Tanggapan untuk Daya Cipta, dan tambahan untuk Rio Apinino.
Satu hal yang menyenangkan jika mahasiswa kembali memikirkan gerakannya.
Setidaknya ini yang saya rasakan sekarang. Bagi saya, perdebatan tentang
gerakan mahasiswa merupakan trend positif yang harus selalu dipacu guna
membantu arah gerakan mahasiswa supaya lebih sesuai dengan zamannya. Dan,
semakin jelas orientasinya. Hal ini penting karena kita berada di era yang
minim perdebatan di konteks ini. Sesuatu yang semakin jarang kita dengar
perdebatannya, baik secara ontologis atau epistemologis, di tataran kampus,
minimal di lingkungan civitas akademika Universitas Indonesia. Momen seperti
pemilihan Ketua BEM pun luput tentang ini. Kalaupun ada perdebatan, menurut
saya, itu hanya sekedar lips service saja. Sebuah tradisi tahunan yang
tak membawa arti tentang kemajuan gerakan mahasiswa. Mungkin, bila saya boleh
berandai-andai, salah satunya disebabkan oleh kondisi yang hagemonik di kampus
yang didominasi oleh asas “kepatuhan”, sehingga mendegradasi kemampuan berpikir
kritis di kalangan mahasiswa.
Tulisan Daya, dalam artikelnya di blog Semar UI yang berjudul “Gerakan Mahasiswa,Paradigma Kekirian, dan Demokrasi“[2]
menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Dan, menurut saya, akan menjadi pemicu
perdebatan yang bagus, asalkan diisi dengan hal yang substansial. Setidaknya
hal itu dapat merangsang mahasiswa untuk kembali berdebat tentang gerakannya.
Oleh karena itu, dalam konteks ini, saya akan lebih fokus pada kritik Daya
terhadap gerakan mahasiswa sekarang.
Hal yang menjadi kritik utama Daya dalam melihat gerakan mahasiswa saat
ini, bila saya tak salah merumuskan, berada pada kecenderungan gerakan
mahasiswa yang berparadigma kekiri-kirian dengan menempatkan masyarakat miskin
sebagai obyeknya. Ini kemudian membawa konsekuensi bahwa gerakan mahasiswa
menjadi tidak relevan lagi dengan zamannya, terutama di era demokrasi saat ini.
Alih-alih akan menjadikan gerakan mahasiswa semakin maju, tapi justru
membuatnya semakin mundur dengan ditinggalkan massanya sendiri, yaitu
mahasiswa. Hal ini yang membawa saya pada sebuah pertanyaan, Mengapa gerakan
mahasiswa saat ini berparadigma kekiri-kirian (hanya) dengan menempatkan
masyarakat miskin sebagai obyeknya? Lantas, kepada siapa seharusnya orientasi
gerakan mahasiswa saat ini ditujukan? Apa tawaran untuk gerakan mahasiswa saat
ini?
Kerancuan Istilah
Sebelum jauh melangkah, terdapat beberapa terma yang perlu diluruskan pada
tulisan Daya tersebut. Hal ini sekaligus menjadi kritik kepadanya atas
penggunaan terma-terma itu. Selain kabur atas makna yang dimaksudkan, secara
ilmiah pun akan sulit ditemukan maksudnya. Pertama, tentang term kekiri-kirian.
Term ini, bagi saya tak memiliki arti yang jelas, atas apa yang dimaksudkan
kekiri-kirian itu. Daya sendiri pun tak memberikan maksud yang jelas apa yang
dimaaksud kekiri-kirian itu. Dalam pembahasannya atas gerakan mahasiswa yang di
judge-nya memiliki paradigma kekiri-kirian, Daya hanya memberikan
indikator bahwa gerakan mahasiswa dianggap kekiri-kirian sebagai berikut,
“Mahasiswa dalam konteks ini sangat kekirian dan anti-imperialis, mengkritik semua lembaga pendanaan yang dekat dengan asing terutama dari Amerika Serikat. Di samping itu, mahasiswa ‘mencari’ makna demokrasi yang khas Indonesia. Pandangan ini berpadu, bahwa kapitalisme tidak bisa disandangkan dengan demokrasi karena terdapat akumulasi modal di tangan elit. Model demokrasi yang dari Amerika Serikat disebut sebagai ‘demokrasi kapitalis’ yang tidak membawa semangat kerakyatan. Oleh karena itu, harus dipadukan dengan nilai-nilai asli Indonesia yang sangat ‘sosialis’.[3]
Dari itu, saya hanya dapat menarik pengertian bahwa paradigma kekiri-kirian
karena “mengkritik lembaga pendanaan asing”, “mengkritik kapitalisme yang berkelindan
dengan demokrasi”, dan “berusaha mencari demokrasi asli Indonesia”.
Dalam paragraf lain, term kekiri-kirian ditunjukan Daya dengan karakter
mahasiswa dalam mengkonseptualisasikan “rakyat”. Menurutnya, gerakan mahasiswa
mengalami sindrom kekiri-kirian karena “Rakyat dispesifikasikan sebagai ‘kaum
lemah, proletar, miskin dan tertindas”. Maka, konsekuensi logisnya, membela
posisi rakyat tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari term
kekiri-kiriannya mahasiswa. Konseptualisasi ini membawa Daya pada sebuah
kesimpulan bahwa hal tersebut menjadikan “rakyat” sebagai obyek perjuangan
mahasiswa. Ini yang merupakan masalah pokok menurutnya. Di sisi ini, bagi saya,
membawa kita pada sebuah posisi yang dilematis bagi mahasiswa, terutama kepada
siapa orientasi gerakannya ditujukan. Bila kepada rakyat, maka rakyat yang
mana. Ini yang perlu kita jawab.
Term “kiri”, bila dikaitkan hanya dengan indikator di atas menjadi sangat
rancu dan tidak memiliki orientasi politik yang jelas. Apa maksud “kiri”
sesungguhnya? Adakah berhubungan dengan term kiri pada orientasi politik? Hal
ini menjadi lebih membingungkan bila mengacu pada term “kanan” dan “kiri” pada
spektrum politik. Kita ingat, kemunculan term “kanan” dan “kiri” dalam politik
berawal dari revolusi Perancis, dimana dalam sebuah perundingan kelompok yang
menginginkan perubahan berada di sisi kiri, sedangkan penganjur status quo ada
di sisi kanan. Pada saat itu, di sisi kiri diisi oleh para borjuis dan pedagang
yang berorientasi pada pemikiran liberalisme, sedangkan di sisi kanan
kebanyakan adalah aristokrat yang masih berpandangan feodalistik. Maka pada
periode berikutnya, term kiri selalu diasosiakan dengan golongan yang
menganjurkan perubahan, dan menganut prinsip kritisisme terhadap keadaan.
Namun, hal ini tetap berbeda-beda tergantung kondisi sebuah negara. Di
beberapa negara (dan mungkin konteks global sekarang), “Kiri” sering
diasosiasikan sebagai golongan sosialis/komunis. Indonesia termasuk dalam
bagian ini. Tak mengherankan bila term kiri selalu diasosiasikan dengan hal
tersebut, karena sistem yang menghagemoni saat ini adalah sistem ekonomi
politik kapitalisme. Kemunculan gagasan yang mengkritik kondisi hagemonik
tersebut, menjadikannya ditempatkan di sisi kiri. Namun, sekali lagi apakah hal
tersebut yang dimaksudkan Daya? Menurut saya, akan lebih jernih misalnya Daya
langsung menyebutkan kritiknya sesuai dengan orientasi politik gerakan
mahasiswa yang ada, tanpa harus menggunakan term “kanan” atau “kiri” yang tak
jelas itu.
Kritik kedua berkenaan dengan istilah “rakyat besar” dan “rakyat kecil”.
Kedua terma ini pun masih menyisakan kerancuan, misalnya, apa parameter yang
membedakan antara rakyat besar dan kecil. Di titik mana, seorang rakyat disebut
rakyat besar atau kecil. Bila Daya berusaha melihat anasir masyarakat dengan
analisa kelas, dengan menempatkan dua pemisahan diantara masyarakat, mungkin bisa
saja. Namun, terma itu, bukan sebagai rakyat besar dan kecil, tetapi sebagai
kelas “borjuis/pemilik modal” dan “proletar/pekerja upahan”. Kelas borjuis
adalah segelintir orang yang memiliki faktor produksi, dan mendapatkan
akumulasi kapitalnya dengan cara penghisapan atas kelas proletar. Sedangkan,
kelas proletar adalah mayoritas orang di masyarakat yang tidak memiliki faktor
produksi sehingga untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia perlu menjual tenaganya
kepada pemilik faktor produksi. Inilah yang disebut kerja. Apakah ada
penindasan atas kelas pertama kepada kelas kedua? Jawaban iya. Pennindasan itu
dialamatkan pada penghisapan nilai-lebih yang dinikmati kelas borjuis. Itu yang
kemudian diakumulasikan menjadi laba.[4]
Bila Daya konsisten dengan pendekatan ini, maka solusinya yang berusaha
menjadikan gerakan mahasiswa sebagai penghubung antara kelas borjuis dengan
kelas proletar akan menjadi keutopisan belaka. Akhir dari solusi yang
ditawarkan Daya adalah “Gerakan mahasiswa, sebagai bentuk civil society,
pada praktiknya adalah sebagai penghubung negara dengan warganya…. Sehingga
generalisasi terhadap rakyat besar bisa diminimalisir dan terjadi sinergisasi
di kedua belah pihak.”[5]
Dengan kesimpulan itu, untuk kalimat pertama saya sepakat dengan tulisan Rio
Apinino, bahwa istilah “penghubung” tersebut secara historis dibentuk oleh
kondisi politik tertentu. Jargon-jargon sinergisasi ditetapkan oleh rejim Orde
Baru guna mendukung keberlangsungan dan stabilitas politik negara.[6]
Sedangkan untuk kalimat kedua, saya memiliki pandangan lain.
Pada kenyataannya, kelas borjuis yang diklaim oleh Daya sebagai “rakyat
besar” sulit dan tak akan pernah bisa bersinergi, dalam artian melepaskan diri
dari penghisapan, terhadap “rakyat kecil” atau proletar. Sinergi ini mungkin
tampak pada permukaan, tetapi eksploitasi terhadap kelas proletar tetap
berlangsung dengan penghisapan nilai-lebih dan alienasi yang tanpa disadari
olehnya. Sejarah dunia pun telah menunjukan bila pertentangan antara satu kelas
dengan kelas lain di masyarakat tak terdamaikan sepanjang sejarah manusia. Ini
yang ditunjukan oleh Marx,
“Sejarah dari semua masyarakat: yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang-merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang dengan tersembunyi, kadang-kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan-kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan.”[7]
Kelas borjuis memiliki logikanya sendiri dalam melihat dunia, yaitu
akumulasi kapital. Bukan karena bersimpati atau kebaikannya memberikan sedikit
“permen” kepada proletar, melainkan hanya untuk memperpanjang penghisapan dan
berlangsungnya sistem kapitalisme.
Sebagaimana ciri antropologis dari sistem kapitalisme yang mengutamakan
asas rasionalisme dan keberlanjutan, maka reproduksi tenaga kerja, sebagai
komoditi yang akan menghasilkan komoditi baru, memberikan perubahan dalam pola
kapitalisme saat ini.[8]
Berbagai kemudahan dan kesenangan ditawarkan dengan tujuan untuk mengaburkan
pola penghisapan tersebut. Seseorang tidak merasa lagi berada dalam
ketertindasan, namun justru menempatkan “ketertindasan” itu sebagai kebutuhan.
Kapitalisme menyulap itu menjadi sangat rasional dan humanis. Mungkin bila
meminjam istilah Zizek, ini yang disebut dengan the new spirit of
capitalism. Namun, secara kodrati, penghisapan itu tetaplah melekat di
dalamnya.
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar produksi komoditi oleh tenaga
kerja dapat terus berlangsung, sehingga akumulasi kapital dapat terus meningkat
untuk kelas borjuis. Oleh karena itu, perdamaian antara kedua kelas tersebut
sangat tidak mungkin. Kontradiksi diantara keduanya tetap berlangsung dalam
pranata yang disebut dengan penghisapan. Namun, perlu diingat bahwa hal itu
terjadi bila term “rakyat besar dan kecil” nya Daya dimasukan dalam kerangka
analisa kelas, bukan dalam bentuk istilah yang common sense tersebut.
Kebutuhan Memperjelas “Subjek”
Kita akan masuk pada kritik utama Daya yang melihat gerakan mahasiswa
sekarang memiliki kecenderungan menjadikan rakyat sebagai obyek. Menurutnya, “Inilah
salah satu akar masalah yang perlu ditinjau kembali. Rakyat kecil tidak bisa
terus menerus jadi objek, bahkan objek perjuangan sekalipun.”[9]
Sumber: adichal.wordpress.com |
Mungkin bila saya boleh membayangkan, saat menulis hal tersebut, Daya
berusaha melihat konteks gerakan mahasiswa yang mainstream saat ini,
setidaknya secara kelembagaan di Universitas Indonesia. Mahasiswa
berteriak-teriak, berdemo, menuntut sesuatu, dan mengatasnamakan rakyat, namun
kenyataannya justru meninggalkan dan menempatkan rakyat jauh di belakang
mereka. Indikatornya adalah, “Lihat demonstrasi mahasiswa sekarang, masihkan
bersama dengan rakyat?” Kenyataan ini adalah sesuatu yang tak bisa dipungkiri.
Semakin jarang aksi mahasiswa saat ini yang bersama-sama dengan masyarakat,
entah itu berbasiskan sektoral ataupun teritorial. Ataupun bila tidak demikian,
adakah gerakan sosial yang dipelopori oleh mahasiswa dengan masyarakat yang
dapat bertahan lama?
Contoh terbaru, setidaknya yang saya rasakan, adalah saat demonstrasi BBM
Juni kemarin. Di tempat yang sama, dan dalam waktu yang sama, terjadi
demonstrasi di depan gedung DPR RI. Namun, yang menyedihkan adalah terdapat dua
kelompok masyarakat yang berdemo dengan terpisah. Di sisi kiri, massa gabungan
pekerja dari berbagai serikat, sedangkan di sisi kanan terdapat sekelompok
mahasiswa dari lembaga formal berbagai kampus yang tergabung dalam sebuah
aliansi. Lobi dari mahasiswa di luar kelompok lembaga formal tersebut, berusaha
menggabungkan kedua elemen ini, namun ditolak oleh juru bicaranya mahasiswa.
Mereka tetap menggelar aksi secara terpisah. Bila mahasiswa mengakui bahwa
gerakan menolak kenaikan harga BBM tersebut adalah gerakan rakyat, mengapa tak
mau digabung saja? Saya tak akan mengomentari tentang serikat buruh. Tapi
kondisi demikian sangat menyedihkan bagi saya. Ini membuktikan bahwa semakin
sedikit gerakan sosial rakyat yang menggabungkan mahasiswa dan masyarakat.
Keterpisahan antara gerakan mahasiswa dengan masyarakat adalah kondisi saat
ini. Dari kondisi tersebut mungkin awal mula Daya melihat rakyat menjadi obyek
perjuangan mahasiswa. Karena, mahasiswa sering melakukan gerakan dan
protes-protes sosial dengan mengatasnamakan rakyat, lengkap dengan jargon dan
nyanyian heroik pro rakyat, namun tak bersama rakyat!
Bagi saya, kondisi tersebut merupakan bagian dari problem internal dalam
gerakan mahasiswa sekarang. Bila ditelisik, keterpisahan ini berawal dari
jargon “independensi” yang mengakar, tanpa dipandang secara kritis. Efek kata
“ditunggangi” sebagaimana yang dijelaskan Suryadi A. Radjab pada zaman Orde
Baru, menjadikan mahasiswa mengikrarkan diri sebagai gerakan independen.[10]
Namun semakin ke depan, kata independen tersebut diwujudkan dengan menarik diri
dari semua afiliasi politik, termasuk dengan gerakan rakyat lainnya. Selain
itu, mitologi tentang mahasiswa berkembang semakin kuat dengan menempatkan
mahasiswa sebagai “kelas” tersendiri di masyarakat. Sebagai “agent of change,
moral force, iron stock” dll. Oleh karena itu, mahasiswa menganggap dirinya
sebagai “pasukan khusus” pembela rakyat tertindas. Posisinya berbeda koordinat
dengan rakyat, entah lebih tinggi, lebih intelek, ataupun lebih “keren”. Hal
ini menjadikannya berbeda dengan rakyat, dan menganggap gerakan rakyat sebagai “the
others” darinya. Keadaan tersebut kemudian diperparah dengan terlenanya
mereka dengan pengalaman heroik yang pernah ditorehkan mahasiswa sebelumnya.
Itu semakin memapankan mitologi yang berkembang.
Problem ini, menurut saya, berpangkal pada ketidakmampuan mahasiswa dalam
merumuskan subyek atas dirinya sendiri! Efeknya, mahasiswa mengalami posisi
yang ambigu dan membingungkan dalam menempatkan dirinya di tengah-tengah
rakyat, atau celakanya justru tidak tahu tentang posisinya tersebut. Dari
ketidakmampuannya inilah, kemudian yang menurut Daya, menjadikan mahasiswa
menjadikan rakyat sebagai obyek. Untuk melampaui klaim Daya ini, gerakan
mahasiswa perlu merumuskan subyeknya sendiri. Bahkan, menjadi sebuah kebutuhan!
Ini sekaligus tambahan kritik untuk gerakan mahasiswa sekarang
Menjadi sebuah kenyataan bahwa mahasiswa adalah bagian dari rakyat
Indonesia. Ini bukan jargon, tetapi sebuah hal yang bisa dipertanggungjawabkan.
Merujuk pada definisi rakyat di KBBI, rakyat adalah (1) penduduk suatu negara: segenap -- Indonesia berdiri di belakang
pemerintah; (2) orang kebanyakan; orang biasa: bioskop untuk --;[11]
sedangkan istilah penduduk menurut BPS adalah semua orang yang berdomisili di
wilayah geografis Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau
mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap.[12]
Jumlah mahasiswa sekarang yang mencapai 4 juta merupakan bagian dari 220 juta
penduduk Indonesia. Mahasiswa juga merupaakan bagian dari kebanyakan orang
dalam suatu negara, yang sama-sama makan, minum, dan beratapkan di wilayah
Indonesia. Dengan demikian, mahasiswa adalah bagian dari himpunan manusia yang
berada dalam wilayah Indonesia, yang disebut sebagai rakyat Indonesia. Bila
disingkat dapat dikatakan bahwa mahasiswa adalah rakyat Indonesia itu sendiri!
Bila mahasiswa adalah rakyat, maka ia harus sadar bahwa
kepentingan rakyat adalah kepentingannya. Ia lantas tidak bergerak demi rakyat,
tetapi juga demi dirinya sendiri. Kesadaran ini perlu ditanamkan, sehingga
mahasiswa tidak overdeterminasi di atas rakyat. Ia berposisi inheren di dalam
entitas rakyat tersebut. Ia bukan “pasukan khusus” yang berjuang demi rakyat
seperti seorang Jiban yang membela penduduk Bumi dari serangan monster, tetapi
sebagai bagian dari keseluruhan penduduk bumi yang harus bersama-sama membela
buminya. Mahasiswa adalah rakyat, penduduk, dan warga negara Indonesia, titik!
Dengan demikian, bentuk subyektivitas mahasiswa harus dibangun dalam kerangka
ini.
Bila mahasiswa adalah rakyat, maka “subyek” baginya
adalah rakyat. Ia membutuhkan rakyat sebagai cermin (the mirror) untuk
identifikasi dirinya sekaligus sebagai penanda utamanya. Ini merupakan tahapan
mahasiswa dalam posisi the imaginer, bila meminjam istilah triadnya
Jaques Lacan. Dalam melihat dirinya melalui cermin tersebut, terdapat sebuah
keretakan yang pasti terjadi. Keretakan itu karena terdapatnya gap
antara dirinya dengan apa yang ada dalam pantulan cermin tersebut, yaitu antara
dirinya sebagai mahasiswa dengan rakyat. Ini yang harus ditutupi dengan sebuah
“hasrat”, yaitu keinginan besar dari diri untuk menjadi seperti yang tercermin.
Proses ini menjadikan subyek selalu berkekurangan, dan harus dicukupi
oleh sebuah penandaan (bahasa), yaitu oleh penanda utama. Penanda utama dalam
hal ini adalah rakyat itu sendiri. Dengan demikian, bila mahasiswa dapat
mengidentifikasikan “subyek” dirinya sebagai rakyat, maka ia harus berusaha
menjadi rakyat. Selain itu juga harus selalu menjadikan orientasi gerakannya
sebagai gerakan rakyat. Ini mensyaratkan bahwa gerakan mahasiswa tak bisa
terpisah dengan gerakan rakyat lainnya, baik itu gerakan buruh, petani,
nelayan, masyarakat adat, dan gerakan rakyat lainnya yang berbasiskan sektoral
atau territorial. Ini adalah jawaban untuk kemana orientasi gerakan mahasiswa
diarahkan.
Namun, istilah rakyat di atas masih berkonotasi luas.
Terlebih bila akan menjawab rakyat yang bagaimanakah yang menjadi orientasi
gerakan mahasiswa saat ini. Karena berhadapan dengan yang dikemukakan Daya
tadi, yang melihat gerakan mahasiswa berparadigma kekirian karena menjadikan
obyek rakyat sebagai ‘kaum lemah, proletar, miskin dan tertindas’.
Di sisi lain, bahwa “rakyat besar” pun juga adalah rakyat, bila menggunakan
istilah rakyat sebagaimana definisi di atas. Maka, untuk memperjelas ini kita
perlu “menstabilkan” makna dari penanda (signifier) dan petanda (signified)
dari kata rakyat ini, walaupun itu adalah proyek yang selalu debatable.
Karena, “ketidakstabilan” tersebut merupakan sebuah takdir yang tak terelakan
dari berkejar-kejarannya makna penanda dan petanda dari bahasa manusia.[13] Rakyat sebagai penanda, mungkin bisa saja memiliki
petanda sebagai kumpulan subyek orang miskin, orang kaya, orang tertindas,
pengusaha, buruh, petani, kaum papa, dll. Nah, untuk itu, dalam konteks ini
guna melampaui kritik Daya, kita perlu membatasi maksud kata “rakyat” ini,
sebagai petanda dari penanda utama gerakan mahasiswa sekarang.
Sebagaimana yang dikemukakan Daya, bahwa kita hidup di
alam yang telah berdemokrasi, maka pemahaman rakyat harusnya ditempatkan dalam
konteks ini. Rakyat adalah entitas utama dari demokrasi. Dari sanalah
pemerintahan demokrasi dibentuk, dan untuknyalah tujuan pemerintahan itu
dialamatkan. Hal
ini mengacu dari etimologis kata demokrasi yang berasal dari kata “demos”
yang berarti “yang banyak” atau spesifiknya “rakyat banyak”, dan “kratos” yang
berarti “kekuasaan”, berangkat dari kata kerja “kratein” yang berarti
“pemerintahan”.[14]
Konsep itu memiliki pengertiaan bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh orang
banyak, mayoritas, atau rakyat banyak.
Rakyat adalah subyek hukum orang per orang yang dilabeli
hak dan kewajiban dalam bernegara. Selain itu, pemaknaan tentang rakyat dapat
dilihat dari Crick,
“Setiap orang, tanpa memandang pendidikan dan kekayaannya, mempunyai sebuah hak untuk membuat kehendaknya yang dirasakan sebagai keprihatinan publik, dan kehendak umum atau kebaikan orang banyak akan lebih baik dipahami lewat pemaknaan yang baik berdasarkan pengalaman dan kesadarannya sendiri dibandingkan lewat pemaknaan oleh kalangan atas yang berpendidikan tinggi namun artifisial.”[15]
Dengan demikian, rakyat mengacu pada kumpulan individu yang memiliki hak untuk
menyampaikan kepentingannya sebagai bagian dari kehendak publik. Sekaligus,
menjadikan kuasanya sebagai sumber kuasa publik. Ini merupakan bentuk
deteminasi rakyat sebagai (sumber) kuasa.
Bila petanda atas rakyat ditetapkan sebagai berikut, maka rakyat memiliki
arti bahwa setiap orang di sistem demokrasi memiliki hak untuk ikut menentukan
kepentingan publik. Sehingga setiap orang berhak menuntut, meminta,
menyampaikan, dan menghalangi kepentingannya dalam ranah publik. Maka, bila
gerakan mahasiswa bersubyek sebagai rakyat (di kehidupan demokrasi), ia adalah
bagian dari kumpulan yang “banyak” dan memiliki hak untuk ikut menentukan atau
menghalangi kepentingan menjadi keputusan publik, atau ia adalah subyek
demokrasi!
Maka pada titik ini, gerakan mahasiswa (harus) banyak memakai jargon
demokrasi dalam metode dan taktik gerakannya (saya tak sepakat dengan Daya).
Dan, sah-sah saja gemar melabeli keputusan-keputusan publik yang tak pro rakyat
(dengan penanda dan petanda yang sudah saya jelaskan; mahasiswa adalah rakyat,
dan rakyat adalah subyek demokrasi) sebagai hal yang tak demokratis. Dengan
itu, maka menunjukan bahwa keputusan publik tersebut tak sesuai dengan
kehendak-kehendak subyek demokrasi itu sendiri. Contoh dari ini adalah
mahasiswa “berhak” mengklaim bahwa keputusan menaikan harga BBM adalah tidak
demokratis karena ditolak oleh mayoritas rakyat. Ini didukung hasil survey LSI
yang menunjukan 79% rakyat tak setuju dengan keputusan tersebut.[16]
Ini menunjukan representasi di parlemen bukan demokrasi yang mewakili
ketakhadiran rakyat, namun justru merupakan representasi yang tak sesuai dengan
presentasi.
Penjelasan di atas adalah tanggapan untuk mengatasi problem keterpisahan
dan ketidakjelasan subyek mahasiswa di tengah-tengah rakyat. Sekaligus
menjadikan rakyat sebagai subyek dalam gerakan mahasiswa dengan cara memutar
mahasiswa menjadi rakyat!
Kemudian, untuk menjadi sebuah subyek, maka mahasiswa membutuhkan ideologi
sebagai pembentuknya. Althusser menjelaskan bahwa ideologi menginterpelasi
individu menjadi subyek. Hal ini karena (a) tidak ada praktek (apapun) kecuali
melalui dan di dalam ideologi, (b) tidak ada ideologi apapun kecuali demi
subyek dan melalui subyek.[17]
Dengan adanya ideologi, mahasiswa bisa menentukan mana arah yang akan ditempuh
dan seperti apa harapannya. Dengan itu pula ada pembatasan mana yang bisa
dilakukan dan tidak untuk mencapa tujuannya. Ketidakmampuan menentukan subyek
dalam diri gerakan mahasiswa, dengan demikian, juga karena ketiadaan ideologi
di dalam gerakan mahasiswa. atau setidaknya tidak clear dalam perumusan
ideologi di dalam gerakan. Sehingga, posisinya di tengah-tengah rakyat menjadi
kabur. Bila rakyat adalah subyek mahasiswa, maka ideologi menentukan harapan
dan cara yang akan ditujunya sebagai rakyat untuk sebuah cita-cita politik. Tentunya
bersama rakyat yang merupakan dirinya.
Sebuah Tawaran ke Depan
Bila mahasiswa dapat mengidentifikasi rakyat sebagai “subyek” atas dirinya,
maka dalam setiap arah geraknya harus berbasiskan ini. Mahasiswa harus
menyadari bahwa ia bukanlah “kelas” tersendiri di dalam masyarakat. Ia inheren
ada di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, bila ia bergerak maka ia
harus bergerak bersama rakyat. Dengan ini, menafikan bahwa gerakan mahasiswa
adalah independen dan terpisah dengan gerakan rakyat lainnya. Ini yang harus
dilakukan secara praksis, tidak hanya sebagai jargon.
Bila mahasiswa menjadikan rakyat sebagai subyeknya, maka mahasiswa harus
berusaha melakukan pencerminan diri kepada rakyat. Dari hal tersebut, ia akan
menyadari ada keretakan antara dirinya dengan rakyat. Keretakan ini merupakan
kekurangan dari dirinya untuk menjadi seorang rakyat. Ia tak sepenuhnya bisa
menjadi rakyat kebanyakan. Kekurangan ini yang harus dipenuhi, dengan dimaknai
sebagai bentuk perlawanan, bukan penerimaan atas realitas. Oleh karenanya,
menurut Zizek, dalam hal ini subyek harus melakukan action yang dapat
dimaknai secara politis. Ini adalah bentuk pemikiran aksiologis dari “subyek”.[18]
Dalam rangka pemenuhan action ini, terdapat posisi lebih yang
dimiliki oleh mahasiswa. Kelebihan ini terdapat pada kemampuan
intelektual-akademis yang didapatkannya dari kampus. Di sisi lain, rakyat (di
luar kampus) membutuhkan suntikan pengetahuan untuk menyadari posisi dan
kenyataan real-nya dalam sistem kapitalisme ini. Peluang ini menyediakan
mahasiswa untuk menjadi intelektual di tengah-tengah rakyat, tanpa melepaskan
subyektivitasnya sebagai rakyat biasa. Dengan kata lain, mahasiswa harus
menjadi intelektual organik dalam gerakan rakyat.
Intelektual organik, menurut Gramsci, adalah intelektual yang berkembang
bersama dengan masyarakatnya. Ia tidak hanya seorang intelektual, tetapi
sebagai seorang organisatoris yang berusaha membangun konsepsi dan praktek
tentang masyarakatnya dan solusi atas permasalahannya. Ia berbeda dengan
intelektual tradisional, karena ia adalah juga seorag organisatoris yang
memimpin kemajuan masyarakat, serta tidak lupa dengan identitas yang diwakili
dan mewakilinya. Titik tekan intelektual organik tidak pada kefasihan berbicara
atau penampilan, tetapi pada partisipasi aktif di kehidupan praktis, sebagai
pembangun, organisator, penasehat, dan unggul dalam semangat matematis yang
abstrak.[19]
Dengan menjadi intelektual organik, mahasiswa tetap menjadi subyeknya
sebagai seorang rakyat, namun di sisi lain dapat mengaplikasikan kelebihannya
di bidang intelektual-akademik. Ia masih inheren dan memiliki hubungan yang
organis dengan rakyat.
Pada posisi ini, konsekuensi praktisnya, mahasiswa harus kembali menyelam
di dalam masyarakat. Belajar dan menyebarkan gagasan progresif, menyuntikan
kesadaran revolusioner, mengorgasir massa dan membangun gerakan bersama rakyat.
Di samping itu, juga membangun front dan aliansi diantara gerakan rakyat
lainnya, baik secara sektoral maupun teritorial. Dengan cara itu, ia tidak
menjadikan rakyat sebagai obyek, tetapi sebagai subyek, bersama dengan
subyektivitasnya.
Namun, bagaimana bila ternyata gerakan rakyat, misal gerakan buruh, lebih
maju daripada gerakan mahasiswa saat ini? Bila demikian, kuncinya adalah saling
belajar. Mungkin harus dimulai dengan menjalin kontak yang telah lama terputus
dan membawa isu-isu bersama terlebih dahulu, kemudian peningkatan kualitas
aliansi ditingkatkan. Juga demikian, bagaimana bila ada tuduhan bahwa praktek
intelektualitas seperti itu tidak relevan karena saat ini kita telah berada di
alam demokrasi, bukan rezim otoriter seperti dulu? Maka jawabannya,
pengorgaanisiran dan pembangunan gerakan bersama rakyat tidak hanya berkonotasi
pemberontakan/perlawanan, tapi juga sebagai pengisi dan pengembali substansi
demokrasi saat ini, yaitu dengan menjadikan rakyat sebagai pemilik dan
pengambil keputusan politik sejati. Bukan oleh wakil yang kadang tak sesuai
dengan presentasinya/yang diwakilinya. Fungsi tersebut hanya bisa terjadi bila
rakyat terorganisir, memiliki program yang jelas dan sistematis. Di situlah
fungsi intelektual bertugas menyuntikan pengetahuannya. Dan, disitulah gerakan
mahasiswa berada. Tanpa menuju dan bersama gerakan rakyat lainnya, gerakan
mahasiswa saat ini menuju kematiannya!
Penutup
Diskusi dan perdebatan di sekitar gerakan mahasiswa adalah jantung untuk
membuat gerakan ini tetap eksis. Selama ini ditahan dan berusaha dihilangkan,
maka tunggu saja cerita dari anak cucu kita tentang adanya gerakan yang pernah
dilakukan oleh pemuda berusia dua puluh tahunan yang katanya terpelajar dulu.
Upaya ini adalah bagian untuk merekonstruksi ulang pembacaan realitas kritis di
antara mahasiswa. Sebagai sebuah upaya demitologisasi gerakan mahasiswa yang
sudah berurat-berakar. Selamat membaca, mari berdiskusi.
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis,
Psikoanalisis, Cultural Studies.
Bandung: Jalasutra.
2008.
Apinino, Rio. “Gerakan Mahasiswa: Paradigma Kiri dan Demokrasi Liberal”.
Diunduh dari
http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/08/gerakan-mahasiswa-paradigma-kiri-dan.html
diakses pada 19 Agustus 2013 pukul 14.07 WIB
Bracher, Mark. Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan
Sosial. Bandung: Jalasutra. 2005.
Cipta, Daya. “Gerakan Mahasiswa, Paradigma Kekirian, dan Demokrasi”.
Diunduh dari
http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/08/gerakan-mahasiswa-paradigma-kekirian.html
diakses pada 19 Agustus 2013 pukul 13.59 WIB.
Danujaya, Budiarto. Demokrasi sebagai Politik Disensus. Disertasi
Doktoral. FIB UI. 2010.
Gramsci, Antonio. Selection From the Prison Notebook. New York:
International Publisher.
1976.
Marx, Karl. “Manifesto Komunis”. Diunduh dari
http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/index.htm
diakses pada 19 Agustus 2013 pukul 14.10 WIB.
Mulyanto, Dede. Genealogi Kapitalisme. Jogjakarta: Resist Book.
2012.
Radjab, Suryadi A. Panggung-Panggung Mitologi dalam Hagemoni Negara:
Gerakan
Mahasiswa di Bawah
Orde Baru. Jurnal Prisma 10. Oktober, 1991.
Yusari, Indah. Subyek dalam
Pemikiran Slavoj Zizek. Skripsi
Sarjana. FIB UI. 2012
[1] Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Pernah aktif di Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI. Sekarang tergabung dalam SEMAR UI. Dapat dijumpai di twitterland dengan ID @dickydwiananta
[2] Daya Cipta,
“Gerakan Mahasiswa, Paradigma Kekirian, dan Demokrasi”, diunduh dari http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/08/gerakan-mahasiswa-paradigma-kekirian.html
diakses pada 19 Agustus 2013 pukul 13.59 WIB.
[3] Ibid.
[4] Mengenai
penghisapan nilai-lebih akan dijelaskan dalam tulisan lain.
[5] Daya, op.cit.
[6] Rio Apinino,
“Gerakan Mahasiswa: Paradigma Kiri dan Demokrasi Liberal”, diunduh dari http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/08/gerakan-mahasiswa-paradigma-kiri-dan.html
diakses pada 19 Agustus 2013 pukul 14.07 WIB
[7] Karl Marx,
“Manifesto Komunis”, diunduh dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/index.htm
diakses pada 19 Agustus 2013 pukul 14.10 WIB
[8] Dede Mulyanto,
“Genealogi Kapitalisme”, (Jogjakarta: Resist Book, 2012), hlm. 105
[9] Daya. op.cit
[10] Suryadi A. Radjab,
“Panggung-Panggung Mitologi dalam Hagemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Baawah
Orde Baru”, Jurnal Prisma, 10, (Oktober, 1991), hlm. 71.
[11]Kamus Besar Bahasa
Indonesia Online. Dappat diakses di http://kamusbahasaindonesia.org/rakyat/mirip#ixzz2cKNTMmuX
[12] Definisi Penduduk
menurut Badan Pusat Statistik dapat dilihat di http://bps.go.id/menutab.php?tab=6&ist=1&var=P
[13] Indah Yusari, “Subyek dalam Pemikiran Slavoj Zizek”,
(Skripsi Sarjana, FIB UI, 2012), hlm. 43.
[14] Budiarto Danujaya,
“Demokrasi sebagai Politik Disensus”, (Disertasi Doktoral, FIB UI, 2010), hlm.
3
[15] Bernard Crick
seperti dikutip Budiarto, ibid, hlm. 190
[16]“ LSI: 79 Persen
Masyarakat Tolak Kenaikan Harga BBM”, diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/23/mou6p4-lsi-7921-persen-masyarakat-tolak-kenaikan-harga-bbm
pada 19 Agustus 2013 pukul 14.23 WIB
[17] Louis Althusser,
“Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies”
(Bandung: Jalasutra, 2008), hlm. 47
[18] Yusari, op.cit.
hlm. 46
[19] Antonio Gramsci,
“Selection From the Prison Notebook”, (New York: International Publisher,
1976), hlm. 10
Subhanallah.. Dicky.. Semangat, maju terus ya.. Jayalah Mahasiswa Indonesia
BalasHapus