Senin, 12 Agustus 2013

Safari Perubahan Part I: Qaryah Thayyibah

oleh Robie Kholilurrahman*

Sudah berapa lama saya tertarik pada gerakan kelas pekerja kontemporer di Amerika Latin, di antaranya gerakan kaum tani di Bolivia dan gerakan kaum adat Zapatista di Meksiko. Federasi petani kakao di Bolivia berhasil merebut tampuk kepemimpinan nasional dengan menempatkan jagoannya, Evo Morales, sebagai presiden. Zapatista (Tentara Pembebasan Nasional Zapatista) dianggap sebagai gerakan antiglobalisasi pasca modern dengan perhatiannya yang besar terhadap penggunaan teknologi komunikasi dan informasi. Melalui internet dan komunike-komunikenya mereka mendulang dukungan global yang masif.



Maoisme dan Revolusi Kebudayaannya juga sempat membius saya dengan ketertarikan terhadap konsep gerakannya, baik di dimensi strategi perang gerilya maupun Marxisme Asia alias pelimpahan tugas sejarah perubahan bagi kaum tani di pedesaan, bukan kaum buruh di perkotaan seperti di konteks awal industrialisasi Jerman yang dihadapi Marx dan Engels.

Di Indonesia, awalnya, yang saya lihat dalam gerakan adalah dua kubu ekstrim yaitu fatalisme-nihilisme dan irasionalitas pembacaan realitas sosial dan momentum yang membuat gerakan terus menerus gagal membawa perubahan dan sulit untuk disebut menjanjikan. Tapi persepsi pesimis saya di atas runtuh setelah menemui moment of truth di perjalanan #SafariPerubahan beberapa hari yang lalu.

Serikat Paguyuban Petani
Baru kemarin saya melihat ada yang semenjanjikan itu di Indonesia: Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPP QT) di lereng Gunung Merbabu, Salatiga. Ini logonya.
Sebagai bagian dari rangkaian #SafariPerubahan, kami melakukan site visit ke beberapa institusi social enterprise yang dianggap unik dan inspiratif. Saat menginap di kantor pusat SPP QT, Pak Bahrudin, sebagai pendiri menceritakan makna dari logo serikatnya. “Yang berwarna merah dan seperti huruf T itu palu, sebagai lambang alat produksi. Sebenarnya itu palu arit, tapi hasil kongres serikat yang terakhir mengamanahkan untuk merubahnya menjadi cukup palu saja. Sedangkan yang berwarna putih dan meliuk-liuk itu adalah benih kecambah, dan kalau dibaca dari atas merupakan tulisan huruf arab yaitu “Lillah” alias “untuk Allah”. Latar belakangnya gambar gunung (merujuk ke Gunung Merbabu) dan ada matahari terbit. Tanpa ditanya, Pak Din (sapaan akrab Pak Bahrudin) juga bertutur, “Islam dan Komunisme itu kan gak bias dipisahin, ada lho ayatnya,” “Innallaha la yughayyiru ma bi qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim.” ““Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ”. “Menurutmu qaum/qom/kom itu apa?” Lantas Ia tertawa. Tentang kata 'Qaryah Thayyibah' sendiri, mereka mengartikannya sebagai ‘Desa yang Berdaya’.

Menariknya, dari empat kali masa kepengurusan sejak didirikan, organisasi berbasis keislaman ini dua kali dipimpin oleh seorang perempuan, dan beragama katolik pula. Fenomena yang sulit ditemukan di mainstream gerakan keislaman. Ibu Ruth terpilih sebagai presiden serikat pada kongres ke-2 dan ke-4. Seolah-olah mereka menegaskan bahwa tujuan mereka hanyalah Islam sebagai rahmatan lil alamin, karunia bagi semesta alam. Terlepas dari jebakan politik identitas.

Tentang Ibu Ruth, saat kami bertamu kemarin, beliau mengenakan kaus bertuliskan ‘I’m a Feminist’. Saat diminta menjelaskan maksudnya, pertama-tama Ia mengaku bahwa kaos itu bukan Ia yang membelinya, melainkan itu adalah sebuah pemberian dari seorang kawan. Ibu Ruth kemudian menegaskan bahwa pembacaan struktur sosial atau yang popelur dengan sebutan analisis kelas, tidak bisa terpisah dari analisis ketimpangan gender. Tidak tanggung-tanggung, dalam rangka affirmative action untuk mendorong keberdayaan perempuan di organisasi, mereka mewajibkan penempatan perempuan di struktur kepengurusan lebih dari 50%. Presentase minimal ini jauh lebih tinggi dari 30% versi DPR. Bahkan di LSD (Lumbung Sumber Daya, sayap kepemuda/ian tani dari serikat), perempuan menikmati privilege sebagai kaum mayoritas.

Betapa progresifnya SPP QT dalam menafsirkan Islam seolah menjadi contoh nyata dari sebuah konsep yang bukunya sedang saya baca, yaitu ‘Pos-Islamisme’-nya Asef Bayat. Ditekankan bahwa “Apakah Islam sejalan dengan demokrasi?” adalah sebuah pertanyaan yang salah, karena kesejalanan atau ketidaksejalanan tersebut tidak pernah diputuskan di lembar-lembar sakral ayat atau hadits. Lembar-lembar tersebut tidak pernah mem-blacklist kata 'demokrasi' sebagai nama bagi sebuah idelologi haram yang tersesat. Melainkan, kesejalanan atau ketidaksejalanaan tersebut ditentukan oleh dinamika sosial keagamaan yang terjadi di setiap komunitas penerap ajaran Islam, yang spesifik baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Katolisisme di Eropa dahulu pun nyatanya pernah anti terhadap demokrasi. Dalam sejarah kekuasaan Islam pun kita melihat ada beragam model kepemimpinan, baik yang demokratis maupun yang tidak. Namun kesemuanya tetap mencari rasionalisasi dari sumber yang sama yaitu ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi. Secara sederhana, pos-islamis berusaha move on dari sekat-sekat literal tersebut menuju penafsiran Islam yang melek terhadap konteks, yang berbahasa sesuai bahasa kaumnya. Pandangan-pandangan konservatif yang hingga kini tidak lelah diteriakkan oleh sebagian muslim di Indonesia, dibantah tegas oleh SPP QT. Bukan dengan kata-kata, melainkan perbuatan.

SPP QT sendiri berdiri pada tahun 1999, pasca krisis moneter. SPP QT menyebarkan sebuah sistem yang sebenarnya sudah berjalan sejak beberapa tahun sebelumnya melalui organisasi serupa bernama Al-Barokah, di Salatiga. Sejak 1991 Al-Barokah berdiri dan membangun sistem pengaturan subsisten di tingkat desa bagi para petani. Setelah berjalan beberapa tahun, dan memanfaatkan kesempatan terbukanya akses berorganisasi dan berserikat secara bebas pasca reformasi dan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, Al-Barokah dikembangkan ke desa-desa sekitar. Dengan Nama Qaryah Thayyibah, organisasi ini menjadi serikat besar dari paguyuban-paguyuban petani di berbagai wilayah di sekitar Salatiga--dan terus menyebar ke seantero Jawa Tengah. Kini setidaknya sudah 10 kabupaten dan 1 kota di Jawa Tengah menjadi cakupan pengorganisiran SPP QT. SPP QT menjadi serikat tani pertama yang memiliki basis lokal, di Jawa Tengah, membedakannya dengan HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) pimpinan Prabowo Subianto yang menurut SPP QT hanyalah tempat bagi para elit politisi tanpa memiliki basis di massa lokal.

2 tahun setelah berdiri, SPP QT atas nama pendirinya Pak Din terpilih sebagai Ashoka Fellow. Ashoka adalah organisasi internasional yang memberikan dukungan dan jejaring bagi social entrepeneur di seluruh dunia, bertujuan supaya sektor kewargaan bisa terangkat level kompetisinya menyaingi sektor bisnis. Sedangkan Ashoka Fellow adalah sebutan bagi mereka yang terpilih menjadi bagian dari jejaring para social entrepeneur di bawah naungan Ashoka internasional. Di antara Ashoka Fellow lainnya dari indonesia adalah Agung Alit dengan Mitra Bali Fair Tradenya yang berusaha memutus jalur makelar dalam perdagangan ekspor furnitur dan kerajinan tangan para pengrajin Bali, dan Masril Koto, pendiri Bank Tani dalam bentuk LMKA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) Prima Tani di Sumatera barat yang kini sudah berasset ratusan miliar rupiah.

Komunitas Belajar
2 tahun setelanya, 2003, menjawab kebutuhan dari desa dan pertania, SPP QT mendirikan Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah atau yang biasa disingkat KB QT. Media massa umumnya merujuk KB QT sebagai sekolah alternatif, walaupun mereka tidak mau disebut sekolah tetapi 'komunitas belajar'. Karena, bagi Pak Din, "Yang namanya sekolah itu membatasi kreativitas, mengatur murid apa yang harus dipelajari,". Hal yang tidak terjadi di KB QT. Di KB QT tidak ada guru atau pengajar. Metode pembelajarannya adalah peer-teaching. Siswa yang memiliki suatu keterampilan membagi keterampilannya tersebut kepada siswa-siswa lain. Yang pandai menyanyi akan mengajar menyanyi, yang pandai bercerita mengajari bercerita, yang pandai menulis pun seperti itu, sama seperti yang pandai bermusik, membuat kerajinan, dan lain-lain. Pak Din dan kawan-kawannya hanya berposisi sebagai fasilitator dari proses pembelajaran mandiri tersebut. Namun hasil yang didapat ternyata jauh dari apa adanya. Di pertemuan kami, Pak Din menunjukkan beberapa karya dari siswa KB QT di antaranya video clip dan lagu. Bangunan KB QT setinggi 4 lantai bahkan didesain dan dibangun oleh siswa-siswanya sendiri, yang memiliki rentang umur dari siswa SMP hingga SMA pada umumnya. Hasilnya tak kalah dengan desain karya arsitek profesional.

Pada awalnya, saya terlebiih dahulu mengenal Pak Din justru dari KB QT. Sebuah program talk show di televisi mengangkat success story-nya--sebuah istilah yang belakangan Pak Din menolak untuk disematkan kepada dirinya, merujuk pada pembacaannya bahwa sebenarnya yang Ia dan kawan-kawannya lakukan barulah sebuah permulaan dan masih jauh dari gambaran kesuksesan yang mereka bayangkan. Ia justru mengajak, "Mari kita wujudkan yang namanya success story itu kelak bersama-sama"--dalam mengembangkan sebuah metode pembelajaran alternatif, di luar sistem, melawan arus. Saat dikabari bahwa rombongan #SafariPerubahan akan mampir ke tempat Pak Din, saya sumringah. Dijelaskan bahwa Qaryah Thayyibah itu selain menjalankan sekolah alternatif, juga mengorganisir petani. Sesampainya, ternyata hal yang bertolakbelakanglah yang saya dapatkan. KB QT justru merupakan bagian dari SPP QT.

Di antara yang mengangkat nama KB QT ke muka publik adalah saat salahsatu siswinya, yang saat kisruh UN dan ketidaklulusan besar-besaran beberapa waktu yang lalu, menulis di Harian Kompas. Saat itu siswi ini masih berumur siswi SMP. Ia menulis bahwa Ia dan beberapa temannya di KB QT sengaja memilih untuk tidak ikut UN dan mengajak anak-anak lain untuk sama-sama tidak mengikuti UN. Dan jadilah, sebagian siswa/i KB QT tidak mengikuti Ujian Nasional--dan tentunya menjadi 'tidak pernah lulus' dari 'sekolah'-nya. Kini siswi tersebut sudah berumur mahasiswi, melanjutkan menekuni hobinya menulis--sudah menulis dan menerbitkan sendiri beberapa buku, dan masih bercita-cita suatu saat ingin menjadi seorang penulis skenario film.

Bagi Pak Din, siswi/anya yang berhasil, sukses, sesuai dngan harapannya adalah yang seperti ini, yang tidak mengikuti ujian. Bagi Pak Din belajar dan bekerja itu satu paket yaitu dalam rangka berproduksi. Oleh karenanya, keduanya tidak bisa dipisahkan menjadi dua tahap yang berbeda yaitu belajar di sekolah dan lalu setelah itu baru bekerja di perusahaan. Bertani bagi Pak Din adalah pekerjaan yang paling konkrit karena petani adalah pelaku produksi yang paling dekat dengan sumber dan alat produksinya (jauh dari alienasi). Menurutnya, seseorang yang lulus dari sekolah lalu mencari kerja sebenarnya tidak sedang mencari kerja, tapi pada dasarnya mereka itu sedang mencari majikan. Siswa/inya yang tidak mengikuti UN, kata Pak Din, akan tumbuh menjadi manusia yang paripurna. Mereka tidak mengikuti UN dan karenanya tidak pernah lulus dan memiliki ijazah. Karenanya, mereka akan berusaha bertahan hidup dengan mengandalkan kompetensi, kapasitas, dan kreativitasnya sendiri sepanjang masa, tanpa pernah terpikir atau memiliki kesempatan untuk menjual-jual suatu surat sakral berjudul ijazah.


*Mahasiswa FISIP UI 2010. Pernah menjadi Wakil Kepala Departemen Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI 2012. Saat ini aktif membangun gerakan di SEMAR UI. Memiliki twitter dengan ID @rkholil

1 komentar: