Oleh
: Daya Cipta S*
Prolog
Tulisan
ini adalah sebuah otokritik terhadap gerakan mahasiswa pasca 1998 secara umum,
dalam konteks bagaimana para mahasiswa berpikir dan beraksi dalam wacana
demokrasi. Penulis menggunakan dua artikel sebagai acuan, artikel pertama
adalah artikel Amartya Sen yang berjudul “The Importance of Democracy”. Artikel
kedua adalah artikel Jessica Champagne, “Kerakyatan, Imperialisme, dan
Demokrasi: Analisis Wacana dan Aktivitas Mahasiswa Menghadapi Desentralisasi
Demokratis”. Dengan menganalisis kedua artikel tersebut, penulis mencoba
menguraikan berbagai paradoks gerakan mahasiswa yang hilang arah pasca tahun
1998.
Logika Sederhana
Tentang Demokrasi
Amartya
Sen, dalam menguraikan logikanya tentang pentingnya demokrasi, begitu sederhana
dan ‘mengalir’ dalam tulisan ini. Argumen-argumen Sen tidak ada yang
mencengangkan, meskipun sulit pula untuk dipatahkan. Sen membuka tulisannya
dengan melemparkan satu problem, apakah
kebebasan politik lebih penting daripada kebutuhan ekonomi.
Sebelum
membahas logika Sen tentang problem ini, saya akan mengemukakan pandangan common sense bahwa jauh sebelum membaca
tulisan ini, saya terlibat dalam sebuah diskusi dengan sebuah rekan. “Apakah
sebenarnya rakyat akan merasa baik-baik saja jika suaranya dibungkam tapi
kehidupannya sejahtera?” Rekan saya
menjawabnya dengan apakah tujuan anda di dunia ini, makan untuk hidup atau
hidup untuk makan. Saya pilih opsi pertama, kemudian rekan saya menyimpulkan
bahwa kesejahteraan hidup tidak hanya dalam bentuk materi.
Ada
satu lagi pengalaman saya menghadapi problem yang sama. Ketika itu saya membaca
artikel di majalah perjalanan tentang Kamboja. Bahwa negara Kamboja ‘memberikade’
dirinya dari serangan kapitalisme global dengan anggapan budayanya banyak
variabel kebahagiaan lain di luar materi (pun pada akhirnya Kamboja tidak lagi
resisten). Dua pengetahuan ini, meskipun miskin dari argumen ilmiah, membuat
saya percaya bahwa kebebasan politik dan kebutuhan ekonomi tidak dapat diukur
mana yang lebih penting.
Sen
berkata dalam tulisannya, tidak ada data statistik yang secara general
menyimpulkan bahwa rezim otoriter baik untuk pertumbuhan ekonomi. Hal itu
berlaku di Korea Selatan dan Singapura, tapi menunjukkan hal sebaliknya di
negara-negara Afrika. Dengan ini, tidak ada hipotesis yang menunjukkan adanya
hubungan yang positif antara kebebasan politik dan kebutuhan ekonomi. Kemudian
Sen bertanya, apakah kebebasan politik
hanya prioritas Barat dan mengganggu nilai-nilai Timur? Orang-orang Timur lebih
in order dalam melaksanakan
kebebasan.
Sen
menggaris bawahi antara kebebasan politik dan kebutuhan ekonomi menjadi tiga
poin utama. Pertama, kepentingan langsung kehidupan manusia yang berhubungan dengan
kapabilitas dasar, termasuk di dalamnya partisipasi politik dan sosial. Kedua,
peran instrumental dalam merespon rakyat yang mengekspresikan kebebasan
politiknya, termasuk di dalamnya klaim akan kebutuhan ekonomi. Ketiga, peran
konstruktif dalam mengkonseptualisasikan kebutuhan, termasuk di dalamnya
memahami kebutuhan ekonomi dalam konteks sosial.
Pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan adalah suatu proses sebab-akibat. Sen mengungkapkan,
pentingnya demokrasi dalam meningkatkan kapabilitas hidup adalah rakyat dapat menekan
pemerintah untuk menuntut hak-hak ekonominya. Meskipun lagi-lagi, tidak ada
indikator yang pas, bentuk demokrasi seperti apa yang dikatakan ‘demokrasi’ itu?
Ada dua jawaban sederhana, dalam sistem demokrasi ada pemilihan umum bebas dan
kebebasan untuk beroposisi dan berekspresi.
Saya
mengkristalkan argumen Sen, bahwa dalam demokrasi bisa ditarik dua variabel
mendasar, yaitu kebebasan politik dan hak-hak sipil. Keduahal itu adalah hak kodrati manusia sebagai makhluk
sosial. Kebutuhan ekonomi adalah turunan dari hak-hak itu sendiri. Jadi, saya
berpandangan bahwa kebutuhan ekonomi dan kebebasan politik tidak bisa diukur
sendiri-sendiri mana yang lebih penting.
Menarik
tapi kurang dapat saya pahami bahwa kebutuhan ekonomi dan kebebasan politik
adalah sebuah bentuk hubungan yang konstruktif. Kebebasan politik, termasuk di dalamnya
adalah dialog sosial politik yang sehat yang akan mengkonspetualisasikan apa
itu kebutuhan ekonomi. Disini saya tidak dapat memahami logika Sen. Kemudian
Sen berargumen bahwa demokrasi akan efektif tergantung bagaimana demokrasi
dipraktikkan. Ini menyetir otak kita kembali ke sebuah pertanyaan besar, acuan
apa yang digunakan untuk mempraktikkan demokrasi? Sen lagi-lagi menyebut bahwa
‘kepentingan instrumental’ mempunyai relasi dengan ‘peran konstruktif’.
Sen
mengambil contoh kasus India, bahwa dari demokrasi bisa ditarik kesetaraan
gender dan pendidikan dasar yang menjadi sumber utama kesempatan untuk
mobilitas sosial menuju keadilan sosial. Bila digambarkan democracy adalah a capabilities (gender equity and elementary
education) a social opportunity a social justice. Selanjutnya, in a democracy, people tend to get what they
demand, and more crucially do not typically get what they do not demand”
Saya
akan mengutip pidato Fidel Valdez Ramos pada November 1998 (di tulisan Sen),
yang begitu bagus dan menyentuh:
“Under dictatorial rule, people need not think – need not choose – need not make up their minds or their consent. All they need to do is to follow. This has been a bitter lesson learned from Philippine political experience of not so long ago. By contrast, a democracy cannot survive without civic virtue… The political challenge for people around the world today is not just replace authoritarianism regimes by democratic ones. Beyond this, it is to make democracy work for an ordinary people”.
Kata-kata
Fidel Valdez Ramos, terutama di bagian akhir sungguh patut direnungkan.
Kesimpulan saya, bahwa kebebasan politik dan hak-hak sipil yang merupakan
bagian dari demokrasi, adalah bagian penting yang tidak dapat dicabut dari
kehidupan manusia. Tetapi orang-orang, terutama orang-orang miskin, belum
menyadari bahwa dua itu adalah bagian dari kehidupan mereka sebelum kebutuhan
ekonomi mereka benar-benar tercukupi. Betapa baik dan sederhana sistem
demokrasi, sesungguhnya.
Gerakan
Mahasiswa dan Paradigma Kekirian
Jessica
Champagne langsung membuka tulisannya dengan premis yang menarik tanpa
basa-basi: Gerakan mahasiswa pasca-1998 di Indonesia sering dianggap sebagai
sebuah kondisi antiklimaks atau bahkan kegagalan (Champagne, 2005). Menurut Champagne, adalah salah interpretasi
jika konteks gerakan mahasiswa sekarang dianggap sebagai pengulangan sejarah
gerakan mahasiswa tahun 1998. Gerakan mahasiswa ‘saat ini’ adalah gerakan yang
ada karena kemenangan gerakan mahasiswa tahun 1998. Dalam artikel ini,
Champagne mengambil konteks mahasiswa yang tergabung dalam organisasi gerakan
di kampus-kampus, tepatnya di Yogyakarta.
Saya
banyak sepakat dengan apa yang dibahas Champagne dalam artikelnya. Gerakan
mahasiswa ‘saat ini’ banyak yang memakai jargon demokrasi dalam metode dan
taktik gerakannya. Konteks sederhananya, mahasiswa begitu gemar melabeli ‘ini
tidak demokratis’ ‘ini melanggar asas demokrasi’ ketika elite negara (atau
elite kampus) sebagai pemangku kebijakan, meluncurkan apa yang disebut
mahasiswa sebagai kebijakan yang tidak pro rakyat.
Mahasiswa
dalam konteks ini sangat kekirian dan anti-imperialis, mengkritik semua lembaga
pendanaan yang dekat dengan asing terutama dari Amerika Serikat. Di samping
itu, mahasiswa ‘mencari’ makna demokrasi yang khas Indonesia. Pandangan ini
berpadu, bahwa kapitalisme tidak bisa disandangkan dengan demokrasi karena
terdapat akumulasi modal di tangan elit. Model demokrasi yang dari Amerika
Serikat disebut sebagai ‘demokrasi kapitalis’ yang tidak membawa semangat
kerakyatan. Oleh karena itu, harus dipadukan dengan nilai-nilai asli Indonesia
yang sangat ‘sosialis’. Bila disarikan
dengan premis-premis sebelumnya, paradoks yang terjadi terdiri dari tiga
entitas: memakai jargon demokrasi, mengkritik demokrasi yang otentik (karena
dianggap imperial dan tidak berlandaskan kesetaraan), dan mencari model
demokrasi yang khas Indonesia. Ketiga entitas itu yang saya kritik dengan
mengacu pada tulisan Amartya Sen yang sudah saya urai di atas.
Paradigma
kekirian, ungkap Champagne, juga terlihat dari bagaimana gerakan mahasiswa
mengkonseptualisasikan ‘rakyat’. Rakyat dispesifikasikan sebagai ‘kaum lemah,
proletar, miskin dan tertindas’. Mahasiswa memiliki kecenderungan avant grade, seperti disebutkan di atas,
dan ketegangan antara perubahan yang berpusat pada kepeloporan massa dan elite
dalam sejarah Indonesia membuat paradigma kekirian tetap menjadi isu.
(Champagne, 2005)
Kritik
yang ingin saya sampaikan adalah bila berbicara contoh, mari kita garis bawahi
persoalan kemiskinan. Bahwa persoalan kemiskinan, erat dengan kata banyak.
Berpuluh-puluh tahun, berjuta-juta orang Indonesia menyandang predikat miskin.
Tetapi, bicara tentang kemiskinan, menurut hemat saya tidak hanya sebatas rakyat besar sebagai eksploitator, dan rakyat
kecil sebagai korban eksploitasi.
Memang
tidak dipungkiri, masyarakat miskin adalah korban dari kegagalan sistem politik
negara ini. Masyarakat miskin, rakyat kecil, yang merupakan bagian dari
kelompok mayoritas di negeri ini, diistilahkan dengan kelompok silent majority. Silent majority adalah
dampak dari proses depolitisasi pemerintah terdahulu—bahkan dari zaman kolonial
Belanda—masyarakat dijauhkan dari politik. Masyarakat, terutama masyarakat
miskin, menjadi apolitis dan menjadi objek pembangunan. Antitesis negara,
termasuk di dalamnya gerakan mahasiswa, berjuang mengatasnamakan silent majority ini. Dalam konteks
gerakan mahasiswa, seperti yang sudah sering saya singgung, objek perjuangannya
adalah rakyat yang mereka sebut tertindas.
Inilah
salah satu akar masalah yang perlu ditinjau kembali. Rakyat kecil tidak bisa
terus menerus jadi objek, bahkan objek perjuangan sekalipun. Silent majority juga berkaitan dengan
masalah mental si miskin yang tidak merdeka. Belenggu itu harus dilepaskan
dengan berhenti memperlakukan rakyat sebagai objek dan melibatkan masyarakat
dalam proses pengembangan—dimulai dari mengembangkan self-capacity masyarakat itu sendiri.
Pun,
rakyat besar tidak bisa langsung digeneralisir sebagai penindas rakyat kecil.
Gerakan mahasiswa, sebagai bentuk civil
society, pada praktiknya adalah sebagai penghubung negara dengan warganya.
Kekuasaan adalah hal yang rawan, sehingga patut untuk selalu diawasi dan
dikritisi. Tapi di sisi lain, membangun kepercayaan dari level akar rumput itu
penting. Sehingga generalisasi terhadap rakyat besar bisa diminimalisir dan
terjadi sinergisasi di kedua belah pihak. Masyarakat pun akan semakin kritis
dengan politik, kekuasaan di atas dapat terawasi, sehingga praktik-praktik
politik kotor akan semakin luntur. Sekali lagi, itu dapat tercapai ketika
masyarakat berhenti diberlakukan dan bermental sebagai objek.
Epilog
Sejak
duduk di bangku perkuliahan, saya melihat bentuk ‘protes’ dalam kehidupan
nyata. Tidak lagi melihat melalui surat kabar dan televisi, bahkan saya
terlibat langsung dalam usaha ‘protes’ terhadap ketidakadilan yang banyak
terjadi di negeri ini. Gerakan ‘protes’ ini disebut sebagai ‘gerakan mahasiswa’
karena aktor di dalamnya adalah kami, para mahasiswa.
Gerakan
mahasiswa di Indonesia mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah Indonesia.
Gerakan mahasiswa dua kali menumbangkan rezim, pertama rezim Soekarno tahun
1966, kedua rezim Soeharto tahun 1998. Kisah anak-anak muda pemberani inilah
yang menjadi inspirasi gerakan mahasiswa saat ini.
Tapi
sayang, gaung ‘protes’ gerakan mahasiswa di Indonesia semakin sepi. Para
mahasiswa yang terlibat di dalamnya pun seperti hilang arah, meskipun sulit
bagi mereka mengakuinya. Untuk meneriakkan ‘protes’ gerakan mahasiswa saat ini
sulit untuk menggandeng massa untuk bergerak. Massa mahasiswa di luar ‘para
aktivis’ itu pun mulai menganggap demonstrasi adalah hal yang kurang begitu
relevan di masa ini.
Buah
manis pergerakan akan didapat jika para pelaku gerakan mahasiswa segera menanam
dan merawat pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan zaman. Gerakan mahasiswa
bukanlah gerakan penerus, bukanlah gerakan pewaris. Jika terus menerus terbuai
sejarah angkatan lama persoalan kesejahteraan rakyat Indonesia akan terus
menjadi persoalan ‘yang biasa’. Gerakan mahasiswa akan semakin usang dan hanya
menjadi sebatas retorika, yang selalu marah kepada rakyat besar dan mengasihani
rakyat kecil.
Daftar Acuan:
Jessica
Champagne. “Kerakyatan, Imperialisme, dan Demokrasi: Analisis Wacana dan
Aktivitas Mahasiswa Menghadapi Desentralisasi Demokratis” dalam Gunawan, J.
and Sutoro, E. (Eds) [2005]
Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, Jakarta: LP3ES.
Amartya Sen.
Chapter 6 “The Importance of Democracy” Development as Freedom (New York:
Anchor Books, 1999): 146-60.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Politik 2011, Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar