Oleh: Rio Apinino, Sekjen SEMAR UI
Jatuhnya rezim otoritarianisme Suharto pada tahun 1998 memberikan
setitik harapan bagi kehidupan yang lebih baik di Indonesia. Selama 32 tahun Suharto
berkuasa, rakyat Indonesia hidup dalam cengkeraman represi dan ketidakbebasan,
baik ketidakbebasan politik maupun ketidakbebasan ekonomi karena sumber daya
yang hanya dikuasai segelintir elit Cendana dan klan-klan bisnis yang dekat
dengannya. Saat ini, dimana kebebasan politik sudah relatif lebih mudah dapat
diperoleh, dimana rakyat dapat lebih leluasa mengkritik pemerintahan yang
dianggap tidak berpihak pada rakyat atau bahkan dirinya sendiri masuk ke dalam
lingkaran kekuasaan melalui partai politik (tentunya, partai politik borjuis), ternyata kebebasan
ekonomi belum sepenuhnya dapat diperoleh rakyat. Yang dimaksud dengan kebebasan
ekonomi ini tentu bukanlah kebebasan untuk melakukan usaha-usaha untuk
memperoleh keuntungan, melainkan terpenuhinya kebutuhan hidup yang wajar
–sandang, pangan dan papan.
Pasca Orde Suharto, fenomena yang kita saksikan bukanlah
transformasi ke kehidupan yang lebih baik sebagaimana yang dicita-citakan,
melainkan mulai dikebirinya satu-per-satu aspek-aspek mendasar yang menjadi
syarat untuk terpenuhinya kebutuhan hidup yang wajar. Pasca UU Ketenagakerjaan
No. 13 Tahun 2003, kita saksikan bagaimana rakyat pekerja dihadapkan pada
semakin timpangnya relasi antara
buruh-majikan karena semakin tidak jelasnya masa depan dalam bekerja
dengan adanya sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Sementara itu, lama kelamaan, subsidi –sebagai bentuk paling nyata dari
tanggung jawab pemerintah atas rakyatnya, semakin dikebiri dengan kebijakan
pengetatan anggaran. Perguruan Tinggi Negeri juga mengalami swastanisasi, yang
berdampak langsung pada melonjaknya biaya pendidikan. Aset negara yang
seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat di jual ke asing.
Selain itu, tidak dipedulikan lagi kedaulatan atas tanah sendiri, deregulasi
sistem perpajakan yang bertujuan untuk mengundang masuk investor-investor untuk
menanamkan sahamnya, dan liberalisasi di sektor perdagangan, kesemua ini adalah
ciri-ciri utama kebijakan pemerintahan Pasca Orde Suharto. Kebijakan-kebijakan
ini oleh para akademisi dinamakan neoliberalisme.
Meskipun neoliberalisme telah nyata tidak membawa kehidupan
rakyat banyak kearah yang lebih baik (rakyat banyak, karena memang segelintir
orang diuntungkan dengan sistem ini), tetapi dengan adanya kebebasan politik
yang relatif lebih luas dibanding masa Orde Suharto rakyat pekerja dapat
melakukan berbagai aksi perlawanan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini
terbukti dengan menjamurnya organisasi-organisasi baru yang berasal dari
bawah/akar rumput dengan berbagai fokus perjuangannya seperti masalah
lingkungan, perempuan, perburuhan, petani, nelayan, masyarakat adat, dll. Tetapi,
dengan menjamurnya organisasi-organisasi rakyat ini, bukan berarti perjuangan
kearah kehidupan yang lebih baik sudah terlihat titik terangnya. Perjuangan
terus dilakukan, dan, pemilu 2014, khususnya Pilpres, yang sebentar lagi
diselenggarakan ini juga digunakan sebagai salah satu bagian dari taktik
perjuangan berbagai elemen gerakan tersebut, --meskipun banyak juga organisasi
yang acuh terhadap Pemilu karena ketidakpercayaan dengan sistem yang ada saat
ini. Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan yang lebih besar, Pemilu harus
disikapi.
Ketiadaan Pilihan
bagi Rakyat Pekerja
Tiga Pemilu yang telah dilewati rakyat Indonesia semenjak
jatuhnya otoritarianisme Orde Suharto praktis tidak memberikan harapan.
Jawabannya sederhana: karena demokrasi (prosedural) yang telah diperoleh dengan
tumbangnya Suharto ternyata kembali dibajak oleh elit-elit lama yang pada masa Orde
Suharto memiliki relasi patron-klien dengan Cendana. Suharto memang jatuh,
tetapi tidak dengan antek-anteknya. Mereka berhibernasi sesaat untuk kemudian
bangkit kembali dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang sedikit berubah:
kehilangan patron. Dengan kebebasan Sipil-Politik, dimana setiap orang dapat
masuk ke dalam politik praktis, baik dengan membentuk partai politik baru atau
memasuki partai-partai politik yang ada, para klien-klien Cendana kemudian
memanfaatkan hal ini. Tentu, hal yang sama juga dilakukan para pemilik modal lainnya.
Tujuannya, jelas, bagaimana politik digunakan sebagai jembatan agar mereka
memiliki akses langsung terhadap sumber daya dan kontrol langsung terhadap sistem
ekonomi politik yang ada. Sementara di sisi lain, kepentingan segelintir elit
tersebut meniscayakan terpinggirkannya kepentingan mayoritas, yaitu Rakyat
Pekerja, mayoritas penduduk Indonesia yang memenuhi kebutuhan sehari-harinya
dari pemasukan aktif, atau dengan kata lain mencurahkan keringatnya dengan
bekerja dan diberi upah oleh orang lain. Intinya, demokrasi pasca Orde Suharto
tidak lain telah dibajak oleh segelintir elit.
Dengan dasar inilah kita dapat menyaksikan ketidakpercayaan
yang akut dari mayoritas Rakyat Pekerja terhadap Pemilu. Hal ini terlihat jelas
melalui semakin tingginya angka golput dari Pemilu satu ke Pemilu lainnya. Meskipun
demikian, tentu saja Golput tidak akan memberikan signifikansi lebih jauh
selain daripada pembuktian kuantitas ketidakpercayaan terhadap sistem tersebut.
Sementara, sistem yang berjalan tidak berubah.
Selain itu, fenomena lain yang dapat kita saksikan dari
gagalnya Pemilu dalam menjawab problem keseharian Rakyat Pekerja pasca
otoritarianisme Suharto adalah bangkitnya romantisme terhadap Orde Suharto itu
sendiri. Orde Suharto, yang ditandai dengan adanya stabilitas sosial dan politik
yang tinggi dianggap sebagai jawaban atas segala kebuntuan hari ini. Tentu, hal
ini merupakan sebuah bentuk ilusi, yang sayangnya, mengendap dipikiran banyak
masyarakat hari ini. Maka, pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan hari ini
adalah membongkar segala ilusi tentang masa-masa “kegemilangan” Orde Suharto
yang nyatanya mengorbankan begitu banyak hal, termasuk terpenjaranya kebebasan
Sipol (Sipil dan Politik) warga negara. Kita juga harus mengingat apa yang
terjadi saat ini tidak lain merupakan dampak atas kebijakan-kebijakan yang
dilakukan pada masa otoritarianisme Orde Suharto.
Perlunya Pembangunan
Organisasi Politik Otentik dari Rakyat Pekerja
Perlawanan terhadap neoliberalisme yang lebih nyata dapat
terlihat melalui perjuangan keseharian Rakyat Pekerja. Pemogokan, aksi massa,
pendudukan lahan, Rapat Akbar, pengambilalihan pabrik dan advokasi kasus,
merupakan segelintir aksi-aksi yang terus menerus dilakukan Rakyat Pekerja
sehari-hari, entah buruh, tani, masyarakat adat, nelayan, dsb. Tetapi,
sebagaimana tesis Marx mengenai materialisme historis, bahwa basis produksi
menentukan suprastruktur dan suprastruktur merupakan cerminan dari apa yang ada
di basis, perlawanan-perlawanan ditingkat basis tersebut akan selalu mendapat
perlawanan dari siapa yang menguasai basis dan suprastruktur tersebut. Itu
artinya, perlawanan Rakyat Pekerja terhadap sistem kapitalisme akan selalu
mendapatkan pertentangan dari kelas berkuasa, dalam hal ini artinya kelas kapitalis
melalui politisi borjuis ataupun militer. Hal ini (represi kelas berkuasa atas
perlawanan Rakyat Pekerja) tentu dapat dengan mudah kita saksikan hari ini.
Dengan berkelindannya demokrasi yang telah dibajak
segelintir elit oligarki dan disisi lain masifnya perlawanan Rakyat Pekerja
terhadap rezim neoliberalisme, satu-satunya jalan yang dapat memastikan
kemenangan Rakyat Pekerja adalah direbutnya kembali demokrasi. Pertanyaannya
kemudian adalah, bagaimana merebut demokrasi yang telah dibajak tersebut?
Di alam demokrasi saat ini, jalan yang paling masuk akal
untuk memastikan kemenangan Rakyat Pekerja adalah merebut kekuasaan negara dari
segelintir elit melalui kendaraan bernama Partai Politik. Tetapi, berbeda
dengan partai politik borjuis yang tujuan menguasai negara tidak lain adalah
untuk melanggengkan status quo dan
mempertahankan corak produksi kapitalisme, Partai Politik Rakyat Pekerja –atau
dengan kata lain Partai Politik Kiri, hadir bukan dengan tujuan untuk
melanggengkan sistem, melainkan justru untuk mengubahnya. Atau secara lebih
spesifik, perebutan negara oleh Partai Politik Kiri adalah untuk mengubah corak
produksi kapitalisme dengan corak produksi yang benar-benar manusiawi:
sosialisme. Di ranah praktis, sebuah partai politik yang sedang di wacanakan
ini mesti menanggalkan ciri empiris partai-partai politik borjuis hari ini,
yaitu: tidak dikuasai oleh konglomerat-konglomerat melainkan oleh kelas pekerja
secara kolektif, tidak mengandalkan raupan suara elektoral dari massa
mengambang melainkan terdiri dari sektor-sektor gerakan rakyat yang
terorganisir dalam melawan sistem kapitalisme dengan berbagai
pengejawantahannya, dan mempunyai program aksi yang konkret dan ideologis
sebagai cerminan kepentingan kelas dari Rakyat Pekerja itu sendiri.
Cita-cita ini tentu saja memerlukan berbagai prasyarat
sebelum dapat terpenuhi. Pasca kekalahan PRD dalam Pemilu 1999, praktis kita belum
memiliki Partai Politik yang berorientasi Kiri dan berkontestasi di Pemilu. Tetapi,
tentu saja usaha-usaha menuju pemenangan Rakyat Pekerja untuk menguasai negara
bukanlah tidak dilakukan. Tercatat bagaimana organ-organ Kiri melakukan
berbagai macam upaya untuk melakukan perubahan struktural melalui intervensi
terhadap negara. Taktiknya berbeda, dari mulai menempatkan kader-kadernya di
partai politik borjuis hingga menolak secara total sistem Pemilu karena
dianggap hanya sebagai formalitas bagi legitimasi borjuasi. Yang belum berhasil
dilakukan, tentu saja, berkontestasi langsung atas nama Partai Rakyat Pekerja
dalam Pemilu. Hanya dengan cara tersebutlah agenda-agenda Rakyat Pekerja dapat
lebih pasti terperjuangkan karena Rakyat Pekerja sendiri yang memperjuangkannya,
ketimbang taktik-taktik lain yang telah disebutkan sebelumnya.
Memastikan Agenda
Pembangunan Partai Politik Alternatif Terus Berlanjut
Kembali ke Pemilu, permasalahannya kemudian adalah apa yang
seharusnya dilakukan Kiri untuk menghadapi Pemilu 2014, khususnya Pilpres kali
ini? Nyatanya, belum ada Partai Politik Kiri yang berkontestasi dalam Pemilu,
dan dengan demikian belum adanya calon Presiden yang juga berasal dari Kiri.
Calon Presiden yang bervisi sosialisme, tentunya.
Dalam pemilu 2014 ini, untuk memastikan pembangunan partai
politik alternatif untuk menghantarkan Rakyat Pekerja merebut negara, yang
perlu dicapai adalah situasi yang kondusif Pasca Pemilu 2014. Suasana yang
kondusif dan memungkinan pembangunan partai politik alternatif ini tentu saja
diusahakan supaya kita dapat terus berpropaganda, melakukan rekrutmen, dan melakukan
pendidikan-pendidikan. Suasana yang kondusif untuk pembangunan partai
alternatif seperti ini, tentu tidak akan dapat dilakukan dalam kondisi yang
represif. Sayangnya, dalam Pemilu kali ini, terlihat kemungkinan yang sangat
mengerikan yang terbuka lebar: fasisme gaya baru yang tercermin melalui Calon
Presiden Mantan Jenderal Pelanggar HAM yang (masih) berkelindan dengan
neoliberalisme, yaitu Prabowo Subianto.
Akan tetapi, usaha-usaha menjegal bangkitnya fasisme yang
tercermin melalui salah satu calon presiden bukan berarti kita harus secara
otomatis mendukung secara membabi buta calon presiden yang satunya lagi, yang
terkenal dengan gaya kepemimpinannya yang merakyat. Mengutip Ken Buddha
Kusumandaru,[1] baik Prabowo
maupun Jokowi, karena mereka tetap berada dalam kerangka ekonomi-politik
kapitalisme dan partai politik borjuasi, keduanya merupakan dua opsi terbaik kekuasaan
kelas borjuasi untuk mempertahankan kuasa mereka atas Rakyat Pekerja. Pertanyaan
yang mesti dijawab oleh kita kemudian adalah: dalam kondisi yang seperti apa
pembangunan Partai Politik Alternatif yang berasal dari, oleh, dan untuk Rakyat
Pekerja ini menjadi mungkin? Apakah kondisi represif, atau kondisi yang relatif stabil –dalam arti tidak represif,
meskipun tidak dapat juga dipastikan apakah rezim tersebut mengusung
agenda-agenda kerakyatan? Tentu, setidaknya menurut saya, kondisi yang kedua
lah yang lebih memungkinkan hal tersebut.
Persoalan apakah rezim yang kedua tersebut akan menjalankan
agenda-agenda kerakyatan, bagi saya, adalah juga persoalan bagaimana memastikan
gerakan rakyat terkonsolidasi sedemikian rupa agar tekanan publik berjalan
massif dan memaksa rezim tersebut menuruti keinginan publik. Sambil, tentu
saja, terus-menerus mengosolidasikan gerakan rakyat dalam wataknya yang politis.
Tentu, kita tidak bisa juga berharap terlalu banyak dalam Pemilu 2014 ini.
Justru, yang harus kita lakukan adalah bagaimana agar kita memiliki nafas yang
lebih panjang agar harapan-harapan tersebut dapat diperjuangkan oleh Rakyat
Pekerja sendiri dengan mewujudkan suatu kondisi yang memungkinkan untuk itu.
Pada Akhirnya,
Kapitalisme Bukanlah Akhir Dari Sejarah
“Mantra” Fukuyama yang mengatakan bahwa kapitalisme dan
demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah, bagi orang-orang yang percaya akan
adanya perubahan struktural adalah sebuah omong kosong. Bubarnya Uni Soviet
sama sekali tidak berarti bubarnya Marxisme. Selama masih ditemukan penindasan
terhadap dan perlawanan dari buruh industri modern di atas bumi, sosialisme
ilmiah alias Marxisme akan tetap ada. Karena, Marxisme sebagai ide hanyalah
cerminan dari pertentangan kelas yang terjadi di dunia nyata.
Tetapi, mengatakan bahwa sosialisme atau bahkan komunisme akan
datang secara niscaya karena krisis internal dalam kapitalisme juga bukanlah
hal yang tepat. Karl Marx, yang merupakan “nabinya” orang-orang Kiri sudah
jelas menekankan adanya Praxis, yaitu kesatuan teori dan praktek. Tidak akan
ada perubahan struktural tanpa adanya agensi yang menggerakkannya, meskipun
kondisi sudah memungkinkan bagi adanya perubahan struktural tersebut. Maka,
Pemilu 2014 dengan segala problematika spesifiknya ini hanyalah satu periode singkat
menuju perubahan struktural tersebut. Meskipun demikian, jika Pemilu ini tidak
disikapi secara tepat, maka periode singkat ini dapat mempengaruhi apa yang
akan terjadi di masa depan. Revolusi, pengambilalihan negara, sosialisme, dan
tujuan-tujuan strategis Kiri lainnya hanya dapat terwujud ketika taktik-taktik
jangka pendek seperti penyikapan terhadap Pemilu 2014 dapat dirumuskan secara
tepat. Dan, sikap yang tepat, setidaknya menurut saya, adalah bagaimana
memastikan konsolidasi kekuatan rakyat yang berwatak politis tersebut dapat
berlangsung secara kondusif di rezim pasca SBY.
Paper disampaikan pada Kuliah Publik “Pemilu 2014 dan
Proses Menuju Kebangktan Kekuatan Alternatif” di Auditorum AJS FISIP UI, Jumat
16 Mei 2014.
[1] Ken Buddha
Kusumandaru. Jokowi dan Komidi Putar
Gerakan Kiri. [internet]. http://www.prp-indonesia.org/2014/jokowow-dan-komidi-putar-gerakan-kiri.
diakses pada 13 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar