Kamis, 10 April 2014

Marx dan Marxisme : Kritik terhadap Kritik terhadap Marxisme

Pernah diterbitkan sebelumnya di laman PRP Makassar. Dimuat ulang disini untuk tujuan pendidikan

Pendahuluan

Satu ketidakadilan utama yang sering dibuat orang Indonesia terhadap Marx dan pemikiran-pemikirannnya adalah bahwa orang Indonesia amat gemar mengritik Marx tanpa membaca sendiri karya-karya Marx secara langsung.
 
Ini merupakan ketidakadilan yang luar biasa karena karya-karya Marx menuntut tiga hal untuk dapat dipahami: (1) Penelaahan terhadap literaturnya yang ekstensif, artinya membaca sendiri minimal sebagian besar karya-karyanya; (2) Pemahaman akan situasi kesejarahan yang menjadi latar belakang penulisan karya-karya itu, yang berarti pemahaman akan sejarah revolusi-revolusi Eropa dan sejarah gerakan sosialis itu sendiri; (3) Praktek langsung di lapangan, di mana konsepsi-konsepsi Marx diletakkan pada dimensi kemasyarakatannya seperti yang diinginkannya – pada praksisnya. Tanpa ketiga komponen ini dilakukan secara berimbang, mustahil seseorang akan mampu memahami Marxisme secara utuh.

Hal yang sama berlaku pula bagi pemikir-pemikir Marxis yang menyusul Marx pada masa-masa selanjutnya.

Maka, kita harus heran kalau seseorang mengritik Marx (atau Trotsky, seperti yang termuat dalam Driyarkara Thn. XXIV no. 4) dengan mengandalkan karya Kolakowsky sebagai sumber – bahkan tanpa membaca cukup lengkap karya-karya asli dari penulis yang dikritiknya. Tentu, penulis semacam itu akan memahami Kolakowsky, bukan memahami Marx (atau Trotsky).

Tulisan ini berusaha melihat bagaimana para teoritisi (yang harus sekaligus berarti praktisi) Marxis abad keduapuluh menempatkan Marxisme pada praktek-praktek mereka.

Kesalahan pertama: distorsi terhadap perkembangan pemikiran Karl Marx secara umum

Setiap orang berkembang, baik secara fisik maupun mental. Ini adalah fakta yang empirik kita dapati sehari-hari di sekitar kita. Demikian pula Marx.

Setiap perkembangan yang kita alami, sekali-kali, tidaklah mungkin datang dari langit. Semua hal yang kita alami merupakan kelanjutan dan perkembangan dari peristiwa-peristiwa yang telah kita alami di masa lalu. Pada saat ini kita sedang merasakan akibat dari keputusan-keputusan kita di masa lalu, dan keputusan-keputusan kita di masa ini akan berpengaruh besar (kalau bukan menentukan) untuk keadaan kita di masa datang. Kita membuat kesalahan-kesalahan, kita mengalami keterdesakan untuk mengambil keputusan padahal kita belum siap, atau kita merasa siap padahal kita belum tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk menjadi siap. Semua itu dialami oleh Marx.

Satu kesalahan utama yang dibuat (hampir) semua orang yang menjatuhkan vonis ‘bersalah’ terhadap Marx adalah memandang Marx secara sepotong-sepotong. Ada orang yang membaca filsafatnya saja, dengan mengabaikan kesimpulan-kesimpulan yang dituliskannya berdasarkan pengalaman praktek politiknya. Ada orang yang mengambil hanya satu bagian dari perjalanan sejarah hidup dan perjuangan Marx, lalu menarik kesimpulan dari sepotong data itu – membuat kasus menjadi kebenaran umum. Ada pula orang yang, karena meniru mentah-mentah taktik-taktik Marx tanpa mempelajari bangunan filsafat di belakangnya, kemudian kecewa dan menyalahkan seluruh bangunan teoritik dan filsafat Marx.

Sepanjang hidupnya, Marx membuat banyak kesalahan. Salah satunya yang paling terkenal (dan satu-satunya yang diakuinya secara terbuka) adalah kesalahannya dalam memandang peran negara dalam kediktatoran proletariat yang akan datang. Apa yang diuraikannya dalam Manifesto Komunis (1848) kemudian dibantahnya sendiri setelah pengalaman Komune Paris (1871) – seperti yang akan kita lihat di bawah. Selain itu, walaupun ia tidak mengakuinya secara eksplisit, ia menulis satu kritik-diri yang tajam terhadap taktik-taktik yang diambilnya bersama Engels dalam Revolusi Jerman 1848, yaitu dalam Addresses to Central Committee of Communist League di bulan Maret dan Juni 1850.

Apa yang dituliskan Marx, Anda boleh mengambil tulisan mana saja, bukanlah kata mati. Semua dapat diperdebatkan dan diuji dalam praktek. Bahkan, satu-satunya buah pemikirannya yang sampai saat ini masih tak tergoyahkan, pandangan materialis terhadap dunia (die materialistisch Weltanschauung), Materialisme yang Dialektik dan Historis, masih akan mengalami guncangan hebat ketika kelak The Grand Unifying Theory – teori yang menyatukan teori gravitasi, weak force, strong force dan elektromagnetik – telah ditemukan orang, yang berarti orang akan memahami hakikat dari konsep kurvatur ruang-waktu.

Sekalipun demikian, walau The Grand Unifying Theory itu sendiri telah ditemukan, kemungkinan besar teori itu hanya akan dapat dipraktekkan dalam keadaan pemadatan yang luar biasa, yang menyatukan seluruh energi dan materi alam semesta ini menjadi sebesar bola golf saja. Itu bukanlah hal yang terjadi sehari-hari. Maka, sama seperti teori Newton masih cukup untuk menjelaskan kejadian sehari-hari, MDH masih akan berlaku sebagai kebenaran umum untuk menjelaskan kejadian-kejadian sosial – termasuk Marx dan perkembangan pemikirannya.

Tak ada jalan lain untuk memahami Marxisme kecuali dengan menerapkan MDH itu sendiri untuk menelaahnya. Segala keputusan yang diambil seorang Marx (atau, dalam pengertian ini, setiap penganut Marxisme) harus dibedah dengan melihat latar belakang sejarah yang mendasari pengambilan keputusan-keputusan tertentu di saat-saat tertentu.

Tulisan-tulisan dalam Driyarkara edisi no. 4 Thn. XXIV, terutama yang mencoba mendeskripsikan Trotsky dan Bloch, terjebak dalam kesalahan mendasar ini. Walaupun kesalahan ini masih mengandung kesalahan tingkat dua, yaitu tidak mempelajari karya-karya asli dari penulis yang hendak dikritik. Kritik yang dituliskan di sana hanyalah merupakan ringkasan (summary) dari kesalahan-kesalahan Kolakowsky dalam melihat pemikiran-pemikiran Marxis. Akibatnya, kita tidak dapat menangkap konteks dari penulisan teori-teori itu. Bahkan, tidak satupun kita melihat perbandingan antara pemikiran tokoh-tokoh itu dengan apa yang dipikirkan oleh Marx dalam konteksnya sendiri. Kesalahan ini masih diperbesar lagi, walau ini juga kesalahan turunan dari Kolakowsky, dengan manipulasi-manipulasi data secara terang-terangan – karena setiap orang yang cukup kritis akan segera dapat mengajukan uji silang terhadap data-data Kolakowsky. Contohnya adalah perujukan terhadap karya Trotsky, In Defense of Terrorism. Trotsky ada menulis pamflet tebal, In Defense of October, yang berisi telaahnya tentang hakikat Negara Uni Sovyet pasca naiknya Stalinisme, dan Why Marxists Oppose Individual Terrorism?, di mana ia membantai teori kaum Narodnik yang mengandalkan unit elit bersenjata sebagai garda depan revolusi. Tapi saya tidak berhasil menemukan buku berjudul termaksud oleh penulis. Mungkinkah ada teks Trotsky yang selama ini tersembunyi dan hanya Kolakowsky yang mengetahuinya sampai sekarang?

Kesalahan kedua: distorsi pandangan tentang negara

Apa yang paling ditakuti orang dari konsepsi-konsepsi Marx? Mungkin jawabannya tercermin dalam Driyarkara No. 4 Thn. XXIV yang telah disinggung di atas: kediktatoran proletariat. Karena konsepsi tegas tentang kediktatoran ini, Marx kemudian dicap “otoriter” (oleh Foucault) dan para pemikir Marxis utama (seperti Lenin dan Trotsky) dicap “membenci demokrasi”, lalu pandangan para pemikir pembaharu Marxis dicap sebagai “berhadapan dengan konsep-konsep Marx”.

Tidak sesederhana itu. Karena, di antara banyak konsepsi Marx, konsepsi tentang “kediktatoran kelas” merupakan konsepsi yang paling jarang dipahami tuntas.

Sebelum kita melihat konsepsi “kediktatoran proletariat” itu, kita harus terlebih dahulu melihat konsepsi Marx tentang negara.

Pandangan Marx yang matang tentang negara dapat dilihat dalam karyanya Civil War in France. Walaupun ia telah memiliki satu konsepsi awal tentang negara, seperti yang dikemukakannya dalam The German Ideology,

“Melalui emansipasi kepemilikan pribadi dari komunitas, Negara telah menjadi suatu badan yang terpisah, berdiri di samping dan di luar masyarakat sipil; tapi ia tidaklah lebih sebagai bentuk organisasi yang perlu diadopsi oleh kaum borjuasi baik untuk keperluan internal maupun eksternal; untuk bersama-sama menjamin kepemilikan dan kepentingan mereka… Karena Negara adalah bentuk di mana individu-individu kelas penguasa menyatakan kepentingan bersama mereka, dan di mana seluruh masyarakat sipil dalam satu epos tertentu disatukan, selanjutnya bahwa Negara menjadi perantara dalam pembentukan semua lembaga bersama dan bahwa lembaga-lembaga itu menerima satu platform politik. Dari sanalah timbul ilusi bahwa hukum didasarkan pada kehendak, bahkan pada kehendak yang dipisahkan dari basis riilnya – pada kehendak bebas. Mirip dengan itu, keadilanpun direduksi pada hukum-hukum yang diberlakukan.”

dan juga dalam Manifesto Komunis,

“Kita telah melihat di atas bahwa langkah pertama dalam revolusi oleh kelas pekerja adalah untuk menaikkan kaum proletariat ke kedudukan kelas berkuasa untuk memenangkan pertempuran demi demokrasi... Kaum proletariat akan menggunakan supremasi politiknya untuk merebut, tahap demi tahap, semua kapital dari tangan borjuasi, untuk memusatkan semua alat produksi di tangan negara, yaitu, proletariat yang terorganisir sebagai kelas berkuasa; dan untuk meningkatkan kekuatan-kekuatan produktif total secepat yang dimungkinkan.”

Namun, konsepsi itu masih agak mengambang. Satu-satunya rujukan mengenai negara adalah bahwa negara adalah pengorganisiran satu kelas untuk berkuasa. Konsepsi Marx tentang negara baru terbentuk secara utuh setelah ia terlibat dalam revolusi-revolusi di tahun 1848 (Revolusi Februari di Perancis dan Revolusi Juni di Jerman). Dan pemahaman itu menjadi matang dan bulat setelah Komune Paris 1871. Bandingkanlah rumusan yang dituliskan dalam Manifesto itu dengan yang ini:

“Dekrit pertama dari Komune, dengan demikian, adalah penindasan terhadap tentara reguler, dan menggantikannya dengan rakyat yang dipersenjatai. Setelah menyingkirkan tentara reguler dan polisi – unsur kekuatan fisik dari pemerintah lama – Komune dengan segera mematahkan kekuatan represi spiritual, “kekuatan para pendeta”, dengan pembubaran dan pelucutan gereja dari keeksklusifan lembaganya. Para pendeta dikirim kembali pada perenungan kehidupan pribadi, untuk menyantap kebijaksanaan dari orang-orang kudus dalam upaya mereka meniru para pendahulu mereka, para rasul. Seluruh lembaga pendidikan dibuka secara bebas untuk semua orang, dan sekaligus dibersihkan dari semua campur tangan gereja dan negara. Dengan demikian, bukan hanya pendidikan dibuat agar dapat dimasuki semua orang, tapi ilmu pengetahuan itu sendiri dibebaskan dari belenggu yang telah diikatkan kepadanya oleh prasangka kelas dan kekuatan pemerintah.”

Pelajaran dari Komune Paris ini menyempurnakan konsepsi Marx tentang negara dan, dengan demikian, menyempurnakan juga konsepsinya tentang revolusi dan kediktatoran proletariat.

