Oleh:
Bhadrika Dirgantara, mahasiswa FISIP UI dan anggota Serikat Mahasiswa Progresif
UI
Suatu hari di kampus, dalam perbincangan
ngalor-ngidul bersama teman-teman
perempuan sejurusan, saya tiba-tiba menanyakan sebuah pertanyaan yang melintas
begitu saja di benak. Pertanyaan ini sederhana. Sesuatu yang, menurut saya,
seharusnya telah diketahui tiap orang. Pertanyaan tersebut ialah, “Tubuhmu
milik siapa?” Ternyata, jawaban yang saya dapat tidak sesederhana yang saya
kira. Beberapa teman berpikir cukup lama. Perbincangan kemudian mulai
berkembang. Satu orang menjawab tubuhnya milik orangtua karena ia dilahirkan dari
rahim dan benih mereka. Satu orang menjawab tubuhnya milik masyarakat karena ia
tidak memiliki kehendak bebas untuk mengatur dirinya sendiri. Sisanya, sekitar
lima hingga enam orang, menyatakan bahwa tubuhnya ialah milik Tuhan. Tuhan
telah memberikan tubuh yang sifatnya pinjaman. Tubuh milik Tuhan ini tidak
boleh dirusak dan harus digunakan sesuai aturan Tuhan. Pada akhirnya, saya
berpikir bahwa dari sekumpulan mahasiswi itu, tidak ada yang berpikir bahwa
tubuhnya adalah miliknya. Tidak ada yang berpikir bahwa tiap diri memiliki
otoritas atas tubuhnya sendiri.
Perbincangan hari itu mengantarkan saya
pada perbincangan lain dengan teman yang lain pula. Perbincangan tersebut lebih
mengarah pada persoalan tentang tubuh perempuan karena sebelumnya pertanyaan
saya diajukan pada teman-teman perempuan. Saya dan teman saya ini kemudian
kembali bertanya-tanya pada diri sendiri tentang tubuh dan ketubuhan. Hingga
akhirnya kami kembali mempertanyakan pertanyaan serupa, “Milik siapa sebenarnya
tubuh ini?”, “Bagaimana otoritas keluarga atas tubuh ini?”, hingga “Mengapa
agama (baik ajarannya dan lembaganya) dapat mengatur apa yang harus dilakukan
oleh tubuh ini?”
Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut,
saya pikir, merupakan seperangkat pertanyaan yang kerapkali terlupa oleh kita
sehingga kita cenderung mengabaikannya. Kita seringkali menerima begitu saja
tubuh kita dan tidak mempedulikan persoalan dasar tentang kepemilikan tubuh. Padahal,
persoalan tentang kepemilikan tubuh dapat memberi kita kesadaran tentang
otoritas absolut atas tubuh. Jika tubuh tiap orang ialah miliknya, maka ia
memiliki otoritas absolut atas dirinya sendiri. Seseorang, tentang
ketubuhannya, seharusnya dapat terbebas dari jeratan-jeratan masyarakat yang
cenderung patriarkis. Pertanyaannya kini ialah, apakah benar tubuh kita
seutuhnya milik tiap kita? Apakah tubuh ini bukan milik masyarakat, negara,
atau agama?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengacu pada
pembahasan di sebuah seminar yang pernah saya hadiri. Dalam seminar bertajuk
diskriminasi LGBT yang diinisiasi oleh Komunitas Mahasiswa Filsafat Universitas
Indonesia, Ikhaputri selaku pembicara mengatakan bahwa tiap manusia tidak hanya
dilahirkan dari rahim biologis. Ketika seseorang dilahirkan dari rahim biologis
ibu, pada saat yang bersamaan ia juga dilahirkan dari rahim sosial. Pada saat
seorang manusia lahir, segala macam atribut, baik yang dapat terlihat secara
fisik maupun yang berupa gagasan dan harapan, langsung melekat pada dirinya.
Jika ia laki-laki, maka ia akan dipakaikan pakaian berwarna biru dan diberi
mainan seperti mobil-mobilan atau peralatan bertukang. Di sisi lain, jika ia
perempuan, maka ia akan dipakaikan pakaian berwarna merah muda dan diberi
mainan seperti boneka atau peralatan memasak. Tak hanya atribut fisik seperti
warna pakaian dan jenis mainan, gagasan dan harapan juga melekat pada sang anak yang baru lahir.
Jika ia laki-laki, maka harapan umum dari keluarganya ialah agar ia menjadi
seorang laki-laki yang maskulin, memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, dan
kelak dapat menghidupi keluarganya. Jika ia perempuan, maka harapan umum
untuknya ialah agar ia dapat menjadi perempuan ayu yang feminin, lemah lembut
dan gemulai, hingga selalu taat pada aturan apapun dan dari siapapun. Sejak
masa kecil inilah tubuh perempuan mulai direnggut secara paksa oleh budaya
patriarki. Nilai-nilai yang dilekatkan secara paksa padanya
mengharuskannya untuk menjadi lemah lembut, santun dan senantiasa ramah,
hingga menerima kenyataan semu bahwa dalam banyak hal, khususnya urusan publik,
Laki-laki lebih baik dari perempuan sehingga perempuan harus senantiasa berada
pada urusan-urusan domestik. Nilai-nilai inilah yang menyebabkan seorang
laki-laki dapat lebih diterima kenakalannya dibanding anak perempuan. Hal ini menyebabkan
laki-laki tabu menangis dan perempuan diperbolehkan menangis kapan saja, hingga
menyebabkan laki-laki dianggap lebih memiliki kemampuan memimpin dari pada perempuan.
Simone De Beauvoir, dalam bukunya yang berjudul Second Sex, menyatakan bahwa, bahkan
sebelum memasuki masa pubertas, anak perempuan telah disiapkan secara seksual.
Beauvoir menyatakan bahwa persiapan ini bukan berasal dari naluri diri
perempuan sendiri, melainkan karena pengaruh orang lain terhadap dirinya dan
indoktrinasi sejak tahun-tahun awal kelahirannya. Hal ini selaras dengan
pernyataan Ikhaputri mengenai rahim sosial yang melahirkan perempuan, bahwa
sejak kecil perempuan telah dibentuk untuk memiliki kesadaran bahwa dirinya
berbeda dengan laki-laki dan laki-laki berada di posisi yang lebih tinggi dari
perempuan dalam banyak hal.
Baik Ikhaputri dan Beauvoir memiliki sebuah pendapat yang
serupa, bahwa sejak kecil perempuan telah disiapkan untuk menjadi jenis manusia
yang memenuhi syarat-syarat ‘perempuan’ dalam budaya patriarki. Hal ini jelas
menyebabkan perempuan kehilangan kontrol dan otoritas atas dirinya sendiri.
Bagaimana tidak? Sejak kecil ia telah dilekatkan segala atribut fisik dan
sosial yang menyebabkan dirinya tersubordinasi. Perempuan dipaksa untuk
menerima bahwa dominasi laki-laki atas perempuan merupakan sebuah kewajaran.
Lebih ekstrem lagi, ketubuhan perempuan diatur oleh pihak di luar dirinya. Baik
negara, masyarakat, keluarga, agama, dan media kerapkali merebut paksa hak
milik perempuan atas tubuhnya sendiri. Perempuan diatur kebebasannya oleh
negara, hingga kini masih banyak peraturan-peraturan bias gender yang mengatur
sikap, pakaian, hingga jam malam bagi perempuan. Perempuan diatur cara berpikirnya
dan kuasanya atas ruang publik-domestik oleh masyarakat, perempuan yang menggugat
budaya patriarki cenderung tidak dipandang sebagai ‘Perempuan baik-baik’.
Perempuan sejak lahir diatur oleh keluarga, baik secara fisik, sosial, maupun
moral. Perempuan diatur bagaimana berpakaian oleh agama, ketika ia tidak
melaksanakan aturan tersebut, institusi agama akan memandangnya sebagai “liyan”.
Perempuan bahkan, secara tak langsung, seringkali diatur oleh media. Dalam
kasus perkosaan, media seringkali menyorot pakaian korban sehingga korban dianggap
memicu perkosaan karena menggunakan pakaian yang ‘terlalu terbuka’.
Sebagaimana dinyatakan oleh Henrietta L. Moore dalam bukunya
yang berjudul Feminisme dan Antropologi,
negara memiliki seperangkat aturan ideologis yang berperan memperkuat dan
mereproduksi ideologi dominan yang bertujuan men-disorganisasi-kan, mengontrol,
dan melembagakan aktivitas perempuan. Seperangkat ideologis tersebut ialah
media, sistem pendidikan, partai politik, institusi agama, dan keluarga. Izinkanlah
saya menyatakan bahwa masyarakat juga seringkali mengontrol dan melembagakan
aktivitas perempuan, seperti yang telah saya sampaikan di atas. Pada tataran
ketubuhan, perangkat ideologis tersebut jelas mengontrol dan melembagakan tubuh
perempuan.
Dalam konteks kekerasan terhadap
perempuan, disorganisasi, pengontrolan dan pelembagaan tubuh perempuan terlihat
jelas. Masyarakat hingga kini masih saja menyepelekan kasus perkosaan dengan
dalil “suka-sama-suka”. Media hingga kini masih saja menyoroti pakaian
perempuan yang menurutnya dapat menjadi sebab perkosaan. Pihak-pihak yang
memiliki kewenangan, seperti kepolisian pun hingga kini masih sering bertanya
detail perkosaan yang tentunya mengingatkan korban perkosaan pada trauma yang
ia alami. Pun masih banyak orang yang berpikir bahwa korban perkosaan dan
kekerasan seksual lain juga bersalah atas kejadian yang menimpanya, baik karena
pakaiannya, tindak-tanduknya, hingga pada pukul berapa ia keluar rumah. Hal-hal
semacam ini menunjukkan bahwa hingga saat ini perempuan masih belum memiliki
otoritas absolut atas dirinya sendiri. Setidaknya, saya pikir perempuan masih
berada dalam kungkungan patriarki yang terus menjerat dan tak mau melepasnya.
Kungkungan ini yang memasungnya sehingga perempuan bahkan tak dapat mengayunkan
tubuhnya, menggunakan pakaian yang ia suka dengan bebas, dan melakukan
aktivitas yang ingin ia lakukan.
Pada akhirnya, saya pikir kita, baik
laki-laki, perempuan, maupun siapapun yang berada di antara kedua jenis kelamin
tersebut, harus bekerja sama untuk mengembalikan kedaulatan atas tubuh pada
diri masing-masing. Hal ini dapat dimulai dari menyadari dan menyadarkan orang
lain bahwa tiap diri memiliki otoritas absolut atas tubuh masing-masing. Saya
yakin bahwa mendekonstruksi dan melakukan dekulturasi pada budaya patriarki
ialah hal yang amat sulit, namun dapat dilakukan dengan usaha dan perlawanan
yang sungguh-sungguh. Dengan menyadari dan memahami konsep kepemilikan tubuh,
bahwa tiap diri memiliki otoritas absolut atas dirinya sendiri dan tidak ada
satu pihak pun di luar diri yang dapat mengontrol tubuh ini, maka kita telah
melangkah cukup maju untuk melawan patriarki. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar