Oleh : Fathimah Fildzah Izzati, Anggota Redaksi Left Book Review IndoPROGRESS
Tulisan ini
mungkin kurang enak dibaca dan mungkin akan dianggap sebagai nyinyiran oleh sebagian orang yang tidak
atau mungkin belum menyadari pentingnya perjuangan politik, beyond dari perjuangan hukum ke Mahkamah
Konstitusi. Drama pengesahan UU Pilkada di DPR semalaman tadi (25 September-26
September 2014) menyisakan banyak “penyesalan” dari berbagai pihak tentang
ketidakdewasaan anggota parlemen, hipocrite
walkout dari kubu fraksi Demokrat, selain tentunya pengesahan UU Pilkada
itu sendiri yang menghapuskan hak pilih rakyat secara langsung dalam pemilukada
di tingkat daerah (provinsi hingga kabupaten/kota). Beragam reaksi pun
bermunculan, setidaknya di media sosial, dengan munculnya berbagai hashtag seperti #ShameOnYouSBY atau
#RIPDemokrasi. Lebih jauh, muncul pula inisiatif untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
(MK) yang ternyata juga mendapat respon positif dari banyak rakyat. Tentu saja
ini adalah hal yang sangat positif. Atmosfer perlawanan, bagaimanapun, selalu
menjadi atmosfer terbaik yang tak pernah usai menyejukkan hati yang muak akan
ketidakadilan.
Namun, melalui
tulisan singkat ini, saya ingin mengajak sidang pembaca sekalian untuk
bersama-sama sejenak berefleksi pada pengalaman kita beberapa tahun yang lalu
ketika kita melakukan Judicial Review
(JR) terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHP) yang akhirnya
dibatalkan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi (MK). UU BHP yang disahkan
pada tanggal 17 Desember 2008 oleh seluruh fraksi di DPR itu berisi semangat,
pasal-pasal, dan ayat-ayat yang kuat untuk meliberalisasikan pendidikan. Bahasa
sederhananya, UU BHP melegalkan mahalnya pendidikan tinggi yang telah lama tak
dapat dijangkau sebagian besar rakyat Indonesia. Tentu saja, kita bersama-sama
menolak UU BHP dan mengajukan JR kepada MK.
Setelah
perjuangan panjang selama lebih dari 1 tahun, pada tanggal 30 Maret 2010, UU
BHP pun dibatalkan oleh MK karena dianggap bertentangan dengan konstitusi kita UUD
NKRI 1945. Kita tentu bahagia dan bersorak gembira atas
kemenangan kecil kita itu. Tapi, kegembiraan dan harapan kemudian segera
dihapuskan kembali oleh DPR yang akalnya panjang nan licik itu. Pada tahun 2012,
mereka pun mengesahkan kembali Undang-Undang yang memiliki jiwa/ruh yang sama
persis dengan UU BHP, yakni Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Kali
ini, ruh liberalisasi pendidikan itu dibungkus dengan selimut tebal yang panas
dan berbau tengik bernama “otonomi”. Kesal? Sudah pasti. Tapi kita tidak
menyerah. Kita kembali mengajukan JR ke MK. Tahun berganti, perjuangan tak
kenal henti. Namun kali ini MK tidak membatalkan UU Dikti. UU Dikti dianggap
tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945! Lucu bukan? Ya itulah yang terjadi jika
kita “hanya” mengandalkan perjuangan hukum di pundak Mahkamah Konstitusi.
Kita dapat
belajar dari pengalaman BHP dan UU Dikti, bahwa perjuangan hukum semata tidak
akan pernah dapat menyelesaikan akar masalah. Mau tidak mau kita harus
menyadari bahwa kekuatan yang sedang berhadap-hadapan dengan kita adalah
kekuatan yang terogranisir rapi secara politik. Ya, mereka adalah partai-partai
politik. Tentu saja, kekuatan mereka tidak ada apa-apanya dibanding dengan
kekuatan rakyat. Ya, saya mengimani hal itu. Namun, mereka terorganisir secara politik
dan itu yang belum kita miliki. Itu yang belum dimiliki oleh rakyat.
Bagaimanapun, demokrasi bukan sesuatu yang turun sebagai anugerah tanpa usaha
yang berdarah-darah dari jutaan rakyat. Demokrasi adalah hasil dari perjuangan
politik! Perampasan demokrasi oleh segelintir oligarki busuk tentu harus
diatasi dengan cara politik juga. Jika mereka mengorganisir diri dalam sebuah
kekuatan politik yakni partai politik, mengapa rakyat tidak mendirikan juga
partai politiknya sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar