Senin, 12 Agustus 2013

Tan Malaka: Ontologi Epistemologi dan Aksiologi Pemikirannya

Oleh Rio Apinino*  

Sosok Tan Malaka merupakan salah satu pahlawan nasional yang tidak bisa diragukan lagi kontribusinya bagi kemerdekaan Indonesia. Perjalanan hidup yang saat ini bisa kita baca melalui karya-karyanya seperti dari penjara ke penjara membuat kita percaya bahwa seluruh hidup Tan hanya untuk kemerdekaan republiknya, Indonesia. Berbagai macam peristiwa penting bangsa inipun tak luput dari kontribusi Tan. Sebutlah bagaimana Naar De Republiek menjadi ‘buku panduan’ bagi Sukarno dan Hatta muda, juga banyak pemuda radikal lainnya. Buku ini sendiri menjelaskan pemikiran Tan mengenai bentuk negara kelak, republik. Adalah Tan yang pertama kali mengemukakan gagasannya mengenai bentuk republik ini, dan untuk itu dia dikenal dengan Bapak republik.



 
Pria yang dalam pelariannya dari kejaran polisi internasional telah menghabiskan 89 ribu kilometer atau setara dengan jarak dua kali lingkaran bumi dan memiliki 23 nama samaran ini[1] berasal dari Tanah Minang dan mengenyam pendidikan di negeri Belanda di sekolah Hoofde Acte (guru kepala). Sempat menjadi ketua PKI pada Desember 1921 menggantikan comrade Semaoen, memobilisasi rapat umum di Lapangan Ikada, mendirikan Partai Murba Pada tahun 1948, dan akhirnya di tembak mati oleh tentara republik dikisaran tahun 1949.

Maksud penulis tentu bukanlah membuat ulasan biografi Tan disini, namun kiranya dua paragraf diatas dapat menggambarkan secara kasar bagaimana pengorbanan tan bagi republik yang ia cintai ini. Adapun maksud penulis adalah memberikan sedikit gambaran tentang pemikiran Tan Malaka yang kental dengan ideologi marxisme. Hal ini tentu sangat penting karena Tan juga salah satu pejuang yang bukan hanya berjuang secara lahiriyah namun juga berjuang untuk memerdekakan mental bangsanya dari mental inlander dan takhayul-takhayul tak masuk akal.  

Membaca pemikiran Tan malaka tentu tak bisa dilepaskan dari karya-karya yang telah diciptakannya. Massa Aksi (1926), Gerpolek (1948), hingga karya terbesarnya Madilog (1943) merupakan sekian dari banyak karya yang kita tahu sampai saat ini. Tercatat, ada 26 karya yang menjadi buah pikiran Tan. Pembacaan terhadap pemikiran Tan dapat dimulai dengan melihat sekilas perjalanan hidupnya. Bahwa Tan sangat terpengaruh oleh paham komunisme tidak bisa dipungkiri, namun gemblengan agama Islam yang keras ketika masih kecil juga mempengaruhi pemikirannya sampai tua. Terbukti dengan satu statementnya yang paling terkenal “di hadapan Tuhan aku Islam, namun dihadapan manusia aku adalah komunis”.  


Sumber: arsyadsalam.wordpress.com


Ontologi


“Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, bumi dan bintang sebagai benda, ya, ‘engkau’ sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. "Engkau",kata hume, cuma "ide" buat saya. Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya diri sendiri, mengakui, bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada.” (Madilog bab 2 filsafat).

Dalam sejarah panjang filsafat, terdapat dua kutub filsafat yang saling bertentangan: idealisme dan materialisme. Namun, tidak seperti pengertian yang kita pahami sehari-hari dimana materialisme diidentikkan dengan kesenangan terhadap hal-hal duniawi dan idealisme selalu diidentikkan dengan sesuatu yang mulia, dalam filsafat definisi ini sangat berbeda. Dalam filsafat, materialisme adalah paham yang mempercayai bahwa asal mula adalah materi yang merupakan hakikat. Hal ini juga termasuk kesadaran dan ide kita. Hal yang paling sederhana, keberadaan kesadaran dan ide hanya dapat terjadi karena kita memiliki otak sebagai salah satu materi yang ada di tubuh kita. Ketika otak itu rusak, maka kesadaran dan ide kita pun akan hilang. Sebaliknya, idealisme yang dipopulerkan Plato adalah pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini hanyalah merupakan refleksi dari ide-ide yang telah ada di “dunia ide” yang kekal.

Namun, materialisme sebelum Karl Marx masih dianggap sebagai “idealisme terselubung”. Materialisme saat itu masih sebatas pada objek indrawi belaka, maksudnya, materialisme pra-Marx belum dapat menyadari bahwa obyek-obyek material itu adalah juga hasil dari aktivitas subyektif manusia. Marx yang membongkar materialisme yang dipopulerkan oleh Feurbach saat itu berhasil membuat sesuatu yang baru dalam dunia filsafat, yaitu menempatkan aktifitas manusia sebagai bagian penting dalam membangun objek indrawi. Dalam kerangka seperti ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa keseharian kita dan segala objek yang ada di dalamnya bukanlah sesuatu yang alami melainkan juga merupakan aktifitas dan intervensi manusia/subjek.

Menurut Njoto (1962), materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metode-nya. Maka, menempatkan pemikiran Tan sebagai salahsatu pemikir materialis adalah sama sekali tidak keliru karena Tan merupakan salah satu pemikir marxis Indonesia yang paling paripurna dan tercermin dari berbagai karyanya. Kutipan sebagaimana di atas mencerminkan bagaimana Tan menolak ide sebagai ontologi dan justru meyakini materi sebagai awal mula.

Epistemologi

Poin kedua, epistemologi pemikiran Tan, lebih mudah dijawab karena Tan sendiri telah memberikan jawabannya. Bahwa metode untuk mendapatkan pengetahuan yang ada dan yang mungkin ada tidak lain adalah dengan cara logika dan dialektika. Dialektika adalah sebagai cara berpikir untuk sesuatu yang bertentangan dan berubah-ubah. Dialektika sendiri telah ada sejak zaman fiIlsuf awal, namun di zaman Hegel, seorang filsuf idealis Jerman, dialektika dibakukan. Hegel sendiri memberikan kontribusi terhadap filsafat marxis terutama tentang dialektika ini yang mendasari pemikiran-pemikiran Marx setelahnya.

Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni pengertian bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai manifestasi-diri Roh, senantiasa terhubung satu sama lain dalam jejalin yang tak putus (Suryajaya, 2010). Secara sederhana, ini dikenal sebagai jejalin tesis-antitesis-sintesis, yaitu afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau negasi atas negasi (non-non-A).

Perbedaan mendasar antara dialektika Hegel dan Marx, yang ditulis sendiri oleh Marx dalam Kapital Jilid I, adalah,

“Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya  berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya beroposisi terhadapnya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang Ia transformasikan menjadi subjek independen di bawah nama ‘idea’ merupakan pencipta dunia riil, dan dunia ril hanyalah merupakan penampakan eksternal dari ‘idea’. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran”

Konsekuensi dari pembalikkan filsafat ini membuat dialektika Marx mau tidak mau berubah menjadi filsafat yang praksis dan radikal. Dalam dialektika Hegel, segala yang riil (seperti dalam kerajaan Prusia dimana penindasan menjadi lazim) hanyalah cerminan dari apa yang ada di dunia ide sehingga absah untuk terus eksis. Bahkan negara Prusia ini bagi Hegel merupakan perwujudan diri Roh Absolut. Sedangkan dialektika Marx, karena dalam yang riil tersebut juga terdapat pengakuan terhadap negasinya, maka sejarah masyarakat menjadi sejarah yang cair dan terus berubah. Jika mengambil contoh yang sama, kerajaan Prusia, maka ketika mempercayai eksistensi Kerajaan Prusia, dalam waktu yang sama juga mempercayai negasi darinya atau dengan kata lain meniscayakan kehancuran terhadapnya. Inilah mengapa kemudian Marxisme menjadi filsafat yang radikal.

Berbeda dengan Marx yang hanya memiliki metode dialektika sebagai hukum gerak, Tan juga menggunakan logika, yang menurutnya adalah merupakan cara berpikir untuk mengetahui materi yang tetap/tidak berubah-ubah. Sementara dialektika adalah memahami materi dalam keadaan bergerak tapi logika justru untuk memahami materi yang tetap tak berubah. Bagaimana penjelasan Tan terkait penggunaan logika dan dialektika yang terasa saling bertantangan ini? baginya,

…tiadalah masing-masing berkuasa dengan sewenang-wenang, melainkan mengakui kekuasaan pihak yang lain dan berseluk-beluk juga dengan yang lain itu. Bahwasanya dalam Ilmu Gerakan sendiri, yakni dalam Ilmu Kodrat sebenarnya dalam Mechanikal timbul Dialektika. Disinilah Dialektika mempunyai daerah yang luas sekali. Ilmu benda berhenti masuk ke daerah Statics. Pada benda yang berhenti yang boleh diperamati dengan tenang ini, berkuasa sekali Logika. A= A dan A bukan Non A.” (Madilog bab 5 dialektika)

Dengan demikian, Tan jelas seorang realis. Dengan kemampuan rasionalnya, manusia dapat memahami realitas-realitas yang ada di alam ini dan memperbaikinya. Dalam hal ini menurut Tan yang mampu untuk memperbaiki keadaan adalah manusia itu sendiri, bukan sesuatu yang datang dari luar dirinya. Hal ini berkaitan dengan kesadaran rakyat murba yang terus menerus mengharapkan Ratu Adil untuk membebaskan rakyat murba dari penjajahan sedangkan rakyat Murba sendiri terus menerus diam tak melawan.

Aksiologi

Lantas, apa kegunaan filsafat marxisme (materialisme dialektik) plus logika dalam konteks pergerakan Tan Malaka? Secara teoritis, filsafat materialisme dialektika logika dimaksudkan sebagai metode berfikir, sebagaimana yang dikatakan oleh Tan,


"Madilog’’ saya maksudkan terutama ialah cara berpikir. Bukanlah suatu Waltanschauung, pemandangan dunia walaupun cara berpikir dan pemandangan dunia atau filsafat adalah seperti tangga dengan rumah, yakni rapat sekali. Dari cara orang berpikir itu kita dapat duga filsafatnya dan dari filsafatnya kita dapat tahu dengan cara dengan methode apa dia sampai ke filsafat itu” (Madilog bab Pendahuluan)

Selanjutnya, Tan menambahi bahwa filsafat madilog juga berfungsi praxis untuk merobohkan orde yang lama,


“Bangunkanlah semangat kritis – menentang - dalam masyarakat yang memang berdiri atas beberapa golongan yang bertentangan. Dengan begitu bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama – usang – dan mendirikan masyarakat yang baru – kokoh – kuat.” (ibid)

Jika ditarik dalam ranah yang lebih luas, maka unsur Aksiologi dari pemikiran Tan tidak lain adalah sebagai upaya memerdekakan bangsanya dari cengkraman penjajah melalui percaya pada kemampuan diri sendiri.


Penutup

Demikianlah sekelumit unsur pemikiran Tan Malaka, Bapak Republik yang saat ini masih tidak tercatat di buku-buku pelajaran sejarah. Pemikiran dan semangat merdeka 100 persennya tentu masih relevan hingga hari ini dimana bangsa ini masih dijajah oleh sistem ekonomi politik kapitalisme yang terus menerus menghisap darah rakyat murba. Maukah kita kembali menghidupi dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi saat ini? mari kita jawab di hati masing-masing.
***
*Penulis merupakan mahasiswa Sastra UI angkatan 2010. Pernah menjadi staf departemen Aksi dan Propaganda BEM UI 2012. Sekarang aktif membangun gerakan melalui SEMAR UI. Dapat dijumpai di twitterland dengan ID @rioapinino





[1] “Macan dari Lembah Suliki”. [Artikel]. Tempo, Edisi 11-17 Agustus 2008, h. 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar