Oleh Robie
Kholilurrahman*
[continuation]
Social
Enterpreneurship
"Menyimpulkan
diskusi ini, ya ini lah sebenar-benarnya social enterpreneurship!"
Tukas Pak Din, membawa diskusi kami di malam larut yang dingin di lereng
Merbabu tersebut, ke sebuah akhir dan titik terang. Tak lupa disertai dengan
kekeh tawanya yang khas.
Seperti istilah shopisticated lainnya,
saat berusaha dibahas secara ilmiah, tidak dapat ditemukan sebuah definisi rigid tentang social
enterpreneurship. Gradasinya bergeser dari dua buah sudut. Yang pertama
adalah dimana LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berada; fokus melakukan kerja
sosial baik basis maupun advokasi, dengan pendanaan umumnya bergantung pada
donor atau fundraising. Sehingga, para relawannya menggantungkan
penghidupan dari tempat lain di luar suatu LSM tersebut. Dan, yang kedua adalah
di mana perusahaan berada; survive, memenuhi kebutuhan
penghidupan pemilik dan pekerjanyanya, karenanya berorientasi keuntungan
finansial. Fungsi sosialnya menjadi sampingan, prioritas ke sekian dalam bentuk
pemenuhan presentase minimal keuntungan yang dialokasikan ke pos CSR (Corporate
Social Responsibility). Social Enterpreneurship berada
di tengah kedua kutub tersebut. Ia mencakup fokus sosial dari LSM, dan juga
prinsip kemandirian dari perusahaan. Hal ini seperti menggabungkan kemurahan
hati MadamTheresa dan jiwa inovatif Bill Gates.
Namun, di sisi lain ia
juga bertolakbelakang secara logika dengan perusahaan bisnis komersial. Ketika
bisnis berorientasi profit, dan menjadikan aspek sosial sebagai sekadar
pelengkap atau kewajiban, social enterpreneurship justru fully berorientasi
sosial (pemberdayaan/pengembangan masyarakat/komunitas, pendidikan, pemenuhan
hak-hak dasar kaum terpinggirkan, generating taraf hidup dan
potensi keberkembangan dari kelompok yang didampingi, dlll.). Diadopsinya
prinsip-prinsip kewirausahaan seperti keberanian mengambil resiko, inovasi,
kreativitas, kemandirian, dan keberlanjutan tetap dalam koridor untuk tujuan sosial. Social
Enterpreneurship berusaha tidak cengeng
menuntut dan menunggu turun tangannya, the so called, institusi
sosial bernama negara dalam memenuhi hak-hak dasar kaum terpinggirkan seperti pendidikan,
kesehatan, dan kebersihan. 'Do It Yourself! adalah prinsip yang sangat
Punk. Ia mencita-citakan terciptanya keadilan sosial dalam sebuah komunitas,
namun tidak saklek harus dalam level
negara. Umumnya, para wirausahawan sosial adalah mereka yang tidak lagi
berharap banyak pada negara, mengingat terdapatnya sifat-sifat eksploitatif dan
represif dalam logika negara itu sendiri. Sebagian kalangan di spektrum politik
sebelah kiri menyebutnya dengan istilah-istilah yang saling berarsiran satu
sama lain, misalnya 'Marxis Otonomis' dan 'Komunisme Libertarian'. Ia bertujuan
men-generate taraf hidup sekelompok manusia, (MH = Meningkatkan
Harkat dan Martabat Hidup), memberdayakan komunitas. Namun lagi-lagi, ia tak
terjebak pada common sense 'di mana negara?'. Prinsip
kemandirian yang diadopsi dari kewirausahaan menjadikan para wirausahawan
sosial orang-orang yang malu untuk menuntut/meminta. Mereka berjuang sendirian
di jalan sunyi, menikmati impian dan idealismenya, sendirian tidak menunggu
siapa-siapa.
Belajar SocEnt dari SPP dan KB
Qaryah Thayyibah
mengakui usahanya dan kesengajaannya berjuang dengan penuh kesadaran untuk
mewujudkan sebuah kelompook masyarakat yang subsisten,
berdikari, dan juche. Menurut mereka, masalah-masalah desa dan
pertanian tidak bersifat internal. Semuanya datang dari luar desa. Padahal desa
sendiri sebenarnya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara bersahaja.
Apa yang perlu dimakan, dapat ditanam di belakang rumah. Binatang ternak
tinggal digembalakan. Sisanya mereka berusaha meminimalisasi penggunaan uang
sebagai alat tukar. Oleh karena cita-cita (dan realita) hidup subsisten itulah,
dirasa perlu diadakan pendidikan yang berorientasi langsung ke kehidupan
sehari-hari itu sendiri.
Pak Din menilai
sekolah-sekolah negeri tidak pernah mengajarkan anak-anak desanya tentang desa
mereka sendiri. Di sana mereka diajarkan hal-hal yang tidak ada dan tidak
dibutuhkan di tempat mereka sehari-hari tinggal. Hal ini menurut Pak Din
membuat mereka tercerabut dari kehidupan sosialnya yang normal, bahkan dari
akar dimana mereka berasal. Untuk memberikan pilihan di samping sistem
pendidikan umum tersebut, didirikan KB QT. Di sekolah umum, murid baru
mengikuti masa orientasi yang disebut-sebut untuk menyesuaikan mereka dengaan
kultur pendidikan sekolah tersebut, yang padahal nyatanya lebih cenderung
mendegradasi martabat mereka sebagai manusia dan mendekonstruksi tatanan nilai
mereka yang telah terbangun bertahun-tahun. Dalam ospek, mereka dikenalkan pada
sebuah relasi sosial yang tidak pernah mereka temui sebelumnya, dan sebenarnya
tidak akan benar-benar mereka hadapi kelak. KB QT, memiliki orientasi untuk mengembalikan
anak desa ke desanya sendiri. Mereka mengenalkan cangkul dan bajak, pupuk dan
pengairan, sowan ke tokoh-tokoh desa yang akan bercerita tentang sejarah dan
asal-usul masyarakat mereka, membingkai pola pikir mereka dengan cita-cita
membangun dan memajukan desa sebagai tanah air mereka. Orientasi adalah meng-uninstall paradigma-paradigma
'kota'--yang tidak pernah dibutuhkan dalam kehidupan desa mereka--yang sempat
meracuni para siswa/i saat mereka pergi sebelumnya ke sekolah-sekolah umum.
Sebagai anak zamannya,
Qaryah Thayyibah ternyata tetap berjalan di sisi arus teknologi komunikasi dan
informasi. LSD pertama kali didirikan berawal dari anak muda-anak muda desa
yang terkenalkan satu sama lain melalui program internetisasi desa. Para
pemuda/i dari daerah 'atas' yang umumnya masih terbiasa memegang cangkul, tidak
bersekolah ke kota, bertemu dengan sejawat-sejawat mereka dari daerah 'bawah'
yang sudah lumayan terpapar budaya kota; pergi ke sekolah umum, melek dengan
internet dan social media, dan sudah asing dari tradisi turun
temurun bapaknya: bertani. Kedua kelompok besar ini dipertemukan oleh satu visi
yaitu membangun dan memajukan desanya. Mereka melebur satu sama lain, yang dari
'atas' mulai belajar google dan facebook, yang
dari 'bawah' mulai mencoba mengayun cangkul dan menarik bajak. Qaryah Thayyibah
dengan kehidupan subsisten-nya pun
dapat mengambil keuntungan dari globalisasi. Alih-alih tergempur modernitas
tiba-tiba, mereka menghampirinya perlahan, memilah-milih bagian mana yang ingin
dibawa pulang dan yang mana yang lebih baik ditinggalkan. Dengan bijak mereka
dapat meng-hibrid-kan gemeinschaft dengan ICT.
Para petani kini tidak lagi ditipu makelar, mereka dapat mengecek langsung
harga benih atau gabah di pasarang via internet. Anak-anak muda memiliki andil
mem-by pass alur distribusi dengan cara menjajakan langsung hasil
bumi desanya, juga via internet.
Dan sebagai bagian
dari warga yang diatur dalam territorial Republik Indonesia, SPP QT juga
mengembangkan perspektif kewaargaan yang kritis. Ia mengawal, mengkaji,
terkadang menolak dan terkadang mendorong, proses pengambilan dan arah dari
kebijakan-kebijakan publik yang berhubungan dengan kepentingannya. Di antaranya
adalah usaha advokasi mereka untuk petani-petani tembakau anggota serikat,
yaitu menolak draft RPP Tembakau yang mana di dalamnya mereka anggap mengandung
unsur-unsur penjajahan gaya baru alias neokolonialisme, yaitu kebijakan
perdagangan yang justru pro terhadap pemain asing dan menekan industri lokal.
Mereka menulis komunike-komunike,
kajian-kajian, dan rilis-rilis pers. Mereka juga terlibat dalam advokasi
nasional membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) sebagai
salah satu subjek hukum penggugat, yang dianggap bertendensi menyamaratakan
sistem pendidikan di Indonesia yang pada dasarnya sangat beragam. Walaupun
fokus pada gerakan basis yang mandiri, mereka tidak lupa bahwa tidak semua
masalah sosial datang dari dalam sehingga bisa diselesaikan sendiri, tetapi
kadang kala juga datang gangguan dari luar yang harus diselesaikan, yang
bersifat sistemik/strultural, yang karena itulah dibutuhkan advokasi sebagai
sisi lain dari koin gerakan sosial, bertolak belakang tapi bertempelan dengan
gerakan basis. Lebih-lebih, mereka aktif berjejaring, baik dengan sesama SocEnt maupun
aktivis sosial pada umumya di lingkup Jawa Tengah, termasuk ke jaringan di
Jakarta, maupun dunia internasional sebagai pembicara-pembicara di berbagai
forum.
Safari Perubahan
Refleksi dan
pengamatan di atas datang dari kesempatan yang diberikan kepada saya dan
beberapa kawan lain untuk mengikuti rangkaian acara brainstorming,
rekonstruksi paradigma, moments of truth, bersama rombongan
Safari Perubahan. Hal tersebut merupakan Young Fellow dari Rumah
Perubahan Pak Rhenald Kasali, dan meng-co-founding Social
Enterprise Club Indonesia bersama mereka yang Pak Din sebut sebagai 'para calon
pemimpin masa depan'. Mereka, yang seperti kata Pak Rhenald, memiliki
sekaligus global vision dan grass root
understanding. Pagi-pagi dari Rumah Perubahan di Kranggan, Bekasi, kami
dilepas dalam sebuah bis ke kota Semarang. Di sana kami menghadiri,
menyaksikan, dan belajar banyak hal dari acara Temu Nasional Asosiasi
Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI Indonesia) yang diselenggarakan oeh
'gubernurnya wirausahawan sosial', Mas Ilik Sas dengan Jaringan Rumah Usaha-nya
(JRU). Selesai dari rangkaian ide-ide dan inspirasi-inspirasi di Semarang
selama satu setengah hari, barulah kami melanjutkan perjalanan ke Salatiga,
untuk belajar lagi ke School of Life Lebah Putih Jaritmatika
dan kantor pusat SPP QT.
Saya sebagai peserta
Safari Perubahan yang datang bukan dari lingkungan gerakan SocEnt,
menjadi belajar banyak dari perjalanan ini. Cakrawala berpikir saya terluaskan.
Ditambah lagi dengan rangkaian diskusi-diskusi hangat, baik selama di
perjalanan berangkat dan pulang di bis, penginapan, maupun saat bermalam di
SPP QT. Saya merasa dipertemukan dengan miniatur positif dari mahasiswa/i
UI dan pemuda/i Indonesia masa depan. Perbedaan-perbedaan di antara kami
menjadi keunikan masing-masing yang saling mengisi dan mengkayakan dinamika
kelompok. Sepulangnya dari perjalanan saya merasa kerangka berpikir dalam
gerakan sosial menjadi semakin lebih mapan, terimakasih kepada kawan-kawan
yang betah meladeni diskusi-diskusi panjang lebar ngalor-ngidur selama beberapa hari tersebut.
Terima kasih kepada semua
kakak-kakak panitia dan kawan-kawan peserta yang sudah menjadi sahabat
perjalanan yang hangat. Ini baru awal, mari melanjutkan menggarap mimpi bersama
dan mimpi masing-masing dengan lebih geliat dan penuh cinta, lebih dari kapanpun
sebelumnya.
*Penulis merupakan mahasiswa
Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wakil
kepala Departemen Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI 2012. Sekarang aktif
membangun gerakan di SEMAR UI. Dapat dijumpai di twitterland dengan ID @rkholil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar