Minggu, 20 April 2014

Surat Untuk Kartini

Dari Seorang Kawanmu

Kepada Kawan Kartini
Semoga kamu dalam keadaan baik di sisi Tuhanmu.

Kawan,
Saya memang seorang laki-laki, yang sering kau sangka bagian dari penindas dan pengekang bagi perempuan. Namun, di sini saya berusaha meyakinkanmu, tidak dalam posisi itu. Saya sepakat dengan ide dan perjuanganmu, bahwa dalam kehidupan kapitalisme ini perempuan menjadi bagian yang paling sering ditindas dan dipinggirkan. Bahkan, saya sepakat dengan ide untuk membebaskan perempuan dari belenggu ini, baik dari adat dan agama.


Kawan Kartini,
Saya di sini mungkin berbeda dengan orang-orang pada umumnya yang sering menyebutmu “Ibu”. Tapi, di sini saya akan memanggilmu dengan sebutan “Kawan”. Apakah kau berkenan? Saya setidaknya punya argumen untuk ini, bila kamu mau mendengarnya. Esensi manusia adalah setara dan sederajat. Itu yang kamu perjuangkan, setahuku. Dengan itu kamu melakukan usaha yang berusaha mendobrak jamanmu. Bahwa laki-laki dan perempuan sederajat. Juga dalam relasi manusia lainnya. Saya hanya percaya, manusia itu setara. Maka dengan panggilan “Kawan”, saya merasa setara denganmu. Bukan karena tidak sopan, tapi dengan sederajat manusia bisa saling menghargai. Bukankah sebenarnya manusia, hanya ada yang dilahirkan di dunia dalam keadaan “terdahulu” dan “kemudian”? Aku juga sepakat dengan Pram, Ia seorang penulis yang setia di jalan rakyat, yang menuliskan sebuah buku yang membahas dirimu. Dalam tulisannya, ia menceritakan bahwa kamu tidak mau dipanggil dengan sebutan ningrat, seperti Raden Ajeng, tapi cukup hanya dengan sebutan “Kartini Saja”. Dan, aku sepakat dengan itu.

Kawan Kartini,
Setiap tanggal 21 April, di sekolah bahkan hingga saat ini Indonesia masih didera demamnya nama indahmu, “Kartini”. Kamu harus bersyukur karena ternyata perjuanganmu tidak sia-sia. Tapi bukan itu yang menjadi masalah utamanya. Hal yang perlu kamu ketahui adalah perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya dari sistem patriarki semakin banyak di Indonesia. Kamu bisa lihat sekarang perempuan Indonesia sudah lebih maju dari masamu dulu. Bahkan, bisa beragam jumlah dan varian gerakannya. Ini menggembirakanmu, bukan?

Tapi sayang, walaupun begitu, hingga saat ini perjuangan itu belum banyak yang terorganisir hingga ke akar rumput. Memang banyak organisasi perempuan, namun belum bisa mengorganisir perempuan seperti di era jaman sebelum ‘65, dimana banyak organisasi perempuan progresif yang begitu mengakar di akar rumput. Kamu harus tahu, hilangnya gerakan perempuan itu bukan dengan sendirinya terjadi. Pasca 1965, Soeharto dan militer Indonesia menghancurkan semua gerakan perempuan, kecuali yang bisa diatur dan berada di bawah ketiaknya. Ia dengan sistematis dan terstruktur membuat sebuah imajinasi bahwa gerakan perempuan adalah sesuatu yang berbahaya. Gerakan yang tak tahu adat, karena keluar dari kodratnya. Cara itu salah satunya dilakukan dengan menstigma Gerwani sebagai gerakan pelacur dan anti-Tuhan, dengan peristiwa pembohongan di sumur Lubang Buaya. Sejak itu, gerakan perempuan hancur, kecuali hanya yang dipelihara penguasa.

Kawan Kartini,
Perempuan di Indonesia saat ini sudah lebih baik dari jamanmu. Ia sekarang sudah dianggap menjadi hal umum untuk dapat sekolah tinggi, terutama di perkotaan. Tapi ternyata itu tidak sepenuhnya benar. Memang secara sosial telah berubah, masyarakat telah menerima bahwa perempuan diperbolehkan sekolah tinggi. Tapi, kondisi ini juga ada syaratnya. Apa itu? Sama dengan di jamanmu sebenarnya. Bahwa seseorang yang boleh sekolah tinggi hanyalah mereka yang mampu secara ekonomi. Dulu di jamanmu, bukankah yang bisa seperti itu hanyalah kaum bangsawan dan Barat? Sekarang dengan sistem pendidikan nasional saat ini, entah perempuan atau laki-laki, selama ia miskin, ia dilarang sekolah tinggi! Ini karena begitu mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Ditambah tidak meratanya fasilitas pendidikan.

Mengapa itu mahal? Kamu harus tahu, bahwa itu diciptakan sendiri oleh negara yang justru dulu kamu cita-citakan, juga dengan pahlawan lainnya, yaitu Indonesia. Mahalnya pendidikan saat ini terjadi karena, dengan sadar, negara mengurangi pembiayaannya di bidang itu. Hal itu karena dianggap tidak menguntungkan baginya. Dan akan lebih baik menurutnya, jika pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar. Ini yang disebut oleh beberapa teoritikus sosial di jaman sekarang dengan skema Negara Neoliberal. Ya, negara Indonesia kita telah menjadi negara Neoliberal. Salah satu cirinya ditandai dengan pelepasan barang publik menjadi barang privat yang dikelola dengan mekanisme pasar. Pendidikan masuk dalam kerangka seperti itu.

Efek dari itu, banyak dari kita, yang bapaknya seorang buruh atau ibunya seorang pekerja biasa, akan kesulitan untuk dapat sekolah tinggi. Ia hanya akan dapat lulus sekolah menengah saja, dan kemudian menjajakan dirinya untuk dieksploitasi tenaganya di pabrik-pabrik milik para pemodal.

Kawan Kartini,
Saat ini perempuan Indonesia tidak lagi dipandang nyinyir bila ia bekerja. Tidak seperti di jamanmu. Namun dengan begitu, apakah kondisi perempuan Indonesia justru lebih baik? Ternyata jawabannya tidak selalu. Bahkan bisa saja menjadi lebih buruk.

Aku kemarin belajar ke komunitas buruh perempuan di salah satu kawasan industri di Ibukota. Ini adalah salah satu cara aku dan kawan-kawanku agar dapat mengenal kondisi bangsaku di tengah mendongaknya kampus-kampus di  Indonesia yang semakin terasing dengan realitas masyarakatnya sendiri. Di sana aku melihat dengan kepala mataku sendiri bagaimana kondisi perempuan yang dulu kau perjuangkan untuk bisa setara dengan laki-laki, termasuk dalam bekerja. Mereka berangkat pagi, kemudian pulang sore hari dengan upah yang sangat kecil. Di tengah-tengah bekerja, mereka sulit ke kamar mandi, bahkan kadang harus pingsan saat ia sedang haid karena kondisi pabrik yang begitu eksploitatif. Sedikit jam istirahat, bahkan harus sembunyi-sembunyi untuk dapat bertemu sejenak dengan Tuhannya. Ini real terjadi di kondisi saat ini. Apakah kamu sedih? Aku sangat sedih dengan kondisi ini, saat kaum Ibuku dipekerjakan dengan seperti itu.

Kaum pekerja perempuan menjadi bagian dari masyarakat yang paling tertindas di negara ini. Apalagi sistem kerja sekarang tak lagi seperti dulu. Sekarang sistem yang bekerja adalah Labour Market Flexibility atau disingkat LMF. Dengan sistem ini, tak ada pekerja yang dikontrak tetap. Ini agar resiko pekerja tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan, namun ditanggung sendiri oleh pekerja. Dengan sistem ini kemudian muncul yang dinamakan pekerja outsourcing. Kaum perempuan banyak yang bekerja di dalam sistem yang seperti ini. Mungkin karena kondisi ekonomi yang memaksa mereka seperti itu. Di tengah kondisi sulit untuk membantu suaminya mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pekerja outsourcing perempuan-lah yang banyak mengalami kondisi yang aku ceritakan di atas. Kerja yang melebihi jam kerja, lembur yang tak dibayar, tak ada cuti haid, upah dibawah UMR, dan beban pekerjaan yang berat. Belum diskriminasi upah yang sering terjadi. Kondisi diskriminasi tersebut terjadi karena masih tertancap kuat di benak pemodal bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Selain itu, juga dianggap, kalau bekerja merupakan upaya untuk mebantu suami, sehingga sering upahnya tidak sama dengan buruh laki-laki. Padahal, seingatku, jika sehari saja buruh-buruh perempuan itu mogok, maka pemodal itu akan kelimpungan. Inilah kondisi dengan kaum perempuan saat ini.

Kawan Kartini,
Mungkin, jaman kita berbeda, tapi sesungguhnya kondisi tak banyak berubah. Bahkan, saat ini aku dan kawan-kawan sejamanku, lebih mendapati masalah yang semakin sulit. Di tengah kondisi pop saat ini, banyak kaum terpelajar yang semakin congkak dengan mengatas namakan dirinya pembela rakyat, namun justru sesungguhnya menjadi musuh rakyat. Termasuk kaum pelajarnya. Mungkin aku perlu belajar darimu dari apa yang sesungguhnya dulu kamu cita-citakan.

Kawan Kartini,
Mungkin cukup demikian suratku untukmu, yang sesungguhnya lebih sebagai cerita kondisi di jamanku ini. Surat ini harus aku akhiri karena waktu juga mengejarku.
Terima kasih telah mau mendengarkanku. 


Kawanmu,
Gesang Kinasih,

Seorang Pelajar di Universitas Publik yang dipaksa berubah oleh Pemerintahnya menjadi Universitas (citarasa) Swasta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar