Sabtu, 27 September 2014

UU Pilkada dan Demokrasi yang Muaranya Pasti Perjuangan Politik

Oleh : Fathimah Fildzah Izzati, Anggota Redaksi Left Book Review IndoPROGRESS

Tulisan ini mungkin kurang enak dibaca dan mungkin akan dianggap sebagai nyinyiran oleh sebagian orang yang tidak atau mungkin belum menyadari pentingnya perjuangan politik, beyond dari perjuangan hukum ke Mahkamah Konstitusi. Drama pengesahan UU Pilkada di DPR semalaman tadi (25 September-26 September 2014) menyisakan banyak “penyesalan” dari berbagai pihak tentang ketidakdewasaan anggota parlemen, hipocrite walkout dari kubu fraksi Demokrat, selain tentunya pengesahan UU Pilkada itu sendiri yang menghapuskan hak pilih rakyat secara langsung dalam pemilukada di tingkat daerah (provinsi hingga kabupaten/kota). Beragam reaksi pun bermunculan, setidaknya di media sosial, dengan munculnya berbagai hashtag seperti #ShameOnYouSBY atau #RIPDemokrasi. Lebih jauh, muncul pula inisiatif untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang ternyata juga mendapat respon positif dari banyak rakyat. Tentu saja ini adalah hal yang sangat positif. Atmosfer perlawanan, bagaimanapun, selalu menjadi atmosfer terbaik yang tak pernah usai menyejukkan hati yang muak akan ketidakadilan.


Namun, melalui tulisan singkat ini, saya ingin mengajak sidang pembaca sekalian untuk bersama-sama sejenak berefleksi pada pengalaman kita beberapa tahun yang lalu ketika kita melakukan Judicial Review (JR) terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHP) yang akhirnya dibatalkan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi (MK). UU BHP yang disahkan pada tanggal 17 Desember 2008 oleh seluruh fraksi di DPR itu berisi semangat, pasal-pasal, dan ayat-ayat yang kuat untuk meliberalisasikan pendidikan. Bahasa sederhananya, UU BHP melegalkan mahalnya pendidikan tinggi yang telah lama tak dapat dijangkau sebagian besar rakyat Indonesia. Tentu saja, kita bersama-sama menolak UU BHP dan mengajukan JR kepada MK.

Setelah perjuangan panjang selama lebih dari 1 tahun, pada tanggal 30 Maret 2010, UU BHP pun dibatalkan oleh MK karena dianggap bertentangan dengan konstitusi kita UUD NKRI 1945. Kita tentu bahagia dan bersorak gembira atas kemenangan kecil kita itu. Tapi, kegembiraan dan harapan kemudian segera dihapuskan kembali oleh DPR yang akalnya panjang nan licik itu. Pada tahun 2012, mereka pun mengesahkan kembali Undang-Undang yang memiliki jiwa/ruh yang sama persis dengan UU BHP, yakni Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Kali ini, ruh liberalisasi pendidikan itu dibungkus dengan selimut tebal yang panas dan berbau tengik bernama “otonomi”. Kesal? Sudah pasti. Tapi kita tidak menyerah. Kita kembali mengajukan JR ke MK. Tahun berganti, perjuangan tak kenal henti. Namun kali ini MK tidak membatalkan UU Dikti. UU Dikti dianggap tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945! Lucu bukan? Ya itulah yang terjadi jika kita “hanya” mengandalkan perjuangan hukum di pundak Mahkamah Konstitusi. 

Kita dapat belajar dari pengalaman BHP dan UU Dikti, bahwa perjuangan hukum semata tidak akan pernah dapat menyelesaikan akar masalah. Mau tidak mau kita harus menyadari bahwa kekuatan yang sedang berhadap-hadapan dengan kita adalah kekuatan yang terogranisir rapi secara politik. Ya, mereka adalah partai-partai politik. Tentu saja, kekuatan mereka tidak ada apa-apanya dibanding dengan kekuatan rakyat. Ya, saya mengimani hal itu. Namun, mereka terorganisir secara politik dan itu yang belum kita miliki. Itu yang belum dimiliki oleh rakyat. Bagaimanapun, demokrasi bukan sesuatu yang turun sebagai anugerah tanpa usaha yang berdarah-darah dari jutaan rakyat. Demokrasi adalah hasil dari perjuangan politik! Perampasan demokrasi oleh segelintir oligarki busuk tentu harus diatasi dengan cara politik juga. Jika mereka mengorganisir diri dalam sebuah kekuatan politik yakni partai politik, mengapa rakyat tidak mendirikan juga partai politiknya sendiri?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar