Selasa, 28 Oktober 2014

Mengimajinasikan (dan Mewujudkan) Demokrasi yang Ideal[1]


Oleh Rizal Assalam

Tulisan ini terinspirasi oleh pernyataan Hilmar Farid bahwa warisan politik Orde Baru yang paling bermasalah dan sulit diatasi adalah kemiskinan imajinasi. Kemiskinan imajinasi tersebut diartikan sebagai kondisi yang diciptakan oleh Orde Baru di mana “orang kesulitan untuk membayangkan sistem politik atau bentuk masyarakat yang ideal”.[2] Ungkapan Farid mengenai kemiskinan imajinasi tersebut terpikirkan kembali ketika penulis selesai menonton film V for Vendetta. Singkat cerita, film fiksi dengan tema revolusi anarko-sindikalis tersebut ditutup dengan adegan hancurnya gedung parlemen pemerintahan fasis di Inggris. Latar akhir cerita tersebut menggambarkan bagaimana rakyat yang berbaris secara masif dengan topeng anonymous menyaksikan hancurnya gedung parlemen sebagai simbol berakhirnya rezim fasis. Akhir dari film tersebut itulah yang menjadi menjadi titik berangkat tulisan ini. Dalam kaitannya dengan film tersebut, pertanyaan yang mengemuka adalah ‘bagaimana kehidupan politik setelah berakhirnya rezim fasis?

Bagi penulis, upaya untuk mengimajinasikan kehidupan politik yang ideal—dan tentu, mewujudkannya—menjadi penting. Signifikansi hal tersebut berkaitan dengan konteks politik Indonesia saat ini, terutama melihat eskalasi penolakan terhadap UU Pilkada, baik di tingkat daerah, nasional ataupun luar negeri, yang memuat mekanisme pemilihan melalui DPRD. Data dalam tulisan Wildan Pramudya misalnya, menunjukkan besarnya eksposur penolakan UU Pilkada dan dukungan terhadap pilkada langsung.[3] Selain itu juga terdapat deklarasi pembentukan Gerakan Rakyat Berdaulat (GRB) yang terdiri lebih dari 130 organisasi lintas sektor pada hari Selasa (7/10/2014) di FISIP UI yang kemudian disusul oleh deklarasi Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) yang terdiri dari berbagai organisasi lintas kampus.

Hal yang kemudian menarik adalah perluasan wacana yang melampaui perdebatan mekanisme pilkada. Berdasarkan pengamatan dan keterlibatan penulis terkait wacana yang berkembang, baik dalam GRB atau AMI, kedua gerakan tersebut bersepakat untuk tidak berhenti hanya sebatas pada polemik UU Pilkada, atau secara luas terjebak dalam permainan elite. Wacana kemudian ditarik lebih luas dengan mengaitkannya dengan, misalnya wacana kebangkitan Orde Baru, upaya mempertahankan konsolidasi demokrasi, dan perlawanan terhadap manuver oligarki. Dasar pemikiran hal tersebut adalah bahwa polemik UU Pilkada tidak hanya sebatas persoalan mekanisme langsung atau tidak langsung. Usep Hasan Sadikin misalnya, dalam tulisannya berpendapat bahwa mekanisme pilkada melalui DPRD bukan berarti telah ‘mematikan demokrasi’.[4]

Secara khusus, wacana tentang oligarki perlu mendapat perhatian tersendiri. Hal ini misalnya terungkap dalam tulisan Irwansyah (2014), Luky Djani (2014), dan Airlangga Pribadi (2014). Ketiga tulisan tersebut pada pokoknya mengaitkan antara polemik mekanisme pilkada dengan oligarki, bahwa pengembalian mekanisme pilkada melalui DPRD terkait erat dengan kepentingan oligarki yang berupaya mempertahankan dominasi politiknya dan untuk menguasai sumber daya ekonomi. Selain itu, penekanan terhadap mekanisme pilkada langsung dapat diartikan sebagai salah satu upaya melawan manuver oligarki.

Dalam hal ini, posisi penulis sendiri bersepakat bahwa gerakan yang saat ini sedang berkembang secara luas tidak dapat berhenti hanya sebatas terjebak pada persoalan mekanistik. Melainkan, persoalan mekanisme pilkada tersebut perlu ditempatkan dalam konteks kepentingan oligarki. Pada titik ini, perdebatan mengenai pelampauan atas polemik mekanisme pilkada, bagi penulis, sudah relatif selesai pada tataran wacana. Namun yang menjadi penting adalah bagaimana membawa hal tersebut ke dalam tataran praksis. Dalam hal ini terkait dengan persoalan imajinasi di awal, pertanyaan adalah ‘ketika gerakan rakyat berhasil menjamin mekanisme pilkada langsung dalam undang-undang, lalu apa?’. Atau secara luas, bagaimana melampaui polemik mekanisme pilkada, atau dalam kata lain melawan oligarki?’ 

Untuk itu, tulisan ini dimulai dengan mengelaborasi polemik mekanisme pilkada dalam kerangka perluasan wacana yang sedang berkembang, khususnya mengenai oligarki. Dalam hal ini, penulis akan melakukan tinjauan atas tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya mengenai keterkaitan antara mekanisme pilkada dengan kepentingan oligarki. Elaborasi tersebut menjadi penting karena ditempatkan sebagai latar dalam upaya melampaui polemik mekanisme pilkada, dalam kata lain sebagai upaya untuk membangun imajinasi kehidupan politik yang ideal. Upaya tersebut akan diuraikan pada bagian selanjutnya, terutama dengan melihat esensi apa yang terkandung dalam mekanisme pilkada langsung dalam kaitannya dengan perlawanan terhadap dominasi oligarki. Pada bagian tersebut akan terungkap apa yang disebut sebagai imajinasi di awal. Pada bagian terakhir, penulis akan memberikan tawaran strategi yang perlu dilakukan dalam mewujudkan imajinasi tersebut.

Menelusuri Konteks Polemik Mekanisme Pilkada 
 Polemik mekanisme pilkada perlu dilihat pertama-tama dalam kaitannya dengan perkembangan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Airlangga Pribadi (2014) dalam esainya menjelaskan bahwa perkembangan demokrasi pasca momen Reformasi di Indonesia secara bertahap menguatkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat secara aktif. Dalam konteks pilkada langsung misalnya, kedua aspek tersebut dimungkinkan dengan adanya prasyarat terbukanya ruang keterlibatan rakyat. Ruang keterlibatan rakyat dalam konteks pilkada langsung ini secara spesifik dalam hal 1) proses kandidasi kepala daerah, 2) proses kampanye kontestasi kepala daerah, hingga 3) proses pembangunan lokal yang berlangsung pasca-pilkada.[5] Kerangka tersebut memungkinkan munculnya apa yang disebut oleh Irwansyah (2014) sebagai agensi popular, di mana agensi popular tersebut tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh oligarki itu sendiri.[6]

Perkembangan konsolidasi demokrasi di Indonesia inilah yang kemudian menjadi latar dari manuver oligarki yang berkepentingan untuk menempatkan mekanisme pilkada melalui DPRD. Irwansyah (2014) misalnya, menjelaskan bahwa kepentingan oligarki terhadap mekanisme pilkada melalui DPRD adalah terkait dengan ancaman status quo kepentingan mereka sendiri yang berkembang atas dasar warisan politik massa mengambang Orde Baru. Sementara itu, perkembangan demokratisasi di Indonesia dan penguatan gerakan di tingkat akar rumput membuat kemampuan struktural-finansial oligarki semata tidak dapat menjamin penguasaan atas sumber daya ekonomi.

Di sisi lain, manuver politik oligarki tersebut dimungkinkan apabila melihat konfigurasi politik saat ini yang didominasi oleh oligarki itu sendiri. Esai yang ditulis Djani (2014) mengungkapkan bagaimana kecenderungan kekuatan oligarki pada konjungtur Reformasi berupaya untuk melakukan penguasaan atas partai politik.[7] Persoalan ini juga terungkap dalam tulisan Airlangga, bahwa “partai hanya menjadi sarang dari kekuatan oligarki untuk mempertahankan dan mengakumulasi kemakmuran dan kekuasaannya melalui pembajakan institusi-institusi publik”.[8] Singkatnya, konfigurasi partai politik saat ini merupakan bentuk kanalisasi kepentingan yang merefleksikan keterorganisiran oligarki. Kanalisasi kepentingan oligarki melalui partai politik inilah yang menjadi persoalan dominasi oligarki dalam ruang politik, terutama terkait penguasaan atas sumber daya ekonomi.

Pada titik ini mengemuka persoalan dominasi oligarki yang semakin terorganisir dalam ruang demokrasi di Indonesia. Dalam konteks saat ini, keterorganisiran oligarki cenderung terlihat dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Namun persoalan oligarki tidak hanya sebatas melawan dominasi KMP, melainkan juga melingkupi kubu seberang (Koalisi Indonesia Hebat/KIH) yang konfigurasinya tak berbeda dengan KMP—yang juga dikuasai oleh oligarki. Pada intinya, konfigurasi politik Indonesia saat ini yang didominasi oleh kekuatan politik oligarki tidak memberi ruang bagi partisipasi aktif rakyat dalam menentukan urusan hidupnya sendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Stokke dan Tornquist (2013), bahwa “those with power tend to dominant and manipulate democratic institution while those who are marginalized have insufficient power to use”.[9]

Dengan demikian, sulit untuk mengatakan bahwa manuver oligarki akan berhenti hanya sebatas pada mekanisme pilkada. Dalam wacana yang berkembang misalnya, KMP mengintrodusir wacana revisi UU KPK, pengembalian mekanisme pilpres melalui MPR, dan amandemen UUD 1945 kelima. Wacana-wacana tersebut perlu diwaspadai terutama terkait kepentingan oligarki itu sendiri dan sepanjang konfigurasi politik saat ini cenderung mengebiri ruang partisipasi politik aktif rakyat.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa manuver oligarki yang berupaya mengembalikan mekanisme pilkada melalui DPRD dilatarbelakangi oleh ancaman terhadap status quo dan pelemahan kekuatan struktural-finansial oligarki. Hal ini terkait dengan kontradiksi antara oligarki dengan rakyat yang mengemuka ketika konsolidasi demokrasi secara bertahap menguatkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat secara aktif. Namun, konfigurasi politik saat ini cenderung memungkinkan manuver politik oligarki melalui penguasaan atas ruang-ruang politik, yang salah satunya dimanifestasikan melalui partai politik sebagai bentuk kanalisasi kepentingan.

Membangun Imajinasi
Pemaparan konteks di atas menunjukkan bahwa pokok persoalan yang diangkat di sini adalah persoalan oligarki yang mengebiri ruang partisipasi rakyat. Dalam kaitannya dengan polemik mekanisme pilkada misalnya, pada dasarnya persoalannya adalah bukan sebatas mekanisme langsung atau tidak langsung, melainkan perlu melihat kepentingan oligarki yang terselubung di dalamnya. Sementara itu, konfigurasi politik yang didominasi oleh oligarki melalui penguasaan atas partai politik berpotensi untuk memunculkan polemik-polemik lainnya. Singkatnya, model demokrasi Indonesia saat ini merupakan refleksi atas, meminjam istilah Djani, Timokrasi atau Demokrasi Oligarki.[10]

Pada titik ini diperlukan untuk membangun imajinasi yang melampaui model demokrasi saat ini. Dalam konteks mekanisme pilkada misalnya, arti penting pilkada langsung adalah esensinya, yaitu partisipasi aktif rakyat. Sementara itu, apabila merujuk pada selubung di balik manuver oligarki terkait mekanisme pilkada melalui DPRD sebelumnya, maka penguatan kesadaran dan partisipasi politik aktif rakyat mereduksi dominasi oligarki di tingkat daerah. Artinya partisipasi menjadi kata kunci pokok dalam melawan dominasi oligarki.

Dalam hal ini, perlu diakui bahwa mekanisme pilkada langsung yang berjalan sejauh ini masih menyisakan persoalan-persoalan, seperti politik uang, klientelisme, kepala daerah yang korup, dinasti politik, dan seterusnya. Namun, hal tersebut bukan berarti mereduksi arti penting partisipasi aktif rakyat dalam menentukan urusan hidupnya sendiri. Bagi penulis, ruang politik bagi rakyat yang tersedia melalui mekanisme pilkada langsung merupakan ruang bagi rakyat untuk mendidik dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Lebowitz bahwa, “Demokrasi adalah sebuah praktek, hanya melalui aktifitasmu sendirilah maka kamu dapat, pada kenyataannya, mengembangkannya”.[11]
  
Membangun imajinasi demokrasi yang berbasiskan pada partisipasi aktif rakyat bukan berarti hanya sebatas idealisasi, atau dalam kata lain utopis. Imajinasi demokrasi yang demikian pada dasarnya memiliki landasan materialnya. Landasan material tersebut dapat merujuk pada pengalaman demokrasi partisipatoris di berbagai negara di Amerika Latin.[12] Lebowitz (2009) misalnya, menuliskan narasi-narasi demokrasi partisipatoris pada studi kasus di Republik Bolivarian Venezuela.[13] Dalam konstitusinya, khususnya Pasal 62 misalnya, menekankan bahwa partisipasi rakyat merupakan jalan yang niscaya untuk merealisasikan keterlibatan mereka sehingga menjamin perkembangan diri mereka secara lengkap, baik secara individual maupun kolektif. 

Bentuk konkrit partisipasi aktif rakyat dalam berpolitik dapat dilihat melalui pembentukan dewan-dewan komunal sebagai ruang politik di mana setiap warga yang  terlibat dapat mengajukan rencana pembangunan di lingkungan mereka. Contoh lainnya dapat merujuk pada politik ‘Penganggaran Partisipatif (Participatory Budgeting) yang diterapkan pada distrik Porto Alegre, Brazil. Melalui praktik politik tersebut, setiap pos-pos anggaran dalam rencana pembangunan pada setiap komunitas-komunitas ditentukan melalui suatu forum di mana setiap anggota-anggota dari komunitas terlibat di dalamya. 

Dalam konteks demokrasi elektoral di Indonesia sendiri, model partisipatoris rakyat dalam politik dapat merujuk dari hasil temuan penelitian Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia mengenai transaksi politik dalam pemilu.[14] Temuan penelitian tersebut pada pokoknya berupaya untuk mendorong, baik kandidat maupun pemilih, untuk melakukan transaksi politik berbasiskan pada program—dalam kata lain, transaksi politik programatik atau yang diistilahkan sebagai transaksi politik yang menguatkan warga. Pada intinya, melalui model transaksi yang demikian pemilih dapat memberikan suaranya kepada kandidat dengan basis jaminan program politik yang akan direalisasikan nantinya. 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa demokrasi yang melandasi dirinya pada partisipasi aktif rakyat merupakan hal yang dapat diwujudkan. Selain itu, partisipasi politik aktif rakyat pada dasarnya merupakan kata kunci dalam melihat esensi dari mekanisme pilkada langsung, terutama dalam kaitannya dengan melawan dominasi oligarki. Penempatan mekanisme pilkada melalui DPRD itu sendiri merupakan antitesis terhadap penguatan kesadaran dan partisipasi politik aktif rakyat dan juga sebagai kekuatan yang mereduksi dominasi oligarki.

Pada titik ini, hal yang lebih penting, setidaknya bagi penulis, adalah bukan sekedar bagaimana gerakan rakyat saat ini dapat menjamin mekanisme pilkada langsung di dalam undang-undang. Melainkan, adalah bagaimana rakyat dapat mengisi ruang-ruang politik yang ada. Artinya, demokrasi harus dilampaui dengan tidak hanya sekedar memberikan suara dalam momen-momen elektoral, melainkan dengan mengintervensi proses politik itu sendiri melalui partisipasi politik aktif. Dalam kaitannya dengan persoalan imajinasi di awal, maka hal yang perlu dilakukan adalah memproyeksikan demokrasi yang sejatinya menempatkan rakyat sebagai partisipan, bukan hanya menontoni permainan politik oligarki.

Tawaran Strategi 
Pada bagian akhir tulisan ini akan lebih menekankan pada bagaimana cara kita melawan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka kata kunci pokok pada persoalan dalam konteks tulisan ini adalah partisipasi politik aktif rakyat. Namun, terdapat prasyarat-prasyarat yang perlu dipenuhi sebelum membangun partisipasi politik aktif rakyat. Bagi penulis, secara fundamental prakondisi yang harus dipenuhi pertama-tama adalah distribusi pengetahuan. Distribusi pengetahuan yang dimaksud di sini adalah memperkaya pengetahuan politik bagi rakyat secara luas. Hal ini misalnya pengetahuan mengenai pentingnya mengisi ruang-ruang politik, pembajakan demokrasi oleh oligarki, dan secara luas sejarah Orde Baru dan termasuk di dalamnya warisan-warisan sosial-politik-kultural yang tersisa pada konjungtur Reformasi. Distribusi pengetahuan ini dapat dilakukan melalui berbagai wadah diskusi, seminar, kuliah umum, pamflet, tulisan dan seterusnya.

Melalui distribusi pengetahuan ini, rakyat membangun kesadaran politiknya sendiri. Kesadaran politik ini seiring sejalan dengan pengorganisiran rakyat ke dalam berbagai formasi, misalnya serikat, organisasi, asosiasi, dan seterusnya. Melalui rakyat yang terorganisir maka akan terbangun suatu kekuatan kolektif dalam melawan oligarki yang juga terorganisir. Hal ini sebagaimana juga menjadi penekanan Puskapol dalam penelitiannya yang menggambarkan skema ‘Tahu-Mampu-Awasi’ sebagai prakondisi untuk mewujudkan politik distributif yang pro kepentingan publik.[15]

Pada akhirnya, partisipasi politik aktif rakyat yang sebelumnya telah ‘terpolitisasi’ melalui distribusi pengetahuan menjadi poin penting dalam konteks permasalahan yang diangkat pada tulisan ini. Partisipasi politik aktif rakyat tersebut akan lebih signifikan ketika diwujudkan dalam bentuk pengorganisiran diri sebagai kekuatan kolektif. Sebagai penutup, tulisan ini diakhiri dengan mengutip Chavez, bahwa “Anda tak aka bisa mengakhir kemiskinan tanpa memberikan kekuatan kepada kaum miskin

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI  dan anggota SEMAR UI.


Daftar Pustaka
Assalam, Rizal. “Apa yang Demokratis dari Sosialisme”. Indoprogress 22 Juli 2014. Diunduh pada tanggal 22 Juli 2014 pukul 11.33 WIB, <http://indoprogress.com/2014/07/apa-yang-demokratis-dari-sosialisme>.
Djani, Luky. “RUU Pilkada dan Bahaya Timorasi”. Indoprogress 23 September 2014. Diunduh pada tanggal 30 September 2014 pukul 18.29 WIB, <http://indoprogress.com/2014/09/ruu-pilkada-dan-bahaya-timokrasi>.
Irwansyah. “Kenapa Oligarki Ingin Mengakhiri Pilkada Langsung”. Indoprogress 15 September 2014. Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 2.12 WIB, <http://indoprogress.com/2014/09/kenapa-oligarki-ingin-mengakhiri-pilkada-langsung>.
Izzati, Fildzah dan Hilmar Farid. “Hilmar Farid: Warisan Kunci Politik Orde Baru adalah Kemiskinan Imajinasi Politik, Sosial dan Kultural”. Indoprogress 15 Juli 2013. Diunduh pada tanggal 25 Juli 2014 pukul 6.14 WIB, <http://indoprogress.com/2013/07/hilmar-farid-warisan-kunci-politik-orde-baru-adalah-kemiskinan-imajinasi-politik-sosial-dan-kultural>.
Kusman, Airlangga Pribadi. “Mereka Merampas Kemerdekaan Kita, Lawan! (Bagian-1)”. Indoprogress 3 Oktober 2014. Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2014 pukul 2.58 WIB, <http://indoprogress.com/2014/10/mereka-merampas-kemerdekaan-kita-lawan-bagian-1>.
_______________________. “Mereka Merampas Kemerdekaan Kita, Lawan! (Bagian-2)”. Indoprogress 6 Oktober 2014. Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2014 pukul 03.01 WIB, <http://indoprogress.com/2014/10/mereka-merampas-kemerdekaan-kita-lawan-bagian-2-selesai>.
Lebowitz, Michael A. Sosialisme Sekarang Juga. Yogyakarta: Resist Book, 2009
Pramudya, Wildan. “KMP Melawan Kehendak Rakyat”. Indoprogress 27 September 2014. Diunduh pada tanggal 30 September 2014 pukul 18.24 WIB, <http://indoprogress.com/2014/09/kmp-melawan-kehendak-rakyat>.
Sadikin, Usep Hasan. “Demokrasi Tak Mati karena Pilkada Tak Langsung”. Rumahpemilu.org 29 September 2014. Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2014 pukul 9.29 WIB, <http://www.rumahpemilu.org/in/read/7375/Demokrasi-Tak-Mati-karena-Pilkada-Tak-Langsung-oleh-Usep-Hasan-Sadikin>.
Wardani, Sri Budi Eko, Ed. Buku Panduan Pendidikan Pemilih tentang Transaksi Politik dalam Pemilu. Depok: Pusat Kajian Politik, 2014.



[1] Tulisan ini disampaikan dalam Diskusi Publik “UU Pilkada, Oligarki dan Pengebirian Ruang Demokratik Rakyat” yang diselenggarakan oleh SEMAR UI, FORMASI IISIP, KSN, SPRI, PRP dan LBHJ di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI pada 27 Oktober 2014.
[2] Lihat wawancara Fildzah Izzati dengan Hilmar Farid, “Hilmar Farid: Warisan Kunci Politik Orde Baru adalah Kemiskinan Imajinasi Politik, Sosial dan Kultural”. Indoprogress 15 Juli 2013, diunduh pada tanggal 25 Juli 2014 pukul 6.14 WIB, <http://indoprogress.com/2013/07/hilmar-farid-warisan-kunci-politik-orde-baru-adalah-kemiskinan-imajinasi-politik-sosial-dan-kultural>.
[3] Lihat Wildan Pramudya, “KMP Melawan Kehendak Rakyat”, Indoprogress 27 September 2014, diunduh pada tanggal 30 September 2014 pukul 18.24 WIB, <http://indoprogress.com/2014/09/kmp-melawan-kehendak-rakyat>.
[4] Lihat Usep Hasan Sadikin, “Demokrasi Tak Mati karena Pilkada Tak Langsung”, Rumahpemilu.org 29 September 2014, diunduh pada tanggal 8 Oktober 2014 pukul 9.29 WIB, <http://www.rumahpemilu.org/in/read/7375/Demokrasi-Tak-Mati-karena-Pilkada-Tak-Langsung-oleh-Usep-Hasan-Sadikin>.
[5] Airlangga Pribadi Kusman, “Mereka Merampas Kemerdekaan Kita, Lawan! (Bagian-1)”, Indoprogress 3 Oktober 2014, diakses pada tanggal 8 Oktober 2014 pukul 2.58 WIB, <http://indoprogress.com/2014/10/mereka-merampas-kemerdekaan-kita-lawan-bagian-1>.
[6] Irwansyah, “Kenapa Oligarki Ingin Mengakhiri Pilkada Langsung”, Indoprogress 15 September 2014, diakses pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 2.12 WIB, <http://indoprogress.com/2014/09/kenapa-oligarki-ingin-mengakhiri-pilkada-langsung>.
[7] Luky Djani, “RUU Pilkada dan Bahaya Timorasi”, Indoprogress 23 September 2014, diunduh pada tanggal 30 September 2014 pukul 18.29 WIB, <http://indoprogress.com/2014/09/ruu-pilkada-dan-bahaya-timokrasi>.
[8] Airlangga Pribadi Kusman, “Mereka Merampas Kemerdekaan Kita, Lawan! (Bagian-2)”, Indoprogress 6 Oktober 2014, diakses pada tanggal 8 Oktober 2014 pukul 03.01 WIB, <http://indoprogress.com/2014/10/mereka-merampas-kemerdekaan-kita-lawan-bagian-2-selesai>.
[9] Sebagaimana dikutip dari Luky Djani, op. cit.
[10] Ibid.
[11] Testimoni Michael A. Lebowitz dalam film dokumenter Beyond Elections: Redefining Democracy in the America.
[12] Penulis pernah mengelaborasi praktik-praktik partisipatoris pada beberapa negara di Amerika Latin, lihat Rizal Assalam, “Apa yang Demokratis dari Sosialisme”, Indoprogress 22 Juli 2014, diunduh pada tanggal 22 Juli 2014 pukul 11.33 WIB, <http://indoprogress.com/2014/07/apa-yang-demokratis-dari-sosialisme>.
[13] Michael A. Lebowitz, Sosialisme Sekarang Juga, Yogyakarta: Resist Book, 2009.
[14] Lihat Sri Budi Eko Wardani, Ed, Buku Panduan Pendidikan Pemilih tentang Transaksi Politik dalam Pemilu, Depok: Pusat Kajian Politik, 2014.
[15] Ibid., halaman 70-71.

1 komentar:

  1. Saya hanya akan sedikit ikut merayakan kebahagiaan atas bisingnya kondisi negara ini belakangan.

    Kondisi Indonesia saat ini memang sungguh menarik. Sedikit "tontonan" tentang bagaimana semestinya negara dikelola telah membuat banyak orang ikut berangan-angan untuk punya model kepengurusan yang sama.

    Dalam hal ini, tugas orang-orang yang ceritanya berpikiran lebih maju adalah mengompori angan-angan itu agar ngelunjak - dengan tak tahu diri - berubah menjadi tuntutan.

    Warganegara saat ini pun terpapar bebas kepada politik dan terseret-seret untuk ikut berpolitik. Sejak pernyataan tidak percaya pada aktivitas politik pun adalah suatu statement politik, hampir tidak ada lagi, setidaknya di perkotaan, yang benar-benar steril dari politik. Saat ini mungkin sikap apolitis sejati, sama sekali tidak terpapar dan tidak membicarakannya bahkan tidak anti pada politik itu sendiri, hanya ada di pedalaman saja.

    Dalam situasi seperti ini yang berjasa adalah para bajingan yang tetap berperan sebagai bajingan. Adanya para bajingan akan tetap menghangatkan isi kepala warganegara, menjadi tolok ukur penanda yang mana yang bisa disebut bajingan, dan menjaga kondisi mentalitas warga agar tidak lagi-lagi terperosok ke dalam jurang mentalitas nrimo.

    Oleh karena itu, semakin bajingan para bajingan tentu saja akan makin baik dampaknya. Semakin bajingan ini menjadi bajingan secara terbuka, semakin para bajingan menolak untuk menyembunyikan kebajinganannya, maka warga akan semakin cepat belajar dan sampai di kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa para bajingan memang pada dasarnya bajingan. Perilaku para bajingan telah mendorong aksi partisipatoris warganegara, jika belum teratruktur setidaknya mereka telah berurun-bacot, dan itu sungguh baik adanya.

    Berkebalikan dengan itu, maka orang-orang yang sedikit saja lebih pintar dan lebih sulit buat ditipu harus selalu awas dan siaga. Karena ketika para bajingan tersadar bahwa tontonan kebajinganan yang mereka sajikan malah akan membuat warga cerdas dan lantas menolak bajingan, mereka akan berganti haluan dan menampilkan diri sebagai orang-orang suci, terdzalimi, atau keduanya. Pada saat itu, bonus kontrasnya orang baik dan bajingan menjadi kabur dan orang-orang bodoh akan sekali lagi sesengukan menangisi nasibnya yang terdzalimi tanpa sadar siapa yang mendzalimi dan bagaimana caranya.

    Jadi saya sepakat bahwa pengorganisasian, pensistematisan, atau pengkoordinasian kesadaran warganegara saat ini menjadi sangat penting. Karena cepat atau lambat para bajingan akan bereinkarnasi menjadi santo-santa-nan-suci.

    Secara praktikal, tentu para aktivis, mahasiswa, dan pelaku organisasi tentu lebih paham apa yang kudu dilakukan. Tetapi yang terpenting adalah memang bahwa apa yang dinilai perlu untuk dilakukan itu memang benar-benar dilakukan.

    Forum warganegara lintas kelurahan hingga tingkat nasional, kawal pilkada, kawal pembangunan, anggaran partisipatoris, rencana pembangunan partisipatoris, kutukan-kutukan partisipatoris, atau entah apa lainnya, bisa saja ujung-ujungnya adalah mimpi tentang kapital yang dikelola secara partisipatoris.

    Sebagai penutup, tulisan ini diakhiri dengan memperjelas ucapan Chavez, bahwa “Anda tak akan bisa mengakhiri kemiskinan tanpa mendemokratiskan kapital.”

    BalasHapus