oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar**
Apa arti Mayday (Hari Buruh) bagi mahasiswa? Di saat aktivisme buruh
semakin menunjukkan kekuatannya, dan di saat moda produksi kapitalisme semakin
merambah ranah-ranah kehidupan kita, persinggungan antara mahasiswa dan buruh
semakin kentara.
Di Indonesia, seperti juga belahan dunia lain, hari buruh diperingati
setiap tanggal 1 Mei. Namun, sehari setelahnya, Indonesia juga memperingati
hari pendidikan nasional yang, seperti hari buruh, menjadi ajang konsolidasi
gerakan mahasiswa untuk berdemonstrasi. Dua hari yang bersebelahan ini seperti
menjadi ‘hari raya;’ Buruh merayakan Mayday dengan demonstrasi pada tanggal 1,
sementara keesokan harinya, mahasiswa juga menggelar aksi-aksi demonstrasi.
Persoalannya, pada dua ‘hari raya’ di atas, kita melihat sebuah fenomena
yang agak ironis: tuntutan yang diajukan di dua perayaan tersebut seringkali
tak jauh berbeda. Buruh menuntut isu-isu yang berbasis pada kesejahteraan hidup
mereka, sementara mahasiswa juga sama. Ironis, sebab kondisi demikian membuat
gerakan rakyat menjadi terfragmentasi; tidak pernah ada titik singgung yang
mempertemukan kepentingan masing-masing, apatah lagi kata-sepakat untuk tujuan
bersama yang lebih besar.
Hal ini sebetulnya problematis: Sebab, dengan tren kapitalisme global yang
semakin menunjukkan adanya konvergensi antara ‘kerja’ dan ‘pengetahuan,’
logika gerakan buruh dan mahasiswa justru bergerak ke arah yang berlawanan.
Sehingga, model-model perlawanan kedua jenis gerakan ini seringkali
terlokalisasi. Konsekuensinya, kapitalisme dengan begitu hegemonik berhasil
melemahkan perlawanan-perlawanan yang dibangun baik oleh mahasiswa maupun
buruh.
Tulisan ini akan beranjak dari problem tersebut untuk memberikan
penjelasan, mengapa gerakan buruh dan mahasiswa, paling tidak, harus
mempertemukan kepentingannya dalam satu kepentingan bersama. Hal ini penting
agar peringatan Mayday dan Hari Pendidikan Nasional tidak sekadar menjadi
perayaan para aktivis serikat atau pergerakan mahasiswa, tetapi juga mampu
menjadi kekuatan (baca: subjek) yang efektif untuk menghadapi perkembangan
kapitalisme yang kian hebat. Tulisan ini akan memulai dari perkembangan
ekonomi-politik kapitalisme di Indonesia saat ini.
Konvergensi ‘Kerja’ dan ‘Pengetahuan’
Untuk menjelaskan ‘makhluk’ yang bernama kapitalisme saat ini, kita mesti
terlebih dulu memetakan bagaimana ia berkembang dan bertransformasi menjadi
sebuah kekuatan di Indonesia. Analisis Prof. Richard Robison dalam karya
klasiknya, Indonesia: The Rise of Capital dan analisis bersama
Prof. Vedi Hadiz dan Richard Robison dalam karyanya yang lain, Reorganising
Power in Indonesia, dapat menjadi pengantar untuk memetakan kondisi ini.
Mengutip dua karya di atas, kita bisa memetakan perkembangan kapitalisme di
Indonesia menjadi tiga babakan: Pertama, fase industrialisasi (1967-1980an)
yang mentransformasikan ‘petani’ menjadi ‘buruh’ dan mengonsolidasikan
basis-basis produksi; kedua, fase liberalisasi sektor jasa dan finansial
(1980an-1998) yang melahirkan jenis ‘buruh’ baru yakni kaum borjuis-upahan,
mereka yang dalam banyak literatur disebut ‘kelas menengah’; dan ketiga, fase
‘negara neoliberal’ di mana semua sektor kehidupan di-incorporate dalam
logika ekonomi pasar, dan menyebabkan sektor-sektor produksi menjadi konvergen
dengan basis-basis pengetahuan. Kondisi ini menyebabkan kampus menjadi salah
satu basis terpenting untuk menciptakan para buruh berpendidikan.
Fase pertama ditandai oleh masuknya perusahaan-perusahaan modal asing ke
Indonesia (melalui paket UU PMA) dan konsolidasi kembali kapitalisme setelah
tercerai-berai di era Demokrasi Terpimpin. Era penanaman modal asing ini,
menurut Robison (1987), ditandai oleh rehabilitasi basis-basis industri di Jawa
Barat dan Jawa Timur, serta modernisasi pertanian. Negara, pada era ini,
menginvestasikan anggarannya untuk membangun basis industri dan proyek-proyek
pertanian, yang dapat kita baca sebagai upaya untuk mengonsolidasikan kembali
basis kapitalisme industrial. Agenda ini didukung oleh faktor oil-boom yang
menyebabkan industri perminyakan menjadi primadona dan penghasil uang. Dalam
catatan Robison, kapitalisme beroperasi dalam logika developmentalis yang
menempatkan ‘negara’ sebagai alat utama untuk melakukan akumulasi kapital.
Namun, seiring dengan surutnya produksi minyak Indonesia di tahun 1980an,
Indonesia terpaksa harus mengubah strateginya. Di era ini, mulai diperkenalkan
liberalisasi sektor jasa dan keuangan yang beroperasi melalui perbankan dan
deregulasi sektor riil dan moneter. Konsekuensunya, dengan munculnya
investasi-investasi baru, mulai muncul kelompok baru yang sering disebut
‘kelas-menengah’. Pada era ini.Pasar Modal dan Pasar Saham menjadi trademark,
juga perbankan yang membuat kapitalisme beroperasi pada logika investasi (Hadiz
dan Robison, 2004). Akibatnya, monopoli negara pada urusan jasa harus harus
di-privatisasi, menjadikan kapitalisme bergantung pada peredaran uang dan jasa,
selain pada produksi dan buruh.
Tetapi ternyata era ini harus berhenti ketika krisis ekonomi menerpa
Indonesia pada tahun 1997-1998. Dimulailah era baru kapitalisme: ‘neoliberal
state.’ Bergantung pada doktrin good governance yang dipromosikan oleh IMF dan
Bank Dunia, Indonesia mulai meliberalisasi tidak hanya sektor jasa dan
keuangannya, melainkan hampir seluruh sektor kehidupannya. Hampir seluruh
institusi publik yang tadinya dikelola pemerintah, termasuk institusi
pendidikan tinggi, kesehatan, BUMN, perminyakan (Pertamina), dan
institusi-institusi lain diprivatisasi. Seiring dengan hal tersebut, hambatan
tarif dibuka dan mulailah liberalisasi perdagangan dibuka. Era ini
mengintegrasikan kapitalisme dengan seluruh aspek kehidupan dan menjadikan
setiap individu pada setting sosial kapitalisme. Dengan kata
lain, seluruh aktivitas kerja sekarang terintegrasi dengan kapitalisme, tidak
hanya di level nasional, tetapi juga level global, sehingga membuat setiap
individu akan menjadi bagian dari kapitalisme.
Perkembangan kapitalisme ini melahirkan beberapa konsekuensi bagi kaum
buruh. Pertama, proses akumulasi-kapital tidak hanya dilakukan di pabrik,
tetapi juga di berbagai tempat. Kita bisa sebut, misalnya, kampus, rumah sakit,
Bank, sekolah, dan berbagai lokasi lain yang mana di dalamnya berlangsung
proses komodifikasi. Logika awal akumulasi-kapital, sebagaimana diungkap Marx
dalam Capital, selalu berlangsung dengan proses transfer
Komoditas-Uang-Komoditas’-dst. Sebagai contoh, di kampus, kita lihat logika
yang sama beroperasi pada pengetahuan: dengan proses liberalisasi pendidikan
yang membuat biaya kuliah mahal, pengetahuan menjadi ‘komoditas’, dimana
ia akan ditransformasikan menjadi ‘pengetahuan/komoditas’ melalui uang
(liberalisasi yang membuat pembiayaan pendidikan diserahkan ke pasar dan
mahasiswa dan membuat biayanya luar biasa mahal).
Kedua, seiring berkembangnya waktu, ‘buruh’ tidak lagi didefinisikan hanya
sekadar mereka yang bekerja di pabrik, tetapi juga mereka yang bekerja dalam
proses komodifikasi. Ia bisa jadi para intelektual//pekerja kesehatan untuk
mentransformasikan pengetahuan/kesehatan/saham menjadi sebuah komoditas baru.
Perbedaannya dengan kaum buruh di pabrik adalah mereka dibayar dengan uang yang
besar karena mengandaikan ada spesialisasi yang didapat melalui pengetahuan,
sehingga tidak menyebabkan proses alienasi tidak terjadi dengan represi,
melainkan justru dengan penikmatan-penikmatan (jouisasnce). Ini mungkin yang
disebut oleh Zizek (2009) sebagai surplus-of-jouissance.
Ketiga, semakin konvergennya ‘kerja’ dengan ‘pengetahuan.’ Karena
kapitalisme masuk pada semua lapis kehidupan yang dimungkinkan dengan adanya
proses liberalisasi, ‘kerja’ sekarang membutuhkan keahlian-keahlian tertentu.
Sebab, kapitalisme tidak lagi memproduksi barang yang sifatnya material,
melainkan juga sesuatu yang ‘abstrak’ seperti pergeseran harga sahal di bursa
efek. Artinya, di sini, kerja membutuhkan spesialisasi yang hanya bisa didapat
melalui pengetahuan. Dengan demikian, kampus menjadi instrumen penting bagi
penciptaan para buruh-spesialis yang siap sedia untuk menjadi bagian dari proses
produksi kapitalisme dengan pengetahuan yang ia miliki. Itulah sebabnya, dalam
dokumen Country Assistance Strategy Bank Dunia yang baru, interkoneksi antara
‘perguruan tinggi’ dengan ‘dunia industri’ menjadi capaian yang harus dituju
oleh institusi pendidikan tinggi ke depan.
Mahasiswa: Buruh Masa-Depan
Apa artinya hal-hal tersebut bagi mahasiswa? Kita bisa menyimpulkan,
sebetulnya, bahwa mahasiswa adalah para buruh masa-depan. Dengan
semakin konvergennya ‘kerja’ dan ‘pengetahuan’, maka mahasiswa dituntut untuk
dapat comply dengan kebutuhan industri. Kampus menjadi sarana penting untuk
menciptakan tenaga kerja yang terdidik, yang dapat men-sustain-kan moda
produksi kapitalisme di masa yang akan datang.
Hal ini, disadari atau tidak, sebetulnya memberikan implikasi penting bagi
gerakan mahasiswa dan gerakan buruh saat ini. Dengan posisinya sebagai ‘buruh
masa-depan’, maka mahasiswa sebetulnya harus sadar bahwa kepentingan buruh saat
ini adalah kepentingannya di masa yang akan datang. Ketika mahasiswa lulus,
dalam profesi apapun ia bekerja, ia harus sadar bahwa ia adalah ‘buruh’.
Kesadaran atas subjektivitasnya inilah yang, menurut Zizek (2009) akan menjadi
salah satu fondasi dari resistensi yang ia bangun pada konstruksi bangunan yang
bernama kapitalisme.
Jika mahasiswa adalah ‘buruh masa-depan,’ maka sudah selayaknya gerakan
mahasiswa saat ini mengambil posisi yang inheren dengan gerakan buruh. ‘Subjek’
mahasiswa saat ini, dalam relasi produksi kapitalisme kontemporer, adalah
buruh-di-masa-depan; Ia harus mengidentifikasikan dirinya dengan melihat
‘buruh’ sebagai cermin -jika menggunakan terminologi Lacanian- dan menjadikan
buruh sebagai penanda-utamanya. Subjek mahasiswa adalah subjek yang
berkekurangan, dan ketika ia berhadapan dengan ganasnya alam kapitalisme, ia
harus menutup lubang tersebut dengan hasratnya. ‘Hasrat’ tersebut kemudian
melahirkan sistem penandaan -bahasa- yang dijangkarkan oleh sebuah
penanda-utama tertentu. Jika logika ini dipakai, dengan menjadikan ‘buruh’
sebagai penanda-utama, seluruh bahasa gerakan mahasiswa akan berorientasi pada
relasi produksi kapitalisme yang menyertakan buruh sebagai penanda utamanya,
mengintegrasikan gerakannya dengan ‘gerakan buruh’ saat ini.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah buruh sendiri saat ini sadar dengan
posisinya pada relasi produksi kapitalisme? Di sini yang menjadi catatan kita.
Jika buruh sendiri memahami subjektivitasnya sebagai bagian penting dari relasi
produksi kapitalisme, maka identifikasi buruh terhadap dirinya sendiri bukanlah
sesuatu yang parsial, dalam arti ia hanya memikirkan bagaimana cara menaikkan
upah minimum atau jaminan sosial, tetapi juga ‘sesuatu’ yang lebih luas dari
itu: bagaimana membangkitkan kesadaran bahwa ‘semua orang yang bekerja’ adalah
buruh dan dengan demikian semua kepentingan masyarakat Indonesia yang berada
dalam relasi produksi kapitalisme adalah kepentingan buruh juga. Di sini, kita
bisa melihat celah konvergensi gerakan mahasiswa dan gerakan buruh: seluruh isu
yang berkaitan dengan mahasiswa, karena ia adalah buruh masa-depan, adalah isu
yang bersinggungan dengan kepentingan buruh sendiri.
Mari kita lihat secara lebih clear. Mengapa buruh penting bagi
mahasiswa dan juga sebaliknya? Pertama, sebagamana saya katakan di atas,
mahasiswa adalah buruh masa-depan. Oleh sebab itu, gerakan buruh seharusnya
melihat ‘mahasiswa’ sebagai basis perkaderan. Merekalah yang di masa depan akan
menggantikan para buruh dalam bergerak. Sehingga, aktivitas perkaderan buruh
semestinya juga dilakukan di kampus-kampus. Mahasiswa harus dibangkitkan
kesadarannya bahwa ia adalah calon penerus para buruh; dan dengan demikian
harus memahami logika buruh sebagai sebuah kelas tersendiri. Paling tidak,
mahasiswa memahami relasi produksi kapitalisme bukan dari logika menara-gading,
melainkan dari logika buruh sendiri. Ini akan membuat kesadaran mahasiswa
sebagai buruh tumbuh, dan ia akan mampu menentukan subjektivitasnya di masa
depan.
Kedua, buruh memerlukan pengetahuan. Terutama, pengetahuan mengenai relasi
produksi kapitalisme sekarang ini secara lebih objektif. Dengan demikian, buruh
akan mampu memetakan strateginya untuk menghadapi para pemodal yang, sekarang,
tidak hanya menekan mereka secara represif, tetapi juga mengakomodasi
kepentingan parsial buruh dalam logika yang hegemonik. Hal ini disediakan oleh
mahasiswa dalam proses ia belajar di kampus. Dengan demikian, gerakan mahasiswa
memiliki satu hal yang membuat ia membedakan diri dari gerakan buruh: basis
pengetahuan. Jika pengetahuan tersebut didedikasikan kepada buruh, dalam arti
ia menjadi salah satu basis pengorganisasian buruh, gerakan mahasiswa akan
mendapatkan relevanasinya.
Ini bukan berarti gerakan mahasiswa harus ikut dalam satu gerakan yang
dikonstruksi oleh kaum buruh. Melainkan, di sini, keduanya harus memahami
subjektivitasnya masing-masing. ‘Subjek’ buruh adalah berbeda dengan ‘Subjek
mahasiswa’ -mahasiswa tentu saja berbeda dengan buruh dalam arti ia tidak
memenuhi kriteria untuk menjadi ‘subjek’ buruh, tetapi keduanya dipersatukan
dalam satu penanda-utama yang sama. Ini berarti, gerakan mahasiswa harus paham
dan ambil bagian dalam gerakan buruh, dan begitu juga sebaliknya: gerakan buruh
juga turut ambil bagian dalam pengorganisasian mahasiswa.
Artinya, jika kedua subjek sudah memahami subjektivitasnya, kita akan
sampai pada satu kesimpulan bahwa sebetulnya, perjuangan-kelas masih relevan.
Transformasi kapitalisme tidak lantas berimplikasi pada peleburan kelas-kelas:
ia justru mempertegas ‘kelas.’ Zizek (2009) di sini benar, ketika ia
berpendapat bahwa modus kapitalisme yang berbasis pada finansial sejatinya
tidak berbeda dengan kapitalisme industrial, dalam arti yang berbeda hanyalah
bentuk-nya; logikanya tetap sama. Subjek yang dilahirkan dari kapitalisme,
tetap akan mengarah pada dua pilihan yang antagonistik: ‘borjuis’ atau
‘proletariat’ (sebagaimana diktum Marx dalam The Communist Manifesto). Namun,
yang kemudian membuat keduanya tampak kabur adalah hal-hal yang mengalienasi
subjek. Buruh tetap buruh, hanya saja ia dialienasi oleh penikmatan-penikmatan
yang diberikan oleh modus kapitalisme baru kepadanya. Tetapi, jika seorang
buruh sadar akan posisi ‘kelas’-nya, dalam artian ia sadar dari fantasi
ideologis yang dikonstruksi oleh kapitalisme kontemporer, maka ia hanya akan
memandang ‘Yang-Lain’ sebagai borjuis. Hal yang sama, terjadi, dalam konteks
mahasiswa sebagai buruh masa-depan
Buruh Masa-Kini dan Buruh Masa-Depan, Bersatulah!
Kondisi semacam ini hanya bisa kita konkretkan dalam bentuk gerakan, jika
baik mahasiswa dan buruh, menyadari subjektivitasnya. Kesadaran kelas, meminjam
Lukacs, menjadi sangat relevan di era kapitalisme kontemporer. Selama buruh
hanya mengidentifikasikan dirinya pada batas-batas yang diberikan oleh serikat,
dalam artian keanggotaan yang bersifat sangat sempit, maka buruh akan susah
memahami perjuangan mahasiswa. Begitu juga, jika mahasiswa hanya
mengidentifikasikan dirinya pada parameter yang diberikan oleh organisasi
mahasiswa, ia tidak akan paham mengapa buruh berjuang. Yang harus dilakukan
keduanya, untuk mendapatkan gambaran tentang ‘diri,’ adalah menempatkan posisi
mereka dalam relasi produksi kapitalisme sekarang, dan meletakkan dirinya pada
logika antagonisme yang disandarkan pada ‘ekonomi-politik’ produksi kontemporer.
Itulah sebabnya, di momentum Mayday dan Hardiknas ini, saya berpendapat
bahwa mahasiswa dan buruh harus kembali pada proses identifikasinya yang
mendasar. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa (dan juga buruh) harus kembali
pada tiga hal penting: perkaderan, pengorganisasian, dan pengetahuan. Ketiga
hal inilah yang menjadi ‘senjata’ kita untuk melawan kapitalisme kontemporer.
Maka, sebelum terlambat: saya ucapkan Selamat Hari Buruh bagi buruh
masa-kini dan buruh masa-depan! Semoga tetap konsisten melawan kapitalisme.***
Kepustakaan:
Bracher, Mark. (2005). Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial.
Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Lacan, Jacques. (1977). Ecrits: A Selection. New York: Tavistock.
Robison, Richard. (1987). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore:
Equinox.
Robison, Richard dan Vedi R Hadiz. (2004). Reorganising Power in Indonesia:
The
Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.
Zizek, Slavoj. (1989). The Sublime Object of Ideology. London: Verso.
Zizek, Slavoj. (2009). First as Tragedy, Then as Farce. London: Verso.
*Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal IndoPROGRESS pada 1 Mei 2013. Dimuat
ulang di sini untuk tujuan pendidikan, dan dengan persetujuan penulis.
**Penulis adalah sarjana Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Pernah menjadi wakil presiden BEM UGM 2012. Sekarang aktif di Kammi Kultural Jogjakarta. Dapat dijumpai di twitterland dengan ID @analispolitik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar