Senin, 19 Agustus 2013

Gerakan Mahasiswa: Kebutuhan Menentukan Subyek Saat Ini!


Oleh Dicky Dwi Ananta[1]


Tanggapan untuk Daya Cipta, dan tambahan untuk Rio Apinino.

Satu hal yang menyenangkan jika mahasiswa kembali memikirkan gerakannya. Setidaknya ini yang saya rasakan sekarang. Bagi saya, perdebatan tentang gerakan mahasiswa merupakan trend positif yang harus selalu dipacu guna membantu arah gerakan mahasiswa supaya lebih sesuai dengan zamannya. Dan, semakin jelas orientasinya. Hal ini penting karena kita berada di era yang minim perdebatan di konteks ini. Sesuatu yang semakin jarang kita dengar perdebatannya, baik secara ontologis atau epistemologis, di tataran kampus, minimal di lingkungan civitas akademika Universitas Indonesia. Momen seperti pemilihan Ketua BEM pun luput tentang ini. Kalaupun ada perdebatan, menurut saya, itu hanya sekedar lips service saja. Sebuah tradisi tahunan yang tak membawa arti tentang kemajuan gerakan mahasiswa. Mungkin, bila saya boleh berandai-andai, salah satunya disebabkan oleh kondisi yang hagemonik di kampus yang didominasi oleh asas “kepatuhan”, sehingga mendegradasi kemampuan berpikir kritis di kalangan mahasiswa.  


Tulisan Daya, dalam artikelnya di blog Semar UI yang berjudul “Gerakan Mahasiswa,Paradigma Kekirian, dan Demokrasi“[2] menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Dan, menurut saya, akan menjadi pemicu perdebatan yang bagus, asalkan diisi dengan hal yang substansial. Setidaknya hal itu dapat merangsang mahasiswa untuk kembali berdebat tentang gerakannya. Oleh karena itu, dalam konteks ini, saya akan lebih fokus pada kritik Daya terhadap gerakan mahasiswa sekarang.

Hal yang menjadi kritik utama Daya dalam melihat gerakan mahasiswa saat ini, bila saya tak salah merumuskan, berada pada kecenderungan gerakan mahasiswa yang berparadigma kekiri-kirian dengan menempatkan masyarakat miskin sebagai obyeknya. Ini kemudian membawa konsekuensi bahwa gerakan mahasiswa menjadi tidak relevan lagi dengan zamannya, terutama di era demokrasi saat ini. Alih-alih akan menjadikan gerakan mahasiswa semakin maju, tapi justru membuatnya semakin mundur dengan ditinggalkan massanya sendiri, yaitu mahasiswa. Hal ini yang membawa saya pada sebuah pertanyaan, Mengapa gerakan mahasiswa saat ini berparadigma kekiri-kirian (hanya) dengan menempatkan masyarakat miskin sebagai obyeknya? Lantas, kepada siapa seharusnya orientasi gerakan mahasiswa saat ini ditujukan? Apa tawaran untuk gerakan mahasiswa saat ini?

Kerancuan Istilah

Sebelum jauh melangkah, terdapat beberapa terma yang perlu diluruskan pada tulisan Daya tersebut. Hal ini sekaligus menjadi kritik kepadanya atas penggunaan terma-terma itu. Selain kabur atas makna yang dimaksudkan, secara ilmiah pun akan sulit ditemukan maksudnya. Pertama, tentang term kekiri-kirian. Term ini, bagi saya tak memiliki arti yang jelas, atas apa yang dimaksudkan kekiri-kirian itu. Daya sendiri pun tak memberikan maksud yang jelas apa yang dimaaksud kekiri-kirian itu. Dalam pembahasannya atas gerakan mahasiswa yang di judge-nya memiliki paradigma kekiri-kirian, Daya hanya memberikan indikator bahwa gerakan mahasiswa dianggap kekiri-kirian sebagai berikut,

“Mahasiswa dalam konteks ini sangat kekirian dan anti-imperialis, mengkritik semua lembaga pendanaan yang dekat dengan asing terutama dari Amerika Serikat. Di samping itu, mahasiswa ‘mencari’ makna demokrasi yang khas Indonesia. Pandangan ini berpadu, bahwa kapitalisme tidak bisa disandangkan dengan demokrasi karena terdapat akumulasi modal di tangan elit. Model demokrasi yang dari Amerika Serikat disebut sebagai ‘demokrasi kapitalis’ yang tidak membawa semangat kerakyatan. Oleh karena itu, harus dipadukan dengan nilai-nilai asli Indonesia yang sangat ‘sosialis’.[3]

Dari itu, saya hanya dapat menarik pengertian bahwa paradigma kekiri-kirian karena “mengkritik lembaga pendanaan asing”, “mengkritik kapitalisme yang berkelindan dengan demokrasi”, dan “berusaha mencari demokrasi asli Indonesia”.

Dalam paragraf lain, term kekiri-kirian ditunjukan Daya dengan karakter mahasiswa dalam mengkonseptualisasikan “rakyat”. Menurutnya, gerakan mahasiswa mengalami sindrom kekiri-kirian karena “Rakyat dispesifikasikan sebagai ‘kaum lemah, proletar, miskin dan tertindas”. Maka, konsekuensi logisnya, membela posisi rakyat tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari term kekiri-kiriannya mahasiswa. Konseptualisasi ini membawa Daya pada sebuah kesimpulan bahwa hal tersebut menjadikan “rakyat” sebagai obyek perjuangan mahasiswa. Ini yang merupakan masalah pokok menurutnya. Di sisi ini, bagi saya, membawa kita pada sebuah posisi yang dilematis bagi mahasiswa, terutama kepada siapa orientasi gerakannya ditujukan. Bila kepada rakyat, maka rakyat yang mana. Ini yang perlu kita jawab.

Term “kiri”, bila dikaitkan hanya dengan indikator di atas menjadi sangat rancu dan tidak memiliki orientasi politik yang jelas. Apa maksud “kiri” sesungguhnya? Adakah berhubungan dengan term kiri pada orientasi politik? Hal ini menjadi lebih membingungkan bila mengacu pada term “kanan” dan “kiri” pada spektrum politik. Kita ingat, kemunculan term “kanan” dan “kiri” dalam politik berawal dari revolusi Perancis, dimana dalam sebuah perundingan kelompok yang menginginkan perubahan berada di sisi kiri, sedangkan penganjur status quo ada di sisi kanan. Pada saat itu, di sisi kiri diisi oleh para borjuis dan pedagang yang berorientasi pada pemikiran liberalisme, sedangkan di sisi kanan kebanyakan adalah aristokrat yang masih berpandangan feodalistik. Maka pada periode berikutnya, term kiri selalu diasosiakan dengan golongan yang menganjurkan perubahan, dan menganut prinsip kritisisme terhadap keadaan.

Namun, hal ini tetap berbeda-beda tergantung kondisi sebuah negara. Di beberapa negara (dan mungkin konteks global sekarang), “Kiri” sering diasosiasikan sebagai golongan sosialis/komunis. Indonesia termasuk dalam bagian ini. Tak mengherankan bila term kiri selalu diasosiasikan dengan hal tersebut, karena sistem yang menghagemoni saat ini adalah sistem ekonomi politik kapitalisme. Kemunculan gagasan yang mengkritik kondisi hagemonik tersebut, menjadikannya ditempatkan di sisi kiri. Namun, sekali lagi apakah hal tersebut yang dimaksudkan Daya? Menurut saya, akan lebih jernih misalnya Daya langsung menyebutkan kritiknya sesuai dengan orientasi politik gerakan mahasiswa yang ada, tanpa harus menggunakan term “kanan” atau “kiri” yang tak jelas itu.

Kritik kedua berkenaan dengan istilah “rakyat besar” dan “rakyat kecil”. Kedua terma ini pun masih menyisakan kerancuan, misalnya, apa parameter yang membedakan antara rakyat besar dan kecil. Di titik mana, seorang rakyat disebut rakyat besar atau kecil. Bila Daya berusaha melihat anasir masyarakat dengan analisa kelas, dengan menempatkan dua pemisahan diantara masyarakat, mungkin bisa saja. Namun, terma itu, bukan sebagai rakyat besar dan kecil, tetapi sebagai kelas “borjuis/pemilik modal” dan “proletar/pekerja upahan”. Kelas borjuis adalah segelintir orang yang memiliki faktor produksi, dan mendapatkan akumulasi kapitalnya dengan cara penghisapan atas kelas proletar. Sedangkan, kelas proletar adalah mayoritas orang di masyarakat yang tidak memiliki faktor produksi sehingga untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia perlu menjual tenaganya kepada pemilik faktor produksi. Inilah yang disebut kerja. Apakah ada penindasan atas kelas pertama kepada kelas kedua? Jawaban iya. Pennindasan itu dialamatkan pada penghisapan nilai-lebih yang dinikmati kelas borjuis. Itu yang kemudian diakumulasikan menjadi laba.[4]

Bila Daya konsisten dengan pendekatan ini, maka solusinya yang berusaha menjadikan gerakan mahasiswa sebagai penghubung antara kelas borjuis dengan kelas proletar akan menjadi keutopisan belaka. Akhir dari solusi yang ditawarkan Daya adalah “Gerakan mahasiswa, sebagai bentuk civil society, pada praktiknya adalah sebagai penghubung negara dengan warganya…. Sehingga generalisasi terhadap rakyat besar bisa diminimalisir dan terjadi sinergisasi di kedua belah pihak.”[5] Dengan kesimpulan itu, untuk kalimat pertama saya sepakat dengan tulisan Rio Apinino, bahwa istilah “penghubung” tersebut secara historis dibentuk oleh kondisi politik tertentu. Jargon-jargon sinergisasi ditetapkan oleh rejim Orde Baru guna mendukung keberlangsungan dan stabilitas politik negara.[6] Sedangkan untuk kalimat kedua, saya memiliki pandangan lain.

Pada kenyataannya, kelas borjuis yang diklaim oleh Daya sebagai “rakyat besar” sulit dan tak akan pernah bisa bersinergi, dalam artian melepaskan diri dari penghisapan, terhadap “rakyat kecil” atau proletar. Sinergi ini mungkin tampak pada permukaan, tetapi eksploitasi terhadap kelas proletar tetap berlangsung dengan penghisapan nilai-lebih dan alienasi yang tanpa disadari olehnya. Sejarah dunia pun telah menunjukan bila pertentangan antara satu kelas dengan kelas lain di masyarakat tak terdamaikan sepanjang sejarah manusia. Ini yang ditunjukan oleh Marx,

“Sejarah dari semua masyarakat: yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang-merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang dengan tersembunyi, kadang-kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan-kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan.”[7]

Kelas borjuis memiliki logikanya sendiri dalam melihat dunia, yaitu akumulasi kapital. Bukan karena bersimpati atau kebaikannya memberikan sedikit “permen” kepada proletar, melainkan hanya untuk memperpanjang penghisapan dan berlangsungnya sistem kapitalisme.

Sebagaimana ciri antropologis dari sistem kapitalisme yang mengutamakan asas rasionalisme dan keberlanjutan, maka reproduksi tenaga kerja, sebagai komoditi yang akan menghasilkan komoditi baru, memberikan perubahan dalam pola kapitalisme saat ini.[8] Berbagai kemudahan dan kesenangan ditawarkan dengan tujuan untuk mengaburkan pola penghisapan tersebut. Seseorang tidak merasa lagi berada dalam ketertindasan, namun justru menempatkan “ketertindasan” itu sebagai kebutuhan. Kapitalisme menyulap itu menjadi sangat rasional dan humanis. Mungkin bila meminjam istilah Zizek, ini yang disebut dengan the new spirit of capitalism. Namun, secara kodrati, penghisapan itu tetaplah melekat di dalamnya.

Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar produksi komoditi oleh tenaga kerja dapat terus berlangsung, sehingga akumulasi kapital dapat terus meningkat untuk kelas borjuis. Oleh karena itu, perdamaian antara kedua kelas tersebut sangat tidak mungkin. Kontradiksi diantara keduanya tetap berlangsung dalam pranata yang disebut dengan penghisapan. Namun, perlu diingat bahwa hal itu terjadi bila term “rakyat besar dan kecil” nya Daya dimasukan dalam kerangka analisa kelas, bukan dalam bentuk istilah yang common sense tersebut.

Kebutuhan Memperjelas “Subjek”

Kita akan masuk pada kritik utama Daya yang melihat gerakan mahasiswa sekarang memiliki kecenderungan menjadikan rakyat sebagai obyek. Menurutnya, “Inilah salah satu akar masalah yang perlu ditinjau kembali. Rakyat kecil tidak bisa terus menerus jadi objek, bahkan objek perjuangan sekalipun.”[9]

Mungkin bila saya boleh membayangkan, saat menulis hal tersebut, Daya berusaha melihat konteks gerakan mahasiswa yang mainstream saat ini, setidaknya secara kelembagaan di Universitas Indonesia. Mahasiswa berteriak-teriak, berdemo, menuntut sesuatu, dan mengatasnamakan rakyat, namun kenyataannya justru meninggalkan dan menempatkan rakyat jauh di belakang mereka. Indikatornya adalah, “Lihat demonstrasi mahasiswa sekarang, masihkan bersama dengan rakyat?” Kenyataan ini adalah sesuatu yang tak bisa dipungkiri. Semakin jarang aksi mahasiswa saat ini yang bersama-sama dengan masyarakat, entah itu berbasiskan sektoral ataupun teritorial. Ataupun bila tidak demikian, adakah gerakan sosial yang dipelopori oleh mahasiswa dengan masyarakat yang dapat bertahan lama?

Contoh terbaru, setidaknya yang saya rasakan, adalah saat demonstrasi BBM Juni kemarin. Di tempat yang sama, dan dalam waktu yang sama, terjadi demonstrasi di depan gedung DPR RI. Namun, yang menyedihkan adalah terdapat dua kelompok masyarakat yang berdemo dengan terpisah. Di sisi kiri, massa gabungan pekerja dari berbagai serikat, sedangkan di sisi kanan terdapat sekelompok mahasiswa dari lembaga formal berbagai kampus yang tergabung dalam sebuah aliansi. Lobi dari mahasiswa di luar kelompok lembaga formal tersebut, berusaha menggabungkan kedua elemen ini, namun ditolak oleh juru bicaranya mahasiswa. Mereka tetap menggelar aksi secara terpisah. Bila mahasiswa mengakui bahwa gerakan menolak kenaikan harga BBM tersebut adalah gerakan rakyat, mengapa tak mau digabung saja? Saya tak akan mengomentari tentang serikat buruh. Tapi kondisi demikian sangat menyedihkan bagi saya. Ini membuktikan bahwa semakin sedikit gerakan sosial rakyat yang menggabungkan mahasiswa dan masyarakat. Keterpisahan antara gerakan mahasiswa dengan masyarakat adalah kondisi saat ini. Dari kondisi tersebut mungkin awal mula Daya melihat rakyat menjadi obyek perjuangan mahasiswa. Karena, mahasiswa sering melakukan gerakan dan protes-protes sosial dengan mengatasnamakan rakyat, lengkap dengan jargon dan nyanyian heroik pro rakyat, namun tak bersama rakyat!

Bagi saya, kondisi tersebut merupakan bagian dari problem internal dalam gerakan mahasiswa sekarang. Bila ditelisik, keterpisahan ini berawal dari jargon “independensi” yang mengakar, tanpa dipandang secara kritis. Efek kata “ditunggangi” sebagaimana yang dijelaskan Suryadi A. Radjab pada zaman Orde Baru, menjadikan mahasiswa mengikrarkan diri sebagai gerakan independen.[10] Namun semakin ke depan, kata independen tersebut diwujudkan dengan menarik diri dari semua afiliasi politik, termasuk dengan gerakan rakyat lainnya. Selain itu, mitologi tentang mahasiswa berkembang semakin kuat dengan menempatkan mahasiswa sebagai “kelas” tersendiri di masyarakat. Sebagai “agent of change, moral force, iron stock” dll. Oleh karena itu, mahasiswa menganggap dirinya sebagai “pasukan khusus” pembela rakyat tertindas. Posisinya berbeda koordinat dengan rakyat, entah lebih tinggi, lebih intelek, ataupun lebih “keren”. Hal ini menjadikannya berbeda dengan rakyat, dan menganggap gerakan rakyat sebagai “the others” darinya. Keadaan tersebut kemudian diperparah dengan terlenanya mereka dengan pengalaman heroik yang pernah ditorehkan mahasiswa sebelumnya. Itu semakin memapankan mitologi yang berkembang.

Problem ini, menurut saya, berpangkal pada ketidakmampuan mahasiswa dalam merumuskan subyek atas dirinya sendiri! Efeknya, mahasiswa mengalami posisi yang ambigu dan membingungkan dalam menempatkan dirinya di tengah-tengah rakyat, atau celakanya justru tidak tahu tentang posisinya tersebut. Dari ketidakmampuannya inilah, kemudian yang menurut Daya, menjadikan mahasiswa menjadikan rakyat sebagai obyek. Untuk melampaui klaim Daya ini, gerakan mahasiswa perlu merumuskan subyeknya sendiri. Bahkan, menjadi sebuah kebutuhan! Ini sekaligus tambahan kritik untuk gerakan mahasiswa sekarang

Menjadi sebuah kenyataan bahwa mahasiswa adalah bagian dari rakyat Indonesia. Ini bukan jargon, tetapi sebuah hal yang bisa dipertanggungjawabkan. Merujuk pada definisi rakyat di KBBI, rakyat adalah (1) penduduk suatu negara: segenap -- Indonesia berdiri di belakang pemerintah; (2) orang kebanyakan; orang biasa: bioskop untuk --;[11] sedangkan istilah penduduk menurut BPS adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap.[12] Jumlah mahasiswa sekarang yang mencapai 4 juta merupakan bagian dari 220 juta penduduk Indonesia. Mahasiswa juga merupaakan bagian dari kebanyakan orang dalam suatu negara, yang sama-sama makan, minum, dan beratapkan di wilayah Indonesia. Dengan demikian, mahasiswa adalah bagian dari himpunan manusia yang berada dalam wilayah Indonesia, yang disebut sebagai rakyat Indonesia. Bila disingkat dapat dikatakan bahwa mahasiswa adalah rakyat Indonesia itu sendiri!

Bila mahasiswa adalah rakyat, maka ia harus sadar bahwa kepentingan rakyat adalah kepentingannya. Ia lantas tidak bergerak demi rakyat, tetapi juga demi dirinya sendiri. Kesadaran ini perlu ditanamkan, sehingga mahasiswa tidak overdeterminasi di atas rakyat. Ia berposisi inheren di dalam entitas rakyat tersebut. Ia bukan “pasukan khusus” yang berjuang demi rakyat seperti seorang Jiban yang membela penduduk Bumi dari serangan monster, tetapi sebagai bagian dari keseluruhan penduduk bumi yang harus bersama-sama membela buminya. Mahasiswa adalah rakyat, penduduk, dan warga negara Indonesia, titik! Dengan demikian, bentuk subyektivitas mahasiswa harus dibangun dalam kerangka ini.

Bila mahasiswa adalah rakyat, maka “subyek” baginya adalah rakyat. Ia membutuhkan rakyat sebagai cermin (the mirror) untuk identifikasi dirinya sekaligus sebagai penanda utamanya. Ini merupakan tahapan mahasiswa dalam posisi the imaginer, bila meminjam istilah triadnya Jaques Lacan. Dalam melihat dirinya melalui cermin tersebut, terdapat sebuah keretakan yang pasti terjadi. Keretakan itu karena terdapatnya gap antara dirinya dengan apa yang ada dalam pantulan cermin tersebut, yaitu antara dirinya sebagai mahasiswa dengan rakyat. Ini yang harus ditutupi dengan sebuah “hasrat”, yaitu keinginan besar dari diri untuk menjadi seperti yang tercermin. Proses ini menjadikan subyek selalu berkekurangan, dan  harus dicukupi oleh sebuah penandaan (bahasa), yaitu oleh penanda utama. Penanda utama dalam hal ini adalah rakyat itu sendiri. Dengan demikian, bila mahasiswa dapat mengidentifikasikan “subyek” dirinya sebagai rakyat, maka ia harus berusaha menjadi rakyat. Selain itu juga harus selalu menjadikan orientasi gerakannya sebagai gerakan rakyat. Ini mensyaratkan bahwa gerakan mahasiswa tak bisa terpisah dengan gerakan rakyat lainnya, baik itu gerakan buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, dan gerakan rakyat lainnya yang berbasiskan sektoral atau territorial. Ini adalah jawaban untuk kemana orientasi gerakan mahasiswa diarahkan.

Namun, istilah rakyat di atas masih berkonotasi luas. Terlebih bila akan menjawab rakyat yang bagaimanakah yang menjadi orientasi gerakan mahasiswa saat ini. Karena berhadapan dengan yang dikemukakan Daya tadi, yang melihat gerakan mahasiswa berparadigma kekirian karena menjadikan obyek rakyat sebagai ‘kaum lemah, proletar, miskin dan tertindas’. Di sisi lain, bahwa “rakyat besar” pun juga adalah rakyat, bila menggunakan istilah rakyat sebagaimana definisi di atas. Maka, untuk memperjelas ini kita perlu “menstabilkan” makna dari penanda (signifier) dan petanda (signified) dari kata rakyat ini, walaupun itu adalah proyek yang selalu debatable. Karena, “ketidakstabilan” tersebut merupakan sebuah takdir yang tak terelakan dari berkejar-kejarannya makna penanda dan petanda dari bahasa manusia.[13] Rakyat sebagai penanda, mungkin bisa saja memiliki petanda sebagai kumpulan subyek orang miskin, orang kaya, orang tertindas, pengusaha, buruh, petani, kaum papa, dll. Nah, untuk itu, dalam konteks ini guna melampaui kritik Daya, kita perlu membatasi maksud kata “rakyat” ini, sebagai petanda dari penanda utama gerakan mahasiswa sekarang.

Sebagaimana yang dikemukakan Daya, bahwa kita hidup di alam yang telah berdemokrasi, maka pemahaman rakyat harusnya ditempatkan dalam konteks ini. Rakyat adalah entitas utama dari demokrasi. Dari sanalah pemerintahan demokrasi dibentuk, dan untuknyalah tujuan pemerintahan itu dialamatkan.           Hal ini mengacu dari etimologis kata demokrasi yang berasal dari kata “demos” yang berarti “yang banyak” atau spesifiknya “rakyat banyak”, dan “kratos” yang berarti “kekuasaan”, berangkat dari kata kerja “kratein” yang berarti “pemerintahan”.[14] Konsep itu memiliki pengertiaan bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh orang banyak, mayoritas, atau rakyat banyak.

Rakyat adalah subyek hukum orang per orang yang dilabeli hak dan kewajiban dalam bernegara. Selain itu, pemaknaan tentang rakyat dapat dilihat dari Crick,

“Setiap orang, tanpa memandang pendidikan dan kekayaannya, mempunyai sebuah hak untuk membuat kehendaknya yang dirasakan sebagai keprihatinan publik, dan kehendak umum atau kebaikan orang banyak akan lebih baik dipahami lewat pemaknaan yang baik berdasarkan pengalaman dan kesadarannya sendiri dibandingkan lewat pemaknaan oleh kalangan atas yang berpendidikan tinggi namun artifisial.”[15]

Dengan demikian, rakyat mengacu pada kumpulan individu yang memiliki hak untuk menyampaikan kepentingannya sebagai bagian dari kehendak publik. Sekaligus, menjadikan kuasanya sebagai sumber kuasa publik. Ini merupakan bentuk deteminasi rakyat sebagai (sumber) kuasa.

Bila petanda atas rakyat ditetapkan sebagai berikut, maka rakyat memiliki arti bahwa setiap orang di sistem demokrasi memiliki hak untuk ikut menentukan kepentingan publik. Sehingga setiap orang berhak menuntut, meminta, menyampaikan, dan menghalangi kepentingannya dalam ranah publik. Maka, bila gerakan mahasiswa bersubyek sebagai rakyat (di kehidupan demokrasi), ia adalah bagian dari kumpulan yang “banyak” dan memiliki hak untuk ikut menentukan atau menghalangi kepentingan menjadi keputusan publik, atau ia adalah subyek demokrasi!

Maka pada titik ini, gerakan mahasiswa (harus) banyak memakai jargon demokrasi dalam metode dan taktik gerakannya (saya tak sepakat dengan Daya). Dan, sah-sah saja gemar melabeli keputusan-keputusan publik yang tak pro rakyat (dengan penanda dan petanda yang sudah saya jelaskan; mahasiswa adalah rakyat, dan rakyat adalah subyek demokrasi) sebagai hal yang tak demokratis. Dengan itu, maka menunjukan bahwa keputusan publik tersebut tak sesuai dengan kehendak-kehendak subyek demokrasi itu sendiri. Contoh dari ini adalah mahasiswa “berhak” mengklaim bahwa keputusan menaikan harga BBM adalah tidak demokratis karena ditolak oleh mayoritas rakyat. Ini didukung hasil survey LSI yang menunjukan 79% rakyat tak setuju dengan keputusan tersebut.[16] Ini menunjukan representasi di parlemen bukan demokrasi yang mewakili ketakhadiran rakyat, namun justru merupakan representasi yang tak sesuai dengan presentasi.    

Penjelasan di atas adalah tanggapan untuk mengatasi problem keterpisahan dan ketidakjelasan subyek mahasiswa di tengah-tengah rakyat. Sekaligus menjadikan rakyat sebagai subyek dalam gerakan mahasiswa dengan cara memutar mahasiswa menjadi rakyat!

Kemudian, untuk menjadi sebuah subyek, maka mahasiswa membutuhkan ideologi sebagai pembentuknya. Althusser menjelaskan bahwa ideologi menginterpelasi individu menjadi subyek. Hal ini karena (a) tidak ada praktek (apapun) kecuali melalui dan di dalam ideologi, (b) tidak ada ideologi apapun kecuali demi subyek dan melalui subyek.[17] Dengan adanya ideologi, mahasiswa bisa menentukan mana arah yang akan ditempuh dan seperti apa harapannya. Dengan itu pula ada pembatasan mana yang bisa dilakukan dan tidak untuk mencapa tujuannya. Ketidakmampuan menentukan subyek dalam diri gerakan mahasiswa, dengan demikian, juga karena ketiadaan ideologi di dalam gerakan mahasiswa. atau setidaknya tidak clear dalam perumusan ideologi di dalam gerakan. Sehingga, posisinya di tengah-tengah rakyat menjadi kabur. Bila rakyat adalah subyek mahasiswa, maka ideologi menentukan harapan dan cara yang akan ditujunya sebagai rakyat untuk sebuah cita-cita politik. Tentunya bersama rakyat yang merupakan dirinya.

Sebuah Tawaran ke Depan

Bila mahasiswa dapat mengidentifikasi rakyat sebagai “subyek” atas dirinya, maka dalam setiap arah geraknya harus berbasiskan ini. Mahasiswa harus menyadari bahwa ia bukanlah “kelas” tersendiri di dalam masyarakat. Ia inheren ada di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, bila ia bergerak maka ia harus bergerak bersama rakyat. Dengan ini, menafikan bahwa gerakan mahasiswa adalah independen dan terpisah dengan gerakan rakyat lainnya. Ini yang harus dilakukan secara praksis, tidak hanya sebagai jargon.

Bila mahasiswa menjadikan rakyat sebagai subyeknya, maka mahasiswa harus berusaha melakukan pencerminan diri kepada rakyat. Dari hal tersebut, ia akan menyadari ada keretakan antara dirinya dengan rakyat. Keretakan ini merupakan kekurangan dari dirinya untuk menjadi seorang rakyat. Ia tak sepenuhnya bisa menjadi rakyat kebanyakan. Kekurangan ini yang harus dipenuhi, dengan dimaknai sebagai bentuk perlawanan, bukan penerimaan atas realitas. Oleh karenanya, menurut Zizek, dalam hal ini subyek harus melakukan action yang dapat dimaknai secara politis. Ini adalah bentuk pemikiran aksiologis dari “subyek”.[18]

Dalam rangka pemenuhan action ini, terdapat posisi lebih yang dimiliki oleh mahasiswa. Kelebihan ini terdapat  pada kemampuan intelektual-akademis yang didapatkannya dari kampus. Di sisi lain, rakyat (di luar kampus) membutuhkan suntikan pengetahuan untuk menyadari posisi dan kenyataan real-nya dalam sistem kapitalisme ini. Peluang ini menyediakan mahasiswa untuk menjadi intelektual di tengah-tengah rakyat, tanpa melepaskan subyektivitasnya sebagai rakyat biasa. Dengan kata lain, mahasiswa harus menjadi intelektual organik dalam gerakan rakyat.

Intelektual organik, menurut Gramsci, adalah intelektual yang berkembang bersama dengan masyarakatnya. Ia tidak hanya seorang intelektual, tetapi sebagai seorang organisatoris yang berusaha membangun konsepsi dan praktek tentang masyarakatnya dan solusi atas permasalahannya. Ia berbeda dengan intelektual tradisional, karena ia adalah juga seorag organisatoris yang memimpin kemajuan masyarakat, serta tidak lupa dengan identitas yang diwakili dan mewakilinya. Titik tekan intelektual organik tidak pada kefasihan berbicara atau penampilan, tetapi pada partisipasi aktif di kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat, dan unggul dalam semangat matematis yang abstrak.[19]

Dengan menjadi intelektual organik, mahasiswa tetap menjadi subyeknya sebagai seorang rakyat, namun di sisi lain dapat mengaplikasikan kelebihannya di bidang intelektual-akademik. Ia masih inheren dan memiliki hubungan yang organis dengan rakyat.

Pada posisi ini, konsekuensi praktisnya, mahasiswa harus kembali menyelam di dalam masyarakat. Belajar dan menyebarkan gagasan progresif, menyuntikan kesadaran revolusioner, mengorgasir massa dan membangun gerakan bersama rakyat. Di samping itu, juga membangun front dan aliansi diantara gerakan rakyat lainnya, baik secara sektoral maupun teritorial. Dengan cara itu, ia tidak menjadikan rakyat sebagai obyek, tetapi sebagai subyek, bersama dengan subyektivitasnya.

Namun, bagaimana bila ternyata gerakan rakyat, misal gerakan buruh, lebih maju daripada gerakan mahasiswa saat ini? Bila demikian, kuncinya adalah saling belajar. Mungkin harus dimulai dengan menjalin kontak yang telah lama terputus dan membawa isu-isu bersama terlebih dahulu, kemudian peningkatan kualitas aliansi ditingkatkan. Juga demikian, bagaimana bila ada tuduhan bahwa praktek intelektualitas seperti itu tidak relevan karena saat ini kita telah berada di alam demokrasi, bukan rezim otoriter seperti dulu? Maka jawabannya, pengorgaanisiran dan pembangunan gerakan bersama rakyat tidak hanya berkonotasi pemberontakan/perlawanan, tapi juga sebagai pengisi dan pengembali substansi demokrasi saat ini, yaitu dengan menjadikan rakyat sebagai pemilik dan pengambil keputusan politik sejati. Bukan oleh wakil yang kadang tak sesuai dengan presentasinya/yang diwakilinya. Fungsi tersebut hanya bisa terjadi bila rakyat terorganisir, memiliki program yang jelas dan sistematis. Di situlah fungsi intelektual bertugas menyuntikan pengetahuannya. Dan, disitulah gerakan mahasiswa berada. Tanpa menuju dan bersama gerakan rakyat lainnya, gerakan mahasiswa saat ini menuju kematiannya!

Penutup

Diskusi dan perdebatan di sekitar gerakan mahasiswa adalah jantung untuk membuat gerakan ini tetap eksis. Selama ini ditahan dan berusaha dihilangkan, maka tunggu saja cerita dari anak cucu kita tentang adanya gerakan yang pernah dilakukan oleh pemuda berusia dua puluh tahunan yang katanya terpelajar dulu. Upaya ini adalah bagian untuk merekonstruksi ulang pembacaan realitas kritis di antara mahasiswa. Sebagai sebuah upaya demitologisasi gerakan mahasiswa yang sudah berurat-berakar. Selamat membaca, mari berdiskusi.
 
Daftar Pustaka

Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies.
Bandung: Jalasutra. 2008.
Apinino, Rio. “Gerakan Mahasiswa: Paradigma Kiri dan Demokrasi Liberal”. Diunduh dari
Bracher, Mark. Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial. Bandung: Jalasutra. 2005.
Cipta, Daya. “Gerakan Mahasiswa, Paradigma Kekirian, dan Demokrasi”. Diunduh dari
Danujaya, Budiarto. Demokrasi sebagai Politik Disensus. Disertasi Doktoral. FIB UI. 2010.
Gramsci, Antonio. Selection From the Prison Notebook. New York: International Publisher.
1976.
Marx, Karl. “Manifesto Komunis”. Diunduh dari
Mulyanto, Dede. Genealogi Kapitalisme. Jogjakarta: Resist Book. 2012.
Radjab, Suryadi A. Panggung-Panggung Mitologi dalam Hagemoni Negara: Gerakan
Mahasiswa di Bawah Orde Baru. Jurnal Prisma 10. Oktober, 1991.
Yusari, Indah. Subyek dalam Pemikiran Slavoj Zizek. Skripsi Sarjana. FIB UI. 2012




[1] Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Pernah aktif di Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI. Sekarang tergabung dalam SEMAR UI. Dapat dijumpai di twitterland dengan ID @dickydwiananta
[2] Daya Cipta, “Gerakan Mahasiswa, Paradigma Kekirian, dan Demokrasi”, diunduh dari http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/08/gerakan-mahasiswa-paradigma-kekirian.html diakses pada 19 Agustus 2013 pukul 13.59 WIB.
[3] Ibid.
[4] Mengenai penghisapan nilai-lebih akan dijelaskan dalam tulisan lain.
[5] Daya, op.cit.
[6] Rio Apinino, “Gerakan Mahasiswa: Paradigma Kiri dan Demokrasi Liberal”, diunduh dari http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/08/gerakan-mahasiswa-paradigma-kiri-dan.html diakses pada 19 Agustus 2013 pukul 14.07 WIB
[7] Karl Marx, “Manifesto Komunis”, diunduh dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/index.htm diakses pada 19 Agustus 2013 pukul 14.10 WIB
[8] Dede Mulyanto, “Genealogi Kapitalisme”, (Jogjakarta: Resist Book, 2012), hlm. 105
[9] Daya. op.cit
[10] Suryadi A. Radjab, “Panggung-Panggung Mitologi dalam Hagemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Baawah Orde Baru”, Jurnal Prisma, 10, (Oktober, 1991), hlm. 71.
[11]Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. Dappat diakses di http://kamusbahasaindonesia.org/rakyat/mirip#ixzz2cKNTMmuX
[12] Definisi Penduduk menurut Badan Pusat Statistik dapat dilihat di http://bps.go.id/menutab.php?tab=6&ist=1&var=P
[13] Indah Yusari, “Subyek dalam Pemikiran Slavoj Zizek”, (Skripsi Sarjana, FIB UI, 2012), hlm. 43.
[14] Budiarto Danujaya, “Demokrasi sebagai Politik Disensus”, (Disertasi Doktoral, FIB UI, 2010), hlm. 3
[15] Bernard Crick seperti dikutip Budiarto, ibid, hlm. 190
[16]“ LSI: 79 Persen Masyarakat Tolak Kenaikan Harga BBM”, diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/23/mou6p4-lsi-7921-persen-masyarakat-tolak-kenaikan-harga-bbm pada 19 Agustus 2013 pukul 14.23 WIB
[17] Louis Althusser, “Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies” (Bandung: Jalasutra, 2008), hlm. 47
[18] Yusari, op.cit. hlm. 46
[19] Antonio Gramsci, “Selection From the Prison Notebook”, (New York: International Publisher, 1976), hlm. 10

1 komentar:

  1. Subhanallah.. Dicky.. Semangat, maju terus ya.. Jayalah Mahasiswa Indonesia

    BalasHapus