PERNYATAAN
SIKAP SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF
UNIVERSITAS INDONESIA
No. 2/PS/XI/2014
Batalkan Kenaikan Harga BBM, Wujudkan Pemerintahan yang pro Rakyat!
Batalkan Kenaikan Harga BBM, Wujudkan Pemerintahan yang pro Rakyat!
Beberapa minggu
terakhir, isu kenaikan harga BBM kembali menghangat. Isu ini terakhir menjadi
perhatian publik dan menimbulkan perlawanan rakyat di berbagai daerah pada bulan
Maret 2012 dan Juni 2013.
Pemerintah baru Jokowi saat ini menaikan harga BBM kembali. Saat
ini, pemerintah menggunakan dalih yang sama, yaitu bahwa jumlah subsidi yang
dianggarkan untuk konsumsi BBM telah membengkak, sehingga efeknya membebani
APBN.
Dalam beberapa kali
pernyataannya, Pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa menaikan harga
BBM adalah pilihan sulit, namun harus dilakukan. Kondisi tersebut dilakukan dengan
dalih untuk melakukan penyelamatan anggaran. Bila dibandingkan dengan tahun
lalu, dan beberapa tahun sebelumnya, alasan yang dipakai Pemerintah selalu
sama, yaitu dilakukan untuk menyelamatkan anggaran APBN. Beban subsidi BBM yang
semakin berat dikatakan membuat APBN kita “tercekik” sehingga solusinya adalah
pencabutan subsidi BBM. Dengan demikian, konsekuensi real yang akan terjadi adalah harga BBM harus naik. Permasalahan
yang terjadi tiap tahun pasti sama seperti itu. Padahal, APBN terbebani bukan
karena subsidi melainkan oleh korupsi, kebocoran anggaran, dan biaya birokrasi
yang tidak rasional.
Rencana Pemerintah
untuk menaikan harga BBM ini benar-benar tak melihat realitas di masyarakat.
Sebagai anchor price, kenaikan harga
BBM akan menyebabkan kenaikan harga-harga (inflasi) barang dan jasa, terutama
pangan, dan yang paling menerima imbasnya adalah rakyat miskin yang akan
terancam daya beli dan kebutuhan dasarnya seperti, pendidikan, kesehatan, dan
pangan. Di sisi lain, Pemerintah juga menerapkan upah murah bagi
pekerja. Sehingga, imbasnya
pasti akan menjadikan rakyat semakin terjepit
hidupnya.
Pemerintah
juga beralasan bahwa dana subsidi BBM akan dialihkan untuk pembangunan
infrastruktur, misalnya jalan dan tol. Namun alasan tersebut hanya menjadi
dalih atas proyek mafia infrastruktur dan upaya untuk mendorong investor asing.
Sementara itu, pembangunan
infrastruktur itu belum tentu akan berdampak pada masyarakat kecil,
sebagaimana pembangunan
jalan tol dan pelabuhan-pelabuhan besar hanya dinikmati oleh segelintir orang
bukan, misalnya
nelayan. Selain itu, pembangunan jalan dan tol pada dasarnya merupakan akomodasi
atas kepentingan industri otomotif yang, dengan jelas, tidak dapat diakses oleh
masyarakat kecil. Sementara industri otomotif tidak dapat dikontrol lajunya,
maka penghematan atas konsumsi BBM hanya menjadi dalih belaka. Selain itu,
argumen soal perbaikan transportasi publik juga menjadi tidak relevan ketika
industri otomotif tidak dikontrol.
Pemerintah menyatakan
bahwa subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran. Menurutnya, kelas menengah ke
atas yang menikmatinya, sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah justru sedikit
yang menikmatinya. Keadaan ini selain tak tepat sasaran, juga membuat konsumsi
BBM melonjak. Oleh karena itu, subsidi untuk BBM harus dicabut dan dialokasikan
pada kebijakan lain yang lebih baik. Dengan demikian, konsumsi BBM diasumsikan dapat dikurangi.
Dalam hal ini, terjadi
kecacatan logika dalam pikiran Pemerintah. Saat subsidi dicabut, kelompok yang
paling merasakan dampaknya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Bukan
kelas menegah ke atas, dan kondisi tersebut tidak mengurangi konsumsi BBM. Hal
ini karena kurva permintaan BBM adalah inelastis
sehingga melonjaknya harga BBM tidak signifikan mengurangi konsumsi BBM, Justru
rakyat miskin akan semakin terbebani karena tetap harus membeli BBM untuk
keperluan sehari-hari, sehingga mengorbankan kebutuhan dasarnya yang lain.
Padahal, kelompok tersebut adalah mayoritas di negeri ini.
Sebenarnya, permasalahan
harga BBM ini adalah puncak gunung es dari permasalahan regulasi Migas di
Indonesia sejak era reformasi, sejak dirancangnya UU No. 22/2001 Tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi menggantikan UU No. 44/Prp/1960 Tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, yang menjustifikasi lepasnya penguasaan
negara atas sektor migas. Hal ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Rencana kebijakan pengurangan subsidi BBM
bukan berdasar strategi industri nasional melainkan dilakukan untuk kepentingan
pasar dan modal. Di sisi lain, pola relasi kekuasaan yang terjalin di
sekitar pengelolaan Migas berbasis pada kekuasaan yang oligarkis. Kekuasaan
oligarkis ini dapat dipahami dalam bahasa awam denngan bentuk Mafia Migas.
Sehingga persoalan liberalisasi migas berkelit kelindan dengan kekuasaan yang
oligarkis. Itulah yang menyebabkan pengelolaan migas di Indonesia tidak
melibatkan dan bertujuan untuk melayani publik.
Kondisi demikian
terjadi karena rezim Jokowi saat ini tidak terlepas dari kerangka ekonomi
politik Neo-liberal
yang berusaha meliberalisasi sektor Migas, melepaskan tanggung jawab negara terhadap rakyat dengan
memotong biaya-biaya sosial, termasuk subsidi BBM, dan menjadikan kebebasan pasar
sebagai berhalanya. Selain itu, itu membuktikan bahwa kekuasaan Jokowi,
walaupun terlihat populis, sebenarnya tidak terlepas dari kekuasaan yang
oligarkis. Hal ini telah disadari sejak pencalonan Jokowi-JK dalam pemilihan
Presiden. Untuk itu, ke depan, demi mendapatkan masa depan yang lebih baik,
gerakan sosial harus memiliki kekuatan politiknya sendiri, yang menjadi
alternatif bagi Neoliberalisme dan Oligarki di Indonesia.
Dengan demikian, Serikat
Mahasiswa Progresif
Universitas Indonesia (SEMAR UI) menyatakan
untuk
MENOLAK DAN MELAWAN KENAIKAN
HARGA BBM dengan alasan di atas. Melalui pernyataan sikap ini, Kami MENUNTUT
Kepada Pemerintah untuk:
1.
BATALKAN
kenaikan Harga BBM pada tahun ini!
2.
PERBAIKI
Regulasi pengelolaan Migas yang sesuai
dengan Pasal 33 UUD 1945!
3.
BERANTAS Mafia di dalam pengelolaan Migas di indonesia!
4. ADAKAN
dengan SEGERA jejaring perlindungan sosial tanpa iuran demi pemenuhan tanggung jawab negara terhadap
hak-hak EKOSOB masyarakat!
5. WUJUDKAN
Pemerintahan yang PRO-RAKYAT, dan TOLAK Sistem NEO-LIBERAL di Indonesia!
Depok, 19 Nopember 2014
Contact
Person:
Dicky D. Ananta (085790499259), Bayu Baskoro
(081584757350)
@SEMARUI,
serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar