Mohamad Zaki Hussein
Editor
IndoProgress dan Anggota Partai Rakyat Pekerja
Dalam ilmu sosial, ada beragam metode analisa sosial. Tiap
metode memiliki asumsi-asumsi teoritis tertentu tentang hakikat dasar
masyarakat (ontologi sosial). Demikian pula dengan Marxisme sebagai metode
analisa sosial. Asumsi ontologi sosial dari metode analisa Marxis adalah
materialisme historis. Di sini, kita akan membahas dua teori pokok materialisme
historis, yaitu pertama, teori
tentang hubungan antara masyarakat/struktur sosial dengan individu/agensi, dan kedua, teori tentang relasi antara
infrastruktur (ekonomi) dengan suprastruktur (politik, budaya, hukum, dst.).
Relasi
Masyarakat-Individu
Hubungan antara masyarakat dengan individu adalah salah
satu masalah klasik dalam ilmu sosial. Ada setidaknya tiga teori tentang
persoalan ini. Teori yang pertama
adalah teori yang menyatakan bahwa masyarakat merupakan hasil dari tindakan
intensional individu. Dengan demikian, fenomena sosial bisa dijelaskan semata-mata dengan fakta-fakta
tentang individu-individu. Yang biasa dianggap sebagai representasi dari teori
ini adalah Max Weber. Tetapi, Karl Popper juga pernah menyatakan bahwa ‘semua
fenomena sosial...harus dipahami sebagai hasil dari keputusan, dst., individu-indvidu.’[1]
Teori ini
biasa disebut dengan voluntarisme[2] atau metodologi individualisme karena teori
ini menganggap individu sebagai makhluk otonom yang ’berkehendak bebas’ dan
menjadi determinan dari masyarakat.
Gambar 1: Voluntarisme
Asumsi voluntaris bisa merasuk ke pikiran kita tanpa kita
sadari. Teori konspirasi yang digandrungi sebagian aktivis, misalnya,
mengandung asumsi voluntaris di dalamnya. Berbagai fenomena dan peristiwa
sosial, mulai dari konflik etnis sampai Mogok Nasional serikat reformis, berusaha
dijelaskan sebagai hasil tindakan indivdu-individu konspirator sebagai
determinannya, entah itu konspirasi preman-militer, elit serikat dengan partai,
dst. Yang
tidak bisa dijelaskan oleh teori konspirasi adalah kenapa massa mengikuti
kemauan para konspirator? Kenapa etnis-etnis yang berkonflik terpicu oleh para
provokator? Kenapa
jutaan massa buruh tumpah ruah ke jalan mengikuti seruan para elit serikat
reformis? Kelemahan teori voluntaris adalah pengabaiannnya atas faktor-faktor
struktural/sistemik dan penekanannya yang berlebihan terhadap ’kehendak’
individu dalam mengkonstitusikan sebuah fenomena sosial.
Teori yang kedua
memiliki logika yang berbanding terbalik dengan teori voluntarisme. Teori kedua
ini menyatakan bahwa masyarakat adalah sebuah kenyataan yang terlepas dari
individu-individu di dalamnya dan membentuk individu-individu di dalamnya. Teori ini bisa kita sebut
dengan―meminjam istilah Bhaskar―teori kolektivisme.
Yang biasa dianggap
sebagai representasi dari teori ini adalah Émile Durkheim. Menurutnya, berbagai
‘fakta sosial,’ seperti sistem tanda atau bahasa, sistem nilai tukar, dan
sebagainya, “berfungsi di luar kebiasaan-kebiasaan yang saya lakukan.” Masyarakat
memiliki cara bertindak atau berpikirnya sendiri yang “tidak saja berada di
luar individu, melainkan lebih dari itu, memiliki kekuatan menyuruh dan memaksa
terhadap individu terlepas dari kemauan individualnya.”[3]
Proses pembentukan individu oleh masyarakat ini biasa disebut dengan
sosialisasi atau internalisasi.
Gambar 2: Kolektivisme
Karena menganggap individu hanya sebagai efek dari
masyarakat, teori kolektivisme mengalami kesulitan ketika membahas perubahan sosial.
Kalaupun ada pembahasan tentang perubahan sosial, perubahan itu biasanya digambarkan
sebagai sebuah ’proses alamiah’ tanpa ada peran individu-individu di dalamnya. Yang
berbahaya dari teori kolektivisme ini adalah implikasi politiknya. Jika
individu hanya dianggap sebagai otomaton yang memanifestasikan ‘hukum-hukum
sosial’ yang berada di luar diri mereka, dan perubahan sosial selalu merupakan sebuah
’proses alamiah’ tanpa ada peran individu-individu di dalamnya, maka konsekuensi
logisnya adalah tidak ada gunanya aktif secara politik, karena apapun tindakan
individual kita, kita tidak akan pernah bisa membuat perubahan sosial jika
masyarakat belum menghendakinya. Lebih baik menunggu masyarakat itu berubah
sendiri. Implikasi dari teori kolektivisme, dengan demikian, adalah fatalisme atau kepasrahan.
Marxisme sering ditafsirkan sepadan dengan teori
kolektivisme. Beberapa perkataan Marx, kalau dilihat secara parsial, memang
bisa mengarah ke situ. Dalam Kata Pengantar untuk A Contribution to the Critique of Political Economy, misalnya, ia
mengatakan bahwa “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tetapi
keberadaan sosial manusia yang menentukan kesadarannya.”[4]
Pernyataan ini suka ditafsirkan menjadi mirip dengan teori kolektivisme, bahwa manusia
dan ide ditentukan secara satu arah oleh lingkungan material dan sosialnya. Tetapi,
beberapa perkataan Marx yang lain justru bertentangan dengan teori
kolektivisme. Misalnya, dalam Concerning
Feuerbach, ia melontarkan kritiknya atas ”materialisme lama” yang mirip
dengan teori kolektivis. Ia menyatakan bahwa ”ajaran materialis mengenai
perubahan keadaan dan pendidikan melupakan bahwa keadaan dirubah oleh manusia.”[5]
Penulis sendiri menafsirkan bahwa teori Marx, meski
menganggap masyarakat mengkondisikan individu, tetapi individu pada gilirannya juga
bisa merubah masyarakat. Perkataan Marx yang paling mencerminkan teori ini
mungkin adalah pernyataannya di The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte
bahwa ”manusia membuat sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya
sesuka-suka mereka dalam kondisi yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri;
tetapi mereka membuatnya dalam kondisi yang ada, terberi dan diwariskan dari
masa lalu.”[6]
Sejauh yang penulis ketahui, Marx memang tidak pernah merumuskan pandangannya
tentang hubungan masyarakat-individu secara sistematis. Perkataan-perkataannya
mengenai persoalan ini tersebar secara sporadis di berbagai karyanya. Itulah
kenapa terdapat perbedaan penafsiran atas hal ini. Namun, menurut hemat
penulis, penafsiran yang melihat hubungan timbal-balik masyarakat-individu
lebih berguna daripada penafsiran
yang kolektivis, karena lebih bisa menjelaskan hal-hal yang sulit dijelaskan
oleh teori kolektifis, seperti perubahan sosial.
Teori yang melihat hubungan masyarakat-individu secara
timbal-balik ini bisa kita sebut dengan teori relasionisme, karena titik beratnya ada pada relasi. Masyarakat
adalah kumpulan relasi antar individu, sehingga masyarakat tidak bisa ada jika
tidak direproduksi oleh individu-individu
di dalamnya. Namun, individu-individu di dalamnya juga dikondisikan oleh relasi-relasi yang melingkupi mereka (masyarakat),
yang seringkali tidak mereka ciptakan,
tetapi sudah ada sebelum mereka lahir dan diwarisi dari generasi sebelumnya,
sehingga bersifat terberi bagi mereka.
Meski demikian, individu-individu ini pada gilirannya bisa merubah relasi-relasi tersebut. Di sini, penting untuk memaknai
arti kata ”dikondisikan” bukan sebagai hubungan kausal satu-arah, tetapi sebagai
hubungan yang memberikan tekanan dan batas-batas sekaligus pilihan bagi individu. Pilihan yang tersedia
bagi individu secara umum ada dua, yaitu reproduksi
dan transformasi. Masyarakat
cenderung menekan individu untuk mereproduksi relasi-relasi sosial yang ada,
tetapi juga memberikan pilihan bagi individu untuk melakukan tindakan
transformatif tertentu sejauh batas-batas yang dimungkinkan oleh relasi-relasi
sosial yang ada, di mana tindakan ini pada gilirannya bisa merubah
relasi-relasi itu, termasuk merubah batasan-batasan yang sebelumnya ada. Adanya
pilihan ini dimungkinkan oleh karena adanya kontradiksi
dalam relasi-relasi sosial itu sendiri.
Sekalipun secara formal-abstrak,
kita bisa mengatakan bahwa hubungan masyarakat dan individu bersifat timbal-balik, tetapi secara historis, individu selalu lahir ke dalam
relasi-relasi sosial tertentu yang bersifat terberi dan diwariskan dari
generasi sebelumnya. Artinya, ia selalu dikondisikan
terlebih dahulu oleh masyarakat, baru kemudian
bisa merubah masyarakat. Tindakan individu untuk merubah masyarakat, dengan
demikian, tidak pernah berangkat dari ‘ruang kosong.’ Adapun kapasitas individu
untuk merubah masyarakat itu bisa berbeda-beda dan bisa meningkat jika
individu-individu ini menyatu dalam
sebuah kelompok atau sebagai sebuah kelas. Di sini, agensi tidak selalu harus
individu, tetapi bisa atau bahkan lebih sering berupa kelompok atau kelas sosial.
Lalu, yang penting juga untuk disebutkan di sini adalah hubungan antara alam
dengan masyarakat yang mirip dengan hubungan masyarakat-individu. Alam pada
awalnya mengkondisikan masyarakat, tetapi masyarakat kemudian bisa merubah
alam. Meski demikian, berbeda dengan masyarakat yang selalu mensyaratkan
individu untuk bisa ada, alam tidak
mensyaratkan adanya masyarakat atau manusia untuk bisa ada dan bekerja.
Gambar 3: Relasionisme
Infrastruktur
dan Suprastruktur
Di atas tadi, sudah dipaparkan secara singkat hubungan masyarakat/struktur
dengan individu/agensi menurut materialisme historis. Sekarang ini, kita akan
masuk ke dalam pembahasan tentang bidang-bidang yang ada dalam masyarakat. Sudah
umum kiranya untuk membagi masyarakat (kumpulan relasi-relasi sosial) ke dalam
bidang-bidang, seperti ekonomi, politik, budaya, hukum, dsb. Dalam Marxisme pun
terdapat ’metafor bangunan,’ yaitu ’infrastruktur’ dan ’suprastruktur,’ untuk
melihat bidang-bidang ini beserta hubungan di antara mereka. Infrastruktur di sini merujuk ke ’ekonomi,' terutama
produksi dan reproduksi manusia, sementara suprastruktur, bisa dikatakan
terdiri dari dua unsur, yaitu legal-politis (negara dan hukum) serta budaya
(ideologi, dst.). Sama seperti dalam persoalan hubungan masyarakat-individu,
terdapat perbedaan penafsiran di kalangan Marxis mengenai hubungan antara
infrastruktur dengan suprastruktur. Sebagian kalangan Marxis menganggap hubungan
ini bersifat ’deterministik,’ di mana basis ekonomi menentukan secara satu arah
suprastrukturnya.
Kalau kita coba lihat
perkataan-perkataan Marx, lagi-lagi kita temukan ’ambiguitas.’ Kutipan yang
cukup sering digunakan untuk menguatkan tafsir ’determinisme ekonomi’ atas Marx
adalah kata-katanya dalam Kata Pengantar untuk A
Contribution to the Critique of Political Economy:
”Dalam produksi sosial atas
keberadaannya, manusia secara tak terhindarkan masuk ke dalam relasi-relasi
tertentu, yang terlepas dari kemauan mereka, yakni relasi produksi yang sesuai
dengan tahap tertentu dari perkembangan kekuatan produksi material. Totalitas
relasi produksi ini mengkonstitusi struktur ekonomi masyarakat, fondasi riil,
yang darinya muncul suprastruktur legal dan politik, serta bentuk-bentuk
kesadaran sosial tertentu yang bersesuaian dengannya. Modus produksi dari
kehidupan material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik dan
intelektual secara umum.... Pada tahap perkembangan tertentu, kekuatan
produktif material masyarakat akan berkonflik dengan relasi produksi yang ada
atau―ini hanya mengekspresikan hal serupa dalam hukum―relasi kepemilikan dalam
kerangka mana mereka bekerja selama ini.... Perubahan dalam fondasi ekonomi
cepat atau lambat akan mengarah kepada transformasi keseluruhan suprastruktur
yang amat luas.... Tidak ada tatanan sosial yang pernah hancur sebelum semua kekuatan
produktif, yang untuknya tatanan itu memadai, berkembang, dan relasi produksi
baru yang superior tidak pernah menggantikan yang lama sebelum sebelum kondisi
material untuk keberadaannya telah matang dalam kerangka masyarakat yang lama.”[7]
Kalau kita lihat, memang ada
gagasan tentang hierarki antar berbagai bidang dalam masyarakat yang disebut di
atas. Pertama, hirarki antara struktur ekonomi yang menjadi ”fondasi
riilnya” dengan ”suprastruktur legal dan politik serta bentuk-bentuk kesadaran
sosial” yang muncul dari fondasi riil ini dan bersesuaian dengannya. Kalau fondasi ekonomi ini mengalami perubahan, maka keseluruhan
suprastruktur cepat atau lambat juga akan mengalami perubahan. Kedua,
hirarki antara kekuatan produktif dengan relasi sosial produksi dalam ranah
ekonomi itu sendiri. Ini terlihat dari pernyataan bahwa perubahan relasi
produksi itu hanya dimungkinkan jika kekuatan-kekuatan produktif yang ada
memang telah matang.
Hubungan hirarki ini sering
ditafsirkan sebagai hubungan kausal satu-arah, sehingga seakan-akan
suprastruktur bersifat pasif terhadap infrastruktur, dan dalam ranah ekonomi,
seakan-akan relasi-relasi produksi bersifat pasif terhadap kekuatan-kekuatan
produktif. Konsekuensi logisnya, basis ekonomi atau secara lebih khusus,
kekuatan-kekuatan produktif, menjadi satu-satunya faktor yang menentukan.
Menurut penulis, penafsiran ini problematik, karena kalau kita periksa lagi,
Engels juga pernah membantah tafsir yang seperti ini. Dalam suratnya kepada J.
Bloch, Engels menyatakan: ”Menurut konsepsi materialis tentang sejarah,
produksi dan reproduksi kehidupan riil pada akhirnya menjadi faktor
penentu sejarah. Marx atau saya tidak pernah menyatakan lebih dari itu.
Sekarang, kalau seseorang datang dan mendistorsi hal ini sehingga bermakna
bahwa faktor ekonomi adalah satu-satunya faktor yang menentukan, maka ia
merubah proposisi pertama itu menjadi sebuah frase yang tidak bermakna, abstrak
dan absurd.”[8]
Memang agak sulit mengambil
kesimpulan dari ’ambivalensi’ pernyataan Marx di atas. Tetapi, penulis sendiri menafsirkan
pemikiran Marx mengenai hubungan antara infrastruktur-suprastruktur mirip
dengan hubungan masyarakat-individu. Penafsiran ini, menurut hemat penulis,
lebih berguna daripada penafsiran yang deterministik, karena bisa menjelaskan
hal-hal yang sulit dijelaskan oleh penafsiran deterministik, seperti peran
negara (suprastruktur) dalam memompa industrialisasi (infrastruktur), Jadi,
infrastruktur memberikan tekanan dan batas-batas sekaligus pilihan bagi suprastruktur, tapi
suprastruktur pada gilirannya bisa bertindak balik dan merubah infrastruktur. Infrastruktur
cenderung menekan suprastruktur untuk mengambil bentuk-bentuk tertentu, tetapi
juga memberikan pilihan bagi suprastruktur untuk mengambil bentuk-bentuk lain sejauh
batas-batas yang dimungkinkan oleh infrastruktur tersebut, di mana
suprastruktur dalam bentuk-bentuk tertentunya kemudian bisa ikut mengubah infrastruktur, termasuk merubah
batasan-batasan yang sebelumnya ada Adanya pilihan ini dimungkinkan oleh karena
adanya kontradiksi dalam infrastruktur
dan suprastruktur itu sendiri.
Sekarang, kita perlu membahas isi dari infrastruktur itu sendiri untuk bisa lebih memahami
hal-hal yang kita bahas di atas. Di atas tadi, kita sudah menyebutkan adanya
dua unsur dari infrastruktur, yakni kekuatan
produktif dan relasi produksi.
Kekuatan produktif bisa dikatakan terdiri dari dua unsur lagi, yaitu alat-alat produksi dan tenaga kerja, sementara relasi produksi
adalah relasi sosial yang ada antara orang-orang yang mengerjakan produksi
tersebut. Dalam masyarakat berkelas, relasi produksi mengambil bentuk relasi kelas yang basisnya adalah
kepemilikan atas alat-alat produksi, sehingga terkadang disebut juga sebagai relasi kepemilikan. Semua ini biasa
disebut dengan cara atau modus produksi. Sebenarnya dalam ranah
infrastruktur ini, selain modus produksi, ada juga modus distribusi pendapatan,
pertukaran dan konsumsi. Namun, untuk sekarang, hal itu akan kita kesampingkan dulu.
Kemudian, di atas tadi, kita juga sudah sebutkan adanya kontradiksi dalam relasi-relasi sosial, baik di tingkatan
infrastruktur dan suprastruktur. Dan salah satu kontradiksi fundamental dalam masyarakat berkelas adalah
kontradiksi kelas, yang terletak di relasi produksi, tapi juga mengemuka dalam
relasi-relasi sosial di tingkatan suprastruktur (pertentangan-pertentangan
politik, budaya, dst.).
Lalu, bagaimana hubungan antara kekuatan produktif dan
relasi produksi? Seperti yang telah disinggung di atas, ada hubungan hirarki antara
kekuatan produktif dan relasi-relasi produksi. Tetapi, hubungan hirarki ini
tidak bisa ditafsirkan sebagai hubungan kausal satu arah, karena menyatakan
demikian akan membuat kita terjatuh bukan lagi ke determinisme ekonomi, tapi ke
determinasi teknologi. Padahal teknologi itu sendiri merupakan hasil kerja
manusia. Menurut hemat saya, hubungan antara kekuatan produktif dan relasi
produksi mirip dengan hubungan infrastruktur-suprastruktur dan
masyarakat-individu. Jadi, kekuatan produktif memberikan tekanan dan batas-batas sekaligus
pilihan bagi relasi-relasi produksi,
di mana relasi-relasi produksi ini pada gilirannya bisa merubah situasi
kekuatan produktif yang ada, termasuk merubah batas-batas yang diciptakan oleh
situasi kekuatan produktif yang lama.
Gambar 4: Bangunan
Masyarakat
[1] Roy Bhaskar, The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the
Contemporary Human Sciences, edisi kedua (Hemel Hempstead: Harvester
Wheatsheaf), 1989, hlm. 27.
[2] Voluntarisme (Inggris: voluntarism) berasal dari kata Latin, voluntas, yang artinya
"kehendak."
[3] Émile Durkheim, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, disunting oleh Taufik
Abdullah dan A. C. Van der Leeden (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm.
29.
[4] Karl
Marx, “Preface (to A Contribution to the
Critique of Political Economy),” dalam Karl Marx, Early Writings, diterjemahkan oleh Rodney Livingstone dan Gregor
Benton (London: Penguin Books, 1992), hlm. 425.
[5] Karl Marx, “Concerning Feuerbach,” dalam
Karl Marx, Early Writings, hlm. 422.
[6] Karl Marx, “The Eighteenth Brumaire of
Louis Bonaparte,” dalam Marx, Later
Political Writings, diedit dan diterjemahkan oleh Terrell Carver
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 32.
[7] Karl Marx, “Preface,” op. cit., hlm. 425-426.
[8] Surat Engels kepada J.
Bloch, 21 September 1890, diambil dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_09_21a.htm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar