Oleh Rangga Jhody Alwantio, Anggota SEMAR UI
Pendahuluan
Anti-Komunisme menjadi wacana utama
dalam masyarakat Indonesia sepanjang sejarah pemerintahan Orde Baru (1966-1998)
dan sesudahnya. Salah satu aspek yang mempengaruhi wacana anti-komunisme
tersebut adalah masifnya kampanye kebudayaan yang dilakukan untuk melegitimasi wancana
anti-komunisme sehingga pada akhirnya melegitimasi kekerasan fisik yang dialami
anggota/simpatisan PKI pasca G30S 1965.
Pada Desember 1965, ketika pembantaian
terhadap orang-orang yang berideologi komunis masih berlangsung, Angkatan Darat
sudah mulai secara sistematis melegitimasi kampanye kekerasan yang mereka
lakukan melalui produk kebudayaan, khususnya melalui narasi atas peristiwa
1965. Dalam narasi ini PKI dituduh sebagai satu-satunya pelaku percobaan kup
yang menewaskan tujuh perwira militer. Lalu, ketika pemerintahan Orde Baru
sudah mulai dibangun, Angkatan Darat dan agen-agen kebudayaannya tidak saja
melanjutkan upaya untuk legitimasi kekerasan terhadap kaum komunis, namun juga
melegitimasi naiknya jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan.
Ada banyak sekali produk-produk
kebudayaan yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru dan agen-agen kebudayaannya
untuk mempromosikan anti-komunisme, seperti ideologi Negara, museum, monumen,
diorama, folklore, agama, buku-buku
pegangan siswa, materi penalaran, film, ideologi kebudayaan, dan sastra. Salah
satu yang paling terkenal tentu saja adalah film Pengkhianatan G30S/PKI.
Walaupun pada saat ini sudah bukan lagi
zaman Orde Baru, tapi sampai sekarang film propaganda Orde Baru Pengkhianatan G30S/PKI. Film itu
merupakan media budaya yang dimaanfaatkan sebagai alat propaganda yang
berpengaruh luas di Indonesia. Film ini merupakan sebuah contoh produk budaya
yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk secara terang-terangan
menyelipkan pandangan ideologisnya tentang komunisme. Ketika orang yang belum
pernah membaca sejarah sebenarnya dari apa yang terjadi pada tahun 1965, maka
orang akan menganggap bahwa dalam film tersebut adalah benar yang terjadi pada
tahun 1965 dan memberikan dampak yang sangat kuat terhadap banyak masyarakat
Indonesia. Pemerintah Orde Baru sangat berhasil dalam mempresentasikan versi
resmi peristiwa 1965 dan terlebih lagi dalam mempengaruhi penonton untuk
percaya sepenuhnya bahwa muatan ideologis di dalam film itu adalah sebuah
kebenaran.
Film Sebagai Alat Propaganda
Film Pengkhianatan G30S/PKI,
yang akan dibahas di disini memperlihatkan penghujatan keji bukan terhadap
pelaku pembantaian massal 1965-1966 (militer, paramiliter), melainkan justru
terhadap korban kekerasan itu dengan cara mencitrakan mereka sebagai setan.
Justifikasi atas kekerasan melalui produk kebudayaan semacam itu pada akhirnya
menjadi bagian dari praktek kekerasan itu sendiri.
Poin pertama yang harus digarisbawahi
dalam film Pengkhianatan G30S/PKI
adalah bahwa ia diproduksi sebagai dokumenter. Di awal film, sebuah cuplikan
ditampilkan untuk mengklaim bahwa film ini seluruhnya didasari oleh karya
Nugroho Notosusanto mengenai peristiwa 1965. Ditampilkan pula pernyataan
produser bahwa film ini didasari oleh data dari berbagai sumber tulisan,
kesaksian, buku-buku, artikel, majalah, dan koran-koran. Sementara narator
memperkenalkan isi cerita film, sederet tayangan menampilkan gambar-gambar
museum Pancasila Sakti dan relief-relief di dindingnya, yang menceritakan
bagaimana PKI telah mengkhianati Negara dengan cara membunuh tujuh orang
perwira militer pada malam 30 September 1965.
Narator juga menjelaskan bahwa PKI telah
menjadi musuh terbesar bagi negara. Semua insiden yang terjadi di
daerah-daerah, yang melibatkan anggota PKI dan simpatisannya, diklaim oleh
narator sebagai pemberontakan terhadap negara. Saat narator mengungkapkan
informasi tentang adanya institusi rahasia di dalam PKI yang dinamakan Biro Chusus,
agenda politik PKI menjadi jelas: PKI sudah lama memang berusaha merancang
sebuah gerakan untuk memberontak terhadap negara. Dengan demikian, citra jahat
PKI berhasil dibangun sejak awal film sembari pada saat yang sama film ini
mengesankan diri sebagai sebuah dokumen sejarah. Maka ketika cerita utama
dimulai, pemirsa telah “dibekali” dengan kerangka berpikir anti-komunis sambil
menikmati jalannya seluruh cerita.
Dalam keseluruhan cerita, karakter
antara para pemimpin PKI dan militer, khususnya para korban penculikan,
ditonjolkan secara hitam-putih yang ekstrem. Para pemimpin dan anggota PKI
termasuk militer yang terlibat dalam percobaan kup seperti Kolonel Untung,
Jenderal Supardjo, dan Kolonel Latief ditampilkan bak penjahat, sebagaimana bisa
dilihat dalam rapat-rapat rahasia PKI sebelum pembunuhan pada malam 30
September 1965. Penggunaan simbolisme juga penting dalam membangun suasana dan
karakter anggota PKI sebagai antagonis. PKI bahkan secara tidak langsung
digambarkan sebagai penyebab buruknya kondisi masyarakat Indonesia era 1960-an.
Misalnya, kesulitan rakyat tidak saja dihadirkan dengan cara menggambarkan
deretan orang mengantri makanan dan minyak tanah, tetapi juga adegan seorang
anak miskin yang mengungsi ke Jakarta bersama ibunya untuk mencari kehidupan
yang lebih baik setelah ayahnya dibunuh oleh kaum komunis di kampung halaman
mereka. Ditampilkan pula seorang tokoh laki-laki yang kuat beragama, ia
berulang kali mengungkapkan kemarahannya kepada PKI dan pemerintah yang
menyebabkan kemiskinan merajalela. Sambil menghujat PKI dan pemerintah, tokoh
ini juga terus berdoa demi keselamatan bangsa. Secara implisit, adegan-adegan
ini membangun kesan bahwa PKI-lah penyebab kemelaratan negeri ini atas
kekomunisan mereka. Penggambaran ini bermaksud menggiring pemirsa untuk melihat
bagaimana komunisme bertentangan dengan agama dan telah merusak bangsa
Indonesia.
Contoh lain penggunaan representasi
simbolik dapat dilihat dalam adegan rapat-rapat PKI, yang diceritakan sebagai
pertemuan sangat rahasia, dalam ruangan remang-remang dengan seluruh jendela
dan tertutup rapat dan dilapisi gorden tebal. Penggambaran tentang bagaimana
para konspirator ini tidak pernah putus merokok di ruang gelap dan pengap itu
juga diulang berkali-kali. Terkait penciptaan suasana (Arifin C Noer), tayangan
visual dari asap rokok dalam ruang gelap sangat efektif untuk menampilkan kesan
dramatis. Namun demikian, penciptaan suasana yang seperti itu tampaknya adalah
hasil dari imajinasi sutradara untuk mencapai estetika tertentu dalam filmnya.
Istri Arifin menyatakan bahwa ide untuk
memotret D.N. Aidit sebagai perokok berat adalah karena menurut Arifin hal itu
mempresentasikan sosok pemikir: “Secara visual, akan terlihat lebih bagus jika
penggambaran seorang pemikir dilukiskan melalui asap rokoknya.” Dengan demikian
Arifin sebenarnya tahu bahwa D.N. Aidit bukanlah perokok. Murad Aidit, adik
D.N. Aidit mengatakan bahwa kakaknya sama sekali bukan perokok, bahkan
cenderung membenci rokok. Asap rokok di film itu memang sengaja diletakkan
dalam konteks pembentukan struktur dramatis.
Selain itu, sebagaimana dicatat oleh
Harsutejo, rapat-rapat PKI yang digambarkan dalam film dan narasi utama Orde
Baru secara sengaja diletakkan dalam konteks percobaan kup 1965. Dalam film
tersebut berusaha membangun kesan bahwa PKI hanya memiliki satu agenda tunggal,
yakni mengambil alih kekuasaan. Padahal, sebagai organisasi politik besar dan
sah, PKI sebenarnya memiliki banyak agenda politik lain untuk dibicarakan dalam
rapat internal yang terbuka.
Suasana gelap bukan cuma dihadirkan
dalam rapat-rapat PKI, tapi terutama dalam menggambarkan Lubang Buaya sebagai
tempat yang sangat menakutkan, dengan suara-suara dan teriakan-teriakan
menghujat membahana dramatis di udara. Suasana macam ini tentu saja lebih
tertangkap jelas dalam versi film karena pemirsa disodori secara langsung
gambar dan efek suara, walaupun Arswendo juga bisa dibilang berhasil dalam
membangun suasana serupa di novelnya. Seperti halnya penggambaran
pertemuan-pertemuan rahasia PKI, keberadaan kelompok-kelompok manusia di Lubang
Buaya dari berbagai organisasi yang konon berafiliasi dengan PKI sambil
melakukan latihan militer juga dengan sengaja diletakkan dalam konteks
pelaksanaan kup.
Berlawanan dengan “kebejatan” komunis,
pihak militer digambarkan dengan citra penuh kepahlawanan. Sekalipun yang
sesungguhnya terjadi pada malam 30 September 1965 itu pada dasarnya adalah
penculikan tentara oleh tentara sendiri (persisnya pasukan pengawal presiden,
battalion Cakrabirawa), tetapi dalam film Pengkhianatan
G30S/PKI secara jelas menghindari kesan bahwa para penculik pada dasarnya
adalah tentara. Kekejaman para penculik digambarkan sebagai kekejaman komunis,
dan bukan hasil dari pelatihan keras yang mereka terima selama ini yang
merupakan bagian dari tugas mereka sebagai tentara.
Semua kekerasan yang berlangsung dalam
operasi itu adalah karena pelakunya anggota atau paling tidak simpatisan PKI,
bukan karena pelakunya adalah militer. Dengan kata lain, penggambaran sifat
iblis PKI juga direpresentasikan dengan memaanfaatkan kepatuhan para prajurit
terhadap perintah atasannya untuk menculik para jenderal.
Beberapa saat sebelum operasi dimulai,
film menampilkan adegan-adegan kegiatan kedua belah pihak dalam kontras yang
sangat tajam. Bilamana pasukan penculik di Lubang Buaya digambarkan sebagai
sekelompok orang liar, bejat, yang harus darah, sebaliknya para jenderal
Angkatan Darat dilukiskan di rumah mereka masing-masing sebagai orang yang
terhormat, sopan, dan lembut. Semua jenderal dicitrakan dengan kepala rumah
tangga yang baik hati yang mengabdikan diri bagi keluarga yang mencintai
mereka.
Untuk memberikan dampak emosional lebih
jauh, setiap keluarga korban dilukiskan sebagai keluarga yang harmonis dan
terhormat. Hal ini terlihat jelas pada keluarga A.H. Nasution terutama
penggambaran anak bungsunya, Ade Irma, yang tertembak peluru nyasar penculik
pada saat ayahnya berhasil melarikan diri. Namun Ade bukanlah satu-satunya
korban yang jatuh di rumah A.H. Nasution. Beberapa saat sebelum para penculik
memasuki rumah A.H. Nasution, mereka juga membunuh Karel S. Tubun, penjaga
malam rumah wakil Perdana Menteri Leimana yang terletak diseberang rumah A.H.
Nasution. Namun demikian, Ade yang merupakan seorang gadis kecil jelas
dieksploitasi oleh Arifin sebagai bagian dari proses dramatisasi alur cerita.
Pentingnya tokoh Ade dalam memunculkan respons emosional pemirsa menjadi alasan
mengapa sosoknya sering dimunculkan dalam film sebelum insiden itu terjadi
melalui kilasan-kilasan kegiatannya di sekolah dan hubungannya dengan
orang-orang di sekitarnya. Hal ini tidak saja memancing emosi pemirsa tetapi
juga menggiring mereka untuk percaya bahwa PKI memang betul-betul adalah
sekelompok manusia iblis dan brutal karena telah membunuh seorang anak kecil
yang tidak berdosa.
Korban selanjutnya adalah S. Parman,
Sutoyo S., M.T. Haryono, Suprapto, dan D.N. Pandjaitan. Penggambaran tentang
mereka sebagai orang-orang terhormat dan dari keluarga yang harmonis kembali
dikontraskan secara diametris dengan karakter para penculik.
Karakter-karakter para korban dan
penyerang dicitrakan pada titik terjauh sebuah spektrum yang bertentangan. Para
penyerang diasosiasikan dengan kaum komunis, digambarkan memiliki sifat
kebinatangan yang liar, sementara para korban dicitrakan sebagai manusia
terhormat.
Penggambaran yang sangat dramatis juga
ditampilkan dalam keluarga D.N. Pandjaitan. Saat para penculik mendobrak rumah
D.N. Pandjaitan, mereka menembak dua orang keponakan D.N. Pandjaitan, Victor
dan Albert. D.N. Pandjaitan yang ketika itu tidur lelap, terbangun oleh
serangan di rumahnya. Secara insting dia menyambar senapannya untuk membela
diri dan keluarganya, akan tetapi senjata itu rusak, sehingga dia harus
menyerah. Lalu dia mengenakan pakaian seragam militernya dengan tenang dan
melangkah ke luar menyongsong senjata yang diarahkan kepada dirinya. Ketika
D.N. Pandjaitan berlutut di teras rumahnya untuk berdoa, sebuah peluru
ditembakkan ke kepalanya diikuti oleh rentetan tembakan yang menembus tubuhnya
yang tersungkur.
Adegan ini memunculkan respons emosional
yang sangat kuat dari penonton atas tidak adanya belas kasihan dan rasa hormat
sama sekali dari penculik bahwa D.N. Pandjaitan bahkan tidak diberikan
kesempatan hanya untuk sekedar berdoa kepada Tuhannya. Kisah ini bahkan
didramatisir lebih jauh dengan penggambaran anak perempuan D.N. Pandjaitan,
Katrin, yang menjerit sambil berlari keluar hanya untuk menemukan genangan
darah ayahnya. Seketika dia mengambil darah itu dengan tangannya dan
menyapukannya ke wajahnya sendiri sambil menjerit-jerit historis.
Penutup
Sejarah Orde Baru adalah sejarah dengan
interpretasi tunggal, dan film yang dibahas tadi adalah salah satu usaha
menunggalkan interpretasi sejarah tersebut. Saat ini kita tahu bahwa ada lima
skenario berbeda yang dapat disarikan dari berbagai risalah tentang peristiwa
1965: pertama, pembunuhan terhadap para jenderal dipercaya seluruhnya dan
dilakukan oleh PKI dan simpatisannya; kedua, “percobaan kup” itu adalah hasil
dari pertarungan internal angkatan bersenjata; ketiga, Jenderal Soeharto adalah
pelaku sebenarnya, atau paling tidak, memengaruhi, memanipulasi, dan
mengaburkan pembunuhan itu untuk kepentingannya sendiri; keempat, Presiden
Soekarno member izin atau menganjurkan para perwira yang terkucil untuk
bertindak melawan kolega mereka sendiri yang disebut sebagai bagian dari “Dewan
Jenderal” rahasia; dan kelima, operasi intelijen asing terlibat di dalam
percobaan untuk menggulingkan Soekarno yang condong ke “kiri”, dari peranannya
yang sangat berpengaruh di Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga. Beberapa
penjelasan itu mengkombinasikan lebih dari satu skenario-skenario tersebut. Maka,
saat ini menjadi hal yang mendesak untuk membongkar segala modus Orde Baru
dalam aspek budaya, agar interpretasi tunggal terhadap G30S atau PKI atau
komunisme dapat dilawan.
Daftar Pustaka
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan
Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui
Sastra dan Film. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri
Isak, J. 2002. Dokumen CIA: Melacak
Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965. Jakarta: Hasta Mitra
Harsutejo. 2003. Sejarah yang
Digelapkan: Tangan Berdarah CIA dan Rezim Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra
Zurbuchen, Mary. “History, Memory, and the ‘1965 Incident in Indonesia”, asian survey, Vol. 42, No.4, The Legacy of Violence in Indonesia
(Juli-Agustus, 2002), hlm. 566.
Hunter, Sukarno and the Indonesian Coup, hlm. 126-127.
Atmowiloto, A. 1986. Pengkhianatan
G30S/PKI. Jakarta: Sinar Harapan
Hoodley, A. N, “Political Violence in Indonesian Literature: The Legacy of 1965”,
dalam Ingrid Wessel and Georgia Wimhover (eds.), Violence in Indonesia
(Hamburg: Abera, 2001)
Pitaja, B. A, “Pengkhianatan G30S PKI
yang Bersimbah Darah: Sebuah Penegasan dari Arifin C. Noer”, Sinematik
Indonesia, 9 Juli 1984
Gitlin, Todd.
1979. “Prime Time Ideology: The Hegemonic Process in Television”, dalam
Web:
Http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm diakses pada 12
Juni 2014 jam 22:00 WIB
Ternyata masih banyak anak bau kencur, yang sok membela pki, setelah setumpuk fakta yang tak terbantahkan... Betapa malangnya negeri ini....
BalasHapusApa yang dituliskan di atas, bukan untuk membela. Tapi semangat yang ditampilkan adalah untuk jujur dan kritis pada sejarah. Bagaimana usaha mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Sekarang apa fakta yang tak terbantahkan itu? Selama ini, khususnya 32 tahun pemerintahan Orde Baru dan selanjutnya, masih terdapat berbagai pembohongan terhadap sejarah kita sendiri. ampai kapan kita akan terus mengikuti dogma usang yang tak bia dibuktikan ecara ilmiah? Justru negeri ini akan sangat malang, bila anak-anak mudanya tidak peka pada sejarah, tidak mau membaca dengan lebih giat dan berdiskusi dengan kritis, serta tentunya hanya mengekor pada dogma yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Semangat adil pada apa yang terjadi di masa lampau adalah upaya mencari kebenaran itu. Salam.
Hapus