Maka, negara dalam pandangan Marx adalah tentara (kekuatan fisik), hukum dan birokrasi (kekuatan kelembagaan) dan agama (kekuatan spiritual) yang berdiri terpisah dari massa, menguasai massa dan bukannya sebagai perwujudan dari kepentingan massa.

Secara konsepsional (walau sesungguhnya bukti-bukti empirik tentang hal ini sangatlah berlimpah), keberadaan hal semacam ini hanya dapat terjadi jika masyarakat terbelah menjadi bagian-bagian yang kepentingannya saling bertentangan satu sama lain. Dan, pertentangan itu harus sangat mendasar sehingga diperlukan badan-badan permanen untuk mencegah pertentangan itu meledak dan menghancurkan seluruh tatanan yang ada. Pertentangan tak terdamaikan macam itu hanya ada dalam pertentangan kelas: antara mereka yang dieksploitasi dengan mereka yang mengeksploitasi. Negara, sebagai badan yang berdiri terpisah dari masyarakat, hanya dapat mempertahankan keberadaannya jika ia melayani kelas yang berkuasa –apakah itu kelas yang menghisap atau kelas yang dihisap. Dan, selama ini, bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa negara melayani kepentingan kaum yang menghisap. Sayang sekali, bukan jatah tulisan ini untuk mengajukan bukti-bukti tersebut, yang dapat menjadi satu buku tersendiri jika diajukan secara lengkap.

Dengan demikian, Negara akan melenyap jika senjata, hukum dan birokrasi dan agama kembali ke tengah massa dan menjadi perwakilan dan pembela sejati dari kepentingan rakyat pekerja.

Kesalahan ketiga: distorsi terhadap konsepsi kediktatoran proletariat

Melanjutkan telaah kita tentang negara, kita harus melihat pula konsepsi kedikatoran proletariat.

Maka, revolusi, yang merupakan perebutan terhadap negara, berarti perebutan penguasaan terhadap tentara, terhadap hukum dan birokrasi dan terhadap agama. Revolusi proletar memiliki satu dimensi lain, yang lebih tinggi daripada revolusi-revolusi sebelumnya, yaitu pengembalian kendali atas senjata, atas hukum dan birokrasi dan atas agama ke tangan massa rakyat. Kalau tadinya senjata, hukum dan birokrasi dan agama dikendalikan oleh segelintir orang yang memang khusus bertugas (secara eksklusif) untuk itu, setelah revolusi proletariat massa rakyatlah yang mengendalikannya. Apa yang disebut “demokrasi partisipatoris” yang sejati sesungguhnya tidak lain daripada “kediktatoran proletariat”:

“Belakangan ini, kaum sosial-demokratik yang terbelakang kembali dipenuhi rasa takut pada istilah: Kediktatoran Proletariat. Baik, tuan-tuan, apakah kalian ingin tahu seperti apa kediktatoran ini macamnya? Lihatlah pada Komune Paris. Seperti itulah Kediktatoran Proletariat. Baiklah, tuan-tuan, seperti apa macamnya Komune Paris itu?”

Ini ada kutipan kecil sekedar untuk appetizer, sebelum Anda membaca sendiri Civil War in France. Sungguh, sebelum membaca sendiri karya itu, Anda tidak akan pernah mendapatkan gambaran yang lumayan utuh mengenai konsepsi Marx tentang negara.

“Komune dibentuk dari utusan-utusan dewan distrik yang dipilih melalui hak pilih umum di segala tingkatan kota, memangku jabatan dan dapat dicabut mandatnya dalam jangka yang pendek. Mayoritas anggotanya secara alami adalah kaum pekerja, atau wakil yang diakui oleh kaum pekerja. Komune dijadikan satu badan pekerja, bukannya badan parlementer, sekaligus merupakan badan eksekutif dan legislatif. Bukannya terus menjadi agen dari Pemerintahan Sentral, polisi langsung dilucuti dari atribut politiknya, dan diubah menjadi agen yang bertanggung jawab pada, dan mandatnya dapat dicabut sewaktu-waktu oleh, Komune. Demikian pula dengan semua pejabat dari cabang-cabang administratif lain. Dari mulai anggota Komune ke bawah, pelayanan masyarakat harus dilakukan dengan penggajian yang setara dengan upah seorang pekerja. Kelompok kepentingan dan tunjangan perwakilan dari para pejabat tinggi negara hilang bersamaan dengan hilangnya para pejabat tinggi negara itu. Fungsi-fungsi publik berhenti menjadi milik pribadi dari alat-alat Pemerintahan Pusat. Bukan hanya administrasi daerah, tapi seluruh inisiatif yang sampai saat ini berada di tangan negara dipindahkan ke tangan Komune.”

Dalam satu sketsa organisasi nasional, yang Komune tidak memiliki waktu untuk mengembangkannya, mereka menyatakan dengan tegas bahwa Komune akan dijadikan bentuk politik dari unit desa yang terkecil, dan bahwa di daerah pedesaan tentara reguler akan digantikan oleh milisia nasional, dengan satu masa jabatan yang amat, sangat pendek. Komunitas-komunitas pedesaan di setiap distrik akan menangani persoalan-persoalan bersama mereka dengan sebuah dewan yang terdiri atas utusan-utusan yang dikirim ke satu kota sentral, dan dewan distrik ini kemudian akan mengirim utusan-utusan ke Delegasi Nasional di Paris, tiap utusan dapat digantikan sewaktu-waktu dan terikat pada mandat imperatif (instruksi formal) dari para pemilihnya. Beberapa fungsi penting yang tersisa dari pemerintahan pusat tidak akan diambil alih, seperti yang semula keliru diniatkan, tapi akan dibubarkan oleh Komune dan agen-agen lainnya yang bertanggung jawab kepadanya.

Uraian yang sederhana ini mengandung prinsip-prinsip dasar yang rumit dari bentuk kediktatoran proletariat, seperti yang disarikan Marx dari Komune Paris:

“Struktur dasar dari kediktatoran proletariat ini adalah Dewan Pekerja yang anggota-anggotanya dipilih oleh kelas pekerja itu sendiri di berbagai tingkatan pengorganisiran. Mirip dengan RT/RW di sini, yang dibebaskan dari kendali pemerintah pusat, diperluas dan dinaikkan tingkatannya ke tingkatan nasional sebagai penguasa sejati negara itu sendiri. Anggota dewan di tingkatan terbawah ini, tentu saja, adalah seluruh rakyat di wilayah yang menjadi unit administrasi terkecil di negeri tersebut. Praktisnya: dewan RT memilih utusan untuk dikirim ke dewan RW, dewan RW memutuskan siapa yang akan dikirim ke dewan kelurahan, dewan kelurahan memutuskan siapa yang akan menjadi anggota dewan kecamatan, dari kecamatan ke kabupaten, dari kabupaten ke propinsi, dan dari propinsi ke tingkatan nasional. Pemilu sepanjang tahun di tingkatan RT.
...
Tiap utusan tidak memiliki hak politik atau ekonomi yang istimewa dari anggota kelas pekerja yang lain. Ia hanya boneka dari dewan yang mengutusnya. Gajinya pun setara dengan pekerja pabrik. Dan karena ia hanya boneka maka, selain masa jabatannya sangat pendek, ia dapat ditarik sewaktu-waktu oleh dewan yang mengutusnya.
...
Sebagai konsekuensi dari point (1) dan (2), dewan di tingkat terbawah harus rutin bertemu, dalam interval yang sangat pendek, untuk terus memasok keputusan-keputusan yang akan diperjuangkan oleh utusan-utusan mereka di tingkatan yang lebih tinggi. Dewan di tingkatan terbawah memiliki tugas yang terberat karena mereka harus mengambil keputusan sendiri mengenai persoalan lokalnya tapi juga membicarakan tentang persoalan distrik dan nasional karena harus memberi instruksi pada utusan-utusan yang mereka kirim ke tingkatan yang lebih tinggi.
...
Keputusan dari dewan yang lebih tinggi tingkatannya, dengan demikian, akan diambil secara demokratis karena keanggotaan dewan itu diambil dari utusan dewan-dewan di bawahnya. Karena keputusan diambil secara demokratis, pelaksanaannya secara sentral akan jauh lebih mudah dan tidak membutuhkan kekuatan pemaksa. Inilah sentralisme-demokratik, satu sistem kenegaraan yang revolusioner, yang membutuhkan penghancuran cara pandang lama terhadap demokrasi liberal yang hanya menguntungkan kelas penindas yang minoritas.
...
Karena keputusan-keputusan yang diambil oleh dewan akan dijalankan sendiri oleh mereka maka badan-badan reguler, seperti pekerja administrasi tetap atau tentara reguler, tidak diperlukan lagi. Orang-orang yang ditunjuk oleh dewan untuk mengerjakan tugas administrasi dan keamanan dikenai aturan yang sama dengan utusan-utusan dewan yang lain: masa kerjanya sangat pendek dan mandatnya dapat dicabut sewaktu-waktu.”

Lalu, di mana kediktatorannya? Kediktatorannya terletak pada keharusan dewan ini untuk menangkal semua kemungkinan bangkitnya reaksi dari kaum borjuasi. Selama kepemilikan pribadi belum terhapuskan oleh proses sejarah yang dipicu melalui dewan-dewan komune ini, kemungkinan reaksi kaum borjuasi selalu masih ada. Dan reaksi kaum borjuasi selalu mengambil bentuk yang berdarah. Karena, sekalipun merupakan upaya mempertahankan diri, hal itu melibatkan penindasan, yaitu pelarangan terhadap “hak hidup” kapitalisme, maka jelaslah bahwa komune itu menyusun sebuah kediktatoran. Dalam hal ini Marx jelas lebih jujur dari semua apologi borjuasi yang menepuk dada bahwa “demokrasi”-nya adalah demokrasi sejati, padahal suara rakyat hanya didengar lima tahun sekali.

Jadi, bentuk Kediktatoran Proletariat adalah dasar bagi proses untuk melenyapnya negara itu sendiri. Ia mengembalikan alat-alat represi ke tangan rakyat, untuk digunakan bersama-sama secara demokratis menangkal semua bentuk kontra-revolusi kaum borjuasi. Setelah kelas borjuasi dapat dihancurkan, yaitu, anggota-anggotanya dikembalikan menjadi orang-orang yang bekerja, kediktatoran proletariat itu tidak diperlukan lagi.

Kesalahan keempat: distorsi terhadap konsepsi keniscayaan kemenangan Proletariat

Para kritikus Marx melihat bahwa kemenangan kaum proletariat dan sosialisme yang menyusulnya adalah satu utopia –mimpi indah tentang negeri antah-berantah. Bahkan, lebih jauh lagi, menurut saya terlalu jauh, Franz-Magnis Suseno menyamakan imaji yang dibangun Marx dengan imaji yang dibangun oleh tradisi Injil.

Persoalannya sesungguhnya tidak sesederhana itu. Sekali lagi, kita harus melihat Marx dan poertumbuhan yang dialaminya sejalan dengan praktek-praktek revolusioner yang dilancarkannya. Setiap orang yang pernah turun ke jalan, apalagi mereka yang membangun keseluruhan gerakan demokrasi di Indonesia sejak “jaman susah” dahulu, tentu memahami bahwa setiap unsur dari gerakan selalu mengalami perubahan. Perubahan baik dari cara pandang, cara bertindak; perubahan-perubahan dalam memandang idealisme dan perjuangan, perubahan dalam memandang dunia. Mereka yang hanya berfilsafat sambil duduk di kursi empuk tentu tidak akan memahami hal ini; mereka yang membawa filsafatnya ke lapangan dan mempraktekkannya akan melihat bagaimana kawan menjadi lawan, lawan menjadi sekutu, aliansi terbentuk dan pecah, kekecewaan dan disilusi menggantung di cakrawala sementara fajar kemenangan yang diharapkan tak kunjung tiba…. Semua ini adalah dinamika pergerakan sosial itu sendiri.

Marx pun mengalaminya. Dan sangatlah naif bagi kita untuk memukul rata tulisan-tulisan yang dibuat Marx di kala mudanya, ketika semangat membara dari seorang revolusioner muda masih membakar tulisan-tulisannya, dengan apa yang dituliskannya setelah ia ditempa dalam tungku api revolusi itu sendiri. Sekali lagi, untuk memahami Marx, kita tidak dapat mengambil pemikirannya secara sepotong-sepotong, apalagi jika kemudian dilepaskan dari konteksnya.

Manifesto memang memuat ramalan yang gagah-berani,

Kejatuhan kaum borjuasi dan kemenangan kaum proletar adalah sama-sama tak terhindarkan.
Namun demikian, berbeda dengan banyak filsuf lain yang berpuas diri setelah merasa menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan kehidupan yang diajukakannya sendiri, Marx turun langsung ke lapangan untuk mewujudkan apa yang diajarkannya. Practice what you preach, demikian sering kita dengar balasan sarkastik dari orang-orang lapangan terhadap para pengkotbah yang berkotbah sambil berdiri di posisi aman di luar lingkaran pergolakan.

Marx kemudian mengalami serangkaian kegagalan yang memaksanya untuk mengadakan kritik diri. Sama seperti yang dialami kaum budak dan kaum tani-hamba, kaum proletariat juga menghadapi persoalan pengorganisiran yang buruk, pengkhianatan para pemimpin yang terbeli oleh bujukan dan uang suap dari para penindasnya, kesalahan-kesalahan taktik dan strategi di lapangan, dan lain-lain kesulitan terutama karena mereka tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk membiayai perjuangan jangka panjang kecuali militansi mereka. Marx pun bukan seorang yang naif, karena itulah, tulisan-tulisannya pada masa-masa pergolakan revolusioner juga mencerminkan semangat jamannnya: dipenuhi dengan perdebatan tentang taktik dan strategi. Ini bukan berarti ia meninggalkan filsafat, seperti yang sering dituduhkan orang.

Khususnya, Marx mengalami kesulitan karena ternyata perkembangan kapitalisme tidak berlangsung merata seperti yang ia bayangkan semula. Baru saja Manifesto ditulis, Marx sudah harus berhadapan dengan kenyataan bahwa perkembangan kapitalisme di Jerman tidak berlangsung mulus dan, sebagai akibat dari terbelakangnya kapitalisme Jerman itu, kaum borjuasinya juga penakut dan terbelakang. Kaum borjuasi Jerman lebih suka berkongkalikong dengan kaum feudal daripada bekerja sama dengan kaum proletar untuk menyapu bersih sisa-sisa feudalisme dan absolutisme dari bumi Jerman. Ini adalah dasar dari teori “revolusi permanen” dan apa yang kemudian disebut oleh Lenin sebagai , dan revolutionary democratic-dictatorship of the proletariat and peasantry.

Tindakan politik terakhir yang ditempuh Marx adalah upaya mati-matian untuk memahami kapitalisme itu sendiri. Marx merasa bahwa kegagalannya disebabkan oleh kekurangpahaman dirinya, dan juga seluruh gerakan buruh, terhadap musuh yang mereka hadapi. Dari situlah Marx kemudian sadar akan kemampuan kapitalisme untuk melenting keluar dari krisis. Ia sadar bahwa krisis 1847 bukanlah krisis umum, melainkan krisis khusus. Sehingga revolusi 1848 belumlah dapat diharapkan untuk menggulingkan kapitalisme secara tuntas.

Demikian pula dengan krisis 1920-an, yang benar-benar nyaris menghancurkan seluruh tatanan kapitalisme. Kelirulah kalau orang mengira bahwa krisis ini adalah krisis umum yang akan membawa keniscayaan kemenangan proletariat termaksud. Krisis umum ini baru akan terjadi ketika kapitalisme mencapai kematangannya, seperti yang telah dijabarkan dalam Manifesto,

“Kaum borjuasi terus-menerus menyingkirkan keadaan populasi, alat-alat produksi dan kepemilikan yang terpencar-pencar. Ia telah mengikat seluruh populasi, memusatkan alat-alat produksi, dan mengkonsentrasikan kepemilikan di tangan segelintir orang. Sebagai akibat langsungnya adalah pemusatan kekuatan politik. Propinsi-propinsi yang mandiri, atau setidaknya hanya terhubung secara longgar, dengan kepentingan, undang-undang, pemerintahan dan sistem pajak yang berbeda-beda, telah ditumpuk menjadi satu bangsa, dengan satu pemerintahan, satu kitab hukum, satu kepentingan kelas secara nasional, satu batas negara, dan satu sistem cukai.”

Kesalahan yang dibuat Marx masa itu adalah bahwa, ternyata, bukan di tingkat nasional konsentrasi itu akan mematangkan kapitalisme, melainkan di tingkat internasional: Imperialisme.

Dan saat ini imperialisme sedang berusaha mematangkan dirinya, dengan mendobrak batas-batas nasional dan mengubah pemerintahan-pemerintahan nasional menjadi pelayan modal internasional. Bahkan, lebih jauh lagi, modal internasional telah berusaha untuk melebur negera-negara nasional itu ke dalam satu super-state, blok perdagangan yang dikendalikan satu pemerintahan pusat, semacam Uni Eropa.

Belum, tuan-tuan, kita belum mengetahui apakah ramalan Marx meleset atau tidak. Uni Sovyet dan banyak negara sosialis lainnya gagal. Hal yang biasa dalam pergulatan hidup di dunia. Revolusi Perancis, setelah berhasil menggulingkan negara feudalnya, terpaksa mengalami masa-masa berat di bawah Napoleon Bonaparte, dan kemudian dinasti Bourbon pun berhasil direstorasi oleh kekuatan-kekuatan monarkis. Demikian pula halnya yang terjadi dengan revolusi 1848, di mana kaum borjuasi gagal menggulingkan negara feudal Jerman. Malah, penyatuan Jerman sebagai satu negara-bangsa terjadi di bawah Kekaisaran Prusia, bukan di bawah sebuah republik. Kita toh melihat bahwa kapitalisme tidak terhindarkan. Eposnya sudah tiba.

Demikian pula dengan sosialisme. Uni Sovyet memang gagal, kegagalan yang sangat disayangkan tapi memberi kita semua kesempatan untuk memulai dari nol. Mencari sebab-sebab kegagalannya dan belajar dari situ. Kita kini tahu bahwa revolusi proletar adalah hal yang mungkin, kita kini tahu bahwa negara proletar adalah sesuatu yang mungkin. Pada siklus dialektika yang berikutnya, kita harus menggali semua pelajaran yang kita dapat dari pengalaman Uni Sovyet dan menggunakannya demi pembangunan sebuah negeri sosialis yang sejati.

Persoalan yang sebenarnya lebih mendasar adalah kapitalisme itu sendiri telah membawa begitu banyak korban dan kesengsaraan di muka bumi ini. Kita melihat banyak penyelewengan di Uni Sovyet, tapi lihatlah kekejaman yang dilakukan lebih banyak lagi rejim kapitalis di dunia. Amerika Serikat sendiri memiliki sejarah yang amat gelap berkaitan dengan hak asasi manusia. Sampai tahun 1960-an kaum kulit hitam di sana masih secara resmi didiskriminasi, begitu banyak perang yang disponsori Amerika Serikat, begitu banyak rejim otoriter yang didukung oleh Amerika Serikat.

Kapitalisme bukanlah akhir dari sejarah. Tapi, seperti yang dikatakan Marx, manusia sendirilah yang membuat sejarah itu bergulir. Kaum budak Romawi, karena mereka tidak mampu mematahkan tiang-tiang negaranya, gagal membawa masyarakat Romawi bebas dari perbudakan, malah peradaban tinggi Romawi hilang ditelan barbarianisme dari bangsa-bangsa penjarah Eropa Tengah. Kalau kaum buruh tidak mampu mematahkan belenggu-belenggunya secara revolusioner, barbarianisme itu akan kembali dengan kualitas yang jauh lebih tinggi. Revolusi proletar akan memangkas jalur penderitaan yang harus dilalui oleh seluruh rakyat pekerja. Dengan kendali negara berada di tangan kaum pekerja itu sendiri, proses industrialisasi akan berlangsung manusiawi dan demokratis.

***

Adalah tugas, beban sejarah, yang kini dipanggul kaum sosialis di seluruh dunia untuk menjamin bahwa proses revolusioner ini tidak akan mengulang kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi di Uni Sovyet dan negara-negara sosialis yang pernah ada di muka bumi ini.




1 komentar:

  1. Konsekuensi logis yang dijadikan konsekuensi empiris seringkali fatal akibatnya... Bhw konsekuensi logis dari Marxisme adalah memberi tempat utama pd 'yg material' tidak lantas dapat disimpulkan bhw secara empiris ia HARUS diikuti pula.

    Maka Tan dan sebagian bapak bangsa yg serius bergulat dgn Marxisme lbh sadar bhw antara Marxisme dan agama bukan dua hal yang dapat dipertentangkan. Yang satu bergerak di domain sains, yg lain di domain doktrin. Two different level.

    BalasHapus