Oleh
Rio Apinino*
Sosok
Tan Malaka merupakan salah satu pahlawan nasional yang tidak bisa diragukan
lagi kontribusinya bagi kemerdekaan Indonesia. Perjalanan hidup yang saat ini
bisa kita baca melalui karya-karyanya seperti dari penjara ke penjara membuat
kita percaya bahwa seluruh hidup Tan hanya untuk kemerdekaan republiknya,
Indonesia. Berbagai macam peristiwa penting bangsa inipun tak luput dari
kontribusi Tan. Sebutlah bagaimana Naar
De Republiek menjadi ‘buku panduan’ bagi Sukarno dan Hatta muda, juga
banyak pemuda radikal lainnya. Buku ini sendiri menjelaskan pemikiran Tan
mengenai bentuk negara kelak, republik. Adalah Tan yang pertama kali
mengemukakan gagasannya mengenai bentuk republik ini, dan untuk itu dia dikenal
dengan Bapak republik.
Pria
yang dalam pelariannya dari kejaran polisi internasional telah menghabiskan 89
ribu kilometer atau setara dengan jarak dua kali lingkaran bumi dan memiliki 23
nama samaran ini[1]
berasal dari Tanah Minang dan mengenyam pendidikan di negeri Belanda di sekolah
Hoofde Acte (guru kepala). Sempat menjadi
ketua PKI pada Desember 1921 menggantikan comrade Semaoen, memobilisasi rapat
umum di Lapangan Ikada, mendirikan Partai Murba Pada tahun 1948, dan akhirnya di
tembak mati oleh tentara republik dikisaran tahun 1949.
Maksud
penulis tentu bukanlah membuat ulasan biografi Tan disini, namun kiranya dua
paragraf diatas dapat menggambarkan secara kasar bagaimana pengorbanan tan bagi
republik yang ia cintai ini. Adapun maksud penulis adalah memberikan sedikit
gambaran tentang pemikiran Tan Malaka yang kental dengan ideologi marxisme. Hal
ini tentu sangat penting karena Tan juga salah satu pejuang yang bukan hanya
berjuang secara lahiriyah namun juga berjuang untuk memerdekakan mental
bangsanya dari mental inlander dan
takhayul-takhayul tak masuk akal.
Membaca
pemikiran Tan malaka tentu tak bisa dilepaskan dari karya-karya yang telah diciptakannya.
Massa Aksi (1926), Gerpolek (1948), hingga karya terbesarnya Madilog (1943)
merupakan sekian dari banyak karya yang kita tahu sampai saat ini. Tercatat,
ada 26 karya yang menjadi buah pikiran Tan. Pembacaan terhadap pemikiran Tan
dapat dimulai dengan melihat sekilas perjalanan hidupnya. Bahwa Tan sangat
terpengaruh oleh paham komunisme tidak bisa dipungkiri, namun gemblengan agama
Islam yang keras ketika masih kecil juga mempengaruhi pemikirannya sampai tua. Terbukti
dengan satu statementnya yang paling terkenal “di hadapan Tuhan aku Islam,
namun dihadapan manusia aku adalah komunis”.
Ontologi
“Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, bumi dan bintang sebagai benda, ya, ‘engkau’ sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. "Engkau",kata hume, cuma "ide" buat saya. Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya diri sendiri, mengakui, bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada.” (Madilog bab 2 filsafat).
Dalam
sejarah panjang filsafat, terdapat dua kutub filsafat yang saling bertentangan:
idealisme dan materialisme. Namun, tidak seperti pengertian yang kita pahami
sehari-hari dimana materialisme diidentikkan dengan kesenangan terhadap hal-hal
duniawi dan idealisme selalu diidentikkan dengan sesuatu yang mulia, dalam
filsafat definisi ini sangat berbeda. Dalam filsafat, materialisme adalah paham
yang mempercayai bahwa asal mula adalah materi yang merupakan hakikat. Hal ini
juga termasuk kesadaran dan ide kita. Hal yang paling sederhana, keberadaan
kesadaran dan ide hanya dapat terjadi karena kita memiliki otak sebagai salah
satu materi yang ada di tubuh kita. Ketika otak itu rusak, maka kesadaran dan
ide kita pun akan hilang. Sebaliknya, idealisme yang dipopulerkan Plato adalah
pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini hanyalah merupakan refleksi
dari ide-ide yang telah ada di “dunia ide” yang kekal.
Namun,
materialisme sebelum Karl Marx masih dianggap sebagai “idealisme terselubung”.
Materialisme saat itu masih sebatas pada objek indrawi belaka, maksudnya,
materialisme pra-Marx belum dapat menyadari bahwa obyek-obyek material itu
adalah juga hasil dari aktivitas subyektif manusia. Marx yang membongkar materialisme
yang dipopulerkan oleh Feurbach saat itu berhasil membuat sesuatu yang baru
dalam dunia filsafat, yaitu menempatkan aktifitas manusia sebagai bagian
penting dalam membangun objek indrawi. Dalam kerangka seperti ini, dapat
ditarik kesimpulan bahwa keseharian kita dan segala objek yang ada di dalamnya
bukanlah sesuatu yang alami melainkan juga merupakan aktifitas dan intervensi
manusia/subjek.
Menurut
Njoto (1962), materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah
metode-nya. Maka, menempatkan pemikiran Tan sebagai salahsatu pemikir
materialis adalah sama sekali tidak keliru karena Tan merupakan salah satu
pemikir marxis Indonesia yang paling paripurna dan tercermin dari berbagai
karyanya. Kutipan sebagaimana di atas mencerminkan bagaimana Tan menolak ide
sebagai ontologi dan justru meyakini materi sebagai awal mula.
Epistemologi
Poin kedua, epistemologi pemikiran Tan, lebih mudah dijawab karena Tan sendiri telah memberikan jawabannya. Bahwa metode untuk mendapatkan pengetahuan yang ada dan yang mungkin ada tidak lain adalah dengan cara logika dan dialektika. Dialektika adalah sebagai cara berpikir untuk sesuatu yang bertentangan dan berubah-ubah. Dialektika sendiri telah ada sejak zaman fiIlsuf awal, namun di zaman Hegel, seorang filsuf idealis Jerman, dialektika dibakukan. Hegel sendiri memberikan kontribusi terhadap filsafat marxis terutama tentang dialektika ini yang mendasari pemikiran-pemikiran Marx setelahnya.
Pengandaian
dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni pengertian bahwa
keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai manifestasi-diri Roh, senantiasa
terhubung satu sama lain dalam jejalin yang tak putus (Suryajaya, 2010). Secara
sederhana, ini dikenal sebagai jejalin tesis-antitesis-sintesis, yaitu afirmasi
(A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau negasi
atas negasi (non-non-A).
Perbedaan
mendasar antara dialektika Hegel dan Marx, yang ditulis sendiri oleh Marx dalam
Kapital Jilid I, adalah,
“Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya beroposisi terhadapnya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang Ia transformasikan menjadi subjek independen di bawah nama ‘idea’ merupakan pencipta dunia riil, dan dunia ril hanyalah merupakan penampakan eksternal dari ‘idea’. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran”
Konsekuensi
dari pembalikkan filsafat ini membuat dialektika Marx mau tidak mau berubah menjadi
filsafat yang praksis dan radikal. Dalam dialektika Hegel, segala yang riil
(seperti dalam kerajaan Prusia dimana penindasan menjadi lazim) hanyalah
cerminan dari apa yang ada di dunia ide sehingga absah untuk terus eksis.
Bahkan negara Prusia ini bagi Hegel merupakan perwujudan diri Roh Absolut.
Sedangkan dialektika Marx, karena dalam yang riil tersebut juga terdapat
pengakuan terhadap negasinya, maka sejarah masyarakat menjadi sejarah yang cair
dan terus berubah. Jika mengambil contoh yang sama, kerajaan Prusia, maka
ketika mempercayai eksistensi Kerajaan Prusia, dalam waktu yang sama juga
mempercayai negasi darinya atau dengan kata lain meniscayakan kehancuran
terhadapnya. Inilah mengapa kemudian Marxisme menjadi filsafat yang radikal.
Berbeda
dengan Marx yang hanya memiliki metode dialektika sebagai hukum gerak, Tan juga
menggunakan logika, yang menurutnya adalah merupakan cara berpikir untuk
mengetahui materi yang tetap/tidak berubah-ubah. Sementara dialektika adalah
memahami materi dalam keadaan bergerak tapi logika justru untuk memahami materi
yang tetap tak berubah. Bagaimana penjelasan Tan terkait penggunaan logika dan
dialektika yang terasa saling bertantangan ini? baginya,
…tiadalah masing-masing berkuasa dengan sewenang-wenang, melainkan mengakui kekuasaan pihak yang lain dan berseluk-beluk juga dengan yang lain itu. Bahwasanya dalam Ilmu Gerakan sendiri, yakni dalam Ilmu Kodrat sebenarnya dalam Mechanikal timbul Dialektika. Disinilah Dialektika mempunyai daerah yang luas sekali. Ilmu benda berhenti masuk ke daerah Statics. Pada benda yang berhenti yang boleh diperamati dengan tenang ini, berkuasa sekali Logika. A= A dan A bukan Non A.” (Madilog bab 5 dialektika)
Dengan
demikian, Tan jelas seorang realis. Dengan kemampuan rasionalnya, manusia dapat
memahami realitas-realitas yang ada di alam ini dan memperbaikinya. Dalam hal
ini menurut Tan yang mampu untuk memperbaiki keadaan adalah manusia itu
sendiri, bukan sesuatu yang datang dari luar dirinya. Hal ini berkaitan dengan
kesadaran rakyat murba yang terus menerus mengharapkan Ratu Adil untuk
membebaskan rakyat murba dari penjajahan sedangkan rakyat Murba sendiri terus
menerus diam tak melawan.
Aksiologi
Lantas, apa kegunaan filsafat marxisme (materialisme dialektik) plus logika dalam konteks pergerakan Tan Malaka? Secara teoritis, filsafat materialisme dialektika logika dimaksudkan sebagai metode berfikir, sebagaimana yang dikatakan oleh Tan,
"Madilog’’ saya maksudkan terutama ialah cara berpikir. Bukanlah suatu Waltanschauung, pemandangan dunia walaupun cara berpikir dan pemandangan dunia atau filsafat adalah seperti tangga dengan rumah, yakni rapat sekali. Dari cara orang berpikir itu kita dapat duga filsafatnya dan dari filsafatnya kita dapat tahu dengan cara dengan methode apa dia sampai ke filsafat itu” (Madilog bab Pendahuluan)
Selanjutnya,
Tan menambahi bahwa filsafat madilog juga berfungsi praxis untuk merobohkan
orde yang lama,
“Bangunkanlah semangat kritis – menentang - dalam masyarakat yang memang berdiri atas beberapa golongan yang bertentangan. Dengan begitu bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama – usang – dan mendirikan masyarakat yang baru – kokoh – kuat.” (ibid)
Jika
ditarik dalam ranah yang lebih luas, maka unsur Aksiologi dari pemikiran Tan
tidak lain adalah sebagai upaya memerdekakan bangsanya dari cengkraman penjajah
melalui percaya pada kemampuan diri sendiri.
Penutup
Demikianlah sekelumit unsur pemikiran Tan Malaka, Bapak Republik yang saat ini masih tidak tercatat di buku-buku pelajaran sejarah. Pemikiran dan semangat merdeka 100 persennya tentu masih relevan hingga hari ini dimana bangsa ini masih dijajah oleh sistem ekonomi politik kapitalisme yang terus menerus menghisap darah rakyat murba. Maukah kita kembali menghidupi dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi saat ini? mari kita jawab di hati masing-masing.
***
*Penulis
merupakan mahasiswa Sastra UI angkatan 2010. Pernah menjadi staf departemen
Aksi dan Propaganda BEM UI 2012. Sekarang aktif membangun gerakan melalui SEMAR
UI. Dapat dijumpai di twitterland dengan ID @rioapinino
Tidak ada komentar:
Posting Komentar