Kamis, 15 Agustus 2013

Gerakan Mahasiswa: Paradigma Kiri dan Demokrasi Liberal

Tanggapan Untuk Daya Cipta S dalam artikel Berjudul “Gerakan Mahasiswa, Paradigma Kekirian, dan Demokrasi

Oleh Rio Apinino*

Gerakan mahasiswa selalu menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Aspek-aspek kesejarahan hingga gerakan mahasiswa kekinian yang coba dikonseptualisasikan ulang agar sesuai dengan ‘semangat zaman’ menjadi topik yang paling sering diperbincangkan. Dalam usaha untuk mengkonseptualisasikan gerakan mahasiswa era reformasi inilah tulisan Saudari Daya Cipta hadir dengan beberapa gagasannya. Adapun tulisan ini dibuat sebagai kritik terhadap beberapa gagasan dari tulisan tersebut.

Melampaui Demokrasi

Daya memulai tulisannya melalui sebuah pertanyaan: lebih penting mana, kebebasan politik atau kebutuhan ekonomi. Dengan menggunakan artikel Amartya Sen berjudul “The Importance of Democracy”, Daya sampai pada kesimpulan bahwa “kebebasan politik dan kebutuhan ekonomi tidak dapat diukur mana yang lebih penting”. Selain itu, Daya menekankan pentingnya demokrasi dalam meningkatkan kapabilitas hidup adalah melalui cara menekan pemerintah untuk memberikan hak-hak ekonomi kepada rakyat. Konkretnya, bagi Daya, cara tersebut hadir melalui pemilihan umum dan beroposisi terhadap pemerintah.

Saya sepakat dengan pernyataan bahwa kebebasan politik dan kebutuhan ekonomi tidak bisa perbandingkan. Namun, Daya dalam tulisannya justru memisahkan dua hal yang tidak bisa diperbandingkan tersebut dan lebih menitikberatkan pada kebebasan politik terlebih dahulu yang menjadi prasyarat dari terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Disini Daya terjebak dalam satu bentuk demokrasi: demokrasi prosedural.

Sumber: citiholic.blogspot.com 

Kebebasan politik dan kebutuhan ekonomi merupakan hal yang inheren dalam demokrasi. Demokrasi akan menjadi ideal ketika kebebasan politik dengan kebutuhan ekonomi berjalan beriringan, bukan dua hal yang terpisah dan memiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat), apalagi menganggap kebutuhan ekonomi sebagai turunan dari hak sipil politik sebagaimana yang Daya percaya. Dalam hal ini juga harus dimaknai apa yang dimaksud dengan ‘kebebasan politik’ dan ‘kebutuhan ekonomi’ itu. Dalam tulisan Daya saya mendapat kesimpulan bahwa yang diyakini Daya sebagai kebebasan politik rakyat hanya sebatas pada ‘hak untuk beroposisi dan berekspresi’ dan ‘kebutuhan ekonomi’ adalah wujud dari tuntutan kaum oposisi tersebut.

Selain itu, pemeriksaan terhadap struktur masyarakat yang dibangun atas dasar demokrasi juga harus diperiksa. Jika menggunakan logika yang dibangun Daya, maka kita akan mendapati seperti berikut: bahwa negara terdiri dari rakyat yang terbagi menjadi dua kelas besar –kelas atas (pemilik faktor produksi/borjuasi) dan kelas bawah (proletar). Pemerintah merupakan representasi dari kelas yang berhasil menguasai negara tersebut. Sistem demokrasi dibangun dalam kondisi yang demikian; rakyat yang tidak bisa mengakses negara diberikan hak-hak politiknya, yaitu hak untuk beroposisi, dan dengan hak untuk beroposisi tersebut rakyat diperbolehkan untuk menuntut negara yang sudah menjadi representasi kelas atas agar menyediakan hak atas ekonomi kepada mereka. Daya menganggap dengan kesadaran terhadap hak sipil dan politik yang tinggi dari rakyat, maka demokrasi yang demikian akan menjadi demokrasi yang ideal.

Dalam hal ini Daya yang sebenarnya paham bahwa sistem demokrasi yang ada saat ini hanyalah sistem yang dibangun dengan kepentingan pelanggengan status quo, tidak berusaha untuk melampaui hal tersebut. Pelampauan demokrasi, bagi saya, adalah mengembalikan semua kepada ranah perjuangan kelas. Selama negara  masih dikuasai kelas atas, maka tidak akan pernah ada demokrasi yang ideal.

Gerakan Mahasiswa Di Tengah Rezim Kapitalisme Neoliberal

Gerakan mahasiswa telah kehilangan tajinya. Semakin sepi, katanya. Saya setuju. Apa yang dikatakan Daya tentang penyakit ke-kiri-an gerakan mahasiswa dengan menempatkan rakyat sebagai objek pergerakan pun saya sangat mengamini. Pun dengan pernyataan tentang membangun kepercayaan di akar  rumput agar rakyat tidak a-politis. Disatu sisi, Daya mencoba memberikan padangan bahwa tidak lagi tepat menempatkan rakyat sebatas pada objek gerakan. Namun disisi lain Daya masih terjebak dalam mitos bahwa gerakan mahasiswa adalah kelas menengah yang menjadi penghubung antara rakyat dan negara. Katanya, “gerakan mahasiswa, sebagai bentuk civil society, pada praktiknya adalah sebagai penghubung negara dengan warganya”. Bagaimana mungkin melakukan pelepasan ide terhadap rakyat sebagai objek gerakan tetapi masih percaya bahwa mahasiswa adalah kelas menengah yang berkonsekuensi menjadi penghubung antara rakyat dan negara?

Sebagai usaha untuk mendemitologisasi mitos yang melekat pada gerakan mahasiswa, juga sebagai bahan referensi bagaimana menempatkan gerakan mahasiswa dalam konteks kapitalisme neoliberal saat ini, saya menggunakan artikel Suryadi Radjab berjudul “Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara – Gerakan Mahasiswa di Era Orde Baru”. Melalui studi historiografinya, Radjab sampai pada kesimpulan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang diciptakan oleh negara orde baru. Term-term seperti agen pengubah, pemimpin masa depan, kelas mengengah dan lain sebagainya pun merupakan ciptaan orde baru dalam rangka untuk mengkanalisasi gerakan mahasiswa. Artikel yang dibuat pada tahun 1991 tersebut malah terasa lebih relevan untuk saat ini. Gerakan mahasiswa sudah tidak boleh lagi terus menerus mereproduksi mitos-mitos yang diciptakan orde baru tersebut dan harus memulai analisa kritis tentang posisi mahasiswa di tengah-tengah struktur masyarakat.

Radjab menggunakan analisa kelas dari Marx untuk memeriksa posisi sosial mahasiswa. Bagi Radjab, mahasiswa lebih tepat dimasukkan dalam golongan pra-kelas (belum memasuki kelas sosial tertentu) karena mahasiswa belum secara langsung berhubungan dengan faktor produksi. Saya yang bersepakat dengan tesis Radjab ini melihat bahwa gerakan mahasiswa memang harus condong ke salah satu kelas, dan tentu kelas itu adalah kelas proletariat. Kecondongan ini tentu memiliki konsekuensi logis  terhadap gerakan, yaitu: mahasiswa tidak bisa lagi bergerak sendiri dan menempatkan rakyat sebagai objek gerakan. Dalam konsep Gramsci, mahasiswa haruslah menjadi intelektual organik yang bertugas untuk terus menerus menginjeksikan kesadaran kepada massa-rakyat agar berlawan, bukan semata menjadikan mereka tidak a-politis. Gerakan mahasiswa Indonesia tahun 80an adalah contoh terbaik untuk hal  ini.

Keberpihakan kepada kelas tersebut adalah konsekuensi logis pembacaan terhadap kapitalisme sebagai satu sistem ekonomi politik yang ada saat ini. Proyek emansipasi manusia sejati adalah proyek untuk melampaui kontradiksi kelas. Jadi, kecenderungan untuk berpihak pada ‘kaum lemah, proletar, miskin dan tertindas’ adalah konsekuensi logis atas pembacaan terhadap realitas ini, bukan semata atas dasar bahwa mereka adalah objek yang ‘sexy’ untuk diatas-namakan apalagi hanya sekedar kasihan. Sungguh anggapan seperti ini harus segera dibuang ketempat sampah.

Penutup


Gerakan mahasiswa nyatanya masih ada, meskipun sayup terdengar diantara gelombang gerakan rakyat lainnya. Sebagaimana yang dikatakan Daya, buah manis gerakan akan di dapat jika gerakan mahasiswa mampu untuk menyesuaikan diri dengan semangat zaman. Maka tugas gerakan mahasiswa hari ini adalah menemukan kembali dimana entitas gerakan mahasiswa di tengah arus zaman yang berubah, tentu dengan memeriksa dengan teliti basis material dimana ia bertumbuh.

Cap ‘ke-kiri-an’ yang diberikan Daya terhadap gerakan mahasiswa juga agaknya perlu ditinjau ulang karena cap yang diberikan Daya pun, bagi saya merupakan cap yang kurang tepat untuk mendefinisikan ‘kiri’. Kiri tidak bisa hanya diidentikkan dengan pro rakyat tertindas, anti imperialis, anti dana asing, dan anti anti lainnya. Ada seperangkat gagasan yang inheren dalam term kiri, yang dalam terminologi politik mengacu pada kritisisme. Pembacaan terhadap realitaslah yang membuat ‘ke-kiri-an’ yang dipahami Daya menjadi ‘kiri’ dalam arti sesungguhnya. Kalau penilaiannya sudah seperti itu, masih menilai ‘kiri’ sebagai kiri ya silakan. Tidak dosa juga toh berorientasi kiri?

***

Daftar Referensi

Radjab, Suryadi A. Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara – Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru  ; data didapat dari http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/08/panggung-mitologi-dalam-hegemoni-negara.html ; internet; diakses pada 15 Agustus 2013.

*Mahasiswa sastra UI 2010. Memiliki twitter dengan ID @rioapinino

Tidak ada komentar:

Posting Komentar