Rabu, 14 Agustus 2013

Safari Perubahan Part II: Social Enterpreneurship

Oleh Robie Kholilurrahman*

[continuation]

Social Enterpreneurship

"Menyimpulkan diskusi ini, ya ini lah sebenar-benarnya social enterpreneurship!" Tukas Pak Din, membawa diskusi kami di malam larut yang dingin di lereng Merbabu tersebut, ke sebuah akhir dan titik terang. Tak lupa disertai dengan kekeh tawanya yang khas.


Seperti istilah shopisticated lainnya, saat berusaha dibahas secara ilmiah, tidak dapat ditemukan sebuah definisi rigid tentang social enterpreneurship. Gradasinya bergeser dari dua buah sudut. Yang pertama adalah dimana LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berada; fokus melakukan kerja sosial baik basis maupun advokasi, dengan pendanaan umumnya bergantung pada donor atau fundraising. Sehingga, para relawannya menggantungkan penghidupan dari tempat lain di luar suatu LSM tersebut. Dan, yang kedua adalah di mana perusahaan berada; survive, memenuhi kebutuhan penghidupan pemilik dan pekerjanyanya, karenanya berorientasi keuntungan finansial. Fungsi sosialnya menjadi sampingan, prioritas ke sekian dalam bentuk pemenuhan presentase minimal keuntungan yang dialokasikan ke pos CSR (Corporate Social Responsibility). Social Enterpreneurship berada di tengah kedua kutub tersebut. Ia mencakup fokus sosial dari LSM, dan juga prinsip kemandirian dari perusahaan. Hal ini seperti menggabungkan kemurahan hati MadamTheresa dan jiwa inovatif Bill Gates.

Namun, di sisi lain ia juga bertolakbelakang secara logika dengan perusahaan bisnis komersial. Ketika bisnis berorientasi profit, dan menjadikan aspek sosial sebagai sekadar pelengkap atau kewajiban, social enterpreneurship justru fully berorientasi sosial (pemberdayaan/pengembangan masyarakat/komunitas, pendidikan, pemenuhan hak-hak dasar kaum terpinggirkan, generating taraf hidup dan potensi keberkembangan dari kelompok yang didampingi, dlll.). Diadopsinya prinsip-prinsip kewirausahaan seperti keberanian mengambil resiko, inovasi, kreativitas, kemandirian, dan keberlanjutan tetap dalam koridor untuk tujuan sosial. Social Enterpreneurship berusaha tidak cengeng menuntut dan menunggu turun tangannya, the so called, institusi sosial bernama negara dalam memenuhi hak-hak dasar kaum terpinggirkan seperti pendidikan, kesehatan, dan kebersihan. 'Do It Yourself! adalah prinsip yang sangat Punk. Ia mencita-citakan terciptanya keadilan sosial dalam sebuah komunitas, namun tidak saklek harus dalam level negara. Umumnya, para wirausahawan sosial adalah mereka yang tidak lagi berharap banyak pada negara, mengingat terdapatnya sifat-sifat eksploitatif dan represif dalam logika negara itu sendiri. Sebagian kalangan di spektrum politik sebelah kiri menyebutnya dengan istilah-istilah yang saling berarsiran satu sama lain, misalnya 'Marxis Otonomis' dan 'Komunisme Libertarian'. Ia bertujuan men-generate taraf hidup sekelompok manusia, (MH = Meningkatkan Harkat dan Martabat Hidup), memberdayakan komunitas. Namun lagi-lagi, ia tak terjebak pada common sense 'di mana negara?'. Prinsip kemandirian yang diadopsi dari kewirausahaan menjadikan para wirausahawan sosial orang-orang yang malu untuk menuntut/meminta. Mereka berjuang sendirian di jalan sunyi, menikmati impian dan idealismenya, sendirian tidak menunggu siapa-siapa.

Belajar SocEnt dari SPP dan KB

Qaryah Thayyibah mengakui usahanya dan kesengajaannya berjuang dengan penuh kesadaran untuk mewujudkan sebuah kelompook masyarakat yang subsisten, berdikari, dan juche. Menurut mereka, masalah-masalah desa dan pertanian tidak bersifat internal. Semuanya datang dari luar desa. Padahal desa sendiri sebenarnya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara bersahaja. Apa yang perlu dimakan, dapat ditanam di belakang rumah. Binatang ternak tinggal digembalakan. Sisanya mereka berusaha meminimalisasi penggunaan uang sebagai alat tukar. Oleh karena cita-cita (dan realita) hidup subsisten itulah, dirasa perlu diadakan pendidikan yang berorientasi langsung ke kehidupan sehari-hari itu sendiri.

Pak Din menilai sekolah-sekolah negeri tidak pernah mengajarkan anak-anak desanya tentang desa mereka sendiri. Di sana mereka diajarkan hal-hal yang tidak ada dan tidak dibutuhkan di tempat mereka sehari-hari tinggal. Hal ini menurut Pak Din membuat mereka tercerabut dari kehidupan sosialnya yang normal, bahkan dari akar dimana mereka berasal. Untuk  memberikan pilihan di samping sistem pendidikan umum tersebut, didirikan KB QT. Di sekolah umum, murid baru mengikuti masa orientasi yang disebut-sebut untuk menyesuaikan mereka dengaan kultur pendidikan sekolah tersebut, yang padahal nyatanya lebih cenderung mendegradasi martabat mereka sebagai manusia dan mendekonstruksi tatanan nilai mereka yang telah terbangun bertahun-tahun. Dalam ospek, mereka dikenalkan pada sebuah relasi sosial yang tidak pernah mereka temui sebelumnya, dan sebenarnya tidak akan benar-benar mereka hadapi kelak. KB QT, memiliki orientasi untuk mengembalikan anak desa ke desanya sendiri. Mereka mengenalkan cangkul dan bajak, pupuk dan pengairan, sowan ke tokoh-tokoh desa yang akan bercerita tentang sejarah dan asal-usul masyarakat mereka, membingkai pola pikir mereka dengan cita-cita membangun dan memajukan desa sebagai tanah air mereka. Orientasi adalah meng-uninstall paradigma-paradigma 'kota'--yang tidak pernah dibutuhkan dalam kehidupan desa mereka--yang sempat meracuni para siswa/i saat mereka pergi sebelumnya ke sekolah-sekolah umum.

Sebagai anak zamannya, Qaryah Thayyibah ternyata tetap berjalan di sisi arus teknologi komunikasi dan informasi. LSD pertama kali didirikan berawal dari anak muda-anak muda desa yang terkenalkan satu sama lain melalui program internetisasi desa. Para pemuda/i dari daerah 'atas' yang umumnya masih terbiasa memegang cangkul, tidak bersekolah ke kota, bertemu dengan sejawat-sejawat mereka dari daerah 'bawah' yang sudah lumayan terpapar budaya kota; pergi ke sekolah umum, melek dengan internet dan social media, dan sudah asing dari tradisi turun temurun bapaknya: bertani. Kedua kelompok besar ini dipertemukan oleh satu visi yaitu membangun dan memajukan desanya. Mereka melebur satu sama lain, yang dari 'atas' mulai belajar google dan facebook, yang dari 'bawah' mulai mencoba mengayun cangkul dan menarik bajak. Qaryah Thayyibah dengan kehidupan subsisten-nya pun dapat mengambil keuntungan dari globalisasi. Alih-alih tergempur modernitas tiba-tiba, mereka menghampirinya perlahan, memilah-milih bagian mana yang ingin dibawa pulang dan yang mana yang lebih baik ditinggalkan. Dengan bijak mereka dapat meng-hibrid-kan gemeinschaft dengan ICT. Para petani kini tidak lagi ditipu makelar, mereka dapat mengecek langsung harga benih atau gabah di pasarang via internet. Anak-anak muda memiliki andil mem-by pass alur distribusi dengan cara menjajakan langsung hasil bumi desanya, juga via internet.

Dan sebagai bagian dari warga yang diatur dalam territorial Republik Indonesia, SPP QT juga mengembangkan perspektif kewaargaan yang kritis. Ia mengawal, mengkaji, terkadang menolak dan terkadang mendorong, proses pengambilan dan arah dari kebijakan-kebijakan publik yang berhubungan dengan kepentingannya. Di antaranya adalah usaha advokasi mereka untuk petani-petani tembakau anggota serikat, yaitu menolak draft RPP Tembakau yang mana di dalamnya mereka anggap mengandung unsur-unsur penjajahan gaya baru alias neokolonialisme, yaitu kebijakan perdagangan yang justru pro terhadap pemain asing dan menekan industri lokal. Mereka menulis komunike-komunike, kajian-kajian, dan rilis-rilis pers. Mereka juga terlibat dalam advokasi nasional membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) sebagai salah satu subjek hukum penggugat, yang dianggap bertendensi menyamaratakan sistem pendidikan di Indonesia yang pada dasarnya sangat beragam. Walaupun fokus pada gerakan basis yang mandiri, mereka tidak lupa bahwa tidak semua masalah sosial datang dari dalam sehingga bisa diselesaikan sendiri, tetapi kadang kala juga datang gangguan dari luar yang harus diselesaikan, yang bersifat sistemik/strultural, yang karena itulah dibutuhkan advokasi sebagai sisi lain dari koin gerakan sosial, bertolak belakang tapi bertempelan dengan gerakan basis. Lebih-lebih, mereka aktif berjejaring, baik dengan sesama SocEnt maupun aktivis sosial pada umumya di lingkup Jawa Tengah, termasuk ke jaringan di Jakarta, maupun dunia internasional sebagai pembicara-pembicara di berbagai forum.

Safari Perubahan

Refleksi dan pengamatan di atas datang dari kesempatan yang diberikan kepada saya dan beberapa kawan lain untuk mengikuti rangkaian acara brainstorming, rekonstruksi paradigma, moments of truth, bersama rombongan Safari Perubahan. Hal tersebut merupakan  Young Fellow dari Rumah Perubahan Pak Rhenald Kasali, dan meng-co-founding Social Enterprise Club Indonesia bersama mereka yang Pak Din sebut sebagai 'para calon pemimpin masa depan'. Mereka, yang seperti kata Pak Rhenald, memiliki sekaligus global vision dan grass root understanding. Pagi-pagi dari Rumah Perubahan di Kranggan, Bekasi, kami dilepas dalam sebuah bis ke kota Semarang. Di sana kami menghadiri, menyaksikan, dan belajar banyak hal dari acara Temu Nasional Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI Indonesia) yang diselenggarakan oeh 'gubernurnya wirausahawan sosial', Mas Ilik Sas dengan Jaringan Rumah Usaha-nya (JRU). Selesai dari rangkaian ide-ide dan inspirasi-inspirasi di Semarang selama satu setengah hari, barulah kami melanjutkan perjalanan ke Salatiga, untuk belajar lagi ke School of Life Lebah Putih Jaritmatika dan kantor pusat SPP QT.

Saya sebagai peserta Safari Perubahan yang datang bukan dari lingkungan gerakan SocEnt, menjadi belajar banyak dari perjalanan ini. Cakrawala berpikir saya terluaskan. Ditambah lagi dengan rangkaian diskusi-diskusi hangat, baik selama di perjalanan berangkat dan pulang di bis, penginapan, maupun saat bermalam di  SPP QT. Saya merasa dipertemukan dengan miniatur positif dari mahasiswa/i UI dan pemuda/i Indonesia masa depan. Perbedaan-perbedaan di antara kami menjadi keunikan masing-masing yang saling mengisi dan mengkayakan dinamika kelompok. Sepulangnya dari perjalanan saya merasa kerangka berpikir dalam gerakan sosial menjadi semakin lebih mapan, terimakasih kepada kawan-kawan yang betah meladeni diskusi-diskusi panjang lebar ngalor-ngidur selama beberapa hari tersebut.

Terima kasih kepada semua kakak-kakak panitia dan kawan-kawan peserta yang sudah menjadi sahabat perjalanan yang hangat. Ini baru awal, mari melanjutkan menggarap mimpi bersama dan mimpi masing-masing dengan lebih geliat dan penuh cinta, lebih dari kapanpun sebelumnya.



*Penulis merupakan mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wakil kepala Departemen Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI 2012. Sekarang aktif membangun gerakan di SEMAR UI. Dapat dijumpai di twitterland dengan ID @rkholil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar