Bayu Baskoro F, Anggota SEMAR UI
Di tengah hingar bingar Pemilihan Presiden (Pilpres) saat
ini, saya tersentak kaget dengan pemberitaan di Jakarta Post tanggal 22 Juli 2014
yang berjudul “Police Look End Sitok Investigation”, bahwa kasus perkosaan yang
dilakukan oleh (katanya) budayawan, Sitok Srengenge akan dihentikan karena
kurangnya bukti. Pemberitaan tersebut, tentu membuat saya sebagai bagian dari satu
civitas akademika dengan korban, merasa sangat prihatin, sekaligus marah.
Kemarahan kami ini bukan tanpa alasan. Bukan karena korban adalah teman saya.
Tetapi ini menyangkut dengan keadilan dari para korban kasus perkosaan secara
umum. Tentu, kita harus ingat bahwa kasus itu bisa menjadi pembicaraan publik
secara luas, karena kebetulan korbannya adalah mahasiswi UI dan pelakunya
adalah seorang budayawan. Bayangkan ada berapa kasus yang dialami oleh orang
biasa, mungkin bisa saja buruh, petani, guru, ibu rumah tangga, pelajar, dll,
yang mengalami kasus serupa. Dalam posisi kami, adanya penghentian kasus ini
bukan masalah hukum semata, tetapi terdapat masalah yang lebih mendasar dalam
logika umum kita, yaitu mengenai dominasi patriarki. Oleh karena itu, di tengah
kemenangan Jokowi dalam menghadang mantan Jenderal pelanggar HAM, perlu kita
segarkan kembali ingatan kita dan pelajari kasus Sitok ini dengan seksama.
Kekerasan terhadap perempuan bukanlah tindak kekerasan baru
yang terjadi belakangan ini. Jika ditelisik dari sejarah, kekerasan terhadap
perempuan adalah bentuk kekerasan yang terjadi sejak zaman manusia primitif.
Hal ini dibuktikan dengan tindakan memperlakukan perempuan sebagai objek
penderitaan. Kekerasan terhadap perempuan dilakukan baik secara fisik, psikis
maupun kekerasan verbal. Hal ini acap kali menjadi pemandangan umum dalam masyarakat
kita saat ini. Salah satu kasus kekerasan perempuan yang terhangat adalah kasus
yang dilakukan oleh budayawan Sitok Srengenge terhadap RW, mahasiswi
Universitas Indonesia, yang mencuat hangat beritanya sejak akhir tahun 2013
lalu.
Pada tanggal 29 November 2013
Sitok Sunarto alias Sitok Srengenge dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas tuduhan
tindak perkosaan yang dilakukannya terhadap RW beberapa bulan sebelumnya. Pasal
yang diadukan dalam laporan adalah pasal 335 KUHP tentang perbuatan dan
perlakuan tidak menyenangkan dengan ancaman hukuman satu tahun penjara. Awalnya
kasus ini dimasukan ke dalam Subdit Remaja Anak dan Perempuan (Renakta) kemudian
dilimpahkan ke Subdit Keamanan Negara (Kamnag), berdasarkan Surat Pemberitahuan
Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) pertama, tertanggal 19 Desember 2013
dengan Nomor B/6309/XII/2013/Ditreskrimum perihal pemindahan unit penangangan
dari sebelumnya Unit III Subdirenakta dilimpahkan ke Unit II Subdikamneg
Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Proses pemeriksaan terhadap Sitok sendiri baru
digelar pada 5 Maret 2014 lalu, setelah lebih dari empat bulan sejak pelaporan
pihak korban kepada Sitok. Dalam kasus ini, Kepolisian dituding lamban dalam
pengusutan kasus hukum ini, juga terhadap kasus-kasus kekerasan kepada perempuan
pada umumnya.
Padahal kalau kita teliti lebih
lanjut, jumlah kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke
tahun. Berdasarkan data Komnas Perempuan Nasional tahun 2012, tercatat
4.336 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam periode 2011, perkara
kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mencapai angka 119.107. Jumlah ini
meningkat dari 2010, sekitar 105.103 kasus. Kemudian dari data yang dihimpun,
sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Empat
jenis kekerasan yang paling banyak ditangani adalah perkosaan dan pencabulan
(1620), percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan traficking untuk
tujuan seksual (403).
Dalam Deklarasi Universal
Majelis Umum PBB tentang perempuan menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan akan menghambat peluang mereka untuk mencapai kesetaraan
hukum, sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat. Deklarasi ini menegaskan
kembali bahwa istilah kekerasan terhadap perempuan akan mengacu pada tindakan
yang membahayakan fisik, seksual atau psikologis, baik dalam kehidupan publik
atau pribadi. Pada dasarnya, segala bentuk kekerasan mulai dari fisik hingga
intimidasi, pelecehan, dan penghinaan, atau bahkan melarang mereka
berpartisipasi dalam lingkungan sosial, dikategorikan sebagai kekerasan terhadap
perempuan. Meski telah ada deklarasi universal, berbagai konvensi, dan juga
usaha beberapa organisasi internasional untuk mencegah kekerasan terhadap
perempuan, namun hingga sekarang kita menyaksikan kekerasan dan pelecehan
terhadap kaum hawa masih marak terjadi.
Pada dasarnya, kekerasan yang terjadi terhadap perempuan ini biasanya
disebabkan oleh adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender di dalam
masyarakat. Dengan adanya ketidakadilan gender ini, yang biasanya
termanifestasi dalam bentuk yang nyata dengan menempatkan perempuan dalam status
lebih rendah daripada laki-laki, menyebabkan perempuan selalu berada dalam
posisi sub-ordinasi. Hak istimewa laki-laki inilah yang menjadikan perempuan menjadi
seperti barang milik laki-laki, yang bisa diperlakukan semaunya, termasuk
dengan tindak kekerasan. Hal tersebut dalam dunia akademik, disebut sebagai budaya
patriarki. Dengan demikian, salah satu sebab adanya tindak kekerasan terhadap
perempuan adalah dominannya budaya patriarki dalam mempengaruhi nalar berpikir
serta cara pandang sebagian masyarakat kita.
Patriarki adalah suatu sistem dimana adanya relasi yang
timpang antara yang mendominasi dan yang didominasi, dimana yang mendominasi
mengontrol yang didominasi. Biasanya ini berkenaan terhadap ekspresi gender
dimana yang mendominasi adalah kaum-kaum maskulin (superior), sedangkan yang
didominasi adalah kaum-kaum feminine (inferior). Jika diulas sedikit tentang
sejarah penindasan masyarakat yang digoreskan Fredrick Angel dalam bukunya Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan
Negara maka dapat disimpulkan budaya patriarki ini muncul pada zaman
peralihan. Lebih tepatnya ketika peralihan zaman paleolitikum dan zaman logam yang
dimulai dari adanya aktivitas bercocok tanaman holtikultura yang dilakukan oleh
perempuan, kemudian domestifikasi binatang buruan menjadi ternak hingga
ditemukannya baja/logam yang dibuat menjadi bajak sehingga dapat mengelolah
tanah lebih luas. Pembajakan ini dilakukan oleh laki-laki karena perempuan
tidak bisa lagi mengkombinasikan pekerjaan memelihara anak dengan produksi
pertanian. Hal lain yang melatarbelakangi kenapa perempuan tidak membajak karena
proses evolusi tubuh perempuan yang berubah pada zaman holtikultura. Pembajak akan
mendapat hasil yang banyak sehingga terjadi akumulasi modal dan menyebabkan
surplus, dimana dengan jelas yang mendapatkan surplus adalah laki-laki sehingga
muncul kepemilikan pribadi. Surplus ini yang memulai adanya budaya patriarki
dimana perempuan mulai didomestifikasi dan hanya difungsikan sebagai alat
reproduksi untuk menghasilkan generasi yang nantinya akan dijadikan sebagai
tenaga kerja. Dengan demikian, sejarah budaya patriarki sangat erat dengan
perkembangan faktor produksi di dalam masyarakat.
Dalam dunia kapitalisme sekarang, untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya, pihak pemilik modal atau perusahaan biasanya mempekerjakan
buruh murah yang sebagian besar adalah kaum perempuan. Buruh perempuan ini digaji
lebih rendah dari laki-laki karena perempuan dianggap bukan pencari nafkah yang
utama dalam rumah tangga. Ironisnya lagi, saat perempuan menstruasi, hamil,
melahirkan dan menyususi yang tiada lain merupakan kodrat alami bagi seorang
perempuan malah dianggap tidak produktif dan pihak perusahaan berusaha melepas
tanggung jawab terkait persoalan hak cuti bagi buruh perempuan. Akibatnya, upah
kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki, sebab perempuan tidak mendapatkan
tunjangan keluarga. Dan bukan hanya itu, pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yang sejatinya harus diselesaikan dengan seadil-adilnya melalui
jalur hukum terkadang tidak menjadi fokus perhatian, malah cenderung diabaikan
dan dianggap sebagai persoalan pribadi. Parahnya lagi, hal tersebut terkadang
dianggap sebagai aib saat dihadirkan dalam ranah publik.
Dari beberapa fenomena di atas nampaknya perbedaan jenis kelamin masih
menjadi paradigma dominan dalam melihat relasi sosial antara perempuan dan
laki-laki. Biasanya, laki-laki ditempatkan dalam ranah publik, sedangkan
perempuan selalu diidentikan dengan ranah privat. Dan, hal ini kemudian
dikontruksi dalam pakem budaya patriarki sehingga melahirkan pola relasi
kehidupan yang bias gender. Kita akui bahwa perbedaan jenis kelamin antara
perempuan dengan laki-laki adalah kodrat Ilahiah yang tidak
mungkin bisa dipungkiri. Tetapi, dalam konsep analisis gender, dapat
ditemui bahwa perbedaan tentang sifat, peran, posisi serta tanggung jawab
perempuaan dan laki-laki yang didasarkan pada jenis kelamin merupakan hal yang
diciptakan oleh masyarakat dan dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya,
norma-norma atau tafsir agama, politik dan hukum yang berlaku. Sehingga hal
tersebut dilihat bukan sesuatu yang lahir dari proses yang sifatnya alami,
melainkan lahir dari kontruksi sosial masyarakat yang berjalan beriringan
dengan siklus kehidupan manusia. Olehnya itu, sangat
naif kiranya jika faktor perbedaan jenis kelamin tersebut menjadi
penyebab lahirnya diskiriminasi dan ketidakadilan bagi kaum perempuan.
Singkatnya, memang laki-laki dan perempuan berbeda, tapi bukan berarti peran
laki-laki dan perempuan dalam ranah sosial harus pula dibeda-bedakan.
Kasus kekerasan terhadap perempuan seperti yang dilakukan oleh ‘buayawan’
Sitok Srengenge merupakan bukti nyata adanya penyelewengan relasi kekuasaan
yang timpang antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang inferior. Ini bukan
kasus dimana kedua pihak melakukannya secara sukarela maupun suka sama suka.
Tidak ada perempuan di dunia ini yang ingin kehormatannya direnggut secara
paksa oleh seseorang bejat yang ingin memuaskan nafsu binalnya kepada para perempuan.
Tidak ada satu pun perempuan yang senang diberikan perilaku sedemikian rupa.
Kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang harus ditindak dengan
segera. Ingatkah kalian wahai ras manusia, oleh siapa kalian semua dilahirkan?
Ibu kalian, seorang perempuan yang berkorban demi kelahiran dan keselamatan
kalian di saat menghirup nafas yang pertama di dunia. Kekerasan terhadap perempuan
sama saja dengan kekerasan terhadap ibu kalian.
Hentikan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan! Tuntut kasus Sitok dan perkosaan lainnya, di
seluruh dunia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar