Kamis, 15 Agustus 2013

Gerakan Mahasiswa, Paradigma Kekirian, dan Demokrasi

Oleh : Daya Cipta S*
  
Prolog

Tulisan ini adalah sebuah otokritik terhadap gerakan mahasiswa pasca 1998 secara umum, dalam konteks bagaimana para mahasiswa berpikir dan beraksi dalam wacana demokrasi. Penulis menggunakan dua artikel sebagai acuan, artikel pertama adalah artikel Amartya Sen yang berjudul “The Importance of Democracy”. Artikel kedua adalah artikel Jessica Champagne, “Kerakyatan, Imperialisme, dan Demokrasi: Analisis Wacana dan Aktivitas Mahasiswa Menghadapi Desentralisasi Demokratis”. Dengan menganalisis kedua artikel tersebut, penulis mencoba menguraikan berbagai paradoks gerakan mahasiswa yang hilang arah pasca tahun 1998.


Logika Sederhana Tentang Demokrasi

Amartya Sen, dalam menguraikan logikanya tentang pentingnya demokrasi, begitu sederhana dan ‘mengalir’ dalam tulisan ini. Argumen-argumen Sen tidak ada yang mencengangkan, meskipun sulit pula untuk dipatahkan. Sen membuka tulisannya dengan melemparkan satu  problem, apakah kebebasan politik lebih penting daripada kebutuhan ekonomi.

Sebelum membahas logika Sen tentang problem ini, saya akan mengemukakan pandangan common sense bahwa jauh sebelum membaca tulisan ini, saya terlibat dalam sebuah diskusi dengan sebuah rekan. “Apakah sebenarnya rakyat akan merasa baik-baik saja jika suaranya dibungkam tapi kehidupannya sejahtera?”  Rekan saya menjawabnya dengan apakah tujuan anda di dunia ini, makan untuk hidup atau hidup untuk makan. Saya pilih opsi pertama, kemudian rekan saya menyimpulkan bahwa kesejahteraan hidup tidak hanya dalam bentuk materi.

Ada satu lagi pengalaman saya menghadapi problem yang sama. Ketika itu saya membaca artikel di majalah perjalanan tentang Kamboja. Bahwa negara Kamboja ‘memberikade’ dirinya dari serangan kapitalisme global dengan anggapan budayanya banyak variabel kebahagiaan lain di luar materi (pun pada akhirnya Kamboja tidak lagi resisten). Dua pengetahuan ini, meskipun miskin dari argumen ilmiah, membuat saya percaya bahwa kebebasan politik dan kebutuhan ekonomi tidak dapat diukur mana yang lebih penting.

Sen berkata dalam tulisannya, tidak ada data statistik yang secara general menyimpulkan bahwa rezim otoriter baik untuk pertumbuhan ekonomi. Hal itu berlaku di Korea Selatan dan Singapura, tapi menunjukkan hal sebaliknya di negara-negara Afrika. Dengan ini, tidak ada hipotesis yang menunjukkan adanya hubungan yang positif antara kebebasan politik dan kebutuhan ekonomi. Kemudian Sen bertanya,  apakah kebebasan politik hanya prioritas Barat dan mengganggu nilai-nilai Timur? Orang-orang Timur lebih in order dalam melaksanakan kebebasan.

Sen menggaris bawahi antara kebebasan politik dan kebutuhan ekonomi menjadi tiga poin utama. Pertama, kepentingan langsung kehidupan manusia yang berhubungan dengan kapabilitas dasar, termasuk di dalamnya partisipasi politik dan sosial. Kedua, peran instrumental dalam merespon rakyat yang mengekspresikan kebebasan politiknya, termasuk di dalamnya klaim akan kebutuhan ekonomi. Ketiga, peran konstruktif dalam mengkonseptualisasikan kebutuhan, termasuk di dalamnya memahami kebutuhan ekonomi dalam konteks sosial.

Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan adalah suatu proses sebab-akibat. Sen mengungkapkan, pentingnya demokrasi dalam meningkatkan kapabilitas hidup adalah rakyat dapat menekan pemerintah untuk menuntut hak-hak ekonominya. Meskipun lagi-lagi, tidak ada indikator yang pas, bentuk demokrasi seperti apa yang dikatakan ‘demokrasi’ itu? Ada dua jawaban sederhana, dalam sistem demokrasi ada pemilihan umum bebas dan kebebasan untuk beroposisi dan berekspresi.

Saya mengkristalkan argumen Sen, bahwa dalam demokrasi bisa ditarik dua variabel mendasar, yaitu kebebasan politik dan hak-hak sipil. Keduahal  itu adalah hak kodrati manusia sebagai makhluk sosial. Kebutuhan ekonomi adalah turunan dari hak-hak itu sendiri. Jadi, saya berpandangan bahwa kebutuhan ekonomi dan kebebasan politik tidak bisa diukur sendiri-sendiri mana yang lebih penting.

Menarik tapi kurang dapat saya pahami bahwa kebutuhan ekonomi dan kebebasan politik adalah sebuah bentuk hubungan yang konstruktif. Kebebasan politik, termasuk di dalamnya adalah dialog sosial politik yang sehat yang akan mengkonspetualisasikan apa itu kebutuhan ekonomi. Disini saya tidak dapat memahami logika Sen. Kemudian Sen berargumen bahwa demokrasi akan efektif tergantung bagaimana demokrasi dipraktikkan. Ini menyetir otak kita kembali ke sebuah pertanyaan besar, acuan apa yang digunakan untuk mempraktikkan demokrasi? Sen lagi-lagi menyebut bahwa ‘kepentingan instrumental’ mempunyai relasi dengan ‘peran konstruktif’.

Sen mengambil contoh kasus India, bahwa dari demokrasi bisa ditarik kesetaraan gender dan pendidikan dasar yang menjadi sumber utama kesempatan untuk mobilitas sosial menuju keadilan sosial. Bila digambarkan democracy adalah a capabilities (gender equity and elementary education) a social opportunity a social justice. Selanjutnya, in a democracy, people tend to get what they demand, and more crucially do not typically get what they do not demand”

Saya akan mengutip pidato Fidel Valdez Ramos pada November 1998 (di tulisan Sen), yang begitu bagus dan menyentuh:


“Under dictatorial rule, people need not think – need not choose – need not make up their minds or their consent. All they need to do is to follow. This has been a bitter lesson learned from Philippine political experience of not so long ago. By contrast, a democracy cannot survive without civic virtue… The political challenge for people around the world today is not just replace authoritarianism regimes by democratic ones. Beyond this, it is to make democracy work for an ordinary people”.

Kata-kata Fidel Valdez Ramos, terutama di bagian akhir sungguh patut direnungkan. Kesimpulan saya, bahwa kebebasan politik dan hak-hak sipil yang merupakan bagian dari demokrasi, adalah bagian penting yang tidak dapat dicabut dari kehidupan manusia. Tetapi orang-orang, terutama orang-orang miskin, belum menyadari bahwa dua itu adalah bagian dari kehidupan mereka sebelum kebutuhan ekonomi mereka benar-benar tercukupi. Betapa baik dan sederhana sistem demokrasi, sesungguhnya. 

Gerakan Mahasiswa dan Paradigma Kekirian

Jessica Champagne langsung membuka tulisannya dengan premis yang menarik tanpa basa-basi: Gerakan mahasiswa pasca-1998 di Indonesia sering dianggap sebagai sebuah kondisi antiklimaks atau bahkan kegagalan (Champagne, 2005).  Menurut Champagne, adalah salah interpretasi jika konteks gerakan mahasiswa sekarang dianggap sebagai pengulangan sejarah gerakan mahasiswa tahun 1998. Gerakan mahasiswa ‘saat ini’ adalah gerakan yang ada karena kemenangan gerakan mahasiswa tahun 1998. Dalam artikel ini, Champagne mengambil konteks mahasiswa yang tergabung dalam organisasi gerakan di kampus-kampus, tepatnya di Yogyakarta.

Saya banyak sepakat dengan apa yang dibahas Champagne dalam artikelnya. Gerakan mahasiswa ‘saat ini’ banyak yang memakai jargon demokrasi dalam metode dan taktik gerakannya. Konteks sederhananya, mahasiswa begitu gemar melabeli ‘ini tidak demokratis’ ‘ini melanggar asas demokrasi’ ketika elite negara (atau elite kampus) sebagai pemangku kebijakan, meluncurkan apa yang disebut mahasiswa sebagai kebijakan yang tidak pro rakyat.

Mahasiswa dalam konteks ini sangat kekirian dan anti-imperialis, mengkritik semua lembaga pendanaan yang dekat dengan asing terutama dari Amerika Serikat. Di samping itu, mahasiswa ‘mencari’ makna demokrasi yang khas Indonesia. Pandangan ini berpadu, bahwa kapitalisme tidak bisa disandangkan dengan demokrasi karena terdapat akumulasi modal di tangan elit. Model demokrasi yang dari Amerika Serikat disebut sebagai ‘demokrasi kapitalis’ yang tidak membawa semangat kerakyatan. Oleh karena itu, harus dipadukan dengan nilai-nilai asli Indonesia yang sangat ‘sosialis’.  Bila disarikan dengan premis-premis sebelumnya, paradoks yang terjadi terdiri dari tiga entitas: memakai jargon demokrasi, mengkritik demokrasi yang otentik (karena dianggap imperial dan tidak berlandaskan kesetaraan), dan mencari model demokrasi yang khas Indonesia. Ketiga entitas itu yang saya kritik dengan mengacu pada tulisan Amartya Sen yang sudah saya urai di atas.

Paradigma kekirian, ungkap Champagne, juga terlihat dari bagaimana gerakan mahasiswa mengkonseptualisasikan ‘rakyat’. Rakyat dispesifikasikan sebagai ‘kaum lemah, proletar, miskin dan tertindas’. Mahasiswa memiliki kecenderungan avant grade, seperti disebutkan di atas, dan ketegangan antara perubahan yang berpusat pada kepeloporan massa dan elite dalam sejarah Indonesia membuat paradigma kekirian tetap menjadi isu. (Champagne, 2005)

Kritik yang ingin saya sampaikan adalah bila berbicara contoh, mari kita garis bawahi persoalan kemiskinan. Bahwa persoalan kemiskinan, erat dengan kata banyak. Berpuluh-puluh tahun, berjuta-juta orang Indonesia menyandang predikat miskin. Tetapi, bicara tentang kemiskinan, menurut hemat saya tidak hanya sebatas  rakyat besar sebagai eksploitator, dan rakyat kecil sebagai korban eksploitasi.

Memang tidak dipungkiri, masyarakat miskin adalah korban dari kegagalan sistem politik negara ini. Masyarakat miskin, rakyat kecil, yang merupakan bagian dari kelompok mayoritas di negeri ini, diistilahkan dengan kelompok silent majority. Silent majority adalah dampak dari proses depolitisasi pemerintah terdahulu—bahkan dari zaman kolonial Belanda—masyarakat dijauhkan dari politik. Masyarakat, terutama masyarakat miskin, menjadi apolitis dan menjadi objek pembangunan. Antitesis negara, termasuk di dalamnya gerakan mahasiswa, berjuang mengatasnamakan silent majority ini. Dalam konteks gerakan mahasiswa, seperti yang sudah sering saya singgung, objek perjuangannya adalah rakyat yang mereka sebut tertindas.

Inilah salah satu akar masalah yang perlu ditinjau kembali. Rakyat kecil tidak bisa terus menerus jadi objek, bahkan objek perjuangan sekalipun. Silent majority juga berkaitan dengan masalah mental si miskin yang tidak merdeka. Belenggu itu harus dilepaskan dengan berhenti memperlakukan rakyat sebagai objek dan melibatkan masyarakat dalam proses pengembangan—dimulai dari mengembangkan self-capacity masyarakat itu sendiri.

Pun, rakyat besar tidak bisa langsung digeneralisir sebagai penindas rakyat kecil. Gerakan mahasiswa, sebagai bentuk civil society, pada praktiknya adalah sebagai penghubung negara dengan warganya. Kekuasaan adalah hal yang rawan, sehingga patut untuk selalu diawasi dan dikritisi. Tapi di sisi lain, membangun kepercayaan dari level akar rumput itu penting. Sehingga generalisasi terhadap rakyat besar bisa diminimalisir dan terjadi sinergisasi di kedua belah pihak. Masyarakat pun akan semakin kritis dengan politik, kekuasaan di atas dapat terawasi, sehingga praktik-praktik politik kotor akan semakin luntur. Sekali lagi, itu dapat tercapai ketika masyarakat berhenti diberlakukan dan bermental sebagai objek.

Epilog

Sejak duduk di bangku perkuliahan, saya melihat bentuk ‘protes’ dalam kehidupan nyata. Tidak lagi melihat melalui surat kabar dan televisi, bahkan saya terlibat langsung dalam usaha ‘protes’ terhadap ketidakadilan yang banyak terjadi di negeri ini. Gerakan ‘protes’ ini disebut sebagai ‘gerakan mahasiswa’ karena aktor di dalamnya adalah kami, para mahasiswa.

Gerakan mahasiswa di Indonesia mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah Indonesia. Gerakan mahasiswa dua kali menumbangkan rezim, pertama rezim Soekarno tahun 1966, kedua rezim Soeharto tahun 1998. Kisah anak-anak muda pemberani inilah yang menjadi inspirasi gerakan mahasiswa saat ini.

Tapi sayang, gaung ‘protes’ gerakan mahasiswa di Indonesia semakin sepi. Para mahasiswa yang terlibat di dalamnya pun seperti hilang arah, meskipun sulit bagi mereka mengakuinya. Untuk meneriakkan ‘protes’ gerakan mahasiswa saat ini sulit untuk menggandeng massa untuk bergerak. Massa mahasiswa di luar ‘para aktivis’ itu pun mulai menganggap demonstrasi adalah hal yang kurang begitu relevan di masa ini.

Buah manis pergerakan akan didapat jika para pelaku gerakan mahasiswa segera menanam dan merawat pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan zaman. Gerakan mahasiswa bukanlah gerakan penerus, bukanlah gerakan pewaris. Jika terus menerus terbuai sejarah angkatan lama persoalan kesejahteraan rakyat Indonesia akan terus menjadi persoalan ‘yang biasa’. Gerakan mahasiswa akan semakin usang dan hanya menjadi sebatas retorika, yang selalu marah kepada rakyat besar dan mengasihani rakyat kecil.


Daftar Acuan:

Jessica Champagne. “Kerakyatan, Imperialisme, dan Demokrasi: Analisis Wacana dan Aktivitas Mahasiswa Menghadapi Desentralisasi Demokratis” dalam Gunawan, J. and  Sutoro, E. (Eds) [2005] Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, Jakarta: LP3ES.

Amartya Sen. Chapter 6 “The Importance of Democracy” Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999): 146-60.




*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Politik 2011, Universitas Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar