalur ke keluarga dan kroni-kroninya sendiri sebagaimana yang Suharto
lakukan selama puluhan tahun?
Fasisme
Makin Nyata: Kembalinya Orde Baru
Mei 1998, Suharto memang jatuh, tetapi tidak
dengan Orde Baru sebagai sebuah sistem. Memang, bukanlah hal yang mudah untuk
menghilangkan sama sekali pengaruh Orde Baru yang telah dibangun selama puluhan
tahun. Tetapi, hal ini bukan berarti kita tidak bisa menghilangkan
pengaruh-pengaruh Orde Baru tersebut. Sayangnya, ketika sistem yang dibangun
Orde Baru selama puluhan tahun tersebut masih sangat terasa nyata pengaruhnya,
partai Gerindra dan Prabowo justru secara eksplisit mencoba membangkitkan
kembali sistem Orde Baru tersebut, yang terlihat jelas dalam manifestonya.
Kata kunci ketika membicarakan sistem yang
dibangun pada masa Orde baru adalah: stabilitas politik untuk pertumbuhan
ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi mensyaratkan adanya stabilitas politik
dalam negeri. Adapun pengejawantahan stabilitas politik ini, tidak lain dan
tidak bukan, adalah berbagai macam kebijakan yang menjadikan masyarakat
Indonesia a-politis. Selain itu, stabilitas politik yang dimaksud pada masa
Orde Baru juga apa yang kita lihat hari ini sebagai sebuah teror negara: ketidakbebasan
pers, pemberangusan gerakan rakyat yang masif yang tumbuh di era Sukarno, Pembunuhan
Misterius (Petrus), hingga penculikan-penculikan aktivis pro-demokrasi tahun
1997-998.
Prabowo sendiri terlibat diantaranya dalam
peristiwa pembunuhan massal di Kraras, pada September 1983 dimana sebanyak 300
orang dibunuh dalam peristiwa itu. Pada tahun 1997-1998, Prabowo pun memimpin
penculikan, penangkapan, dan penyiksaan terhadap para aktivis pro-demokrasi.
Selain itu, Prabowo juga memiliki peran yang sentral dan penting dalam
peristiwa kerusuhan anti-etnis Cina pada 14 Mei 1998 di Jakarta dan kota-kota
besar lainnya.[6] Mantan duta besar Amerika untuk Indonesia,
Robert Gelbard bahkan menyebutkan Prabowo sebagai “somebody who is perhaps the
greatest violator of human rights in contemporary times among the Indonesian
military. His deeds in the late 1990s before democracy took hold, were
shocking, even by TNI standards.”
(terjemahan : seseorang yang mungkin merupakan penjahat HAM terkejam di
era militer kontemporer Indonesia. Apa yang dia (Prabowo) lakukan di akhir
1990an sebelum demokrasi, sangatlah mengejutkan, bahkan untuk standar TNI).
Kestabilan politik yang menjadi syarat bagi
pertumbuhan ekonomi ini terlihat jelas menjadi visi Prabowo dan Gerindra ketika
berhasil menjadi presiden dan partai penguasa. Di dalam bidang politik
manifesto misalnya, dijelaskan bahwa,
“...demokrasi yang sesuai dengan budaya
bangsa Indonesia adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Demokrasi liberal telah menyebabkan terjadinya
instabilitas politik nasional yang kontraproduktif bagi pembangunan bangsa
Indonesia. (hlm. 11)
Bagi Prabowo dan Gerindra, era reformasi
adalah era dimana demokrasi yang pada masa Orde Baru berasaskan permusyawaratan
perwakilan telah digantikan dengan demokrasi liberal. Saya setuju bahwa era
reformasi adalah era dimana demokrasi liberal berjaya, tetapi, bukan berarti
jalan bagi keterbatasan dan kekurangan demokrasi liberal tersebut adalah
kembali pada demokrasi versi Orde Baru, atau demokrasi pancasila dengan pemerintah
sebagai otoritas penafsir satu-satunya.
