Jumat, 23 Agustus 2013

Materialisme Dialektika Sebagai Inti Filsafat Marxis

oleh Rio Apinino*
Marxisme adalah sebuah filsafat yang berintikan materialisme dan dialektika. “Materialisme adalah konsepsi filsafat marxis, sedang dialektika adalah metodenya” –demikian tutur Njoto pada tahun 1961[1]. Dalam tulisan ini saya akan memaparkan materialisme dan dialektika (dialectical materialism –diamat) tersebut.

Materialisme
Dalam sejarah panjang filsafat terdapat dua aliran filsafat yang saling bertentangan: idealisme dan materialisme. Namun, tidak seperti pengertian yang kita pahami sehari-hari dimana materialisme diidentikkan dengan kesenangan terhadap hal-hal duniawi (seperti kekayaan) dan idealisme selalu diidentikkan dengan sesuatu yang mulia, seperti cita-cita mulia atau konsistensi pada sebuah jalan yang dianggap baik, misal orang itu masih idealis karena masih kritis. Dalam filsafat definisi ini sangat berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini kita menempatkan pemahaman antara materialisme dan idealisme dalam ranah filsafat.
Materialisme adalah paham yang mempercayai bahwa asal mula adalah materi yang merupakan hakikat. Berkebalikan dengan itu, idealisme adalah gugus pengertian yang meyakini bahwa hakikat adalah ‘ide’ dan materi yang ada merupakan refleksi dari ‘ide’ tersebut. Sebagai contoh, hubungan antara kesadaran dan otak manusia. Materialisme meyakini bahwa kesadaran manusia ada karena adanya objek indrawi yang mendahuluinya, yaitu otak. Otak inilah yang melakukan kerja sehingga menghasilkan kesadaran. Sebaliknya, kalangan idealis meyakini bahwa kesadaran ada bahkan tanpa didahului oleh otak sebagai objek indrawi. Salah satu filsuf yang beraliran idealis ini adalah Hegel.
Adalah Feuerbach, yang pada masa mudanya merupakan Hegelian Sayap Kiri –salah satu bagian dari Hegelian Muda, murid-murid Hegel- yang menggugat filsafat idealisme ini. Bagi Feuerbach, sistem hegelian itu tidak cocok denga kenyataan indrawi yang konkret. Kenyataan indrawi yang konkret itu adalah alam material. Namun, meskipun Feuerbach meyakini bahwa hakikat adalah objek indrawi, tetapi materialisme Feuerbach belum benar-benar lepas dari idealisme Hegel. Marx lah yang kemudian mengambil materialisme Feuerbach ini dan memberikan definisi baru terhadapnya.
Dalam Tesis Pertama Tentang Feurbach, Marx berpendapat bahwa:
“Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat ini—termasuk juga Feuerbach—adalah bahwa benda [Gegenstand], realitas, keindrawian, dimengerti hanya dalam bentuk obyek [Objekt] atau kontemplasi [Anschauung], tetapi tidak sebagai aktivitas indrawi manusia, praktik, [atau dengan kata lain] tidak secara subyektif”[2]
Materialisme Feuerbach dan semua materialisme pra-Marx (atau disebut juga materialisme klasik) tidak bisa memahami bahwa objek indrawi itu adalah juga hasil dari aktivitas, kerja, praxis, dari subjek manusia. Materialisme klasik yang memusatkan pada sentralitas objek inilah yang dibalikkan oleh Marx dengan menjadikan subjek sebagai pusat yang mengkonstitusikan objek indrawi. Pendekatan ini yang disebut dengan “materialisme subjektif”.
Dengan materialisme subjektif ini, Etienne Balibar dalam bukunya The Philosophy of Marx yang dikutip oleh Martin Suryajaya[3] mengatakan bahwa Marx berhasil melepaskan materialisme dari idealisme. Selama materialisme berhenti pada objek indrawi saja, maka selama itu pula materialisme tak lebih dari “idealisme terselubung” (disguised idealism). Masih menurut Balibar, materialisme yang dikonsepsikan Marx menghasilkan pemahaman yang baru tentang subjek, bahwa subjek sama dengan praktik dan objek indrawi yang ada di alam ini tidak bisa lepas dari pengaruh aktivitas-aktivitas manusia. Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, kenaikan harga, tingginya inflasi, rusaknya alam, hingga jerat kemiskinan seorang buruh pabrik yang padahal sudah bekerja membanting tulang bukanlah merupakan sesuatu yang natural dalam alam ini. Segala realitas yang terjadi merupakan hasil dari kesalingterhubungan berbagai aktivitas manusia.
Dialektika
Sebagaimana dituturkan oleh Njoto, bahwa konsepsi filsafat marxis adalah materialisme, maka dialektika lah metode untuk sampai pada konsepsi tersebut. Dialektika sendiri bukanlah pemikiran orisinil dari Marx dan bahkan telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Socrates telah sejak awal berfilsafat dengan dialektika. Namun, Marx memperoleh dialektika terutama dari Hegel. Pengandaian dari dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yaitu keseluruhan kenyataan merupakan manifestasi-diri Roh (ingat bahwa Hegel merupakan idealis), yang memiliki kesalingterhubungan satu sama lain dalam jalinan yang tidak putus. Dialektika secara sederhana dikenal sebagai jejalin tesis-antitesis-sintesis, yaitu afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau negasi atas negasi (non-non-A).
Perlu diingat bahwa karena Hegel merupakan filsuf idealis dan Marx adalah seorang materialis, maka tentu dialektika mereka pun memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan mendasar antara dialektika Hegel dan Marx, yang ditulis sendiri oleh Marx dalam Kapital Jilid I, adalah,
“Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya beroposisi terhadapnya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang Ia transformasikan menjadi subjek independen di bawah nama‘idea’ merupakan pencipta dunia riil, dan dunia ril hanyalah merupakan penampakan eksternal dari ‘idea’. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran”
Sedangkan menurut Tan Malaka, selain perbedaan yang nampak pada dialektika Marx dan Hegel, juga terdapat persamaan diantara keduanya, yang ada tidak hadir dalam keadaan statis namun terus dalam gerak.
“Jadi perbedaan terutama diantara Dialektika Marx-Engels & Co dan gurunya Hegel, ialah: Hegel menganggap gerakan pikiran itu sebagai gerakan idee semata-mata (janganlah dilupakan absolut Ide, Maha Rohani dari Hegel), sedangkan Marx dan Engels menganggap otak itu seolah-olah cermin yang membayangkan gerakan benda sebenarnya yang ada diluar otak kita. Dalam perbedaan diantara kedua jenis dialektika, adalah pula persamaan. Kedua pihak berdiri atas gerakan, bukan pada ketetapan. Kedua yang seolah-olah tercerai itu, menurut Hegel oleh sifatnya sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan getrennt scheinende, durch sich selbst, durch das, was sich sind in einander ubergehen.”[4]
Konsekuensi dari pembalikkan dialektika Hegel oleh Marx ini mau tidak mau berubah menjadi filsafat yang praksis dan radikal. Dalam dialektika Hegel, segala yang riil, seperti kerajaan Prusia yang berdiri antara abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-20 dimana penindasan menjadi lazim, hanyalah cerminan dari apa yang ada di dunia ide sehingga absah untuk terus eksis. Bahkan, negara Prusia ini bagi Hegel merupakan perwujudan-diri Roh Absolut. Sedangkan dialektika Marx, karena dalam yang riil tersebut juga terdapat pengakuan terhadap negasinya, maka sejarah masyarakat menjadi sejarah yang cair dan terus berubah. Jika mengambil contoh yang sama, kerajaan Prusia, maka ketika mempercayai eksistensi Kerajaan Prusia, dalam waktu yang sama juga mempercayai negasi darinya atau dengan kata lain meniscayakan kehancuran terhadapnya.
Penutup
Materialisme dialektika, jika disimpulkan, adalah metode pembacaan terhadap realitas dalam filsafat marxis yang bertumpu pada materialisme dan dialektika. Materialisme dialektika, dalam filsafat, menempati posisi epistemologis, yaitu sebuah teori tentang pengetahuan atau cara mendekati sebuah realitas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa marxisme telah menjadi filsafat perjuangan pembebasan bagi umat manusia. Dalam praktik, materialisme yang mendasari pada subjek –manusia, memiliki arti penting dalam perjuangan. Dengan pandangan materialisme maka diyakini bahwa ketertindasan adalah juga hasil dari aktivitas subjek, yaitu kepemilikan pribadi pada segelintir orang. Maka, untuk keluar dari ketertindasan itu pula dibutuhkan aktivitas subjek yang lain, karena sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas–begitu kata Marx. Selama kontradiksi antar kelas masih tetap terus ada, tidak akan pernah ada emansipasi sejati manusia.
Tulisan ini sendiri merupakan tulisan pembuka untuk memahami berbagai pemikiran Marx selanjutnya. Meskipun sebenarnya materialisme dialektis tidaklah dibahas secara menyendiri oleh Marx, tetapi dari tulisan-tulisannya kita dapat menjumpai cara berpikir ini digunakan Marx secara konsisten. Dengan berpijak pada titik tolak inilah akan dibahas pemikiran-pemikiran Marx selanjutnya seperti analisanya tentang masyarakat yang dikenal dengan materialisme historis atau kritiknya terhadap kapitalisme yang termanifestasi dalam magnum opus-nya, Das Kapital.
***
*Mahasiswa Sastra UI angkatan 2010.
______________________________
[1] Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Jakarta: Penerbit Harian Rajat. 1962
[2] Karl Marx, Tesis Tentang Feuerbach. Diambil dari internet http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1845/tesis-feuerbach.htm pada 23 Agustus 2013
[3] Martin Suryajaya, Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis. Diambil dari internet http://problemfilsafat.wordpress.com/2010/10/26/berpikir-dengan-pendekatan-materialisme-dialektis-dan-historis/ pada 23 Agustus 2013
[4] Tan Malaka, Madilog Bab V: Dialektika. Diambil dari internet http://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/Madilog/Bab5.htm pada 23 Agustus 2013

1 komentar:

  1. apakah eksistensi merupakan dasar pemahaman mengenai materialisme?

    BalasHapus