Minggu, 12 Januari 2014

Dua Problem Pokok Gerakan Mahasiswa

Rio Apinino, Sekjend SEMAR UI

Ada satu hantu yang sebentar lagi pensiun menggentayangi rezim: mahasiswa. Ketidakmampuan gerakan mahasiswa dalam mengartikulasikan gerakan di era pasca-reformasi, bagi penulis adalah karena masih terjebaknya mahasiswa di dalam mitos resi: bahwa mahasiswa adalah gerakan moral dan independen dari gerakan rakyat lain. Selain itu, kegagalan gerakan mahasiswa adalah juga akibat dari ketidakmampuan gerakan mahasiswa dalam membaca realitas ekonomi kapitalisme sebagai basis yang mengkondisikan struktur yang ada di atasnya –termasuk hukum, pendidikan, dan negara. Gerakan mahasiswa hari ini menempatkan berbagai masalah yang ada secara setara : tidak ada masalah yang menjadi induk dari masalah lainnya. Permasalahan ini yang akhirnya membuat visi gerakan mahasiswa menjadi tidak jelas dan berakhir pada kegalauan identitas dan gerakan pop yang saat ini menjadi semakin marak. Kedua masalah tersebutlah yang akan penulis uraikan lebih lanjut dalam esai ini.


Mitos Gerakan Mahasiswa

Salah satu momen yang selalu dirujuk aktivis mahasiswa pasca-reformasi dalam melegitimasi keyakinannya bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang signifikan bagi perubahan adalah perisitiwa reformasi 1998. Massa yang belum pasti terorganisir tetapi diakui memiliki tingkat militansi yang tinggi saat itu ‘berhasil’ menjatuhkan rezim otoriter Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Keyakinan inilah yang kemudian terus-menerus direproduksi tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut sehingga daya kritis dari aktivis mahasiswa semakin terkikis dan perisitiwa 1998 dijadikan sebagai peristiwa yang, begitu adanya.
  
http://id.wikipedia.org

Salah satu keyakinan yang begitu kuat melekat dari aktivis mahasiswa saat ini ialah mahasiswa sebagai kelas menengah yang menjadi ‘penyambung lidah rakyat’ antara masyarakat bawah dan penguasa untuk menyuarakan kepentingannya. Tentu hal tersebut tidak sepenuhnya salah, dengan asumsi kita masih berada di zaman otoritarian Suharto yang mana hanya menyisakan mahasiswa sebagai semi-oposisi pemerintah sementara gerakan rakyat lain diberangus habis. Memang, identitas sebagai penyambung lidah rakyat tersebut adalah hasil dari konstruksi orde baru Suharto. Era orde baru Suharto adalah era dimana rakyat yang terorganisir dibuat a-politis melalui teror dan doktrinasi menahun. Akan tetapi, di tengah pemberangusan gerakan dan a-politisasi rakyat tersebut, orde baru Suharto masih menyisakan ‘panggung’ bagi mahasiswa untuk melakukan kritik. Saat itu sahihlah kalau mahasiswa mengklaim sebagai penyambung lidah rakyat.

Namun saat ini, dimana kebebasan mengeluarkan pendapat telah dimiliki oleh semua orang, hal yang harus kita lakukan tentu adalah memeriksa ulang mitos tentang identitas mahasiswa tersebut. Mahasiswa bukan lagi satu-satunya elemen yang berhak bersuara, bahkan sejak reformasi bergulir, gerakan rakyat berlomba untuk melakukan perlawanan terhadap rezim pasca-reformasi dan meninggalkan gerakan mahasiswa di belakang barisan. Mahasiswa bukan lagi penyambung lidah rakyat karena rakyat sendiri telah mampu untuk berorganisasi dan menyuarakan pendapatnya saat ini. Tentu, pelanggengan identitas dan di saat yang bersamaan menutup mata terhadap gerakan rakyat lain tersebut merupakan hal konyol dan harus ditinggalkan segera. Pencarian posisi mahasiswa di tengah gerakan rakyat lain lah yang mendesak dilakukan gerakan mahasiswa hari ini. Sebelum hal ini clear, jangan harap gerakan mahasiswa akan kembali membuat bergetar rezim sebagaimana yang seringkali dirujuk dan dijadikan pegangan oleh mereka-yang-masih-hidup-di-dunia-mimpi.

Kegagalan Memahami Realitas Ekonomi

Dengan pekerjaan rumah memeriksa ulang mitos tentang gerakan mahasiswa dan kemudian bagaimana menempatkan diri di tengah gerakan rakyat lain, gerakan mahasiswa harus juga secara simultan memeriksa struktur ekonomi yang menjadi basis atas relasi kuasa yang terjadi di dalam institusi negara, yaitu kapitalisme. Negara bukanlah institusi yang berada di atas semua golongan yang muncul atas perjanjian bersama dari masyarakat dan menjadi representasi kebutuhan bersama sebagaimana diyakini para ilmuwan borjuis. Kebalikan dari itu, negara adalah institusi yang digunakan segelintir kelas untuk melanggengkan apa yang ada di basis ekonomi.

Kegagalan memahami kapitalisme sebagai basis dari relasi kuasa yang terjadi inilah yang membuat gerakan mahasiswa kehilangan arah dan membuat tidak jelasnya visi gerakan selain daripada gerakan tambal-sulam atas negara. Di kampus penulis sendiri, UI, kecenderungan untuk tidak memahami struktur ekonomi sebagai akar permasalahan begitu nyata terlihat. Memang, adakalanya isu-isu yang menjadi concern aktivis gerakan berkaitan erat dengan perlawanan atas kapitalisme sebagai corak produksi yang mensyaratkan adanya eksploitasi dari yang lemah ke yang kuat seperti perlawanan terhadap kenaikan BBM atau perlawanan terhadap kuliah mahal melalui UU Pendidikan Tinggi. Namun, nyatanya abstraksi atas isu tersebut tidak sampai pada kesadaran bahwa dua fenomena tersebut adalah turunan dari realitas ekonomi kapitalisme.

Kegagalan memahami kapitalisme sebagai basis ini sangat berkaitan erat dengan bagaimana aktivis mahasiswa menempatkan diri terhadap isu-isu yang ada. Mereka menempatkan prioritas isu tidak berdasarkan pemahaman atas kapitalisme sebagai penyebab utama, tetapi lebih kepada menempatkansecara setara  isu-isu yang ada tanpa mampu melihat keterkaitan antara semuanya, dan dengan demikian realitas kapitalisme dibalik isu tersebut. Sebagai contoh, untuk menentukan ‘isu bersama’ selama satu tahun masa kepengurusan, BEM se-UI (mengapa BEM? Karena penulis pernah bergiat di dalamnya selama satu setengah tahun) menginventarisir berbagai macam masalah dan menyeleksinya melalui dialog hingga debat, yang mana kriteria pemilihan isu bersama tidak sama sekali menyinggung masalah realitas kapitalisme yang ada. Paradigma berpikir yang seperti ini bukan tanpa masalah. Dengan tidak didasari (atau lebih tepatnya, ketidaksadaran) pada keterkaitan isu-isu dengan kapitalisme, adakalanya isu-isu yang menjadi isu bersama saling kontradiktif secara paradigma. Itulah yang penulis temukan melalui isu pendidikan melalui UU Pendidikan Tinggi dan isu kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional. Di dalam isu pendidikan, tuntutan aktivis gerakan mahasiswa adalah pendidikan yang murah dan terjangkau bagi seluruh rakyat dengan cara alokasi dana yang maksimal dari negara. Di sisi lain, tuntutan akan terselenggaranya jaminan sosial bagi seluruh rakyat, di dalam paradigma yang ada di dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional, justru hanya menjadikan negara sebagai badan penyelenggara yang mana dana kesehatan bukan berasal dari negara melainkan dari masyarakat melalui pembayaran premi.

Perbedaan paradigma yang saling konrtradiktif diantara isu-isu yang diadvokasi tersebut, menurut pengamatan penulis sangat berkaitan dengan paradigma gerakan moral yang sudah sedemikian mengkristal di otak para aktivis mahasiswa tersebut. Sebagaimana kita tahu, turunan dari gerakan moral tersebut adalah gerakan yang non-ideologis. Bagi gerakan moral, tentu tidak ada keterkaitan antara berbagai macam permasalahan yang ada dengan realitas ekonomi kapitalisme. Masalah yang ada adalah murni karena kesalahan moral dan salah urus dari para pejabat, dan kapitalisme adalah realitas lain yang terlepas dari itu semua. Pada akhirnya, sebagaimana kita ketahui, paradigma gerakan moral tidak akan membawa kita kemana-mana; tidak akan melihat bagaimana struktur yang bisa menjadikan agensi melakukan ‘kesalahan moral’ dan ‘salah urus negara’ yang diyakini sebagai penyebab utama tersebut; dan semua ini akan berhenti pada khotbah religius untuk meningkatkan moral diri sendiri agar negara ini terlepas dari badai masalah yang merupakan azab dari Tuhan Yang Maha Esa.

Lebih jauh mengenai gerakan yang non-ideologis, bagi penulis, fenomena ini selain daripada doktrin  gerakan moral, juga merupakan trend/kecenderungan umum yang ada di dalam gerakan mahasiswa, termasuk di UI. Di sisi lain, gerakan yang ideologis akan dicap sebagai gerakan yang kuno. Kira-kira opini yang terbangun adalah sebagai berikut: daripada mementingkan golongan dan dengan demikian ideologi yang dibawa, lebih baik kita bergerak saja untuk Indonesia yang lebih baik. Ada beberapa hal yang bisa dikomentari. Pertama, masalah ideologi. Tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi dalam pengertian yang umum adalah cara pandang dan kecenderungan kita terhadap realitas. Tidak ada orang yang tidak memiliki kecenderungan. Sebagai seorang manusia yang eksis dan memiliki pengalaman spesifik yang berbeda, tentu kita tidak akan bisa menjadi seorang yang bebas nilai dan akan selalu cenderung kepada salah-satu cara pandang. Maka, posisi non-ideologis bagi saya hanyalah langkah awal menuju pencarian posisi ideologis yang jelas. Kedua, meskipun posisi-non ideologis bagi saya adalah langkah awal menuju posisi ideologis, tetapi dengan mempertahankan posisi non-ideologis terus menerus dan menanggap posisi itulah yang terbaik, sebenarnya gerakan mahasiswa sedang melanggengkan status quo yang ada. Dengan diktum ‘yang penting bergerak’, mahasiswa tidak pernah benar-benar mengubah kondisi yang ada selain daripada melakukan perbaikan-perbaikan yang sifatnya juga tidak signifikan. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan gerakan mahasiswa yang non-ideologis mengabaikan logika negara yang hakikatnya mewakili kelas kapitalis dan bukan seluruh masyarakat. Selain itu, diktum ‘yang penting bergerak’ dari gerakan mahasiswa, jika menggunakan metode pembacaan realitas dari Roy Bhaskar, hanyalah berhenti pada realitas empirik, yaitu realitas yang dapat diamati oleh panca indera. Padahal, realitas empirik hanyalah penampakan luar dari realitas riil, yaitu realitas utama yang mengkondisikan realitas empirik. Lihatlah fenomena ajar-mengajar yang dilakukan mahasiswa bagi anak yang tidak bisa menyenyam bangku pendidikan formal. Dengan dalil pengabdian masyarakat, bukankah cara yang demikian justru sama saja dengan permisif dengan ketidakmampuan negara menyediakan pendidikan bagi seluruh rakyat? Penulis tidak mengatakan bahwa gerakan semacam itu tidak baik, tetapi gerakan yang seperti itu, bagaimanapun, tidak akan mampu menyelesaikan masalah karena memang bukan disitulah masalahnya. Maka, alih-alih ‘yang penting bergerak’ menjadi cara yang solutif dalam transformasi mahasiswa di era pasca-reformasi, ia justru menjadi bumerang bagi gerakan mahasiswa itu sendiri.

Lalu, bagaimana?

Dengan argumentasi yang telah penulis kemukakan, setidaknya kita menemukan petunjuk bagaimana problem yang ada di dalam gerakan mahasiswa dapat diperbaiki. Pertama, dengan posisi yang jelas dari gerakan mahasiswa di tengah gerakan rakyat lain, maka kita akan mampu mengartikulasikan gerakan secara transformatif –bergabung dengan gerakan rakyat yang lain yang juga berlawan terhadap otoritas yang hakikatnya mewakili segelintir kapitalis. Kedua, pemahaman yang lebih memadai terhadap realitas kapitalisme yang mengkondisikan relasi yang ada di atasnya akan membawa kita pada pemahaman yang lebih mumpuni terhadap visi dari gerakan mahasiswa. Hal yang sama juga akan membawa kita pada pemahaman bahwa ‘permasalahan bangsa’ tidak selamanya semata-mata karena kesalahan para agensi yang ‘salah urus negara’ tetapi juga terletak pada struktur yang memungkinkan agensi itu melakukan hal demikian. Isu-isu selalu memiliki keterkaitan satu sama lain, tinggal bagaimana kita menemukan kaitan diantara semuanya dan melihat kontradiksi pokok di dalamnya.

Solusi dari kapitalisme, tentu saja, adalah corak produksi yang berbeda sekaligus lebih maju darinya. Jika kapitalisme adalah corak produksi yang dikondisikan oleh kepemilikan privat atas sarana produksi, maka corak produksi setelahnya adalah sarana produksi yang dimiliki oleh bersama dan menjadi milik sosial. Dengan corak produksi yang jauh lebih adil dan egaliter tersebut, akan terbangunlah masyarakat, hukum, serta pendidikan yang juga egaliter. Maka, visi gerakan mahasiswa, jika memang dimaksudkan untuk tranformasi masyarakat –bukan sekedar perbaikan yang justru melegitimasi status quo, adalah menerima ide tentang pelampauan dari corak produksi kapitalisme untuk bertransformasi menjadi corak produksi lain yang lebih tinggi.

Penutup

Seruan praktis atas permasalahan akut yang dialami gerakan mahasiswa di atas sama sekali bukanlah seruan idealistik dan normatif, tetapi lebih kepada sebuah seruan ideologis yang merupakan kebutuhan tidak terelakkan atas problem gerakan mahasiswa hari ini. Berhenti dan mengatakan ‘tidak!’ pada sesuatu yang ideologis adalah sama dengan menolak kemungkinan pembacaan yang lebih jelas terhadap realitas, baik yang empiris maupun realitas yang sebenarnya berada di balik semua permasalahan ini. Dengan mulai berpikir, berteori serta berpraktik secara ideologis, gerakan mahasiswa sejatinya tidak akan kehilangan suatu apapun kecuali rantai yang membelenggu mereka sendiri.


***


Penulis beredar di twitland dengan ID @rioapinino

Tidak ada komentar:

Posting Komentar