Rabu, 13 Agustus 2014

Pengkhianatan G30S/PKI: Legitimasi Anti-Komunisme Orde Baru Melalui Film

Oleh Rangga Jhody Alwantio, Anggota SEMAR UI

Pendahuluan

Anti-Komunisme menjadi wacana utama dalam masyarakat Indonesia sepanjang sejarah pemerintahan Orde Baru (1966-1998) dan sesudahnya. Salah satu aspek yang mempengaruhi wacana anti-komunisme tersebut adalah masifnya kampanye kebudayaan yang dilakukan untuk melegitimasi wancana anti-komunisme sehingga pada akhirnya melegitimasi kekerasan fisik yang dialami anggota/simpatisan PKI pasca G30S 1965.


Pada Desember 1965, ketika pembantaian terhadap orang-orang yang berideologi komunis masih berlangsung, Angkatan Darat sudah mulai secara sistematis melegitimasi kampanye kekerasan yang mereka lakukan melalui produk kebudayaan, khususnya melalui narasi atas peristiwa 1965. Dalam narasi ini PKI dituduh sebagai satu-satunya pelaku percobaan kup yang menewaskan tujuh perwira militer. Lalu, ketika pemerintahan Orde Baru sudah mulai dibangun, Angkatan Darat dan agen-agen kebudayaannya tidak saja melanjutkan upaya untuk legitimasi kekerasan terhadap kaum komunis, namun juga melegitimasi naiknya jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan.

Ada banyak sekali produk-produk kebudayaan yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru dan agen-agen kebudayaannya untuk mempromosikan anti-komunisme, seperti ideologi Negara, museum, monumen, diorama, folklore, agama, buku-buku pegangan siswa, materi penalaran, film, ideologi kebudayaan, dan sastra. Salah satu yang paling terkenal tentu saja adalah film Pengkhianatan G30S/PKI.

Walaupun pada saat ini sudah bukan lagi zaman Orde Baru, tapi sampai sekarang film propaganda Orde Baru Pengkhianatan G30S/PKI. Film itu merupakan media budaya yang dimaanfaatkan sebagai alat propaganda yang berpengaruh luas di Indonesia. Film ini merupakan sebuah contoh produk budaya yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk secara terang-terangan menyelipkan pandangan ideologisnya tentang komunisme. Ketika orang yang belum pernah membaca sejarah sebenarnya dari apa yang terjadi pada tahun 1965, maka orang akan menganggap bahwa dalam film tersebut adalah benar yang terjadi pada tahun 1965 dan memberikan dampak yang sangat kuat terhadap banyak masyarakat Indonesia. Pemerintah Orde Baru sangat berhasil dalam mempresentasikan versi resmi peristiwa 1965 dan terlebih lagi dalam mempengaruhi penonton untuk percaya sepenuhnya bahwa muatan ideologis di dalam film itu adalah sebuah kebenaran.

Film Sebagai Alat Propaganda

Film Pengkhianatan G30S/PKI, yang akan dibahas di disini memperlihatkan penghujatan keji bukan terhadap pelaku pembantaian massal 1965-1966 (militer, paramiliter), melainkan justru terhadap korban kekerasan itu dengan cara mencitrakan mereka sebagai setan. Justifikasi atas kekerasan melalui produk kebudayaan semacam itu pada akhirnya menjadi bagian dari praktek kekerasan itu sendiri.

Poin pertama yang harus digarisbawahi dalam film Pengkhianatan G30S/PKI adalah bahwa ia diproduksi sebagai dokumenter. Di awal film, sebuah cuplikan ditampilkan untuk mengklaim bahwa film ini seluruhnya didasari oleh karya Nugroho Notosusanto mengenai peristiwa 1965. Ditampilkan pula pernyataan produser bahwa film ini didasari oleh data dari berbagai sumber tulisan, kesaksian, buku-buku, artikel, majalah, dan koran-koran. Sementara narator memperkenalkan isi cerita film, sederet tayangan menampilkan gambar-gambar museum Pancasila Sakti dan relief-relief di dindingnya, yang menceritakan bagaimana PKI telah mengkhianati Negara dengan cara membunuh tujuh orang perwira militer pada malam 30 September 1965.

Narator juga menjelaskan bahwa PKI telah menjadi musuh terbesar bagi negara. Semua insiden yang terjadi di daerah-daerah, yang melibatkan anggota PKI dan simpatisannya, diklaim oleh narator sebagai pemberontakan terhadap negara. Saat narator mengungkapkan informasi tentang adanya institusi rahasia di dalam PKI yang dinamakan Biro Chusus, agenda politik PKI menjadi jelas: PKI sudah lama memang berusaha merancang sebuah gerakan untuk memberontak terhadap negara. Dengan demikian, citra jahat PKI berhasil dibangun sejak awal film sembari pada saat yang sama film ini mengesankan diri sebagai sebuah dokumen sejarah. Maka ketika cerita utama dimulai, pemirsa telah “dibekali” dengan kerangka berpikir anti-komunis sambil menikmati jalannya seluruh cerita.

Dalam keseluruhan cerita, karakter antara para pemimpin PKI dan militer, khususnya para korban penculikan, ditonjolkan secara hitam-putih yang ekstrem. Para pemimpin dan anggota PKI termasuk militer yang terlibat dalam percobaan kup seperti Kolonel Untung, Jenderal Supardjo, dan Kolonel Latief ditampilkan bak penjahat, sebagaimana bisa dilihat dalam rapat-rapat rahasia PKI sebelum pembunuhan pada malam 30 September 1965. Penggunaan simbolisme juga penting dalam membangun suasana dan karakter anggota PKI sebagai antagonis. PKI bahkan secara tidak langsung digambarkan sebagai penyebab buruknya kondisi masyarakat Indonesia era 1960-an. Misalnya, kesulitan rakyat tidak saja dihadirkan dengan cara menggambarkan deretan orang mengantri makanan dan minyak tanah, tetapi juga adegan seorang anak miskin yang mengungsi ke Jakarta bersama ibunya untuk mencari kehidupan yang lebih baik setelah ayahnya dibunuh oleh kaum komunis di kampung halaman mereka. Ditampilkan pula seorang tokoh laki-laki yang kuat beragama, ia berulang kali mengungkapkan kemarahannya kepada PKI dan pemerintah yang menyebabkan kemiskinan merajalela. Sambil menghujat PKI dan pemerintah, tokoh ini juga terus berdoa demi keselamatan bangsa. Secara implisit, adegan-adegan ini membangun kesan bahwa PKI-lah penyebab kemelaratan negeri ini atas kekomunisan mereka. Penggambaran ini bermaksud menggiring pemirsa untuk melihat bagaimana komunisme bertentangan dengan agama dan telah merusak bangsa Indonesia.


Contoh lain penggunaan representasi simbolik dapat dilihat dalam adegan rapat-rapat PKI, yang diceritakan sebagai pertemuan sangat rahasia, dalam ruangan remang-remang dengan seluruh jendela dan tertutup rapat dan dilapisi gorden tebal. Penggambaran tentang bagaimana para konspirator ini tidak pernah putus merokok di ruang gelap dan pengap itu juga diulang berkali-kali. Terkait penciptaan suasana (Arifin C Noer), tayangan visual dari asap rokok dalam ruang gelap sangat efektif untuk menampilkan kesan dramatis. Namun demikian, penciptaan suasana yang seperti itu tampaknya adalah hasil dari imajinasi sutradara untuk mencapai estetika tertentu dalam filmnya.

Istri Arifin menyatakan bahwa ide untuk memotret D.N. Aidit sebagai perokok berat adalah karena menurut Arifin hal itu mempresentasikan sosok pemikir: “Secara visual, akan terlihat lebih bagus jika penggambaran seorang pemikir dilukiskan melalui asap rokoknya.” Dengan demikian Arifin sebenarnya tahu bahwa D.N. Aidit bukanlah perokok. Murad Aidit, adik D.N. Aidit mengatakan bahwa kakaknya sama sekali bukan perokok, bahkan cenderung membenci rokok. Asap rokok di film itu memang sengaja diletakkan dalam konteks pembentukan struktur dramatis.

Selain itu, sebagaimana dicatat oleh Harsutejo, rapat-rapat PKI yang digambarkan dalam film dan narasi utama Orde Baru secara sengaja diletakkan dalam konteks percobaan kup 1965. Dalam film tersebut berusaha membangun kesan bahwa PKI hanya memiliki satu agenda tunggal, yakni mengambil alih kekuasaan. Padahal, sebagai organisasi politik besar dan sah, PKI sebenarnya memiliki banyak agenda politik lain untuk dibicarakan dalam rapat internal yang terbuka.

Suasana gelap bukan cuma dihadirkan dalam rapat-rapat PKI, tapi terutama dalam menggambarkan Lubang Buaya sebagai tempat yang sangat menakutkan, dengan suara-suara dan teriakan-teriakan menghujat membahana dramatis di udara. Suasana macam ini tentu saja lebih tertangkap jelas dalam versi film karena pemirsa disodori secara langsung gambar dan efek suara, walaupun Arswendo juga bisa dibilang berhasil dalam membangun suasana serupa di novelnya. Seperti halnya penggambaran pertemuan-pertemuan rahasia PKI, keberadaan kelompok-kelompok manusia di Lubang Buaya dari berbagai organisasi yang konon berafiliasi dengan PKI sambil melakukan latihan militer juga dengan sengaja diletakkan dalam konteks pelaksanaan kup.

Berlawanan dengan “kebejatan” komunis, pihak militer digambarkan dengan citra penuh kepahlawanan. Sekalipun yang sesungguhnya terjadi pada malam 30 September 1965 itu pada dasarnya adalah penculikan tentara oleh tentara sendiri (persisnya pasukan pengawal presiden, battalion Cakrabirawa), tetapi dalam film Pengkhianatan G30S/PKI secara jelas menghindari kesan bahwa para penculik pada dasarnya adalah tentara. Kekejaman para penculik digambarkan sebagai kekejaman komunis, dan bukan hasil dari pelatihan keras yang mereka terima selama ini yang merupakan bagian dari tugas mereka sebagai tentara.

Semua kekerasan yang berlangsung dalam operasi itu adalah karena pelakunya anggota atau paling tidak simpatisan PKI, bukan karena pelakunya adalah militer. Dengan kata lain, penggambaran sifat iblis PKI juga direpresentasikan dengan memaanfaatkan kepatuhan para prajurit terhadap perintah atasannya untuk menculik para jenderal.

Beberapa saat sebelum operasi dimulai, film menampilkan adegan-adegan kegiatan kedua belah pihak dalam kontras yang sangat tajam. Bilamana pasukan penculik di Lubang Buaya digambarkan sebagai sekelompok orang liar, bejat, yang harus darah, sebaliknya para jenderal Angkatan Darat dilukiskan di rumah mereka masing-masing sebagai orang yang terhormat, sopan, dan lembut. Semua jenderal dicitrakan dengan kepala rumah tangga yang baik hati yang mengabdikan diri bagi keluarga yang mencintai mereka.

Untuk memberikan dampak emosional lebih jauh, setiap keluarga korban dilukiskan sebagai keluarga yang harmonis dan terhormat. Hal ini terlihat jelas pada keluarga A.H. Nasution terutama penggambaran anak bungsunya, Ade Irma, yang tertembak peluru nyasar penculik pada saat ayahnya berhasil melarikan diri. Namun Ade bukanlah satu-satunya korban yang jatuh di rumah A.H. Nasution. Beberapa saat sebelum para penculik memasuki rumah A.H. Nasution, mereka juga membunuh Karel S. Tubun, penjaga malam rumah wakil Perdana Menteri Leimana yang terletak diseberang rumah A.H. Nasution. Namun demikian, Ade yang merupakan seorang gadis kecil jelas dieksploitasi oleh Arifin sebagai bagian dari proses dramatisasi alur cerita. Pentingnya tokoh Ade dalam memunculkan respons emosional pemirsa menjadi alasan mengapa sosoknya sering dimunculkan dalam film sebelum insiden itu terjadi melalui kilasan-kilasan kegiatannya di sekolah dan hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Hal ini tidak saja memancing emosi pemirsa tetapi juga menggiring mereka untuk percaya bahwa PKI memang betul-betul adalah sekelompok manusia iblis dan brutal karena telah membunuh seorang anak kecil yang tidak berdosa.

Korban selanjutnya adalah S. Parman, Sutoyo S., M.T. Haryono, Suprapto, dan D.N. Pandjaitan. Penggambaran tentang mereka sebagai orang-orang terhormat dan dari keluarga yang harmonis kembali dikontraskan secara diametris dengan karakter para penculik.

Karakter-karakter para korban dan penyerang dicitrakan pada titik terjauh sebuah spektrum yang bertentangan. Para penyerang diasosiasikan dengan kaum komunis, digambarkan memiliki sifat kebinatangan yang liar, sementara para korban dicitrakan sebagai manusia terhormat.

Penggambaran yang sangat dramatis juga ditampilkan dalam keluarga D.N. Pandjaitan. Saat para penculik mendobrak rumah D.N. Pandjaitan, mereka menembak dua orang keponakan D.N. Pandjaitan, Victor dan Albert. D.N. Pandjaitan yang ketika itu tidur lelap, terbangun oleh serangan di rumahnya. Secara insting dia menyambar senapannya untuk membela diri dan keluarganya, akan tetapi senjata itu rusak, sehingga dia harus menyerah. Lalu dia mengenakan pakaian seragam militernya dengan tenang dan melangkah ke luar menyongsong senjata yang diarahkan kepada dirinya. Ketika D.N. Pandjaitan berlutut di teras rumahnya untuk berdoa, sebuah peluru ditembakkan ke kepalanya diikuti oleh rentetan tembakan yang menembus tubuhnya yang tersungkur.

Adegan ini memunculkan respons emosional yang sangat kuat dari penonton atas tidak adanya belas kasihan dan rasa hormat sama sekali dari penculik bahwa D.N. Pandjaitan bahkan tidak diberikan kesempatan hanya untuk sekedar berdoa kepada Tuhannya. Kisah ini bahkan didramatisir lebih jauh dengan penggambaran anak perempuan D.N. Pandjaitan, Katrin, yang menjerit sambil berlari keluar hanya untuk menemukan genangan darah ayahnya. Seketika dia mengambil darah itu dengan tangannya dan menyapukannya ke wajahnya sendiri sambil menjerit-jerit historis.

Penutup

Sejarah Orde Baru adalah sejarah dengan interpretasi tunggal, dan film yang dibahas tadi adalah salah satu usaha menunggalkan interpretasi sejarah tersebut. Saat ini kita tahu bahwa ada lima skenario berbeda yang dapat disarikan dari berbagai risalah tentang peristiwa 1965: pertama, pembunuhan terhadap para jenderal dipercaya seluruhnya dan dilakukan oleh PKI dan simpatisannya; kedua, “percobaan kup” itu adalah hasil dari pertarungan internal angkatan bersenjata; ketiga, Jenderal Soeharto adalah pelaku sebenarnya, atau paling tidak, memengaruhi, memanipulasi, dan mengaburkan pembunuhan itu untuk kepentingannya sendiri; keempat, Presiden Soekarno member izin atau menganjurkan para perwira yang terkucil untuk bertindak melawan kolega mereka sendiri yang disebut sebagai bagian dari “Dewan Jenderal” rahasia; dan kelima, operasi intelijen asing terlibat di dalam percobaan untuk menggulingkan Soekarno yang condong ke “kiri”, dari peranannya yang sangat berpengaruh di Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga. Beberapa penjelasan itu mengkombinasikan lebih dari satu skenario-skenario tersebut. Maka, saat ini menjadi hal yang mendesak untuk membongkar segala modus Orde Baru dalam aspek budaya, agar interpretasi tunggal terhadap G30S atau PKI atau komunisme dapat dilawan.

Daftar Pustaka

Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri
Isak, J. 2002. Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965. Jakarta: Hasta Mitra
Harsutejo. 2003. Sejarah yang Digelapkan: Tangan Berdarah CIA dan Rezim Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra
Zurbuchen, Mary. “History, Memory, and the ‘1965 Incident in Indonesia”, asian survey, Vol. 42, No.4, The Legacy of Violence in Indonesia (Juli-Agustus, 2002), hlm. 566.
Hunter, Sukarno and the Indonesian Coup, hlm. 126-127.
Atmowiloto, A. 1986. Pengkhianatan G30S/PKI. Jakarta: Sinar Harapan
Hoodley, A. N, “Political Violence in Indonesian Literature: The Legacy of 1965”, dalam Ingrid Wessel and Georgia Wimhover (eds.), Violence in Indonesia (Hamburg: Abera, 2001)
Pitaja, B. A, “Pengkhianatan G30S PKI yang Bersimbah Darah: Sebuah Penegasan dari Arifin C. Noer”, Sinematik Indonesia, 9 Juli 1984
Gitlin, Todd. 1979. “Prime Time Ideology: The Hegemonic Process in Television”, dalam

Web:

2 komentar:

  1. Ternyata masih banyak anak bau kencur, yang sok membela pki, setelah setumpuk fakta yang tak terbantahkan... Betapa malangnya negeri ini....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa yang dituliskan di atas, bukan untuk membela. Tapi semangat yang ditampilkan adalah untuk jujur dan kritis pada sejarah. Bagaimana usaha mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Sekarang apa fakta yang tak terbantahkan itu? Selama ini, khususnya 32 tahun pemerintahan Orde Baru dan selanjutnya, masih terdapat berbagai pembohongan terhadap sejarah kita sendiri. ampai kapan kita akan terus mengikuti dogma usang yang tak bia dibuktikan ecara ilmiah? Justru negeri ini akan sangat malang, bila anak-anak mudanya tidak peka pada sejarah, tidak mau membaca dengan lebih giat dan berdiskusi dengan kritis, serta tentunya hanya mengekor pada dogma yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Semangat adil pada apa yang terjadi di masa lampau adalah upaya mencari kebenaran itu. Salam.

      Hapus