Jumat, 16 Mei 2014

Bangun Kekuatan Alternatif: Bagaimana Memanfaatkan Pemilu 2014 untuk Pembangunan Organisasi Politik Alternatif Rakyat Pekerja


Oleh: Rio Apinino, Sekjen SEMAR UI

Jatuhnya rezim otoritarianisme Suharto pada tahun 1998 memberikan setitik harapan bagi kehidupan yang lebih baik di Indonesia. Selama 32 tahun Suharto berkuasa, rakyat Indonesia hidup dalam cengkeraman represi dan ketidakbebasan, baik ketidakbebasan politik maupun ketidakbebasan ekonomi karena sumber daya yang hanya dikuasai segelintir elit Cendana dan klan-klan bisnis yang dekat dengannya. Saat ini, dimana kebebasan politik sudah relatif lebih mudah dapat diperoleh, dimana rakyat dapat lebih leluasa mengkritik pemerintahan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat atau bahkan dirinya sendiri masuk ke dalam lingkaran kekuasaan melalui partai politik (tentunya,  partai politik borjuis), ternyata kebebasan ekonomi belum sepenuhnya dapat diperoleh rakyat. Yang dimaksud dengan kebebasan ekonomi ini tentu bukanlah kebebasan untuk melakukan usaha-usaha untuk memperoleh keuntungan, melainkan terpenuhinya kebutuhan hidup yang wajar –sandang, pangan dan papan.




Pasca Orde Suharto, fenomena yang kita saksikan bukanlah transformasi ke kehidupan yang lebih baik sebagaimana yang dicita-citakan, melainkan mulai dikebirinya satu-per-satu aspek-aspek mendasar yang menjadi syarat untuk terpenuhinya kebutuhan hidup yang wajar. Pasca UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, kita saksikan bagaimana rakyat pekerja dihadapkan pada semakin timpangnya relasi antara  buruh-majikan karena semakin tidak jelasnya masa depan dalam bekerja dengan adanya sistem kerja kontrak dan outsourcing. Sementara itu, lama kelamaan, subsidi –sebagai bentuk paling nyata dari tanggung jawab pemerintah atas rakyatnya, semakin dikebiri dengan kebijakan pengetatan anggaran. Perguruan Tinggi Negeri juga mengalami swastanisasi, yang berdampak langsung pada melonjaknya biaya pendidikan. Aset negara yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat di jual ke asing. Selain itu, tidak dipedulikan lagi kedaulatan atas tanah sendiri, deregulasi sistem perpajakan yang bertujuan untuk mengundang masuk investor-investor untuk menanamkan sahamnya, dan liberalisasi di sektor perdagangan, kesemua ini adalah ciri-ciri utama kebijakan pemerintahan Pasca Orde Suharto. Kebijakan-kebijakan ini oleh para akademisi dinamakan neoliberalisme.

Meskipun neoliberalisme telah nyata tidak membawa kehidupan rakyat banyak kearah yang lebih baik (rakyat banyak, karena memang segelintir orang diuntungkan dengan sistem ini), tetapi dengan adanya kebebasan politik yang relatif lebih luas dibanding masa Orde Suharto rakyat pekerja dapat melakukan berbagai aksi perlawanan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini terbukti dengan menjamurnya organisasi-organisasi baru yang berasal dari bawah/akar rumput dengan berbagai fokus perjuangannya seperti masalah lingkungan, perempuan, perburuhan, petani, nelayan, masyarakat adat, dll. Tetapi, dengan menjamurnya organisasi-organisasi rakyat ini, bukan berarti perjuangan kearah kehidupan yang lebih baik sudah terlihat titik terangnya. Perjuangan terus dilakukan, dan, pemilu 2014, khususnya Pilpres, yang sebentar lagi diselenggarakan ini juga digunakan sebagai salah satu bagian dari taktik perjuangan berbagai elemen gerakan tersebut, --meskipun banyak juga organisasi yang acuh terhadap Pemilu karena ketidakpercayaan dengan sistem yang ada saat ini. Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan yang lebih besar, Pemilu harus disikapi.

Ketiadaan Pilihan bagi Rakyat Pekerja

Tiga Pemilu yang telah dilewati rakyat Indonesia semenjak jatuhnya otoritarianisme Orde Suharto praktis tidak memberikan harapan. Jawabannya sederhana: karena demokrasi (prosedural) yang telah diperoleh dengan tumbangnya Suharto ternyata kembali dibajak oleh elit-elit lama yang pada masa Orde Suharto memiliki relasi patron-klien dengan Cendana. Suharto memang jatuh, tetapi tidak dengan antek-anteknya. Mereka berhibernasi sesaat untuk kemudian bangkit kembali dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang sedikit berubah: kehilangan patron. Dengan kebebasan Sipil-Politik, dimana setiap orang dapat masuk ke dalam politik praktis, baik dengan membentuk partai politik baru atau memasuki partai-partai politik yang ada, para klien-klien Cendana kemudian memanfaatkan hal ini. Tentu, hal yang sama juga dilakukan para pemilik modal lainnya. Tujuannya, jelas, bagaimana politik digunakan sebagai jembatan agar mereka memiliki akses langsung terhadap sumber daya dan kontrol langsung terhadap sistem ekonomi politik yang ada. Sementara di sisi lain, kepentingan segelintir elit tersebut meniscayakan terpinggirkannya kepentingan mayoritas, yaitu Rakyat Pekerja, mayoritas penduduk Indonesia yang memenuhi kebutuhan sehari-harinya dari pemasukan aktif, atau dengan kata lain mencurahkan keringatnya dengan bekerja dan diberi upah oleh orang lain. Intinya, demokrasi pasca Orde Suharto tidak lain telah dibajak oleh segelintir elit.

Dengan dasar inilah kita dapat menyaksikan ketidakpercayaan yang akut dari mayoritas Rakyat Pekerja terhadap Pemilu. Hal ini terlihat jelas melalui semakin tingginya angka golput dari Pemilu satu ke Pemilu lainnya. Meskipun demikian, tentu saja Golput tidak akan memberikan signifikansi lebih jauh selain daripada pembuktian kuantitas ketidakpercayaan terhadap sistem tersebut. Sementara, sistem yang berjalan tidak berubah.

Selain itu, fenomena lain yang dapat kita saksikan dari gagalnya Pemilu dalam menjawab problem keseharian Rakyat Pekerja pasca otoritarianisme Suharto adalah bangkitnya romantisme terhadap Orde Suharto itu sendiri. Orde Suharto, yang ditandai dengan adanya stabilitas sosial dan politik yang tinggi dianggap sebagai jawaban atas segala kebuntuan hari ini. Tentu, hal ini merupakan sebuah bentuk ilusi, yang sayangnya, mengendap dipikiran banyak masyarakat hari ini. Maka, pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan hari ini adalah membongkar segala ilusi tentang masa-masa “kegemilangan” Orde Suharto yang nyatanya mengorbankan begitu banyak hal, termasuk terpenjaranya kebebasan Sipol (Sipil dan Politik) warga negara. Kita juga harus mengingat apa yang terjadi saat ini tidak lain merupakan dampak atas kebijakan-kebijakan yang dilakukan pada masa otoritarianisme Orde Suharto.

Perlunya Pembangunan Organisasi Politik Otentik dari Rakyat Pekerja

Perlawanan terhadap neoliberalisme yang lebih nyata dapat terlihat melalui perjuangan keseharian Rakyat Pekerja. Pemogokan, aksi massa, pendudukan lahan, Rapat Akbar, pengambilalihan pabrik dan advokasi kasus, merupakan segelintir aksi-aksi yang terus menerus dilakukan Rakyat Pekerja sehari-hari, entah buruh, tani, masyarakat adat, nelayan, dsb. Tetapi, sebagaimana tesis Marx mengenai materialisme historis, bahwa basis produksi menentukan suprastruktur dan suprastruktur merupakan cerminan dari apa yang ada di basis, perlawanan-perlawanan ditingkat basis tersebut akan selalu mendapat perlawanan dari siapa yang menguasai basis dan suprastruktur tersebut. Itu artinya, perlawanan Rakyat Pekerja terhadap sistem kapitalisme akan selalu mendapatkan pertentangan dari kelas berkuasa, dalam hal ini artinya kelas kapitalis melalui politisi borjuis ataupun militer. Hal ini (represi kelas berkuasa atas perlawanan Rakyat Pekerja) tentu dapat dengan mudah kita saksikan hari ini.

Dengan berkelindannya demokrasi yang telah dibajak segelintir elit oligarki dan disisi lain masifnya perlawanan Rakyat Pekerja terhadap rezim neoliberalisme, satu-satunya jalan yang dapat memastikan kemenangan Rakyat Pekerja adalah direbutnya kembali demokrasi. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana merebut demokrasi yang telah dibajak tersebut?

Di alam demokrasi saat ini, jalan yang paling masuk akal untuk memastikan kemenangan Rakyat Pekerja adalah merebut kekuasaan negara dari segelintir elit melalui kendaraan bernama Partai Politik. Tetapi, berbeda dengan partai politik borjuis yang tujuan menguasai negara tidak lain adalah untuk melanggengkan status quo dan mempertahankan corak produksi kapitalisme, Partai Politik Rakyat Pekerja –atau dengan kata lain Partai Politik Kiri, hadir bukan dengan tujuan untuk melanggengkan sistem, melainkan justru untuk mengubahnya. Atau secara lebih spesifik, perebutan negara oleh Partai Politik Kiri adalah untuk mengubah corak produksi kapitalisme dengan corak produksi yang benar-benar manusiawi: sosialisme. Di ranah praktis, sebuah partai politik yang sedang di wacanakan ini mesti menanggalkan ciri empiris partai-partai politik borjuis hari ini, yaitu: tidak dikuasai oleh konglomerat-konglomerat melainkan oleh kelas pekerja secara kolektif, tidak mengandalkan raupan suara elektoral dari massa mengambang melainkan terdiri dari sektor-sektor gerakan rakyat yang terorganisir dalam melawan sistem kapitalisme dengan berbagai pengejawantahannya, dan mempunyai program aksi yang konkret dan ideologis sebagai cerminan kepentingan kelas dari Rakyat Pekerja itu sendiri.

Cita-cita ini tentu saja memerlukan berbagai prasyarat sebelum dapat terpenuhi. Pasca kekalahan PRD dalam Pemilu 1999, praktis kita belum memiliki Partai Politik yang berorientasi Kiri dan berkontestasi di Pemilu. Tetapi, tentu saja usaha-usaha menuju pemenangan Rakyat Pekerja untuk menguasai negara bukanlah tidak dilakukan. Tercatat bagaimana organ-organ Kiri melakukan berbagai macam upaya untuk melakukan perubahan struktural melalui intervensi terhadap negara. Taktiknya berbeda, dari mulai menempatkan kader-kadernya di partai politik borjuis hingga menolak secara total sistem Pemilu karena dianggap hanya sebagai formalitas bagi legitimasi borjuasi. Yang belum berhasil dilakukan, tentu saja, berkontestasi langsung atas nama Partai Rakyat Pekerja dalam Pemilu. Hanya dengan cara tersebutlah agenda-agenda Rakyat Pekerja dapat lebih pasti terperjuangkan karena Rakyat Pekerja sendiri yang memperjuangkannya, ketimbang taktik-taktik lain yang telah disebutkan sebelumnya.

Memastikan Agenda Pembangunan Partai Politik Alternatif Terus Berlanjut

Kembali ke Pemilu, permasalahannya kemudian adalah apa yang seharusnya dilakukan Kiri untuk menghadapi Pemilu 2014, khususnya Pilpres kali ini? Nyatanya, belum ada Partai Politik Kiri yang berkontestasi dalam Pemilu, dan dengan demikian belum adanya calon Presiden yang juga berasal dari Kiri. Calon Presiden yang bervisi sosialisme, tentunya.

Dalam pemilu 2014 ini, untuk memastikan pembangunan partai politik alternatif untuk menghantarkan Rakyat Pekerja merebut negara, yang perlu dicapai adalah situasi yang kondusif Pasca Pemilu 2014. Suasana yang kondusif dan memungkinan pembangunan partai politik alternatif ini tentu saja diusahakan supaya kita dapat terus berpropaganda, melakukan rekrutmen, dan melakukan pendidikan-pendidikan. Suasana yang kondusif untuk pembangunan partai alternatif seperti ini, tentu tidak akan dapat dilakukan dalam kondisi yang represif. Sayangnya, dalam Pemilu kali ini, terlihat kemungkinan yang sangat mengerikan yang terbuka lebar: fasisme gaya baru yang tercermin melalui Calon Presiden Mantan Jenderal Pelanggar HAM yang (masih) berkelindan dengan neoliberalisme, yaitu Prabowo Subianto.

Akan tetapi, usaha-usaha menjegal bangkitnya fasisme yang tercermin melalui salah satu calon presiden bukan berarti kita harus secara otomatis mendukung secara membabi buta calon presiden yang satunya lagi, yang terkenal dengan gaya kepemimpinannya yang merakyat. Mengutip Ken Buddha Kusumandaru,[1] baik Prabowo maupun Jokowi, karena mereka tetap berada dalam kerangka ekonomi-politik kapitalisme dan partai politik borjuasi, keduanya merupakan dua opsi terbaik kekuasaan kelas borjuasi untuk mempertahankan kuasa mereka atas Rakyat Pekerja. Pertanyaan yang mesti dijawab oleh kita kemudian adalah: dalam kondisi yang seperti apa pembangunan Partai Politik Alternatif yang berasal dari, oleh, dan untuk Rakyat Pekerja ini menjadi mungkin? Apakah kondisi represif, atau kondisi yang relatif stabil –dalam arti tidak represif, meskipun tidak dapat juga dipastikan apakah rezim tersebut mengusung agenda-agenda kerakyatan? Tentu, setidaknya menurut saya, kondisi yang kedua lah yang lebih memungkinkan hal tersebut.

Persoalan apakah rezim yang kedua tersebut akan menjalankan agenda-agenda kerakyatan, bagi saya, adalah juga persoalan bagaimana memastikan gerakan rakyat terkonsolidasi sedemikian rupa agar tekanan publik berjalan massif dan memaksa rezim tersebut menuruti keinginan publik. Sambil, tentu saja, terus-menerus mengosolidasikan gerakan rakyat dalam wataknya yang politis. Tentu, kita tidak bisa juga berharap terlalu banyak dalam Pemilu 2014 ini. Justru, yang harus kita lakukan adalah bagaimana agar kita memiliki nafas yang lebih panjang agar harapan-harapan tersebut dapat diperjuangkan oleh Rakyat Pekerja sendiri dengan mewujudkan suatu kondisi yang memungkinkan untuk itu.

Pada Akhirnya, Kapitalisme Bukanlah Akhir Dari Sejarah

“Mantra” Fukuyama yang mengatakan bahwa kapitalisme dan demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah, bagi orang-orang yang percaya akan adanya perubahan struktural adalah sebuah omong kosong. Bubarnya Uni Soviet sama sekali tidak berarti bubarnya Marxisme. Selama masih ditemukan penindasan terhadap dan perlawanan dari buruh industri modern di atas bumi, sosialisme ilmiah alias Marxisme akan tetap ada. Karena, Marxisme sebagai ide hanyalah cerminan dari pertentangan kelas yang terjadi di dunia nyata.

Tetapi, mengatakan bahwa sosialisme atau bahkan komunisme akan datang secara niscaya karena krisis internal dalam kapitalisme juga bukanlah hal yang tepat. Karl Marx, yang merupakan “nabinya” orang-orang Kiri sudah jelas menekankan adanya Praxis, yaitu kesatuan teori dan praktek. Tidak akan ada perubahan struktural tanpa adanya agensi yang menggerakkannya, meskipun kondisi sudah memungkinkan bagi adanya perubahan struktural tersebut. Maka, Pemilu 2014 dengan segala problematika spesifiknya ini hanyalah satu periode singkat menuju perubahan struktural tersebut. Meskipun demikian, jika Pemilu ini tidak disikapi secara tepat, maka periode singkat ini dapat mempengaruhi apa yang akan terjadi di masa depan. Revolusi, pengambilalihan negara, sosialisme, dan tujuan-tujuan strategis Kiri lainnya hanya dapat terwujud ketika taktik-taktik jangka pendek seperti penyikapan terhadap Pemilu 2014 dapat dirumuskan secara tepat. Dan, sikap yang tepat, setidaknya menurut saya, adalah bagaimana memastikan konsolidasi kekuatan rakyat yang berwatak politis tersebut dapat berlangsung secara kondusif di rezim pasca SBY.




Paper disampaikan pada Kuliah Publik “Pemilu 2014 dan Proses Menuju Kebangktan Kekuatan Alternatif” di Auditorum AJS FISIP UI, Jumat 16 Mei 2014.



[1] Ken Buddha Kusumandaru. Jokowi dan Komidi Putar Gerakan Kiri. [internet]. http://www.prp-indonesia.org/2014/jokowow-dan-komidi-putar-gerakan-kiri. diakses pada 13 Mei 2014. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar