Dari Seorang Kawanmu
Kepada Kawan Kartini
Semoga kamu dalam keadaan baik di sisi Tuhanmu.
Kawan,
Saya memang seorang laki-laki, yang
sering kau sangka bagian dari penindas dan pengekang bagi perempuan. Namun, di
sini saya berusaha meyakinkanmu, tidak dalam posisi itu. Saya sepakat dengan
ide dan perjuanganmu, bahwa dalam kehidupan kapitalisme ini perempuan menjadi
bagian yang paling sering ditindas dan dipinggirkan. Bahkan, saya sepakat
dengan ide untuk membebaskan perempuan dari belenggu ini, baik dari adat dan
agama.
Kawan Kartini,
Saya di sini mungkin berbeda dengan
orang-orang pada umumnya yang sering menyebutmu “Ibu”. Tapi, di sini saya akan
memanggilmu dengan sebutan “Kawan”. Apakah kau berkenan? Saya setidaknya punya
argumen untuk ini, bila kamu mau mendengarnya. Esensi manusia adalah setara dan
sederajat. Itu yang kamu perjuangkan, setahuku. Dengan itu kamu melakukan usaha
yang berusaha mendobrak jamanmu. Bahwa laki-laki dan perempuan sederajat. Juga
dalam relasi manusia lainnya. Saya hanya percaya, manusia itu setara. Maka
dengan panggilan “Kawan”, saya merasa setara denganmu. Bukan karena tidak
sopan, tapi dengan sederajat manusia bisa saling menghargai. Bukankah
sebenarnya manusia, hanya ada yang dilahirkan di dunia dalam keadaan “terdahulu”
dan “kemudian”? Aku juga sepakat dengan Pram, Ia seorang penulis yang setia di jalan
rakyat, yang menuliskan sebuah buku yang membahas dirimu. Dalam tulisannya, ia
menceritakan bahwa kamu tidak mau dipanggil dengan sebutan ningrat, seperti
Raden Ajeng, tapi cukup hanya dengan sebutan “Kartini Saja”. Dan, aku sepakat
dengan itu.
Kawan Kartini,
Setiap
tanggal 21 April, di sekolah bahkan hingga saat ini Indonesia masih didera
demamnya nama indahmu, “Kartini”. Kamu harus bersyukur karena ternyata
perjuanganmu tidak sia-sia. Tapi bukan itu yang menjadi masalah utamanya. Hal
yang perlu kamu ketahui adalah perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya
dari sistem patriarki semakin banyak di Indonesia. Kamu bisa lihat sekarang
perempuan Indonesia sudah lebih maju dari masamu dulu. Bahkan, bisa beragam
jumlah dan varian gerakannya. Ini menggembirakanmu, bukan?
Tapi
sayang, walaupun begitu, hingga saat ini perjuangan itu belum banyak yang
terorganisir hingga ke akar rumput. Memang banyak organisasi perempuan, namun
belum bisa mengorganisir perempuan seperti di era jaman sebelum ‘65, dimana
banyak organisasi perempuan progresif yang begitu mengakar di akar rumput. Kamu
harus tahu, hilangnya gerakan perempuan itu bukan dengan sendirinya terjadi. Pasca
1965, Soeharto dan militer Indonesia menghancurkan semua gerakan perempuan,
kecuali yang bisa diatur dan berada di bawah ketiaknya. Ia dengan sistematis
dan terstruktur membuat sebuah imajinasi bahwa gerakan perempuan adalah sesuatu
yang berbahaya. Gerakan yang tak tahu adat, karena keluar dari kodratnya. Cara
itu salah satunya dilakukan dengan menstigma Gerwani sebagai gerakan pelacur
dan anti-Tuhan, dengan peristiwa pembohongan di sumur Lubang Buaya. Sejak itu,
gerakan perempuan hancur, kecuali hanya yang dipelihara penguasa.
Kawan
Kartini,
Perempuan
di Indonesia saat ini sudah lebih baik dari jamanmu. Ia sekarang sudah dianggap
menjadi hal umum untuk dapat sekolah tinggi, terutama di perkotaan. Tapi
ternyata itu tidak sepenuhnya benar. Memang secara sosial telah berubah,
masyarakat telah menerima bahwa perempuan diperbolehkan sekolah tinggi. Tapi,
kondisi ini juga ada syaratnya. Apa itu? Sama dengan di jamanmu sebenarnya.
Bahwa seseorang yang boleh sekolah tinggi hanyalah mereka yang mampu secara ekonomi.
Dulu di jamanmu, bukankah yang bisa seperti itu hanyalah kaum bangsawan dan
Barat? Sekarang dengan sistem pendidikan nasional saat ini, entah perempuan
atau laki-laki, selama ia miskin, ia dilarang sekolah tinggi! Ini karena begitu
mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Ditambah tidak meratanya fasilitas
pendidikan.
Mengapa itu
mahal? Kamu harus tahu, bahwa itu diciptakan sendiri oleh negara yang justru
dulu kamu cita-citakan, juga dengan pahlawan lainnya, yaitu Indonesia. Mahalnya
pendidikan saat ini terjadi karena, dengan sadar, negara mengurangi
pembiayaannya di bidang itu. Hal itu karena dianggap tidak menguntungkan
baginya. Dan akan lebih baik menurutnya, jika pendidikan diserahkan pada
mekanisme pasar. Ini yang disebut oleh beberapa teoritikus sosial di jaman
sekarang dengan skema Negara Neoliberal. Ya, negara Indonesia kita telah
menjadi negara Neoliberal. Salah satu cirinya ditandai dengan pelepasan barang
publik menjadi barang privat yang dikelola dengan mekanisme pasar. Pendidikan
masuk dalam kerangka seperti itu.
Efek dari
itu, banyak dari kita, yang bapaknya seorang buruh atau ibunya seorang pekerja
biasa, akan kesulitan untuk dapat sekolah tinggi. Ia hanya akan dapat lulus
sekolah menengah saja, dan kemudian menjajakan dirinya untuk dieksploitasi
tenaganya di pabrik-pabrik milik para pemodal.
Kawan
Kartini,
Saat ini
perempuan Indonesia tidak lagi dipandang nyinyir bila ia bekerja. Tidak seperti
di jamanmu. Namun dengan begitu, apakah kondisi perempuan Indonesia justru
lebih baik? Ternyata jawabannya tidak selalu. Bahkan bisa saja menjadi lebih
buruk.
Aku kemarin
belajar ke komunitas buruh perempuan di salah satu kawasan industri di Ibukota.
Ini adalah salah satu cara aku dan kawan-kawanku agar dapat mengenal kondisi
bangsaku di tengah mendongaknya kampus-kampus di Indonesia yang semakin terasing dengan
realitas masyarakatnya sendiri. Di sana aku melihat dengan kepala mataku
sendiri bagaimana kondisi perempuan yang dulu kau perjuangkan untuk bisa setara
dengan laki-laki, termasuk dalam bekerja. Mereka berangkat pagi, kemudian
pulang sore hari dengan upah yang sangat kecil. Di tengah-tengah bekerja,
mereka sulit ke kamar mandi, bahkan kadang harus pingsan saat ia sedang haid
karena kondisi pabrik yang begitu eksploitatif. Sedikit jam istirahat, bahkan
harus sembunyi-sembunyi untuk dapat bertemu sejenak dengan Tuhannya. Ini real terjadi di kondisi saat ini. Apakah
kamu sedih? Aku sangat sedih dengan kondisi ini, saat kaum Ibuku dipekerjakan
dengan seperti itu.
Kaum
pekerja perempuan menjadi bagian dari masyarakat yang paling tertindas di
negara ini. Apalagi sistem kerja sekarang tak lagi seperti dulu. Sekarang
sistem yang bekerja adalah Labour Market
Flexibility atau disingkat LMF. Dengan sistem ini, tak ada pekerja yang
dikontrak tetap. Ini agar resiko pekerja tidak lagi menjadi bagian dari
perusahaan, namun ditanggung sendiri oleh pekerja. Dengan sistem ini kemudian
muncul yang dinamakan pekerja outsourcing.
Kaum perempuan banyak yang bekerja di dalam sistem yang seperti ini. Mungkin
karena kondisi ekonomi yang memaksa mereka seperti itu. Di tengah kondisi sulit
untuk membantu suaminya mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pekerja outsourcing perempuan-lah yang banyak
mengalami kondisi yang aku ceritakan di atas. Kerja yang melebihi jam kerja,
lembur yang tak dibayar, tak ada cuti haid, upah dibawah UMR, dan beban
pekerjaan yang berat. Belum diskriminasi upah yang sering terjadi. Kondisi
diskriminasi tersebut terjadi karena masih tertancap kuat di benak pemodal
bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Selain itu, juga dianggap, kalau
bekerja merupakan upaya untuk mebantu suami, sehingga sering upahnya tidak sama
dengan buruh laki-laki. Padahal, seingatku, jika sehari saja buruh-buruh
perempuan itu mogok, maka pemodal itu akan kelimpungan. Inilah kondisi dengan
kaum perempuan saat ini.
Kawan
Kartini,
Mungkin,
jaman kita berbeda, tapi sesungguhnya kondisi tak banyak berubah. Bahkan, saat
ini aku dan kawan-kawan sejamanku, lebih mendapati masalah yang semakin sulit.
Di tengah kondisi pop saat ini,
banyak kaum terpelajar yang semakin congkak dengan mengatas namakan dirinya
pembela rakyat, namun justru sesungguhnya menjadi musuh rakyat. Termasuk kaum
pelajarnya. Mungkin aku perlu belajar darimu dari apa yang sesungguhnya dulu
kamu cita-citakan.
Kawan
Kartini,
Mungkin
cukup demikian suratku untukmu, yang sesungguhnya lebih sebagai cerita kondisi
di jamanku ini. Surat ini harus aku akhiri karena waktu juga mengejarku.
Terima kasih
telah mau mendengarkanku.
Kawanmu,
Gesang
Kinasih,
Seorang Pelajar di Universitas Publik
yang dipaksa berubah oleh Pemerintahnya menjadi Universitas (citarasa) Swasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar