Rio Apinino, Sekjend SEMAR UI
Ada satu
hantu yang sebentar lagi pensiun menggentayangi rezim: mahasiswa.
Ketidakmampuan gerakan mahasiswa dalam mengartikulasikan gerakan di era
pasca-reformasi, bagi penulis adalah karena masih terjebaknya mahasiswa di
dalam mitos resi: bahwa mahasiswa
adalah gerakan moral dan independen dari gerakan rakyat lain. Selain itu,
kegagalan gerakan mahasiswa adalah juga akibat dari ketidakmampuan gerakan
mahasiswa dalam membaca realitas ekonomi kapitalisme sebagai basis yang
mengkondisikan struktur yang ada di atasnya –termasuk hukum, pendidikan, dan
negara. Gerakan mahasiswa hari ini menempatkan berbagai masalah yang ada secara
setara : tidak ada masalah yang menjadi induk dari masalah lainnya.
Permasalahan ini yang akhirnya membuat visi gerakan mahasiswa menjadi tidak jelas
dan berakhir pada kegalauan identitas
dan gerakan pop yang saat ini menjadi
semakin marak. Kedua masalah tersebutlah yang akan penulis uraikan lebih lanjut
dalam esai ini.
Mitos Gerakan Mahasiswa
Salah satu
momen yang selalu dirujuk aktivis mahasiswa pasca-reformasi dalam melegitimasi
keyakinannya bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang signifikan bagi
perubahan adalah perisitiwa reformasi 1998. Massa yang belum pasti terorganisir
tetapi diakui memiliki tingkat militansi yang tinggi saat itu ‘berhasil’
menjatuhkan rezim otoriter Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Keyakinan inilah yang kemudian terus-menerus direproduksi tanpa adanya
pemeriksaan lebih lanjut sehingga daya kritis dari aktivis mahasiswa semakin
terkikis dan perisitiwa 1998 dijadikan sebagai peristiwa yang, begitu adanya.
Salah satu
keyakinan yang begitu kuat melekat dari aktivis mahasiswa saat ini ialah mahasiswa sebagai kelas menengah yang
menjadi ‘penyambung lidah rakyat’ antara masyarakat bawah dan penguasa untuk
menyuarakan kepentingannya. Tentu hal tersebut tidak sepenuhnya salah,
dengan asumsi kita masih berada di zaman otoritarian Suharto yang mana hanya
menyisakan mahasiswa sebagai semi-oposisi pemerintah sementara gerakan rakyat
lain diberangus habis. Memang, identitas sebagai penyambung lidah rakyat
tersebut adalah hasil dari konstruksi orde baru Suharto. Era orde baru Suharto
adalah era dimana rakyat yang terorganisir dibuat a-politis melalui teror dan
doktrinasi menahun. Akan tetapi, di tengah pemberangusan gerakan dan a-politisasi
rakyat tersebut, orde baru Suharto masih menyisakan ‘panggung’ bagi mahasiswa
untuk melakukan kritik. Saat itu sahihlah kalau mahasiswa mengklaim sebagai
penyambung lidah rakyat.
Namun saat
ini, dimana kebebasan mengeluarkan pendapat telah dimiliki oleh semua orang,
hal yang harus kita lakukan tentu adalah memeriksa ulang mitos tentang
identitas mahasiswa tersebut. Mahasiswa bukan lagi satu-satunya elemen yang
berhak bersuara, bahkan sejak reformasi bergulir, gerakan rakyat berlomba untuk
melakukan perlawanan terhadap rezim pasca-reformasi dan meninggalkan gerakan
mahasiswa di belakang barisan. Mahasiswa bukan lagi penyambung lidah rakyat karena
rakyat sendiri telah mampu untuk berorganisasi dan menyuarakan pendapatnya saat
ini. Tentu, pelanggengan identitas dan di saat yang bersamaan menutup mata
terhadap gerakan rakyat lain tersebut merupakan hal konyol dan harus
ditinggalkan segera. Pencarian posisi mahasiswa di tengah gerakan rakyat lain
lah yang mendesak dilakukan gerakan mahasiswa hari ini. Sebelum hal ini clear, jangan harap gerakan mahasiswa
akan kembali membuat bergetar rezim sebagaimana yang seringkali dirujuk dan
dijadikan pegangan oleh mereka-yang-masih-hidup-di-dunia-mimpi.
Kegagalan Memahami Realitas Ekonomi
Dengan
pekerjaan rumah memeriksa ulang mitos tentang gerakan mahasiswa dan kemudian
bagaimana menempatkan diri di tengah gerakan rakyat lain, gerakan mahasiswa
harus juga secara simultan memeriksa struktur ekonomi yang menjadi basis atas
relasi kuasa yang terjadi di dalam institusi negara, yaitu kapitalisme. Negara
bukanlah institusi yang berada di atas semua golongan yang muncul atas
perjanjian bersama dari masyarakat dan menjadi representasi kebutuhan bersama
sebagaimana diyakini para ilmuwan borjuis. Kebalikan dari itu, negara adalah
institusi yang digunakan segelintir kelas untuk melanggengkan apa yang ada di
basis ekonomi.
Kegagalan
memahami kapitalisme sebagai basis dari relasi kuasa yang terjadi inilah yang
membuat gerakan mahasiswa kehilangan arah dan membuat tidak jelasnya visi
gerakan selain daripada gerakan tambal-sulam atas negara. Di kampus penulis
sendiri, UI, kecenderungan untuk tidak memahami struktur ekonomi sebagai akar
permasalahan begitu nyata terlihat. Memang, adakalanya isu-isu yang menjadi concern aktivis gerakan berkaitan erat
dengan perlawanan atas kapitalisme sebagai corak produksi yang mensyaratkan
adanya eksploitasi dari yang lemah ke yang kuat seperti perlawanan terhadap
kenaikan BBM atau perlawanan terhadap kuliah mahal melalui UU Pendidikan
Tinggi. Namun, nyatanya abstraksi atas isu tersebut tidak sampai pada kesadaran
bahwa dua fenomena tersebut adalah turunan dari realitas ekonomi kapitalisme.
Kegagalan
memahami kapitalisme sebagai basis ini sangat berkaitan erat dengan bagaimana
aktivis mahasiswa menempatkan diri terhadap isu-isu yang ada. Mereka
menempatkan prioritas isu tidak berdasarkan pemahaman atas kapitalisme sebagai
penyebab utama, tetapi lebih kepada menempatkansecara setara isu-isu yang ada tanpa mampu melihat
keterkaitan antara semuanya, dan dengan demikian realitas kapitalisme dibalik
isu tersebut. Sebagai contoh, untuk menentukan ‘isu bersama’ selama satu tahun
masa kepengurusan, BEM se-UI (mengapa BEM? Karena penulis pernah bergiat di
dalamnya selama satu setengah tahun) menginventarisir berbagai macam masalah
dan menyeleksinya melalui dialog hingga debat, yang mana kriteria pemilihan isu
bersama tidak sama sekali menyinggung masalah realitas kapitalisme yang ada.
Paradigma berpikir yang seperti ini bukan tanpa masalah. Dengan tidak didasari
(atau lebih tepatnya, ketidaksadaran) pada keterkaitan isu-isu dengan
kapitalisme, adakalanya isu-isu yang menjadi isu bersama saling kontradiktif
secara paradigma. Itulah yang penulis temukan melalui isu pendidikan melalui UU
Pendidikan Tinggi dan isu kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional. Di
dalam isu pendidikan, tuntutan aktivis gerakan mahasiswa adalah pendidikan yang
murah dan terjangkau bagi seluruh rakyat dengan cara alokasi dana yang maksimal
dari negara. Di sisi lain, tuntutan akan terselenggaranya jaminan sosial bagi
seluruh rakyat, di dalam paradigma yang ada di dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional,
justru hanya menjadikan negara sebagai badan penyelenggara yang mana dana
kesehatan bukan berasal dari negara melainkan dari masyarakat melalui pembayaran
premi.
Perbedaan paradigma
yang saling konrtradiktif diantara isu-isu yang diadvokasi tersebut, menurut
pengamatan penulis sangat berkaitan dengan paradigma gerakan moral yang sudah
sedemikian mengkristal di otak para aktivis mahasiswa tersebut. Sebagaimana
kita tahu, turunan dari gerakan moral tersebut adalah gerakan yang non-ideologis. Bagi gerakan moral, tentu tidak ada
keterkaitan antara berbagai macam permasalahan yang ada dengan realitas ekonomi
kapitalisme. Masalah yang ada adalah murni karena kesalahan moral dan salah
urus dari para pejabat, dan kapitalisme adalah realitas lain yang terlepas dari
itu semua. Pada akhirnya, sebagaimana kita ketahui, paradigma gerakan moral
tidak akan membawa kita kemana-mana; tidak akan melihat bagaimana struktur yang
bisa menjadikan agensi melakukan ‘kesalahan moral’ dan ‘salah urus negara’ yang
diyakini sebagai penyebab utama tersebut; dan semua ini akan berhenti pada khotbah
religius untuk meningkatkan moral diri sendiri agar negara ini terlepas dari
badai masalah yang merupakan azab dari Tuhan Yang Maha Esa.
Lebih jauh
mengenai gerakan yang non-ideologis, bagi penulis, fenomena ini selain daripada
doktrin gerakan moral, juga merupakan trend/kecenderungan umum yang ada di
dalam gerakan mahasiswa, termasuk di UI. Di sisi lain, gerakan yang ideologis
akan dicap sebagai gerakan yang kuno. Kira-kira opini yang terbangun adalah
sebagai berikut: daripada mementingkan golongan dan dengan demikian ideologi
yang dibawa, lebih baik kita bergerak saja untuk Indonesia yang lebih baik. Ada
beberapa hal yang bisa dikomentari. Pertama,
masalah ideologi. Tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi dalam pengertian yang
umum adalah cara pandang dan kecenderungan kita terhadap realitas. Tidak ada
orang yang tidak memiliki kecenderungan. Sebagai seorang manusia yang eksis dan
memiliki pengalaman spesifik yang berbeda, tentu kita tidak akan bisa menjadi
seorang yang bebas nilai dan akan selalu cenderung kepada salah-satu cara
pandang. Maka, posisi non-ideologis bagi saya hanyalah langkah awal menuju
pencarian posisi ideologis yang jelas. Kedua,
meskipun posisi-non ideologis bagi saya adalah langkah awal menuju posisi
ideologis, tetapi dengan mempertahankan posisi non-ideologis terus menerus dan
menanggap posisi itulah yang terbaik, sebenarnya gerakan mahasiswa sedang
melanggengkan status quo yang ada.
Dengan diktum ‘yang penting bergerak’, mahasiswa tidak pernah benar-benar
mengubah kondisi yang ada selain daripada melakukan perbaikan-perbaikan yang
sifatnya juga tidak signifikan. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan gerakan
mahasiswa yang non-ideologis mengabaikan logika negara yang hakikatnya mewakili
kelas kapitalis dan bukan seluruh masyarakat. Selain itu, diktum ‘yang penting
bergerak’ dari gerakan mahasiswa, jika menggunakan metode pembacaan realitas
dari Roy Bhaskar, hanyalah berhenti pada realitas empirik, yaitu realitas yang
dapat diamati oleh panca indera. Padahal, realitas empirik hanyalah penampakan
luar dari realitas riil, yaitu realitas utama yang mengkondisikan realitas
empirik. Lihatlah fenomena ajar-mengajar yang dilakukan mahasiswa bagi anak
yang tidak bisa menyenyam bangku pendidikan formal. Dengan dalil pengabdian
masyarakat, bukankah cara yang demikian justru sama saja dengan permisif dengan
ketidakmampuan negara menyediakan pendidikan bagi seluruh rakyat? Penulis tidak
mengatakan bahwa gerakan semacam itu tidak baik, tetapi gerakan yang seperti
itu, bagaimanapun, tidak akan mampu menyelesaikan masalah karena memang bukan
disitulah masalahnya. Maka, alih-alih ‘yang penting bergerak’ menjadi cara yang
solutif dalam transformasi mahasiswa di era pasca-reformasi, ia justru menjadi
bumerang bagi gerakan mahasiswa itu sendiri.
Lalu, bagaimana?
Dengan
argumentasi yang telah penulis kemukakan, setidaknya kita menemukan petunjuk
bagaimana problem yang ada di dalam gerakan mahasiswa dapat diperbaiki. Pertama, dengan posisi yang jelas dari
gerakan mahasiswa di tengah gerakan rakyat lain, maka kita akan mampu
mengartikulasikan gerakan secara transformatif –bergabung dengan gerakan rakyat
yang lain yang juga berlawan terhadap otoritas yang hakikatnya mewakili
segelintir kapitalis. Kedua,
pemahaman yang lebih memadai terhadap realitas kapitalisme yang mengkondisikan
relasi yang ada di atasnya akan membawa kita pada pemahaman yang lebih mumpuni
terhadap visi dari gerakan mahasiswa. Hal yang sama juga akan membawa kita pada
pemahaman bahwa ‘permasalahan bangsa’ tidak selamanya semata-mata karena kesalahan
para agensi yang ‘salah urus negara’ tetapi juga terletak pada struktur yang
memungkinkan agensi itu melakukan hal demikian. Isu-isu selalu memiliki
keterkaitan satu sama lain, tinggal bagaimana kita menemukan kaitan diantara
semuanya dan melihat kontradiksi pokok di dalamnya.
Solusi dari
kapitalisme, tentu saja, adalah corak produksi yang berbeda sekaligus lebih
maju darinya. Jika kapitalisme adalah corak produksi yang dikondisikan oleh
kepemilikan privat atas sarana produksi, maka corak produksi setelahnya adalah
sarana produksi yang dimiliki oleh bersama dan menjadi milik sosial. Dengan
corak produksi yang jauh lebih adil dan egaliter tersebut, akan terbangunlah
masyarakat, hukum, serta pendidikan yang juga egaliter. Maka, visi gerakan
mahasiswa, jika memang dimaksudkan untuk tranformasi masyarakat –bukan sekedar
perbaikan yang justru melegitimasi status
quo, adalah menerima ide tentang pelampauan dari corak produksi kapitalisme
untuk bertransformasi menjadi corak produksi lain yang lebih tinggi.
Penutup
Seruan
praktis atas permasalahan akut yang dialami gerakan mahasiswa di atas sama
sekali bukanlah seruan idealistik dan normatif, tetapi lebih kepada sebuah
seruan ideologis yang merupakan kebutuhan tidak terelakkan atas problem gerakan
mahasiswa hari ini. Berhenti dan mengatakan ‘tidak!’ pada sesuatu yang
ideologis adalah sama dengan menolak kemungkinan pembacaan yang lebih jelas
terhadap realitas, baik yang empiris maupun realitas yang sebenarnya berada di
balik semua permasalahan ini. Dengan mulai berpikir, berteori serta berpraktik
secara ideologis, gerakan mahasiswa sejatinya tidak akan kehilangan suatu
apapun kecuali rantai yang membelenggu mereka sendiri.
***
Penulis
beredar di twitland dengan ID @rioapinino
Tidak ada komentar:
Posting Komentar