Pernah
diterbitkan sebelumnya di laman PRP Makassar. Dimuat ulang disini untuk tujuan
pendidikan
Pendahuluan
Satu
ketidakadilan utama yang sering dibuat orang Indonesia terhadap Marx dan
pemikiran-pemikirannnya adalah bahwa orang Indonesia amat gemar mengritik Marx
tanpa membaca sendiri karya-karya Marx secara langsung.
Ini
merupakan ketidakadilan yang luar biasa karena karya-karya Marx menuntut tiga
hal untuk dapat dipahami: (1) Penelaahan terhadap literaturnya yang ekstensif,
artinya membaca sendiri minimal sebagian besar karya-karyanya; (2) Pemahaman
akan situasi kesejarahan yang menjadi latar belakang penulisan karya-karya itu,
yang berarti pemahaman akan sejarah revolusi-revolusi Eropa dan sejarah gerakan
sosialis itu sendiri; (3) Praktek langsung di lapangan, di mana
konsepsi-konsepsi Marx diletakkan pada dimensi kemasyarakatannya seperti yang
diinginkannya – pada praksisnya. Tanpa ketiga komponen ini dilakukan secara
berimbang, mustahil seseorang akan mampu memahami Marxisme secara utuh.
Hal
yang sama berlaku pula bagi pemikir-pemikir Marxis yang menyusul Marx pada
masa-masa selanjutnya.
Maka,
kita harus heran kalau seseorang mengritik Marx (atau Trotsky, seperti yang
termuat dalam Driyarkara Thn. XXIV no. 4) dengan mengandalkan karya Kolakowsky
sebagai sumber – bahkan tanpa membaca cukup lengkap karya-karya asli dari
penulis yang dikritiknya. Tentu, penulis semacam itu akan memahami Kolakowsky,
bukan memahami Marx (atau Trotsky).
Tulisan
ini berusaha melihat bagaimana para teoritisi (yang harus sekaligus berarti
praktisi) Marxis abad keduapuluh menempatkan Marxisme pada praktek-praktek
mereka.
Kesalahan pertama: distorsi terhadap
perkembangan pemikiran Karl Marx secara umum
Setiap
orang berkembang, baik secara fisik maupun mental. Ini adalah fakta yang
empirik kita dapati sehari-hari di sekitar kita. Demikian pula Marx.
Setiap
perkembangan yang kita alami, sekali-kali, tidaklah mungkin datang dari langit.
Semua hal yang kita alami merupakan kelanjutan dan perkembangan dari
peristiwa-peristiwa yang telah kita alami di masa lalu. Pada saat ini kita
sedang merasakan akibat dari keputusan-keputusan kita di masa lalu, dan
keputusan-keputusan kita di masa ini akan berpengaruh besar (kalau bukan
menentukan) untuk keadaan kita di masa datang. Kita membuat
kesalahan-kesalahan, kita mengalami keterdesakan untuk mengambil keputusan
padahal kita belum siap, atau kita merasa siap padahal kita belum tahu apa yang
sebenarnya dibutuhkan untuk menjadi siap. Semua itu dialami oleh Marx.
Satu
kesalahan utama yang dibuat (hampir) semua orang yang menjatuhkan vonis
‘bersalah’ terhadap Marx adalah memandang Marx secara sepotong-sepotong. Ada
orang yang membaca filsafatnya saja, dengan mengabaikan kesimpulan-kesimpulan
yang dituliskannya berdasarkan pengalaman praktek politiknya. Ada orang yang
mengambil hanya satu bagian dari perjalanan sejarah hidup dan perjuangan Marx,
lalu menarik kesimpulan dari sepotong data itu – membuat kasus menjadi
kebenaran umum. Ada pula orang yang, karena meniru mentah-mentah taktik-taktik
Marx tanpa mempelajari bangunan filsafat di belakangnya, kemudian kecewa dan
menyalahkan seluruh bangunan teoritik dan filsafat Marx.
Sepanjang
hidupnya, Marx membuat banyak kesalahan. Salah satunya yang paling terkenal
(dan satu-satunya yang diakuinya secara terbuka) adalah kesalahannya dalam
memandang peran negara dalam kediktatoran proletariat yang akan datang. Apa
yang diuraikannya dalam Manifesto Komunis (1848) kemudian dibantahnya sendiri
setelah pengalaman Komune Paris (1871) – seperti yang akan kita lihat di bawah.
Selain itu, walaupun ia tidak mengakuinya secara eksplisit, ia menulis satu
kritik-diri yang tajam terhadap taktik-taktik yang diambilnya bersama Engels
dalam Revolusi Jerman 1848, yaitu dalam Addresses
to Central Committee of Communist League di bulan Maret dan Juni 1850.
Apa
yang dituliskan Marx, Anda boleh mengambil tulisan mana saja, bukanlah kata
mati. Semua dapat diperdebatkan dan diuji dalam praktek. Bahkan, satu-satunya
buah pemikirannya yang sampai saat ini masih tak tergoyahkan, pandangan
materialis terhadap dunia (die
materialistisch Weltanschauung), Materialisme yang Dialektik dan Historis,
masih akan mengalami guncangan hebat ketika kelak The Grand Unifying Theory – teori yang menyatukan teori gravitasi,
weak force, strong force dan elektromagnetik – telah ditemukan orang, yang
berarti orang akan memahami hakikat dari konsep kurvatur ruang-waktu.
Sekalipun
demikian, walau The Grand Unifying Theory
itu sendiri telah ditemukan, kemungkinan besar teori itu hanya akan dapat
dipraktekkan dalam keadaan pemadatan yang luar biasa, yang menyatukan seluruh
energi dan materi alam semesta ini menjadi sebesar bola golf saja. Itu bukanlah
hal yang terjadi sehari-hari. Maka, sama seperti teori Newton masih cukup untuk
menjelaskan kejadian sehari-hari, MDH masih akan berlaku sebagai kebenaran umum
untuk menjelaskan kejadian-kejadian sosial – termasuk Marx dan perkembangan
pemikirannya.
Tak
ada jalan lain untuk memahami Marxisme kecuali dengan menerapkan MDH itu
sendiri untuk menelaahnya. Segala keputusan yang diambil seorang Marx (atau,
dalam pengertian ini, setiap penganut Marxisme) harus dibedah dengan melihat
latar belakang sejarah yang mendasari pengambilan keputusan-keputusan tertentu
di saat-saat tertentu.
Tulisan-tulisan
dalam Driyarkara edisi no. 4 Thn. XXIV, terutama yang mencoba mendeskripsikan
Trotsky dan Bloch, terjebak dalam kesalahan mendasar ini. Walaupun kesalahan
ini masih mengandung kesalahan tingkat dua, yaitu tidak mempelajari karya-karya
asli dari penulis yang hendak dikritik. Kritik yang dituliskan di sana hanyalah
merupakan ringkasan (summary) dari kesalahan-kesalahan Kolakowsky dalam melihat
pemikiran-pemikiran Marxis. Akibatnya, kita tidak dapat menangkap konteks dari
penulisan teori-teori itu. Bahkan, tidak satupun kita melihat perbandingan
antara pemikiran tokoh-tokoh itu dengan apa yang dipikirkan oleh Marx dalam
konteksnya sendiri. Kesalahan ini masih diperbesar lagi, walau ini juga
kesalahan turunan dari Kolakowsky, dengan manipulasi-manipulasi data secara
terang-terangan – karena setiap orang yang cukup kritis akan segera dapat
mengajukan uji silang terhadap data-data Kolakowsky. Contohnya adalah perujukan
terhadap karya Trotsky, In Defense of
Terrorism. Trotsky ada menulis pamflet tebal, In Defense of October, yang berisi telaahnya tentang hakikat Negara
Uni Sovyet pasca naiknya Stalinisme, dan Why
Marxists Oppose Individual Terrorism?, di mana ia membantai teori kaum
Narodnik yang mengandalkan unit elit bersenjata sebagai garda depan revolusi.
Tapi saya tidak berhasil menemukan buku berjudul termaksud oleh penulis.
Mungkinkah ada teks Trotsky yang selama ini tersembunyi dan hanya Kolakowsky
yang mengetahuinya sampai sekarang?
Kesalahan kedua: distorsi pandangan
tentang negara
Apa
yang paling ditakuti orang dari konsepsi-konsepsi Marx? Mungkin jawabannya
tercermin dalam Driyarkara No. 4 Thn. XXIV yang telah disinggung di atas:
kediktatoran proletariat. Karena konsepsi tegas tentang kediktatoran ini, Marx
kemudian dicap “otoriter” (oleh Foucault) dan para pemikir Marxis utama
(seperti Lenin dan Trotsky) dicap “membenci demokrasi”, lalu pandangan para
pemikir pembaharu Marxis dicap sebagai “berhadapan dengan konsep-konsep Marx”.
Tidak
sesederhana itu. Karena, di antara banyak konsepsi Marx, konsepsi tentang
“kediktatoran kelas” merupakan konsepsi yang paling jarang dipahami tuntas.
Sebelum
kita melihat konsepsi “kediktatoran proletariat” itu, kita harus terlebih
dahulu melihat konsepsi Marx tentang negara.
Pandangan
Marx yang matang tentang negara dapat dilihat dalam karyanya Civil War in France. Walaupun ia telah
memiliki satu konsepsi awal tentang negara, seperti yang dikemukakannya dalam The German Ideology,
“Melalui emansipasi kepemilikan pribadi
dari komunitas, Negara telah menjadi suatu badan yang terpisah, berdiri di
samping dan di luar masyarakat sipil; tapi ia tidaklah lebih sebagai bentuk
organisasi yang perlu diadopsi oleh kaum borjuasi baik untuk keperluan internal
maupun eksternal; untuk bersama-sama menjamin kepemilikan dan kepentingan
mereka… Karena Negara adalah bentuk di mana individu-individu kelas penguasa
menyatakan kepentingan bersama mereka, dan di mana seluruh masyarakat sipil
dalam satu epos tertentu disatukan, selanjutnya bahwa Negara menjadi perantara
dalam pembentukan semua lembaga bersama dan bahwa lembaga-lembaga itu menerima
satu platform politik. Dari sanalah timbul ilusi bahwa hukum didasarkan pada
kehendak, bahkan pada kehendak yang dipisahkan dari basis riilnya – pada
kehendak bebas. Mirip dengan itu, keadilanpun direduksi pada hukum-hukum yang
diberlakukan.”
dan
juga dalam Manifesto Komunis,
“Kita telah melihat di atas bahwa
langkah pertama dalam revolusi oleh kelas pekerja adalah untuk menaikkan kaum
proletariat ke kedudukan kelas berkuasa untuk memenangkan pertempuran demi
demokrasi... Kaum proletariat akan menggunakan supremasi politiknya untuk
merebut, tahap demi tahap, semua kapital dari tangan borjuasi, untuk memusatkan
semua alat produksi di tangan negara, yaitu, proletariat yang terorganisir
sebagai kelas berkuasa; dan untuk meningkatkan kekuatan-kekuatan produktif
total secepat yang dimungkinkan.”
Namun,
konsepsi itu masih agak mengambang. Satu-satunya rujukan mengenai negara adalah
bahwa negara adalah pengorganisiran satu kelas untuk berkuasa. Konsepsi Marx
tentang negara baru terbentuk secara utuh setelah ia terlibat dalam
revolusi-revolusi di tahun 1848 (Revolusi Februari di Perancis dan Revolusi
Juni di Jerman). Dan pemahaman itu menjadi matang dan bulat setelah Komune
Paris 1871. Bandingkanlah rumusan yang dituliskan dalam Manifesto itu dengan
yang ini:
“Dekrit pertama dari Komune, dengan
demikian, adalah penindasan terhadap tentara reguler, dan menggantikannya
dengan rakyat yang dipersenjatai. Setelah menyingkirkan tentara reguler dan
polisi – unsur kekuatan fisik dari pemerintah lama – Komune dengan segera
mematahkan kekuatan represi spiritual, “kekuatan para pendeta”, dengan
pembubaran dan pelucutan gereja dari keeksklusifan lembaganya. Para pendeta
dikirim kembali pada perenungan kehidupan pribadi, untuk menyantap
kebijaksanaan dari orang-orang kudus dalam upaya mereka meniru para pendahulu
mereka, para rasul. Seluruh lembaga pendidikan dibuka secara bebas untuk semua
orang, dan sekaligus dibersihkan dari semua campur tangan gereja dan negara.
Dengan demikian, bukan hanya pendidikan dibuat agar dapat dimasuki semua orang,
tapi ilmu pengetahuan itu sendiri dibebaskan dari belenggu yang telah diikatkan
kepadanya oleh prasangka kelas dan kekuatan pemerintah.”
Pelajaran
dari Komune Paris ini menyempurnakan konsepsi Marx tentang negara dan, dengan
demikian, menyempurnakan juga konsepsinya tentang revolusi dan kediktatoran
proletariat.
Maka,
negara dalam pandangan Marx adalah tentara (kekuatan fisik), hukum dan
birokrasi (kekuatan kelembagaan) dan agama (kekuatan spiritual) yang berdiri
terpisah dari massa, menguasai massa dan bukannya sebagai perwujudan dari
kepentingan massa.
Secara
konsepsional (walau sesungguhnya bukti-bukti empirik tentang hal ini sangatlah
berlimpah), keberadaan hal semacam ini hanya dapat terjadi jika masyarakat
terbelah menjadi bagian-bagian yang kepentingannya saling bertentangan satu
sama lain. Dan, pertentangan itu harus sangat mendasar sehingga diperlukan badan-badan
permanen untuk mencegah pertentangan itu meledak dan menghancurkan seluruh
tatanan yang ada. Pertentangan tak terdamaikan macam itu hanya ada dalam
pertentangan kelas: antara mereka yang dieksploitasi dengan mereka yang
mengeksploitasi. Negara, sebagai badan yang berdiri terpisah dari masyarakat,
hanya dapat mempertahankan keberadaannya jika ia melayani kelas yang berkuasa
–apakah itu kelas yang menghisap atau kelas yang dihisap. Dan, selama ini,
bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa negara melayani kepentingan kaum yang
menghisap. Sayang sekali, bukan jatah tulisan ini untuk mengajukan bukti-bukti
tersebut, yang dapat menjadi satu buku tersendiri jika diajukan secara lengkap.
Dengan
demikian, Negara akan melenyap jika senjata, hukum dan birokrasi dan agama
kembali ke tengah massa dan menjadi perwakilan dan pembela sejati dari
kepentingan rakyat pekerja.
Kesalahan ketiga: distorsi terhadap
konsepsi kediktatoran proletariat
Melanjutkan
telaah kita tentang negara, kita harus melihat pula konsepsi kedikatoran
proletariat.
Maka,
revolusi, yang merupakan perebutan terhadap negara, berarti perebutan
penguasaan terhadap tentara, terhadap hukum dan birokrasi dan terhadap agama.
Revolusi proletar memiliki satu dimensi lain, yang lebih tinggi daripada revolusi-revolusi
sebelumnya, yaitu pengembalian kendali atas senjata, atas hukum dan birokrasi
dan atas agama ke tangan massa rakyat. Kalau tadinya senjata, hukum dan
birokrasi dan agama dikendalikan oleh segelintir orang yang memang khusus
bertugas (secara eksklusif) untuk itu, setelah revolusi proletariat massa
rakyatlah yang mengendalikannya. Apa yang disebut “demokrasi partisipatoris”
yang sejati sesungguhnya tidak lain daripada “kediktatoran proletariat”:
“Belakangan ini, kaum sosial-demokratik
yang terbelakang kembali dipenuhi rasa takut pada istilah: Kediktatoran
Proletariat. Baik, tuan-tuan, apakah kalian ingin tahu seperti apa kediktatoran
ini macamnya? Lihatlah pada Komune Paris. Seperti itulah Kediktatoran
Proletariat. Baiklah, tuan-tuan, seperti apa macamnya Komune Paris itu?”
Ini
ada kutipan kecil sekedar untuk appetizer, sebelum Anda membaca sendiri Civil
War in France. Sungguh, sebelum membaca sendiri karya itu, Anda tidak akan
pernah mendapatkan gambaran yang lumayan utuh mengenai konsepsi Marx tentang
negara.
“Komune dibentuk dari utusan-utusan
dewan distrik yang dipilih melalui hak pilih umum di segala tingkatan kota,
memangku jabatan dan dapat dicabut mandatnya dalam jangka yang pendek.
Mayoritas anggotanya secara alami adalah kaum pekerja, atau wakil yang diakui
oleh kaum pekerja. Komune dijadikan satu badan pekerja, bukannya badan
parlementer, sekaligus merupakan badan eksekutif dan legislatif. Bukannya terus
menjadi agen dari Pemerintahan Sentral, polisi langsung dilucuti dari atribut
politiknya, dan diubah menjadi agen yang bertanggung jawab pada, dan mandatnya
dapat dicabut sewaktu-waktu oleh, Komune. Demikian pula dengan semua pejabat
dari cabang-cabang administratif lain. Dari mulai anggota Komune ke bawah,
pelayanan masyarakat harus dilakukan dengan penggajian yang setara dengan upah
seorang pekerja. Kelompok kepentingan dan tunjangan perwakilan dari para
pejabat tinggi negara hilang bersamaan dengan hilangnya para pejabat tinggi
negara itu. Fungsi-fungsi publik berhenti menjadi milik pribadi dari alat-alat
Pemerintahan Pusat. Bukan hanya administrasi daerah, tapi seluruh inisiatif
yang sampai saat ini berada di tangan negara dipindahkan ke tangan Komune.”
Dalam
satu sketsa organisasi nasional, yang Komune tidak memiliki waktu untuk
mengembangkannya, mereka menyatakan dengan tegas bahwa Komune akan dijadikan
bentuk politik dari unit desa yang terkecil, dan bahwa di daerah pedesaan
tentara reguler akan digantikan oleh milisia nasional, dengan satu masa jabatan
yang amat, sangat pendek. Komunitas-komunitas pedesaan di setiap distrik akan
menangani persoalan-persoalan bersama mereka dengan sebuah dewan yang terdiri
atas utusan-utusan yang dikirim ke satu kota sentral, dan dewan distrik ini
kemudian akan mengirim utusan-utusan ke Delegasi Nasional di Paris, tiap utusan
dapat digantikan sewaktu-waktu dan terikat pada mandat imperatif (instruksi
formal) dari para pemilihnya. Beberapa fungsi penting yang tersisa dari
pemerintahan pusat tidak akan diambil alih, seperti yang semula keliru
diniatkan, tapi akan dibubarkan oleh Komune dan agen-agen lainnya yang
bertanggung jawab kepadanya.
Uraian
yang sederhana ini mengandung prinsip-prinsip dasar yang rumit dari bentuk
kediktatoran proletariat, seperti yang disarikan Marx dari Komune Paris:
“Struktur dasar dari kediktatoran
proletariat ini adalah Dewan Pekerja yang anggota-anggotanya dipilih oleh kelas
pekerja itu sendiri di berbagai tingkatan pengorganisiran. Mirip dengan RT/RW
di sini, yang dibebaskan dari kendali pemerintah pusat, diperluas dan dinaikkan
tingkatannya ke tingkatan nasional sebagai penguasa sejati negara itu sendiri.
Anggota dewan di tingkatan terbawah ini, tentu saja, adalah seluruh rakyat di
wilayah yang menjadi unit administrasi terkecil di negeri tersebut. Praktisnya:
dewan RT memilih utusan untuk dikirim ke dewan RW, dewan RW memutuskan siapa
yang akan dikirim ke dewan kelurahan, dewan kelurahan memutuskan siapa yang
akan menjadi anggota dewan kecamatan, dari kecamatan ke kabupaten, dari
kabupaten ke propinsi, dan dari propinsi ke tingkatan nasional. Pemilu
sepanjang tahun di tingkatan RT.
...
Tiap utusan tidak memiliki hak politik
atau ekonomi yang istimewa dari anggota kelas pekerja yang lain. Ia hanya
boneka dari dewan yang mengutusnya. Gajinya pun setara dengan pekerja pabrik.
Dan karena ia hanya boneka maka, selain masa jabatannya sangat pendek, ia dapat
ditarik sewaktu-waktu oleh dewan yang mengutusnya.
...
Sebagai konsekuensi dari point (1) dan
(2), dewan di tingkat terbawah harus rutin bertemu, dalam interval yang sangat
pendek, untuk terus memasok keputusan-keputusan yang akan diperjuangkan oleh
utusan-utusan mereka di tingkatan yang lebih tinggi. Dewan di tingkatan
terbawah memiliki tugas yang terberat karena mereka harus mengambil keputusan
sendiri mengenai persoalan lokalnya tapi juga membicarakan tentang persoalan
distrik dan nasional karena harus memberi instruksi pada utusan-utusan yang
mereka kirim ke tingkatan yang lebih tinggi.
...
Keputusan dari dewan yang lebih tinggi
tingkatannya, dengan demikian, akan diambil secara demokratis karena keanggotaan
dewan itu diambil dari utusan dewan-dewan di bawahnya. Karena keputusan diambil
secara demokratis, pelaksanaannya secara sentral akan jauh lebih mudah dan
tidak membutuhkan kekuatan pemaksa. Inilah sentralisme-demokratik, satu sistem
kenegaraan yang revolusioner, yang membutuhkan penghancuran cara pandang lama
terhadap demokrasi liberal yang hanya menguntungkan kelas penindas yang
minoritas.
...
Karena keputusan-keputusan yang diambil
oleh dewan akan dijalankan sendiri oleh mereka maka badan-badan reguler,
seperti pekerja administrasi tetap atau tentara reguler, tidak diperlukan lagi.
Orang-orang yang ditunjuk oleh dewan untuk mengerjakan tugas administrasi dan
keamanan dikenai aturan yang sama dengan utusan-utusan dewan yang lain: masa
kerjanya sangat pendek dan mandatnya dapat dicabut sewaktu-waktu.”
Lalu,
di mana kediktatorannya? Kediktatorannya terletak pada keharusan dewan ini
untuk menangkal semua kemungkinan bangkitnya reaksi dari kaum borjuasi. Selama
kepemilikan pribadi belum terhapuskan oleh proses sejarah yang dipicu melalui
dewan-dewan komune ini, kemungkinan reaksi kaum borjuasi selalu masih ada. Dan
reaksi kaum borjuasi selalu mengambil bentuk yang berdarah. Karena, sekalipun
merupakan upaya mempertahankan diri, hal itu melibatkan penindasan, yaitu
pelarangan terhadap “hak hidup” kapitalisme, maka jelaslah bahwa komune itu
menyusun sebuah kediktatoran. Dalam hal ini Marx jelas lebih jujur dari semua
apologi borjuasi yang menepuk dada bahwa “demokrasi”-nya adalah demokrasi
sejati, padahal suara rakyat hanya didengar lima tahun sekali.
Jadi,
bentuk Kediktatoran Proletariat adalah dasar bagi proses untuk melenyapnya
negara itu sendiri. Ia mengembalikan alat-alat represi ke tangan rakyat, untuk
digunakan bersama-sama secara demokratis menangkal semua bentuk kontra-revolusi
kaum borjuasi. Setelah kelas borjuasi dapat dihancurkan, yaitu,
anggota-anggotanya dikembalikan menjadi orang-orang yang bekerja, kediktatoran
proletariat itu tidak diperlukan lagi.
Kesalahan keempat: distorsi terhadap
konsepsi keniscayaan kemenangan Proletariat
Para
kritikus Marx melihat bahwa kemenangan kaum proletariat dan sosialisme yang
menyusulnya adalah satu utopia –mimpi indah tentang negeri antah-berantah.
Bahkan, lebih jauh lagi, menurut saya terlalu jauh, Franz-Magnis Suseno
menyamakan imaji yang dibangun Marx dengan imaji yang dibangun oleh tradisi
Injil.
Persoalannya
sesungguhnya tidak sesederhana itu. Sekali lagi, kita harus melihat Marx dan
poertumbuhan yang dialaminya sejalan dengan praktek-praktek revolusioner yang
dilancarkannya. Setiap orang yang pernah turun ke jalan, apalagi mereka yang
membangun keseluruhan gerakan demokrasi di Indonesia sejak “jaman susah”
dahulu, tentu memahami bahwa setiap unsur dari gerakan selalu mengalami
perubahan. Perubahan baik dari cara pandang, cara bertindak;
perubahan-perubahan dalam memandang idealisme dan perjuangan, perubahan dalam
memandang dunia. Mereka yang hanya berfilsafat sambil duduk di kursi empuk
tentu tidak akan memahami hal ini; mereka yang membawa filsafatnya ke lapangan
dan mempraktekkannya akan melihat bagaimana kawan menjadi lawan, lawan menjadi
sekutu, aliansi terbentuk dan pecah, kekecewaan dan disilusi menggantung di
cakrawala sementara fajar kemenangan yang diharapkan tak kunjung tiba…. Semua
ini adalah dinamika pergerakan sosial itu sendiri.
Marx
pun mengalaminya. Dan sangatlah naif bagi kita untuk memukul rata
tulisan-tulisan yang dibuat Marx di kala mudanya, ketika semangat membara dari
seorang revolusioner muda masih membakar tulisan-tulisannya, dengan apa yang
dituliskannya setelah ia ditempa dalam tungku api revolusi itu sendiri. Sekali
lagi, untuk memahami Marx, kita tidak dapat mengambil pemikirannya secara
sepotong-sepotong, apalagi jika kemudian dilepaskan dari konteksnya.
Manifesto
memang memuat ramalan yang gagah-berani,
Kejatuhan
kaum borjuasi dan kemenangan kaum proletar adalah sama-sama tak terhindarkan.
Namun
demikian, berbeda dengan banyak filsuf lain yang berpuas diri setelah merasa
menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan kehidupan yang diajukakannya
sendiri, Marx turun langsung ke lapangan untuk mewujudkan apa yang
diajarkannya. Practice what you preach, demikian sering kita dengar balasan
sarkastik dari orang-orang lapangan terhadap para pengkotbah yang berkotbah
sambil berdiri di posisi aman di luar lingkaran pergolakan.
Marx
kemudian mengalami serangkaian kegagalan yang memaksanya untuk mengadakan
kritik diri. Sama seperti yang dialami kaum budak dan kaum tani-hamba, kaum
proletariat juga menghadapi persoalan pengorganisiran yang buruk, pengkhianatan
para pemimpin yang terbeli oleh bujukan dan uang suap dari para penindasnya,
kesalahan-kesalahan taktik dan strategi di lapangan, dan lain-lain kesulitan
terutama karena mereka tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk membiayai
perjuangan jangka panjang kecuali militansi mereka. Marx pun bukan seorang yang
naif, karena itulah, tulisan-tulisannya pada masa-masa pergolakan revolusioner
juga mencerminkan semangat jamannnya: dipenuhi dengan perdebatan tentang taktik
dan strategi. Ini bukan berarti ia meninggalkan filsafat, seperti yang sering
dituduhkan orang.
Khususnya,
Marx mengalami kesulitan karena ternyata perkembangan kapitalisme tidak
berlangsung merata seperti yang ia bayangkan semula. Baru saja Manifesto
ditulis, Marx sudah harus berhadapan dengan kenyataan bahwa perkembangan
kapitalisme di Jerman tidak berlangsung mulus dan, sebagai akibat dari
terbelakangnya kapitalisme Jerman itu, kaum borjuasinya juga penakut dan
terbelakang. Kaum borjuasi Jerman lebih suka berkongkalikong dengan kaum feudal
daripada bekerja sama dengan kaum proletar untuk menyapu bersih sisa-sisa
feudalisme dan absolutisme dari bumi Jerman. Ini adalah dasar dari teori
“revolusi permanen” dan apa yang kemudian disebut oleh Lenin sebagai , dan
revolutionary democratic-dictatorship of the proletariat and peasantry.
Tindakan
politik terakhir yang ditempuh Marx adalah upaya mati-matian untuk memahami
kapitalisme itu sendiri. Marx merasa bahwa kegagalannya disebabkan oleh
kekurangpahaman dirinya, dan juga seluruh gerakan buruh, terhadap musuh yang
mereka hadapi. Dari situlah Marx kemudian sadar akan kemampuan kapitalisme
untuk melenting keluar dari krisis. Ia sadar bahwa krisis 1847 bukanlah krisis
umum, melainkan krisis khusus. Sehingga revolusi 1848 belumlah dapat diharapkan
untuk menggulingkan kapitalisme secara tuntas.
Demikian
pula dengan krisis 1920-an, yang benar-benar nyaris menghancurkan seluruh
tatanan kapitalisme. Kelirulah kalau orang mengira bahwa krisis ini adalah
krisis umum yang akan membawa keniscayaan kemenangan proletariat termaksud.
Krisis umum ini baru akan terjadi ketika kapitalisme mencapai kematangannya,
seperti yang telah dijabarkan dalam Manifesto,
“Kaum borjuasi terus-menerus
menyingkirkan keadaan populasi, alat-alat produksi dan kepemilikan yang
terpencar-pencar. Ia telah mengikat seluruh populasi, memusatkan alat-alat
produksi, dan mengkonsentrasikan kepemilikan di tangan segelintir orang.
Sebagai akibat langsungnya adalah pemusatan kekuatan politik. Propinsi-propinsi
yang mandiri, atau setidaknya hanya terhubung secara longgar, dengan
kepentingan, undang-undang, pemerintahan dan sistem pajak yang berbeda-beda,
telah ditumpuk menjadi satu bangsa, dengan satu pemerintahan, satu kitab hukum,
satu kepentingan kelas secara nasional, satu batas negara, dan satu sistem
cukai.”
Kesalahan
yang dibuat Marx masa itu adalah bahwa, ternyata, bukan di tingkat nasional
konsentrasi itu akan mematangkan kapitalisme, melainkan di tingkat
internasional: Imperialisme.
Dan
saat ini imperialisme sedang berusaha mematangkan dirinya, dengan mendobrak
batas-batas nasional dan mengubah pemerintahan-pemerintahan nasional menjadi
pelayan modal internasional. Bahkan, lebih jauh lagi, modal internasional telah
berusaha untuk melebur negera-negara nasional itu ke dalam satu super-state,
blok perdagangan yang dikendalikan satu pemerintahan pusat, semacam Uni Eropa.
Belum,
tuan-tuan, kita belum mengetahui apakah ramalan Marx meleset atau tidak. Uni
Sovyet dan banyak negara sosialis lainnya gagal. Hal yang biasa dalam
pergulatan hidup di dunia. Revolusi Perancis, setelah berhasil menggulingkan
negara feudalnya, terpaksa mengalami masa-masa berat di bawah Napoleon
Bonaparte, dan kemudian dinasti Bourbon pun berhasil direstorasi oleh
kekuatan-kekuatan monarkis. Demikian pula halnya yang terjadi dengan revolusi
1848, di mana kaum borjuasi gagal menggulingkan negara feudal Jerman. Malah,
penyatuan Jerman sebagai satu negara-bangsa terjadi di bawah Kekaisaran Prusia,
bukan di bawah sebuah republik. Kita toh melihat bahwa kapitalisme tidak
terhindarkan. Eposnya sudah tiba.
Demikian
pula dengan sosialisme. Uni Sovyet memang gagal, kegagalan yang sangat
disayangkan tapi memberi kita semua kesempatan untuk memulai dari nol. Mencari
sebab-sebab kegagalannya dan belajar dari situ. Kita kini tahu bahwa revolusi
proletar adalah hal yang mungkin, kita kini tahu bahwa negara proletar adalah
sesuatu yang mungkin. Pada siklus dialektika yang berikutnya, kita harus
menggali semua pelajaran yang kita dapat dari pengalaman Uni Sovyet dan
menggunakannya demi pembangunan sebuah negeri sosialis yang sejati.
Persoalan
yang sebenarnya lebih mendasar adalah kapitalisme itu sendiri telah membawa
begitu banyak korban dan kesengsaraan di muka bumi ini. Kita melihat banyak
penyelewengan di Uni Sovyet, tapi lihatlah kekejaman yang dilakukan lebih
banyak lagi rejim kapitalis di dunia. Amerika Serikat sendiri memiliki sejarah
yang amat gelap berkaitan dengan hak asasi manusia. Sampai tahun 1960-an kaum
kulit hitam di sana masih secara resmi didiskriminasi, begitu banyak perang
yang disponsori Amerika Serikat, begitu banyak rejim otoriter yang didukung
oleh Amerika Serikat.
Kapitalisme
bukanlah akhir dari sejarah. Tapi, seperti yang dikatakan Marx, manusia
sendirilah yang membuat sejarah itu bergulir. Kaum budak Romawi, karena mereka
tidak mampu mematahkan tiang-tiang negaranya, gagal membawa masyarakat Romawi
bebas dari perbudakan, malah peradaban tinggi Romawi hilang ditelan
barbarianisme dari bangsa-bangsa penjarah Eropa Tengah. Kalau kaum buruh tidak
mampu mematahkan belenggu-belenggunya secara revolusioner, barbarianisme itu akan
kembali dengan kualitas yang jauh lebih tinggi. Revolusi proletar akan
memangkas jalur penderitaan yang harus dilalui oleh seluruh rakyat pekerja.
Dengan kendali negara berada di tangan kaum pekerja itu sendiri, proses
industrialisasi akan berlangsung manusiawi dan demokratis.
***
Adalah
tugas, beban sejarah, yang kini dipanggul kaum sosialis di seluruh dunia untuk
menjamin bahwa proses revolusioner ini tidak akan mengulang kesalahan-kesalahan
yang pernah terjadi di Uni Sovyet dan negara-negara sosialis yang pernah ada di
muka bumi ini.
Konsekuensi logis yang dijadikan konsekuensi empiris seringkali fatal akibatnya... Bhw konsekuensi logis dari Marxisme adalah memberi tempat utama pd 'yg material' tidak lantas dapat disimpulkan bhw secara empiris ia HARUS diikuti pula.
BalasHapusMaka Tan dan sebagian bapak bangsa yg serius bergulat dgn Marxisme lbh sadar bhw antara Marxisme dan agama bukan dua hal yang dapat dipertentangkan. Yang satu bergerak di domain sains, yg lain di domain doktrin. Two different level.