Saya langsung teringat pada salah satu video
di Youtube. Video tersebut menggambarkan demonstrasi buruh-buruh yang
diinisiasi PRD. Dalam salah satu adegan, buruh-buruh yang berdemonstrasi di
pinggir jalan tersebut di hadang oleh militer. Terjadilah percakapan
(kira-kira) sebagai berikut:
Militer:
Ngapain ramai-ramai disini?
Massa
(diwakili koorlap): Demonstrasi pak! Menyuarakan pendapat. Ini demokrasi!
Militer:
Demokrasi apa! Ini bukan demokrasi! Kan sudah ada perwakilanmu di DPR sana.
Pemutusan presentasi terhadap representasi memang
merupakan bagian dari politik Orde baru. Padahal, sebagaimana diketahui, Dewan
Perwakilan yang ada pada masa DPR tidak lain merupakann bagian dari rezim yang
fungsinya hanya menjadi “yes man”
saja dengan politik “Asal Bapak Senang (ABS)”-nya. Sedangkan, rakyat yang
mencoba merepresentasikan dirinya langsung, misalnya melalui aksi massa, tidak diizinkan
dan dapat dipastikan akan mendapatkan represi aparat. Tentu, saya tidak perlu
berpanjang lebar menjelaskan represi yang dialami para pelaku protes pada masa
Orde Baru. Cukuplah kita mengingat contoh-contoh seperti peristiwa Kedung Ombo,
penentangan pembangunan Taman Mini, tragedi Talangsari, tragedi Trisakti dan
Semanggi, dan lain-lain.
Intinya, demokrasi pada masa Ode Baru,
merupakan demokrasi yang maknanya telah dikebiri dengan tujuan untuk
melanggengkan kekuasaan. Tidak ada kebebasan berserikat, berkumpul, apalagi
mengeluarkan pendapat. Visi inilah yang akan dilaksanakan Prabowo dan Gerindra.
Sebagaimana yang ditulis dalam manifesto,
“Terkait dengan pelaksaan demokrasi yang
memberikan kebebasan sebebas-bebasnya, kini bangsa kita tengah menghadapi
pilihan, mana yang diutamakan, kemakmuran rakyat atau kebebasan yang
sebebas-bebasnya. Menghadapi pilihan itu, Partai Gerindra akan mengutamakan
kemakmuran rakyat sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Demokrasi dan kebebasan
hanya merupakan salah satu alat, sedang tujuan utama kita berbangsa dan
bernegara adalah kemakmuran rakyat.” (hlm. 14)
Apakah benar kemerdekaan Indonesia hanyalah
ditujukan untuk kemakmuran rakyat dengan mengesampingkan kebebasan, termasuk
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat? Tentu jawabannya
adalah tidak! Kemerdekaan yang dimaksudkan
tentulah merupakan kebebasan dalam bidang sipil dan politik, juga bidang ekonomi
sosial dan budaya. Kedua hal tersebut tidak bisa dikesampingkan salah satu atau
menegasikan satu diantaranya. Jika demikian, kemerdekaan yang telah direbut
bukanlah kemerdekaan sejati.
Kita harus mengingat bahwa, salah satu dari
keberhasilan reformasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat. Itu tidak bisa
dipungkiri. Kita tentu tidak ingin hidup dalam represi dan ketidakbebasan
politik sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru yang coba dibangkitkan
kembali oleh Prabowo dan Gerindra. Hanya dengan kebebasan politiklah rakyat
Indonesia dapat memperjuangkan hak-haknya ditangan mereka sendiri. Dan,
perjuangan kearah yang lebih baik melalui tangan sendiri itu, akan kembali ke
masa yang suram dan tidak memiliki masa depan ketika rezim yang berkuasa nanti
adalah rezim yang mengesampingkan kebebasan politik.
Selain itu, bukti lain yang dapat menunjukkan
bahwa ketika Prabowo menjadi presiden maka dia akan menjalankan politik Orde
Baru yang fasis adalah kesepakatannya terhadap sistem pertahanan dan keamanan
yang dilakukan rezim Orde Baru, yaitu Sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta (Sishankamrata). Sebagaimana yang tertulis dalam manifesto,
“Sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(Sishankamrata) yang telah terbukti keampuhannya harus lebih dioperasionalkan
yang didukung dengan peningkatan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan modernisasi infrastruktur Alutsista (alat utama sistem senjata) TNI
serta profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (Polri).” (hlm. 36)
Di era Orde Baru, doktrin Hankamrata merupakan
doktrin fundamental militer dengan juga melibatkan partisipasi sipil dalam
“menjaga pertahanan dan keamanan negara.” Dalam prakteknya, doktrin inilah yang
kemudian dipegang untuk memberangus seluruh gerakan rakyat baik oleh militer
ataupun oleh sipil, yang tentunya juga diorganisir oleh militer (paramiliter). Di era reformasi, hal ini tetap
berlaku. Dengan berkelindannya doktrin Hankamrata dengan berbagai macam
regulasi anti-rakyat seperti UU Ormas, UU Intelijen dan UU Kamnas, maka
gerakan-gerakan rakyat akan selalu dianggap sebagai sebuah ancaman bagi
pertahanan dan keamanan negara (baca: kenyamanan investor) dan sah untuk di
represi ketimbang dianggap sebagai rakyat yang berjuang menuntut haknya kepada
negara. Ditambah lagi, jaringan Prabowo ke ormas-ormas paramiliter dan
anti-demokrasi seperti GRIB/Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu pimpinan Hercules,
FAKI/Front anti Komunis Indonesia, FPI/Front Pembela Islam, dan kelompok Tidar jaringan
DO Akmil Magelang semakin meneguhkan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat semakin nyata terancam.
Untuk lebih menegaskan bahwa Prabowo dan Gerindra
adalah rezim yang akan represif secara politik, saya akan mengutip lagi salah
satu bagian dari manifesto, terutama bidang perburuhan,
“Ketidakpuasan buruh terhadap manajemen kerja dan industri seringkali
diungkapkan dalam bentuk pemogokan, demonstrasi, bahkan sabotase. Kondisi ini
tidak kondusif bagi iklim dunia usaha dan industri serta menyebabkan hilangnya
potensi investasi yang dapat menciptakan lapangan kerja. Partai Gerindra
menilai hubungan buruh dan pengusaha perlu ditempatkan sebagai relasi yang
seimbang, saling menguntungkan dan saling membutuhkan.” (hlm. 47)
Tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan rakyat
yang paling maju di era reformasi adalah gerakan buruh. Cara-cara yang
diperjuangkan adalah apa yang ditulis dalam manifesto itu: mogok, demo, bahkan
sabotase. Sayangnya, Prabowo dan Gerindra menganggap bahwa hal tersebut tidak
lain merupakan kondisi yang tidak kondusif bagi iklim usaha. Apalagi, penilaian
Prabowo dan Gerindra dalam hubungan buruh-pengusaha adalah hubungan yang
seimbang. Padahal, sebagaimana yang kita tahu, relasi antara buruh-penguasa
selalu merupakan relasi yang timpang, dan satu-satunya cara untuk memperkecil
ketimpangan tersebut adalah menempatkan aksi massa para buruh sebagai metode
perlawanan, tentu dalam konteks perjuangan kelas. Maka, jika kita mendapati
kesan bahwa Prabowo sangat pro-buruh dalam masa-masa kampanye seperti saat ini,
itu tidak lain hanyalah manipulasi.
Persepsi yang mengatakan bahwa relasi antara
buruh dan penguasa merupakan mitra yang memiliki kesetaraan posisi, sebagaimana
yang dipandang oleh Prabowo dan Gerindra, tidak lain merupakan pandangan Orde
Baru yang jelas-jelas anti-buruh. Sekali lagi, bahkan gerakan buruh yang paling
maju diantara gerakan sosial lain yang tumbuh pada masa reformasi pun akan tidak
memiliki masa depan ketika Prabowo menjadi Presiden.
Tidak
Adanya Masa Depan Bagi Penegakkan HAM dan Kelompok Minoritas
Salah satu isu utama dalam menjegal Prabowo
untuk menjadi Presiden adalah kasus-kasus pelanggaran HAM-nya di masa lalu. Usaha-usaha
untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM pun dilakukan oleh banyak pihak.
Misalnya, Aksi Kamisan yang diselenggarakan keluarga korban tiap kamis di depan
Istana Negara. Belum lagi berbagai aksi-aksi yang dilakukan berbagai elemen
seperti mahasiswa ataupun LSM-LSM sejenis.
Dalam konteks ini, DPR melalui Panitia Khusus
Orang Hilang pada 28 September 2009 merekomendasikan Presiden SBY untuk
membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengusut kasus pelanggaran HAM, terutama
kasus penghilangan paksa dan mendesak Kejaksaan Agung untuk segela menyelidiki
kasus tersebut (Detik, 2009). Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc ini penting
sebab, setidaknya karena dua hal. Pertama,
negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam melindungi dan
menghormati Hak Asasi warga negaranya. Kedua,
pembentukan Pengadilan HAM ad hoc tidak lain adalah upaya untuk jujur terhadap
sejarah masa lalu bangsa sendiri. Setelah rekomendasi DPR tersebut, sebagaimana
yang diketahui, pengadilan HAM ad hoc tidak pernah dibentuk oleh Presiden.
Bagaimana masa depan penegakkan HAM jika
Prabowo menjadi Presiden? Persoalan ini, dijelaskan secara gamblang dalam
manifesto dengan ungkapan bahwa,
“...adanya Pengadilan HAM merupakan sesuatu
yang over bodie (berlebihan).” (hlm. 34)
Selain itu, dalam halaman selanjutnya, juga
dijelaskan bahwa,
“Partai Gerindra menolak dijadikannya isu
hak-hak asasi manusia sebagai instrumen politik pihak asing untuk mendikte dan
campur tangan dalam urusan domestik negar Indonesia.” (hlm. 35)
Dua pernyataan tersebut sudah menjelaskan
secara gamblang bagaimana masa depan penegakkan HAM masa lalu di Indonesia: NOL
BESAR! Adanya Pengadilan HAM dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan oleh
Prabowo dan Gerindra. Apa yang berlebihan dari desakan untuk menuntut pelaku
pelanggaran HAM ke meja pengadilan? Apa yang berlebihan dari tuntutan Ibu
Sumarsih yang ingin mengetahui siapa sebenarnya aktor intelektual pembunuh Wawan,
anak kesayangannya? Apa yang berlebihan dari tuntutan para orang tua yang ingin
mengetahui keberadaan anaknya yang entah dimana saat ini, apakah masih bernyawa
atau tidak? Apa yang berlebihan jika Fajar Merah dan Fitri Nganthi Wani ingin
mengetahui siapa yang menculik dan membunuh Bapaknya, Wiji Thukul, organisator
buruh dan penyair tajam itu?
Tuntutan akan adanya kebenaran terhadap kasus
pelanggaran HAM semakin tidak masuk akal ketika Prabowo dan Gerindra menganggap
bahwa hal tersebut merupakan instrumen politik asing untuk mendikte Indonesia. Bagi
saya, pernyataan bahwa isu hak asasi manusia merupakan agenda politik asing
untuk campur tangan dalam urusan domestik Indonesia sama sekali tidak masuk
akal dan mengada-ada. Justru, kestabilan politik yang Prabowo dan Gerindra janjikan
dalam manifesto inilah yang dapat menjadi instrumen politik asing untuk
mengintervensi Indonesia. Dengan adanya kestabilan politik, maka investasi,
baik dalam negeri maupun asing akan dapat berjalan dengan mulus. Ketika stabilitas
politik mulai terganggu, maka saat itu pula Prabowo akan tidak segan-segan menggunakan
berbagai cara untuk membuat stabilitas politik menjadi tegak. Jika mogok,
demonstrasi dan sabotase pabrik oleh buruh dianggap mengganggu stabilitas
politik, dan dengan demikian mengganggu jalannya investasi, maka
gerakan-gerakan itupun pasti akan diberangus.
Bukankah justru itu yang merupakan salah satu bentuk dari intervensi
asing (meskipun kadang-kadang tidak secara langsung) yang jelas-jelas
dilaksanakan secara sadar dan terencana?
Pernyataan bahwa perjuangan terhadap isu-isu
kemanusiaan merupakan sesuatu yang berlebihan dan merupakan intervensi asing, itu
sama artinya dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidaklah beradab dan
hanya satu tingkat di atas hewan yang hanya memerlukan perut yang penuh. Justru,
penghormatan terhadap isu kemanusiaan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
HAM merupakan salah satu ciri sebuah negara yang menghormati tiap-tiap
masyarakatnya.
Selain itu, bagi saya, pernyataan bahwa isu HAM
merupakan instrumen politik asing untuk mendikte Indonesia tidak lain merupakan
sebuah usaha preventif agar pelanggaran HAM tidak pernah diusut secara tuntas. Jika
kita melihat berbagai sejarah pelanggaran HAM oleh negara kepada rakyatnya,
maka salah satu faktor keberhasilan dari penuntasan kasus tersebut justru
dukungan asing/dunia internasional. Salah satu contoh terbaik adalah Argentina
dalam melaksanakan pengadilan HAM bagi kediktatoran Junta Militer tahun 1976 –
1983. Pada tahun 2012 misalnya, negara tersebut berhasil mengadili sekita 400
penjahat HAM pada masa Junta Militer (berdikarionline, 2012). Keberhasilan
tersebut salah satunya adalah dukungan dari Amnesti Internasional, sebuah
lembaga internasional yang fokus kepada isu pelanggaran HAM di seluruh dunia. Selain
itu, tentu saja, keberhasilan penuntasan kasus HAM adalah karena pimpinan
negara tersebut yang berpihak di sisi korban.
Bukan hanya penuntasan kasus pelanggaran HAM
saja yang tidak memiliki masa depan seandainya Prabowo menjadi presiden, tetapi
juga nasib para golongan minoritas agama seperti Ahmadiyah atau Syiah yang
terancam keberadaannya. Seandainya Prabowo menjadi presiden, sebagaimana yang
tertuang dalam manifestonya, maka klaim kebenaran agama berada dalam otoritas
negara. Sebuah bentuk fasisme religius yang amat menakutkan!
“...pemerintah/negara wajib mengatur
kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut
untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala
bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.” (hlm 40)
Itulah kalimat lengkap bentuk fasisme religius
yang tertera dalam manifesto Gerindra yang akan dijalankan seandainya Prabowo
menjadi presiden. Dengan manifesto pemurnian agama ini, tidak heran ormas-ormas
anti demokrasi nan fasis seperti FPI dan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) berada di belakang
Prabowo.
Penutup
Jika membaca manifesto Gerindra tanpa ketelitian,
maka mungkin saja kesan pertama yang timbul adalah manifesto ini sempurna dan
dapat menjadi jawaban atas segala jalan buntu yang dihadapi Indonesia. Misalnya
saja, frasa-frasa yang terkesan sangat nasionalistik dengan menolak intervensi
asing, bantuan hutang luar negeri, hingga penolakan privatisasi BUMN. Tetapi,
tentu kita tidak bisa membaca secara lugu dan tanpa ketelitian seperti itu.
Memang, pada ahirnya kita tidak akan bisa mengetahui
apa yang akan terjadi di masa depan. Yang bisa kita lakukan adalah melihat apa
yang ada saat ini dan apa yang telah terjadi di masa lalu. Dengan melihat kedua
hal tersebut, maka sedikit banyak kita akan memprediksi apa yang akan terjadi
di masa depan. Apa yang penulis lakukan dengan menelaah manifesto Gerindra ini
adalah elaborasi dari semuanya: melihat apa yang terjadi saat ini, melihat
sejarah masa lalu, dan kemudian mencocokkannya dengan visi, atau dengan kata
lain, masa depan apa yang akan dibangun Prabowo dan Gerindra atas Indonesia.
Kesimpulannya, visi manifesto Gerindra tidak lain merupakan sebuah manifesto
yang menegaskan bahwa Indonesia akan diarahkan pada bentuk fasisme: mengamankan
kepemilikan pribadi dari ancaman modal asing dengan berselimut pada
terminologi-terminologi nasionalistik (bahkan cenderung ultra-nasionalis), stabilitas
politik dengan mensyaratkan pemberangusan gerakan rakyat dan segala bentuk protes
sebagaimana yang Orde baru lakukan selama 32 tahun melalui militer dan
paramiliter fasis-relijius yang ada di belakangnya, dan pengagungan terhadap sebagian
kelompok dengan merendahkan dan menyingkirkan kelompok di luar mereka, terutama
yang diungkapkan melalui manifesto pemurnian agama.
Satu-satunya cara untuk menggagalkan fasisme
tegak di Indonesia, tidak lain, adalah bersatunya gerakan rakyat untuk melawan
hal ini dengan berbagai macam metode aksi yang memungkinkan. Dalam momen
politik kali ini, tidak bisa lagi kita bersikap netral/tidak berpihak. Jangan
pilih Prabowo, demi kemanusiaan dan demokratisasi, atau minimal demi diri sendiri
yang tidak mau lagi hidup di zaman seperti zaman fasisme Orde Baru.
***
[1] Manifesto Partai Gerindra dapat dilihat lengkap dalam
tautan berikut: http://partaigerindra.or.id/manifesto-perjuangan-partai-gerindra
[2] Martin Suryajaya. Apa yang Sosialis dari Nasional-Sosialis.
[internet]. Diambil dari http://indoprogress.com/2014/05/apa-yang-sosialis-dari-nasional-sosialisme/
pada 20 Mei 2014
[3] Hilmar Farid. Soal Nasionalisasi Aset. Koran Bakti No I/Mei/2014.
[4] 5 Bulan Tak Digaji Karyawan Prabowo Subianto Mogok
http://www.tempo.co/read/news/2014/01/20/058546632/5-Bulan-Tak-Digaji-Karyawan-Prabowo-Subianto-Mogok-
[5] George Junus Aditjondro. Menyongsong Era Suharto, Babak Kedua.
[internet]. Diakses dari https://groups.google.com/forum/#!topic/populasi/KVZ4oHjs32A
pada 21 Mei 2014.
[6] East Timor and Indonesia Action Network (ETAN). Indonesia’s Militarized
Democracy: Candidates bring proven records of violating human rights. [internet]. Diakses dari http://etan.org/news/2014/3candidates.htm pada 23 Mei 2014
Tulisan ini sangat kental dengan aroma Komunis. Saya tidak sependapat dengan komunis juga tidak setuju ketika bangsa ini kembali ke liberal-kapitalis. komunis sudah terbukti gagal, liberalisme merangkak ke liang lahatnya. kita menuju ke New World Order. mengambil hal-hal baik dari keduanya lalu menyatukannya.
BalasHapusBagian mana yg "kental dgn aroma komunis" -nya ya? :)
HapusSemoga Pak Prabowo adalah figur yang gentlemen dan berani jujur memberikan jawaban atas semua tuduhan baik yang pro maupun yang kontra.
BalasHapusItu kan cuma berkaca dari masa lalu.dan apakah ada bukti konkret untuk hal tsb.indonesia memang harus dipimpin oleh mantan militer ygkeras,krna watak orangnya sudah sgt bejat,baik dri rakyat kecilnys smpai dgn pejabat atad
BalasHapusKlo saudara Firman merasa wataknya keras dan bejat mungkin cocok dipimpin Pak Prabowo.
BalasHapusBung Karno bilang "Jangan melupakan Sejarah"
Sudah saatnya RAKYAT MENGGUGAT pemerintahan masa ORDE BARU tentang kesejahteraan yang harusnya dirasakan rakyat setelah 69 tahun Indonesia merdeka.
Untuk penulis artikel ini, tolong lah jangan mengiring opini publik kalau prabowo adalah produk yg akan mengembalikan ke jaman liberal - kapitalis (orde baru). Itu kan hanya insting dan perkiraan penulis saja..tidak ada bukti konkret kalau prabowo akan mengembalikannya ke arah sana. Yg terpenting sekarang adalah bagaimana kita menyelamatkan pemimpin kita ayahanda jokowi agar bisa menyelesaikan amanahnya yg diucapkan di bawah kitab suci alquran sebagai Gubernur DKI Jakarta. :)
BalasHapus