Oleh Gesang Kinasih
Departemen Agitasi dan Propaganda SEMAR UI
“Pasca pembatalan UU
BHP, Bank Dunia pada tanggal 17 April 2010 mengeluarkan dokumen Indonesia
Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang berbunyi:
“A new BHP must be passed to establish
the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public
and private), thereby making BHMN HEIs a legal subset of BHP.” Dalam
dokumen tersebut diperlihatkan, bahwa masalah pendidikan di Indonesia selama ini
hadir disebabkan oleh publik yang kurang mengeluarkan uang lebih banyak untuk
pendidikan tinggi, karena saat ini masyarakat umum menganggap pendidikan hanya
sebagai barang tersier/mewah. Dari itu, kemudian secara fakta kita bisa temui
UU Pendidikan Tinggi (Dikti) hadir di
pertengahan tahun 2012. [1]
Berangkat dari kutipan di atas, pendidikan dapat dilihat
sebagai ajang kontestasi antara kepentingan publik secara luas dan “kepentingan lainnya” (baca:
Kapitalisme). Oleh karena itu, ia selalu menjadi simbol di pihak mana ia berada
dan menunjukan siapa yang memenangkan dalam pertarungannya. Dalam paham
Kapitalisme-Neoliberalisme, suatu paham yang mempercayai pasar dengan
fundamental, pendidikaan akan lebih baik diserahkan pada pasar. Selain lebih
efektif, juga mengurangi pemborosan negara bila harus membiayainya. Bagi yang
mempercayai Sosialisme, pendidikan adalah hak dasar masyarakat yang harus
dipenuhi oleh negara, sebagai representasi publik, dan menjadi tanggung
jawabnya. Oleh karena itu harus di-cover olehnya secara penuh. Dua kutub ini
selalu bertemu dalam perdebatan tentang hak-hak dasar masyarakat, seperti
pendidikan. Sesi ini, penulis akan mengajak berdiskusi sidang pembaca sekalian
untuk memperhatikan sejenak posisi pendidikan dalam ranah Kapitalisme, seperti
apa posisi dan fungsinya, sehingga ia layak untuk diperbincangkan.
Reproduksi Kondisi
Produksi
Sebelum kita menjelaskan tentang posisi pendidikan dalam
Kapitalisme, perlu dijelaskan terlebih dahulu kebutuhan yang melatarbelakangi
dari pentingnya pendidikan dalam sistem Kapitalisme. Hal tersebut menjadi sine
qua non pentingnya pendidikan dalam skema Kapitalisme.
Dalam sistem Kapitalisme, terdapat ciri antropologis yang
kentara atasnya yaitu rasionalitas dan kontinuitas. Dengan ciri tersebut,
terdapat suatu skema yang harus selalu dibangun oleh Kapitalisme guna
mempertahankan eksistensinya, yaitu reproduksi. Hal itu merupakan kondisi
mutlak sebagai prasyarat keberlangsungan bagi dirinya. Tanpa adanya reproduksi
yang terus menerus, suatu formasi sosial niscaya hanya akan bertahan sementara.
Reproduksi di sini diartikan secara spesifik sebagai reproduksi dari kondisi
produksi. Mengapa reproduksi berada di ranah basis (produksi)?
Hal tersebut seperti metafora bangunan yang digunakan Marx
dalam melihat struktur masyarakat secara keseluruhan. Menurutnya, susunan
struktur masyarakat seperti bangunan, yaitu terdapat fondasi (basis) dan
bangunan atasnya (suprastruktur). Masyarakat pun menurutnya juga demikian.
Dalam strukturnya, pondasi bagi masyarakat, untuk tetap ada dan disebut sebagai
masyarakat, bila ada moda produksi di dalamnya, inilah yang disebut Basis, dari
itu kemudian ada Suprastruktur-nya seperti negara, hukum, politik, kebudayaan,
dan ideologi. Dalam relasinya, Basis mengkondisikan Suprastruktur, artinya cara
produksi pada suatu masyarakat akan mengkondisikan bentuk negara, hukum,
politik, kebudayaan, dan ideologinya. Dalam tradisi Marxis, susunan metafora
bangunan masyarakat menurut Marx bisa diihat dalam kesimpulannya pada “Preface:
A Contribution to the Critique of Political Economy, 1859”
“Dalam produksi sosial yang orang-orang lakukan, mereka
mengadakan hubungan-hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan yang tidak
tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini sesuai dengan
tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi materiel mereka.
Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi
masyarakat-dasar yang nyata, di atas mana timbul struktur-struktur atas
(superstructures) hukum dan politik dan dengan mana cocok pula bentuk-bentuk
kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan materiel menentukan sifat
umum dari proses-proses sosial, politik, dan spiritual dari kehidupan. Bukan
kesadaran manusialah yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya;
eksistensi sosialnyalah yang menentukan kesadarannya.” [2]
Namun demikian, hubungan antara keduanya tidaklah satu arah.
Althusser memberikan tafsiran bahwa menurutnya dimungkinkan adanya “tindakan
balik” dari Suprastruktur ke Basis sejauh dalam batas-batas yang diberikan oleh
basis ekonominya. Oleh karena itu, efektivitasnya tidak sama, seperti Basis
mempengaruhi Suprastruktur. Dengan demikian, untuk melihat bahwa suatu sistem
sosial, misal Kapitalisme, dapat terus berjalan, maka dipastikan terdapat moda
produksi tertentu yang terus berjalan di dalamnya. Adapun untuk bisa terus
memproduksi, diperlukan reproduksi kondisi produksi secara terus-menerus.
Kondisi produksi diasumsikan bahwa di setiap tatanan sosial
memiliki modus produksi yang dominan. Dalam tatanan sosial saat ini, modus
produksi yang dominan adalah kerja-upahan. Maka, reproduksi kondisi produksi
bertujuan untuk mempertahankan kondisi produksi yang telah mengada, di dalam
dan di bawah relasi produksi yang definitif tersebut. Menurut Althusser
terdapat dua hal yang harus direproduksi dalam setiap tatanan sosial agar tetap
langgeng, yaitu kekuatan produktif dan relasi produksi yang telah ada[3]. Reproduksi dalam skema Kapitalisme pun, juga
mengacu dalam dua hal tersebut.
Kekuatan produksi dalam Kapitalisme terdiri dari dua hal,
yaitu alat produksi dan sumber daya manusia. Dengan demikian, reproduksi
kekuatan produksi meliputi reproduksi pada dua hal tersebut. Reproduksi alat
produksi, dalam tingkat perusahaan dilakukan dengan pembelian bahan baku dan
mesin-mesin, berikut dengan perawatannya. Sedangkan dalam konteks global,
karena setiap perusahaan butuh mereproduksi alat produksinya sendiri, dan itu
tidak dapat dipenuhi sendiri olehnya, maka ia akan selalu membuat “rangkaian
tanpa akhir” dari skema saling membutuhkan antar perusahaan. Hal ini dijelaskan
Marx dengan hubungan “pembagian kerja secara sosial” antara dua departeman,
yaitu departemen I (produksi alat produksi) dan
departemen II (produksi alat konsumsi).
Reproduksi Sumberdaya
Manusia
Karena berhubungan dengan pendidikan, kita akan langsung
fokus pada reproduksi sumber daya manusia. Pendidikan dalam hal ini, merupakan
bagian dari reproduksi sumber daya manusia.
Reproduksi material dari sumber daya manusia diperoleh
pekerja melalui upah yang diterimanya. Upah adalah nilai yang digunakan untuk
rekonstitusi tenaga kerja atau sebagai pengganti pemulihan tenaga kerja yang
telah dikeluarkan sehari bekerja agar pekerja bisa datang kembali ke pabrik
esok harinya. Dalam upah itu tercangkup, (1) Biaya pemenuhan kebutuhan pekerja
secara biologis dan sosial, dan (2) Biaya untuk membesarkan dan mendidik
anak-anak yang merupakan reproduksi kaum proletar itu sendiri[4]. Namun, kondisi tersebut belum cukup untuk
menjamin reproduksi di bidang sumber daya manusia.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kapitalisme memiliki
kebutuhan untuk menjadikan pekerja berkompeten. Kompeten di sini maksudnya
bahwa pekerja harus cocok ditempatkan dalam suatu pembagian kerja yang
kompleks. Dengan begitu, terdapat tuntutan bahwa setiap pekerja harus memiliki
keahlian tertentu dan jumlahnya yang terdeferensiasi. Berhadapan dengan itu,
maka pekerja harus dibentuk dan direproduksi dengan cara yang seperti itu.
Sistem dan institusi pendidikan (kapitalis) di sini berperan
dalam membentuk dan menjalankan reproduksi keahlian pekerja tersebut, yang
tidak dapat dijalankan oleh sistem internal produksi sendiri. Dalam pendidikan,
setiap manusia diajarkan cara membaca, menulis, dan berhitung. Keahlian dasar
ini merupakan bentuk manifestasi hasil pendidikan yang dapat digunakan dalam
pelbagai jenis pekerjaan dan pembagiannya. Dengan begitu, ajaran utama dari
sistem pendidikan kapitalis adalah pembelajaran tentang “know-how’.
Tetapi selain mempelajari tentang pengetahuan dan teknik,
pelajar di institusi pendidikan diajarkan tentang aturan tingkah laku yang
baik, yang tak lain merupakan norma dan tata aturan yang diciptakan untuk
mengatur kehidupan mereka dalam ranah yang telah ditentukan oleh penguasa atau
kapitalis. Maka, sebenarnya, dalam sekolah setiap orang diajarkan untuk selalu
patuh pada tatanan yang dibangun penguasa/kapitalis. Kesimpulan dari ini,
seperti yang dijelaskan Althhusser, bahwa “Reproduksi tenaga kerja membutuhkan
tidak saja reproduksi keahlian mereka, tetapi pada saat yang sama, merupakan
reproduksi ketundukan sumber daya manusia kepada aturan yang sudah mapan.”[5]
Dengan begitu, reproduksi sumber daya manusia yang dijalankan institusi
pendidikan, memberikan dua hal yaitu reproduksi keahlian dan reproduksi
ketundukan pada ideologi penguasa/kapitalis. Hal ini dapat dilihat pada
reproduksi ketundukan terhadap ideologi yang beroperasi pada pekerja, karena
jelas reproduksi keahlian hanya dapat terjaadi dalam bentuk dan dibawah
ketundukan pada ideologi yang sedang berjalan.
Pendidikan sebagai
Ideological State Aparatus (ISA)
Berkaitan dengan ketundukan ideologis, institusi pendidikan
berperan besar dalam menjalankan proses ideologisasi ini. Dalam bahasa Althusser
institusi pendidikan ditempatkan sebagai ISA (Ideological State Aparatus) paling dominan dalam relasi produksi
Kapitalisme[6]. Aparatus jenis ini
merupakan alat dari negara untuk melakukan secara massif proses yang
menonjolkan ideologi, termasuk di dalamnya pembentukan dan penjagaannya. Hal
ini sangat penting karena tak ada kelas atau penguasa yang dapat berkuasa lama,
tanpa memegang kendali dan menjalankan hegemoni di sekeliling aparatus
ideologis. ISA digunakan kelas yang berkuasa untuk menjaga hagemoni ideologi
tersebut.
Apa siginifikansi penjagaan hegemoni ideologi ini? Bagi
Kapitalisme, ini adalah bagian dari reproduksi relasi produksi yang telah
berjalan. Dengan adanya ISA, proses kesadaran mengenai relasi produksi yang
eksploitatif ditempatkan dalam konteks yang biasa-biasa saja, dengan demikian,
gejolak perlawanan dijauhkan dari pekerja dan relasi produksi dapat berjalan
secara kontinyu. Disinilah letak reproduksi relasi produksi yang telah
berjalan. Dengan ISA juga, proses pendispilinan tubuh dijalankan dengan
mengikuti pola kerja yang ada dalam kehidupan Kapitalisme. Dalam dunia
sekarang, adakah sebuah institusi aparatus negara ideologis yang dapat memaksa
peserta di dalamnya terlibat dalam aktivitas selama, minimal, delapan jam
selama enam hari, kecuali sekolah? Pendisiplinan ini dibentuk dalam kerangka
menyiapkan diri-diri manusia dalam memasuki dunia kerja berikutnya.
Melihat paparan, yang sebagian besar diambil dari pemikiran
Althusser di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sistem dan institusi pendidikan
memiliki peran yang strategis di tubuh Kapitalisme. Pertama sebagai bagian dari
skema reproduksi alat produksi, dimana dalam hal ini pendidikan menempati
fungsi sebagai reproduksi sumber daya manusia, dan Kedua, berperan sebagai
pelaku utama dari reproduksi relasi hubungan produksi dengan menjadi ISA.
Bila kita dibesarkan dalam tradisi pendidikan seperti yang
di atas, kesadaran menjadi sangat penting. Dan tulisan ini dibuat untuk
menyuntikan kesadaran itu. Setelah kita sadar, suatu tindakan untuk mempelajari
kondisi sosial secara kritis dan mengubahnya, menurut saya, adalah tindakan yang berada dalam jalan yang lurus (Shiratal Mustaqim)[7]. Oleh karena itu, ada suatu kutipan yang
menarik bagi kalangan (yang katanya) cendekia seperti kita,
“Kita ini dididik
untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat
pembebasan, ataukah alat penindasan?” (WS. Rendra)
Catatan Kaki:
[1] “Batalkan UU
Pendidikan Tinggi: Pernyataan Sikap Partai Rakyat Pekerja” diunduh dari http://www.prp-indonesia.org/2013/batalkan-uu-pendidikan-tinggi
diakses pada 10 Nopember 2013 pukul 14.30 WIB
[2] Karl Marx, “Kata
Pengantar pada Sebuah Sumbangan untuk Kritik terhadap Ekonomi Politik, terj.”
Diunduh dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1859/pengantar-kritik.htm
diakses pada 10 Nopember 2013 pukul 17.35 WIB
[3] Louis Althusser,
“Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, dan Cultural Studies,
terj. Olsy Vinoli Arnof ”, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 4
[4] Ibid Hlm 7
[5] Ibid Hlm 9
[6] Ibid Hlm 20
[7] Bagi yang
mempercayainya
Manstaft artikelnya, hidup untuk kaum pelajar bukan pesaing! #1Love
BalasHapus