Kamis, 31 Juli 2014

Tubuh Perempuan Milik Siapa?

Oleh: Bhadrika Dirgantara, mahasiswa FISIP UI dan anggota Serikat Mahasiswa Progresif UI

Suatu hari di kampus, dalam perbincangan ngalor-ngidul bersama teman-teman perempuan sejurusan, saya tiba-tiba menanyakan sebuah pertanyaan yang melintas begitu saja di benak. Pertanyaan ini sederhana. Sesuatu yang, menurut saya, seharusnya telah diketahui tiap orang. Pertanyaan tersebut ialah, “Tubuhmu milik siapa?” Ternyata, jawaban yang saya dapat tidak sesederhana yang saya kira. Beberapa teman berpikir cukup lama. Perbincangan kemudian mulai berkembang. Satu orang menjawab tubuhnya milik orangtua karena ia dilahirkan dari rahim dan benih mereka. Satu orang menjawab tubuhnya milik masyarakat karena ia tidak memiliki kehendak bebas untuk mengatur dirinya sendiri. Sisanya, sekitar lima hingga enam orang, menyatakan bahwa tubuhnya ialah milik Tuhan. Tuhan telah memberikan tubuh yang sifatnya pinjaman. Tubuh milik Tuhan ini tidak boleh dirusak dan harus digunakan sesuai aturan Tuhan. Pada akhirnya, saya berpikir bahwa dari sekumpulan mahasiswi itu, tidak ada yang berpikir bahwa tubuhnya adalah miliknya. Tidak ada yang berpikir bahwa tiap diri memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri.


Perbincangan hari itu mengantarkan saya pada perbincangan lain dengan teman yang lain pula. Perbincangan tersebut lebih mengarah pada persoalan tentang tubuh perempuan karena sebelumnya pertanyaan saya diajukan pada teman-teman perempuan. Saya dan teman saya ini kemudian kembali bertanya-tanya pada diri sendiri tentang tubuh dan ketubuhan. Hingga akhirnya kami kembali mempertanyakan pertanyaan serupa, “Milik siapa sebenarnya tubuh ini?”, “Bagaimana otoritas keluarga atas tubuh ini?”, hingga “Mengapa agama (baik ajarannya dan lembaganya) dapat mengatur apa yang harus dilakukan oleh tubuh ini?”

Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, saya pikir, merupakan seperangkat pertanyaan yang kerapkali terlupa oleh kita sehingga kita cenderung mengabaikannya. Kita seringkali menerima begitu saja tubuh kita dan tidak mempedulikan persoalan dasar tentang kepemilikan tubuh. Padahal, persoalan tentang kepemilikan tubuh dapat memberi kita kesadaran tentang otoritas absolut atas tubuh. Jika tubuh tiap orang ialah miliknya, maka ia memiliki otoritas absolut atas dirinya sendiri. Seseorang, tentang ketubuhannya, seharusnya dapat terbebas dari jeratan-jeratan masyarakat yang cenderung patriarkis. Pertanyaannya kini ialah, apakah benar tubuh kita seutuhnya milik tiap kita? Apakah tubuh ini bukan milik masyarakat, negara, atau agama?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengacu pada pembahasan di sebuah seminar yang pernah saya hadiri. Dalam seminar bertajuk diskriminasi LGBT yang diinisiasi oleh Komunitas Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, Ikhaputri selaku pembicara mengatakan bahwa tiap manusia tidak hanya dilahirkan dari rahim biologis. Ketika seseorang dilahirkan dari rahim biologis ibu, pada saat yang bersamaan ia juga dilahirkan dari rahim sosial. Pada saat seorang manusia lahir, segala macam atribut, baik yang dapat terlihat secara fisik maupun yang berupa gagasan dan harapan, langsung melekat pada dirinya. Jika ia laki-laki, maka ia akan dipakaikan pakaian berwarna biru dan diberi mainan seperti mobil-mobilan atau peralatan bertukang. Di sisi lain, jika ia perempuan, maka ia akan dipakaikan pakaian berwarna merah muda dan diberi mainan seperti boneka atau peralatan memasak. Tak hanya atribut fisik seperti warna pakaian dan jenis mainan, gagasan dan harapan  juga melekat pada sang anak yang baru lahir. Jika ia laki-laki, maka harapan umum dari keluarganya ialah agar ia menjadi seorang laki-laki yang maskulin, memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, dan kelak dapat menghidupi keluarganya. Jika ia perempuan, maka harapan umum untuknya ialah agar ia dapat menjadi perempuan ayu yang feminin, lemah lembut dan gemulai, hingga selalu taat pada aturan apapun dan dari siapapun. Sejak masa kecil inilah tubuh perempuan mulai direnggut secara paksa oleh budaya patriarki. Nilai-nilai yang dilekatkan secara paksa padanya mengharuskannya untuk menjadi lemah lembut, santun dan senantiasa ramah, hingga menerima kenyataan semu bahwa dalam banyak hal, khususnya urusan publik, Laki-laki lebih baik dari perempuan sehingga perempuan harus senantiasa berada pada urusan-urusan domestik. Nilai-nilai inilah yang menyebabkan seorang laki-laki dapat lebih diterima kenakalannya dibanding anak perempuan. Hal ini menyebabkan laki-laki tabu menangis dan perempuan diperbolehkan menangis kapan saja, hingga menyebabkan laki-laki dianggap lebih memiliki kemampuan memimpin dari pada perempuan.

Simone De Beauvoir, dalam bukunya yang berjudul Second Sex, menyatakan bahwa, bahkan sebelum memasuki masa pubertas, anak perempuan telah disiapkan secara seksual. Beauvoir menyatakan bahwa persiapan ini bukan berasal dari naluri diri perempuan sendiri, melainkan karena pengaruh orang lain terhadap dirinya dan indoktrinasi sejak tahun-tahun awal kelahirannya. Hal ini selaras dengan pernyataan Ikhaputri mengenai rahim sosial yang melahirkan perempuan, bahwa sejak kecil perempuan telah dibentuk untuk memiliki kesadaran bahwa dirinya berbeda dengan laki-laki dan laki-laki berada di posisi yang lebih tinggi dari perempuan dalam banyak hal.

Baik Ikhaputri dan Beauvoir memiliki sebuah pendapat yang serupa, bahwa sejak kecil perempuan telah disiapkan untuk menjadi jenis manusia yang memenuhi syarat-syarat ‘perempuan’ dalam budaya patriarki. Hal ini jelas menyebabkan perempuan kehilangan kontrol dan otoritas atas dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Sejak kecil ia telah dilekatkan segala atribut fisik dan sosial yang menyebabkan dirinya tersubordinasi. Perempuan dipaksa untuk menerima bahwa dominasi laki-laki atas perempuan merupakan sebuah kewajaran. Lebih ekstrem lagi, ketubuhan perempuan diatur oleh pihak di luar dirinya. Baik negara, masyarakat, keluarga, agama, dan media kerapkali merebut paksa hak milik perempuan atas tubuhnya sendiri. Perempuan diatur kebebasannya oleh negara, hingga kini masih banyak peraturan-peraturan bias gender yang mengatur sikap, pakaian, hingga jam malam bagi perempuan. Perempuan diatur cara berpikirnya dan kuasanya atas ruang publik-domestik oleh masyarakat, perempuan yang menggugat budaya patriarki cenderung tidak dipandang sebagai ‘Perempuan baik-baik’. Perempuan sejak lahir diatur oleh keluarga, baik secara fisik, sosial, maupun moral. Perempuan diatur bagaimana berpakaian oleh agama, ketika ia tidak melaksanakan aturan tersebut, institusi agama akan memandangnya sebagai “liyan”. Perempuan bahkan, secara tak langsung, seringkali diatur oleh media. Dalam kasus perkosaan, media seringkali menyorot pakaian korban sehingga korban dianggap memicu perkosaan karena menggunakan pakaian yang ‘terlalu terbuka’.

Sebagaimana dinyatakan oleh Henrietta L. Moore dalam bukunya yang berjudul Feminisme dan Antropologi, negara memiliki seperangkat aturan ideologis yang berperan memperkuat dan mereproduksi ideologi dominan yang bertujuan men-disorganisasi-kan, mengontrol, dan melembagakan aktivitas perempuan. Seperangkat ideologis tersebut ialah media, sistem pendidikan, partai politik, institusi agama, dan keluarga. Izinkanlah saya menyatakan bahwa masyarakat juga seringkali mengontrol dan melembagakan aktivitas perempuan, seperti yang telah saya sampaikan di atas. Pada tataran ketubuhan, perangkat ideologis tersebut jelas mengontrol dan melembagakan tubuh perempuan.

Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, disorganisasi, pengontrolan dan pelembagaan tubuh perempuan terlihat jelas. Masyarakat hingga kini masih saja menyepelekan kasus perkosaan dengan dalil “suka-sama-suka”. Media hingga kini masih saja menyoroti pakaian perempuan yang menurutnya dapat menjadi sebab perkosaan. Pihak-pihak yang memiliki kewenangan, seperti kepolisian pun hingga kini masih sering bertanya detail perkosaan yang tentunya mengingatkan korban perkosaan pada trauma yang ia alami. Pun masih banyak orang yang berpikir bahwa korban perkosaan dan kekerasan seksual lain juga bersalah atas kejadian yang menimpanya, baik karena pakaiannya, tindak-tanduknya, hingga pada pukul berapa ia keluar rumah. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa hingga saat ini perempuan masih belum memiliki otoritas absolut atas dirinya sendiri. Setidaknya, saya pikir perempuan masih berada dalam kungkungan patriarki yang terus menjerat dan tak mau melepasnya. Kungkungan ini yang memasungnya sehingga perempuan bahkan tak dapat mengayunkan tubuhnya, menggunakan pakaian yang ia suka dengan bebas, dan melakukan aktivitas yang ingin ia lakukan.

Pada akhirnya, saya pikir kita, baik laki-laki, perempuan, maupun siapapun yang berada di antara kedua jenis kelamin tersebut, harus bekerja sama untuk mengembalikan kedaulatan atas tubuh pada diri masing-masing. Hal ini dapat dimulai dari menyadari dan menyadarkan orang lain bahwa tiap diri memiliki otoritas absolut atas tubuh masing-masing. Saya yakin bahwa mendekonstruksi dan melakukan dekulturasi pada budaya patriarki ialah hal yang amat sulit, namun dapat dilakukan dengan usaha dan perlawanan yang sungguh-sungguh. Dengan menyadari dan memahami konsep kepemilikan tubuh, bahwa tiap diri memiliki otoritas absolut atas dirinya sendiri dan tidak ada satu pihak pun di luar diri yang dapat mengontrol tubuh ini, maka kita telah melangkah cukup maju untuk melawan patriarki. ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar