Senin, 18 November 2013

Pendidikan dalam Struktur Kapitalisme Kontemporer

Oleh Gesang Kinasih
Departemen Agitasi dan Propaganda SEMAR UI

“Pasca pembatalan UU BHP, Bank Dunia pada tanggal 17 April 2010 mengeluarkan dokumen Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang berbunyi: “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), thereby making BHMN HEIs a legal subset of BHP.” Dalam dokumen tersebut diperlihatkan, bahwa masalah pendidikan di Indonesia selama ini hadir disebabkan oleh publik yang kurang mengeluarkan uang lebih banyak untuk pendidikan tinggi, karena saat ini masyarakat umum menganggap pendidikan hanya sebagai barang tersier/mewah. Dari itu, kemudian secara fakta kita bisa temui UU Pendidikan Tinggi (Dikti) hadir  di pertengahan tahun 2012. [1]

Berangkat dari kutipan di atas, pendidikan dapat dilihat sebagai ajang kontestasi antara kepentingan publik secara  luas dan “kepentingan lainnya” (baca: Kapitalisme). Oleh karena itu, ia selalu menjadi simbol di pihak mana ia berada dan menunjukan siapa yang memenangkan dalam pertarungannya. Dalam paham Kapitalisme-Neoliberalisme, suatu paham yang mempercayai pasar dengan fundamental, pendidikaan akan lebih baik diserahkan pada pasar. Selain lebih efektif, juga mengurangi pemborosan negara bila harus membiayainya. Bagi yang mempercayai Sosialisme, pendidikan adalah hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara, sebagai representasi publik, dan menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu harus di-cover olehnya secara penuh. Dua kutub ini selalu bertemu dalam perdebatan tentang hak-hak dasar masyarakat, seperti pendidikan. Sesi ini, penulis akan mengajak berdiskusi sidang pembaca sekalian untuk memperhatikan sejenak posisi pendidikan dalam ranah Kapitalisme, seperti apa posisi dan fungsinya, sehingga ia layak untuk diperbincangkan. 

Reproduksi Kondisi Produksi

Sebelum kita menjelaskan tentang posisi pendidikan dalam Kapitalisme, perlu dijelaskan terlebih dahulu kebutuhan yang melatarbelakangi dari pentingnya pendidikan dalam sistem Kapitalisme. Hal tersebut menjadi sine qua non pentingnya pendidikan dalam skema Kapitalisme.

Dalam sistem Kapitalisme, terdapat ciri antropologis yang kentara atasnya yaitu rasionalitas dan kontinuitas. Dengan ciri tersebut, terdapat suatu skema yang harus selalu dibangun oleh Kapitalisme guna mempertahankan eksistensinya, yaitu reproduksi. Hal itu merupakan kondisi mutlak sebagai prasyarat keberlangsungan bagi dirinya. Tanpa adanya reproduksi yang terus menerus, suatu formasi sosial niscaya hanya akan bertahan sementara. Reproduksi di sini diartikan secara spesifik sebagai reproduksi dari kondisi produksi. Mengapa reproduksi berada di ranah basis (produksi)?

Hal tersebut seperti metafora bangunan yang digunakan Marx dalam melihat struktur masyarakat secara keseluruhan. Menurutnya, susunan struktur masyarakat seperti bangunan, yaitu terdapat fondasi (basis) dan bangunan atasnya (suprastruktur). Masyarakat pun menurutnya juga demikian. Dalam strukturnya, pondasi bagi masyarakat, untuk tetap ada dan disebut sebagai masyarakat, bila ada moda produksi di dalamnya, inilah yang disebut Basis, dari itu kemudian ada Suprastruktur-nya seperti negara, hukum, politik, kebudayaan, dan ideologi. Dalam relasinya, Basis mengkondisikan Suprastruktur, artinya cara produksi pada suatu masyarakat akan mengkondisikan bentuk negara, hukum, politik, kebudayaan, dan ideologinya. Dalam tradisi Marxis, susunan metafora bangunan masyarakat menurut Marx bisa diihat dalam kesimpulannya pada “Preface: A Contribution to the Critique of Political Economy, 1859”

“Dalam produksi sosial yang orang-orang lakukan, mereka mengadakan hubungan-hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan yang tidak tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini sesuai dengan tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi materiel mereka. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat-dasar yang nyata, di atas mana timbul struktur-struktur atas (superstructures) hukum dan politik dan dengan mana cocok pula bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan materiel menentukan sifat umum dari proses-proses sosial, politik, dan spiritual dari kehidupan. Bukan kesadaran manusialah yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya; eksistensi sosialnyalah yang menentukan kesadarannya.” [2]

Namun demikian, hubungan antara keduanya tidaklah satu arah. Althusser memberikan tafsiran bahwa menurutnya dimungkinkan adanya “tindakan balik” dari Suprastruktur ke Basis sejauh dalam batas-batas yang diberikan oleh basis ekonominya. Oleh karena itu, efektivitasnya tidak sama, seperti Basis mempengaruhi Suprastruktur. Dengan demikian, untuk melihat bahwa suatu sistem sosial, misal Kapitalisme, dapat terus berjalan, maka dipastikan terdapat moda produksi tertentu yang terus berjalan di dalamnya. Adapun untuk bisa terus memproduksi, diperlukan reproduksi kondisi produksi secara terus-menerus.

Kondisi produksi diasumsikan bahwa di setiap tatanan sosial memiliki modus produksi yang dominan. Dalam tatanan sosial saat ini, modus produksi yang dominan adalah kerja-upahan. Maka, reproduksi kondisi produksi bertujuan untuk mempertahankan kondisi produksi yang telah mengada, di dalam dan di bawah relasi produksi yang definitif tersebut. Menurut Althusser terdapat dua hal yang harus direproduksi dalam setiap tatanan sosial agar tetap langgeng, yaitu kekuatan produktif dan relasi produksi yang telah ada[3].  Reproduksi dalam skema Kapitalisme pun, juga mengacu dalam dua hal tersebut.

Kekuatan produksi dalam Kapitalisme terdiri dari dua hal, yaitu alat produksi dan sumber daya manusia. Dengan demikian, reproduksi kekuatan produksi meliputi reproduksi pada dua hal tersebut. Reproduksi alat produksi, dalam tingkat perusahaan dilakukan dengan pembelian bahan baku dan mesin-mesin, berikut dengan perawatannya. Sedangkan dalam konteks global, karena setiap perusahaan butuh mereproduksi alat produksinya sendiri, dan itu tidak dapat dipenuhi sendiri olehnya, maka ia akan selalu membuat “rangkaian tanpa akhir” dari skema saling membutuhkan antar perusahaan. Hal ini dijelaskan Marx dengan hubungan “pembagian kerja secara sosial” antara dua departeman, yaitu departemen I (produksi alat produksi) dan  departemen II (produksi alat konsumsi).

Reproduksi Sumberdaya Manusia

Karena berhubungan dengan pendidikan, kita akan langsung fokus pada reproduksi sumber daya manusia. Pendidikan dalam hal ini, merupakan bagian dari reproduksi sumber daya manusia.

Reproduksi material dari sumber daya manusia diperoleh pekerja melalui upah yang diterimanya. Upah adalah nilai yang digunakan untuk rekonstitusi tenaga kerja atau sebagai pengganti pemulihan tenaga kerja yang telah dikeluarkan sehari bekerja agar pekerja bisa datang kembali ke pabrik esok harinya. Dalam upah itu tercangkup, (1) Biaya pemenuhan kebutuhan pekerja secara biologis dan sosial, dan (2) Biaya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak yang merupakan reproduksi kaum proletar itu sendiri[4].  Namun, kondisi tersebut belum cukup untuk menjamin reproduksi di bidang sumber daya manusia. 

Dalam perkembangan selanjutnya, Kapitalisme memiliki kebutuhan untuk menjadikan pekerja berkompeten. Kompeten di sini maksudnya bahwa pekerja harus cocok ditempatkan dalam suatu pembagian kerja yang kompleks. Dengan begitu, terdapat tuntutan bahwa setiap pekerja harus memiliki keahlian tertentu dan jumlahnya yang terdeferensiasi. Berhadapan dengan itu, maka pekerja harus dibentuk dan direproduksi dengan cara yang seperti itu.

Sistem dan institusi pendidikan (kapitalis) di sini berperan dalam membentuk dan menjalankan reproduksi keahlian pekerja tersebut, yang tidak dapat dijalankan oleh sistem internal produksi sendiri. Dalam pendidikan, setiap manusia diajarkan cara membaca, menulis, dan berhitung. Keahlian dasar ini merupakan bentuk manifestasi hasil pendidikan yang dapat digunakan dalam pelbagai jenis pekerjaan dan pembagiannya. Dengan begitu, ajaran utama dari sistem pendidikan kapitalis adalah pembelajaran tentang “know-how’.

Tetapi selain mempelajari tentang pengetahuan dan teknik, pelajar di institusi pendidikan diajarkan tentang aturan tingkah laku yang baik, yang tak lain merupakan norma dan tata aturan yang diciptakan untuk mengatur kehidupan mereka dalam ranah yang telah ditentukan oleh penguasa atau kapitalis. Maka, sebenarnya, dalam sekolah setiap orang diajarkan untuk selalu patuh pada tatanan yang dibangun penguasa/kapitalis. Kesimpulan dari ini, seperti yang dijelaskan Althhusser, bahwa “Reproduksi tenaga kerja membutuhkan tidak saja reproduksi keahlian mereka, tetapi pada saat yang sama, merupakan reproduksi ketundukan sumber daya manusia kepada aturan yang sudah mapan.”[5] Dengan begitu, reproduksi sumber daya manusia yang dijalankan institusi pendidikan, memberikan dua hal yaitu reproduksi keahlian dan reproduksi ketundukan pada ideologi penguasa/kapitalis. Hal ini dapat dilihat pada reproduksi ketundukan terhadap ideologi yang beroperasi pada pekerja, karena jelas reproduksi keahlian hanya dapat terjaadi dalam bentuk dan dibawah ketundukan pada ideologi yang sedang berjalan.

Pendidikan sebagai Ideological State Aparatus (ISA)

Berkaitan dengan ketundukan ideologis, institusi pendidikan berperan besar dalam menjalankan proses ideologisasi ini. Dalam bahasa Althusser institusi pendidikan ditempatkan sebagai ISA (Ideological State Aparatus) paling dominan dalam relasi produksi Kapitalisme[6].  Aparatus jenis ini merupakan alat dari negara untuk melakukan secara massif proses yang menonjolkan ideologi, termasuk di dalamnya pembentukan dan penjagaannya. Hal ini sangat penting karena tak ada kelas atau penguasa yang dapat berkuasa lama, tanpa memegang kendali dan menjalankan hegemoni di sekeliling aparatus ideologis. ISA digunakan kelas yang berkuasa untuk menjaga hagemoni ideologi tersebut.

Apa siginifikansi penjagaan hegemoni ideologi ini? Bagi Kapitalisme, ini adalah bagian dari reproduksi relasi produksi yang telah berjalan. Dengan adanya ISA, proses kesadaran mengenai relasi produksi yang eksploitatif ditempatkan dalam konteks yang biasa-biasa saja, dengan demikian, gejolak perlawanan dijauhkan dari pekerja dan relasi produksi dapat berjalan secara kontinyu. Disinilah letak reproduksi relasi produksi yang telah berjalan. Dengan ISA juga, proses pendispilinan tubuh dijalankan dengan mengikuti pola kerja yang ada dalam kehidupan Kapitalisme. Dalam dunia sekarang, adakah sebuah institusi aparatus negara ideologis yang dapat memaksa peserta di dalamnya terlibat dalam aktivitas selama, minimal, delapan jam selama enam hari, kecuali sekolah? Pendisiplinan ini dibentuk dalam kerangka menyiapkan diri-diri manusia dalam memasuki dunia kerja berikutnya.

Melihat paparan, yang sebagian besar diambil dari pemikiran Althusser di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sistem dan institusi pendidikan memiliki peran yang strategis di tubuh Kapitalisme. Pertama sebagai bagian dari skema reproduksi alat produksi, dimana dalam hal ini pendidikan menempati fungsi sebagai reproduksi sumber daya manusia, dan Kedua, berperan sebagai pelaku utama dari reproduksi relasi hubungan produksi dengan menjadi ISA.

Bila kita dibesarkan dalam tradisi pendidikan seperti yang di atas, kesadaran menjadi sangat penting. Dan tulisan ini dibuat untuk menyuntikan kesadaran itu. Setelah kita sadar, suatu tindakan untuk mempelajari kondisi sosial secara kritis dan mengubahnya, menurut saya, adalah  tindakan yang berada dalam jalan yang lurus (Shiratal Mustaqim)[7].  Oleh karena itu, ada suatu kutipan yang menarik bagi kalangan (yang katanya) cendekia seperti kita,

“Kita ini dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan?” (WS. Rendra)

Catatan Kaki:

[1] “Batalkan UU Pendidikan Tinggi: Pernyataan Sikap Partai Rakyat Pekerja” diunduh dari http://www.prp-indonesia.org/2013/batalkan-uu-pendidikan-tinggi diakses pada 10 Nopember 2013 pukul 14.30 WIB
[2] Karl Marx, “Kata Pengantar pada Sebuah Sumbangan untuk Kritik terhadap Ekonomi Politik, terj.” Diunduh dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1859/pengantar-kritik.htm diakses pada 10 Nopember 2013 pukul 17.35 WIB
[3] Louis Althusser, “Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, dan Cultural Studies, terj. Olsy Vinoli Arnof ”, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 4
[4] Ibid Hlm 7
[5] Ibid Hlm 9
[6] Ibid Hlm 20
[7] Bagi yang mempercayainya

1 komentar:

  1. Manstaft artikelnya, hidup untuk kaum pelajar bukan pesaing! #1Love

    BalasHapus