Jumat, 20 September 2013

Mahasiswa-Buruh-Kapitalis Tidak Kemana-Mana, Karena Ia Dimana-Mana[1]


Hizkia Yosie Polimpung
Peneliti di Pacivis—Pusat Kajian Global Civil Society, Universitas Indonesia. Pegiat Kelompok Diskusi Sabtuan Hubungan Internasional Kontemporer. Kontak: yosieprodigy@live.com

Memahami, apalagi mengkoreografikan suatu pergerakan sosial-politik hari ini, tidak bisa tidak, harus diletakkan dalam situasi dan kondisi relasi sosial politik yang sedang terjadi, yang really existing. Relasi sosial politik tersebut tidak lain adalah jutaan relasi mikro yang terkandung dalam konsep besar nan abstrak: kapitalisme neoliberal.[1] Ini penting untuk senantiasa menancapkan gerakan tersebut dalam konteks kesejarahannya yang spesifik. Tanpa ini, maka gerakan tersebut tidak lebih dari suatu gerakan reaksioner emosional (bahkan tidak sedikit yang mesianik) yang sama sekali ahistoris. Sehingga praktis, seluruh gerakan sosial politik yang tidak disertai dengan pemahaman memadai tentang relasi sosial politik ini hanya merepetisi ungkapan William Shakespeare, “much ado about nothing”—yang ironisnya dilakukan demi menghindari tuduhan sinis NATO (No Action Talk Only). Hal ini juga tidak mengecualikan gerakan mahasiswa, yang menjadi subyek pembahasan kali ini.

Tulisan singkat ini akan mendiskusikan mengenai hal-hal di dalam dan di seputar kedua konsep kapitalisme dan neoliberalisme, terutama mengenai bagaimana keduanya bersifat paradoks: saling meniadakan satu sama lain, namun saling membutuhkan satu sama lain. Berikutnya, tulisan ini akan bergerak ke arah evolusi kontemporernya. Pembahasan akan difokuskan pada bagaimana evolusi kapitalisme pasca-Fordisme menunjukkan sifat lain dari produksi/kerja yang tidak hanya berimplikasi pada cara pandang terhadap kapitalisme neoliberal kontemporer, melainkan kembali ke belakang, terhadap seluruh evolusi kapitalisme semenjak abad pertengahan. Terakhir, tulisan ini akan menunjukkan dimensi-dimensi eksploitatif dari kapitalisme neoliberal kontemporer yang notabene amat subtil, dengan demikian mengangkatnya ke permukaan sehingga dapat dijadikan sasaran bagi pergerakan yang mencoba melawannya. Peran dan reposisi peran ‘mahasiswa’ dalam kapitalisme neoliberal juga akan dibahas di bagian ini.

Metode

Arti penting mendiskusikan hal-hal ini amatlah urjen direfleksikan sejenak (dan secara terus menerus). Berkaitan dengan ini, saya menawarkan tiga kerangka (yang juga bisa berfungsi sebagai  check-list) yang penting untuk dilakukan terkait seluruh gerakan sosial politik, sebelum ia menggerak-gerakkan dirinya. Pertama, memahami situasi dan kondisi yang obyektif yang sedang terjadi hari ini. Jika disepakati bahwa kapitalisme neoliberal adalah backdrop kehidupan hari ini, maka memahami keduanya adalah hal mutlak. ‘Memahami’ di sini berarti memahami logika internal yang mengatur jalannya masing-masing sistem. Logika internal ini sifatnya obyektif, dalam artian ia berjalan relatif secara otonom tanpa perlu campur tangan manusia. Jika manusia juga ternyata termasuk dalam sistem tersebut, maka ini jangan diartikan sebagai ketergantungan total terhadap manusia. Jadi, kapitalisme, misalnya, harus dilihat sebagai memiliki logika internalnya sendiri yang berpijak darinya, suatu analisis obyektif tentangnya harus diarahkan. Menganalisis logika internal ini berarti mendeskripsikan bagaimana kapitalisme, dengan caranya sendiri dan demi reproduksi dirinya sendiri, melihat dan memperlakukan manusia dan hal-hal lain seperti negara, institusi, alam, tapi juga batu, kertas, semut, tuhan, dst. Hal serupa berlaku bagi neoliberalisme.

Kedua, memahami dimensi eksploitatif dan dominatif dari kapitalisme neoliberal tersebut. Hal ini sama sekali bukan sekedar menunjukkan siapa-siapa saja yang mendalangi eksploitasi, atau siapa-siapa saja yang terkena eksploitasi. Nominalisme semacam ini bukan hanya salah sasaran, namun ia rawan terjebak dalam kritisisme personal—“kapitalisme jahat karena orang-orangnya bermasalah”—yang ujungnya sudah jelas: gerakan menjadi salah arah dan sasaran. Yang dimaksud dimensi eksploitatif di sini lebih sistemik sifatnya. Untuk ini, pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk dijawab adalah: prakondisi sistemik apa yang memungkinkan terjadinya eksploitasi oleh orang-orang tersebut? Bagaimana detil mekanisme sistem dan aparatus-aparatusnya dalam menjalankan eksploitasi tersebut? Apa yang dieksploitasi? Untuk apa? Apa yang dilakukan terhadap mereka-mereka yang dieksploitasi? Adakah perlawanan? Jika ada: bagaimana ia diredam? Jika tidak ada: mekanisme kontrol seperti apa yang memungkinkan ketidak-sadaran ini? Dst.

Ketiga, tak lain adalah menyusun program. Program yang dimaksud adalah serangkaian praksis yang disusun berdasar pemahaman tentang really existing condition dan diarahkan kepada dimensi eksploitatif dan dominatif dari kondisi tersebut, dalam hal ini kapitalisme-neoliberal. Sehingga jelas, hal ketiga ini tidak bisa dilakukan tanpa dua yang pertama. Namun demikian ini tidak berarti bahwa ketiganya berjalan terpisah: sama sekali tidak! Ketiganya bisa berjalan bersamaan, namun tetap mensyaratkan refleksi terhadap poin pertama dan kedua, sembari menjalankan yang ketiga. Jadi problemnya bukan seperti apa programnya (menjadi DPR, aktivis, akademisi, intelektual, pengusaha, pemuka agama dst.), melainkan bagaimana program tersebut diletakkan dalam konteks problematik yang dilihatnya masing-masing melalui analisis obyektif terhadap kondisi eksploitatif kapitalisme neoliberal. Jelas disini bahwa dalam mengevaluasi dan men-judge suatu gerakan harus berdasarkan apa yang dilihatnya sebagai problem dan apakah yang dilakukannya berkontribusi bagi pemecahan problem tersebut. Tanpa ini, gerakan sosial politik, terutama gerakan mahasiswa, tidak lebih dari manifestasi euforia heroisme naif atas kegalauan kelas menengah yang neurotik—gegar di antara (apa yang dikira) panggilannya dengan kondisi realitas di lapangan.

Sekilas tentang Kapitalisme

Untuk memahami kapitalisme, maka penting untuk melihatnya pertama-tama sebagai suatu sistem ekonomi. Ekonomi, berasal dari kata dalam bahasa Yunani, oikonomia, yang terdiri dari dua kata oikos dan nomos. Oikos berarti rumah-tangga, juga bisa berarti domestik; nomos berarti tatanan/atura. Oikonomia, dengan demikian merupakan suatu pengaturan rumah-tangga domestik. Hal ini penting didefinisikan dulu karena seringkali kapitalisme disamakan dengan ekonomi. Padahal, hal tersebut tidak berlangsung dua arah: kapitalisme merupakan sistem ekonomi, namun ekonomi tidak selalu berupa kapitalisme. Sistem ekonomi lainnya bisa berupa barter, komune, dst.

Lalu apakah kapitalisme?[2] Tanpa berpretensi memberi konseptualisasi yang final dan exhaustive, kapitalisme harus dipahami sebagai suatu sistem penataan kehidupan domestik—ekonomi—yang berdasarkan pada proses pertukaran komoditas. Lalu apakah komoditas? Komoditas, selanjutnya dapat secara sederhana dilihat sebagai hasil dari proses produksi yang mengandung suatu nilai untuk dipertukarkan di area pertukaran bernama pasar. Proses produksi inilah yang mutlak mensyaratkan modal dan/atau kapital. Itulah mengapa sistem ekonomi ini disebut kapital-isme.

Melihat kapitalisme secara ekonomistik, sesederhana jual-beli, tukar-guling dst seperti ini akan tidaklah cukup. Hal penting yang harus dilihat dalam mekanisme beroperasinya adalah bahwa kapitalisme telah dan akan selalu mensyaratkan suatu relasi sosial. Jejak-jejak relasi sosial ini dapat dilihat pada, misalnya, ‘proses pertukaran’—ditukarkan dengan siapa? Tentu dengan orang lain, yang hubungan dengannya telah membentuk suatu dan terbentuk dalam relasi sosial tertentu. Lainnya, ‘nilai tukar komoditas’—ditakar dari mana? Tentu dari relasinya dengan komoditas lain yang bersama-sama menempati suatu ruang dimana suatu relasi sosial terjadi. Ruang inilah yang kemudian disebut pasar.

Ini semua terlihat normal dan “baik-baik saja.” Namun demikian, suatu ugly truth yang penting untuk juga ditunjukkan, adalah bahwa kapitalisme telah dan akan selalu mensyaratkan ketimpangan dan ketidak-setaraan dalam kepemilikan modal. Ketimpangan ini sekaligus menjadi relasi sosial yang merupakan backdrop bagi tumbuh suburnya kapitalisme. Relasi sosial inilah yang disusun oleh kelompok masyarakat yang didefinisikan dari aksesnya terhadap kapital—yaitu kelas. Terdapat dua kelas: borjuasi, yaitu para pemilik modal; dan proletar/buruh: yaitu mereka yang tidak memiliki modal, namun mempekerjakan diri pada pemilik modal.[3] Ketimpangan, dengan demikian, adalah unsur utama dan konstitutif bagi kapitalisme; tanpa ketimpangan kepemilikan modal, maka tidak akan ada kapitalisme. Kesetaraan—dan bukan seolah-olah setara (misalnya setara sebagai konsumen Starbucks, setara sebagai penonton Holywood, setara sebagai pendengar Lady Gaga, setara sebagai pengunjung Grand Indonesia, dst.), akhirnya, adalah musuh dari kapitalisme.

Pertanyaan berikutnya, mengapa ketimpangan ini diperlukan? Sederhana saja: tanpa ketimpangan kepemilikan modal, maka tidak akan dimungkinkan suatu akumulasi modal. Akumulasi modal inilah yang didambakan oleh seluruh kapitalis. Logikanya sebagai berikut: jika semua orang memiliki modal, maka tidak akan terjadi pertukaran. Mengapa? Karena semua orang akan bekerja bagi, untuk dan demi dirinya sendiri; tidak perlu orang lain—dalam artian, tanpa ada orang lain pun, ia bisa hidup. Jika terjadi ketimpangan, maka akan muncul suatu perasaan saling membutuhkan. Perasaan ini akan diikuti dengan upaya bersama untuk saling memenuhi. Kesinambungan (dalam artian perpetuasi) upaya untuk saling memenuhi ini dibutuhkan untuk tetap berproduksi (menggunakan kapital masing-masing), dengan demikian untuk mengakumulasi profit bagi kapitalnya itu sendiri. Inilah sebabnya, kapitalisme akan me-reifikasi relasi sosial yang timpang ini—menjadikannya seolah-olah obyektif, normal dan tak terelakkan.

Jadi, sampai disini bisa sekiranya disarikan beberapa konsep penting dalam kapitalisme. Modal, yaitu segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya proses produksi. Produksi, selanjutnya tidak seharusnya dilihat dari produk-nya semata; produksi adalah selalu aktivitas menghasilkan nilai untuk kemudian dipertukarkan. Sehingga produk dari produksi, yaitu komoditas, tidak bisa dilihat hanya dari bentuknya—barang dan/atau jasa—melainkan harus dari nilai-nya. Buruh, dari konseptualisasi-konseptualisasi ini, harus dilihat sebagai kelas yang bekerja menghasilkan nilai dan komoditas dengan imbalan upahdan bukan nilai berikut komoditas yang dihasilkannya tersebut.

Negara di mata Kapitalisme[4]

Kapitalisme tidak pernah bisa ada tanpa relasi sosial-politik yang mengawal dan melindunginya. Oleh karena itu, tidak relevan membahas kapitalisme tanpa mengikut-sertakan (neo)liberalisme, suatu sistem politik ekonomi negara yang berbasiskan pada pemeliharaan berfungsi mulusnya pasar. Jika kapitalisme berjalan dengan logika akumulasi kapital—semuanya demi kepentingan akumulasi profit, maka negara berjalan dengan logika penguatan kedaulatan (raison d’etat)—semua dilakukan demi memperkuat negara.

Raja – Ilahi – Realm                        >> Mustahil sejak revolusi demokrasi
Negara – Rakyat                             >> Kemustahilan demokrasi langsung
Negara – Pasar – Rakyat                >> Pemerintahan Liberal
Pasar – Negara – Akum. profit      >> Kapitalisme

Skema 1. Logika internal negara dan kapitalisme

Kedua logika ini, sialnya, relatif otonom dari manusia (kita semua); mereka berjalan dengan logikanya sendiri, yang ironisnya, sudah menginklusi partisipasi manusia didalamnya: bagi kapitalisme, manusia tidak lebih dari sekedar tubuh-tubuh buruh dan/atau konsumen; bagi negara, manusia tidak lebih dari tubuh-tubuh untuk diatur atas nama kewarga-negaraan, nasionalisme, kebangsaan, ke-Indonesia-an, dll. Tidak hanya terhadap manusia, kedua logika ini juga memiliki hubungan satu sama lain. Bagi kapitalisme, negara adalah entitas sosial-politik untuk memfasilitasi dan melindunginya. Bagi negara, kapitalisme adalah alat instrumen negara untuk mensejahterakan rakyatnya, namun bukan demi rakyat itu sendiri, melainkan agar supaya rakyat-rakyat yang disejahterakannya itu memberikan legitimasi bagi kedaulatannya. Ujung dari upaya negara, tidak lain, penguatan justifikasi keberadaannya (kedaulatan), tidak lebih. Rakyat, akhirnya tidak lebih dari sekedar kategori imajiner statistikal untuk sesekali dikutip untuk menjustifikasi diri, baik oleh kapitalisme (dalam hal ‘kesejahteraan bersama’) maupun oleh negara (dalam hal ‘kepentingan nasional’).

Kapitalisme Pasca-Fordisme dan Imaterialisasi Produksi

Mutasi terkini kapitalisme adalah apa yang disebut-sebut sebagai kapitalisme pasca-industri, atau lainnya, kapitalisme pasca-Fordisme. Singkatnya, kapitalisme pasca-Fordis ini merupkan versi upgrade dari bentuk kapitalisme Fordis. Jika pada Fordisme, produksi dilakukan secara massal, maka pada pasca-Fordisme dilakukan secara terbatas, limited edition dan just-in-time. Jika produk Fordisme dilihat dari kuantitasnya, maka pada pasca-Fordisme dilihat dari bagaimana ia menawarkan perbedaan, kelebihan, atau added-value dari produk lainnya. Di bidang manajerial, apabila Fordisme menekankan hirarki manajemen, maka pada pasca-Fordisme, pola manajerial mangambil rupa dalam bentuk desentralisasi, bahkan jaringan. Hal terpenting untuk melihat perubahan ini adalah bagaiman perubahan ini bukan sekedar perubahan, melainkan ia adalah suatu perubahan paradigmatik—suatu perubahan yang mempengaruhi keseluruhan aspek bangunan logika internal.

Melihat sebagai suatu perubahan paradigmatik, maka perubahan-perubahan di yang nampak terjadi di lapangan harus diletakkan dalam konteks paradigmatik apa yang sekiranya melandasi dan memungkinkannya. Misalnya, saat manajemen buruh tidak lagi hirarkis dan represif, berubah menjadi (seolah-olah) setara yang terlihat dalam kemasan team-work dan acara-acara outbound/outing bersama atasan/bawahan, kira-kira apa yang berubah pada cara pandang terhadap manajemen buruh? Lalu saat dalam pasar swalayan para pelanggan dilayani dengan begitu ramah dan mesra, kira-kira apa yang berubah pada cara pandang terhadap konsumen? Terakhir misalnya saat untuk menjadi pekerja seseorang harus menyandang gelar tertentu, dari universitas tertentu, dan dengan jurusan tertentu, kira-kira apa yang berubah pada cara pandang terhadap konsep buruh/pekerja, atau terhadap kapital, atau terhadap konsep kerja/produksi itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini sekiranya dapat membantu analisis untuk sampai pada level paradigmatik dari mutasi Fordisme ke Pasca-Fordisme ini.

Salah satu capaian paradigmatik yang ingin ditekankan melalui tulisan ini adalah pada bagaimana Pasca-Fordisme tidak lagi melihat bahwa produksi dan konsumsi sebagai dua hal yang terpisah. Konsumsi dan produksi adalah satu koin dengan dua sisi yang berbeda. Implikasinya, buruh dan kapitalis pun juga tak ubahnya sepeser koin. Buruh adalah kapitalis, kapitalis adalah buruh.

Produksi Relasi Sosial

Memahami ini, perlu bagi kita untuk memfokuskan pada relasi sosial yang menjadi unsur konstitutif bagi kapitalisme itu sendiri. Jika relasi sosial adalah hal mutlak bagi kapitalisme, maka bukankah hal ini berarti bahwa reproduksi relasi sosial itu adalah core business dari kapitalisme itu sendiri? Jika demikian, bukankah hal ini juga berarti bahwa produksi dan reproduksi relasi sosial itu sendiri telah selalu mengiringi kiprah kapitalisme itu sendiri sejak dahulu kala? Jika disepakati bahwa nilai tukar suatu komoditas adalah materialitas dari suatu proses produksi, maka dimensi imaterial dari proses produksi tersebut adalah relasi sosial yang dibawa-bawa sekaligus mensyaratkan komoditas tersebut. Jadi, apabila produksi nilai melalui komoditas adalah kerja material; maka produksi relasi sosial melalui komoditas adalah kerja imaterial. Komoditas, dengan demikian memiliki karakter ganda: material dan imaterial. Aspek produksi relasi sosial inilah yang menjadi pusat dalam produksi pasca-Fordisme, sekalipun tidak juga menafikan aspek material.[5]

Masih terkait relasi sosial, perlu ditekankan bahwa relasi sosial bagi kapitalisme di sini harus diartikan sebagai segala bentuk relasi sosial yang memungkinkan perpetuasi proses produksi komoditas dan, tentu saja, akumulasi modal. Relasi sosial ini tidak selalu dalam artian yang makro seperti relasi negara, institusi, dst. Tapi juga, misalnya Facebook dan Kaskus, sebagai suatu forum dunia maya, ia memungkinkan terjadinya jutaan proses jual-beli; Film-film Holywood memungkinkan terjadinya produksi dan jual-beli merchandise tentangnya. Indonesian Idol memungkinkan laris-manisnya usaha-usaha kursus menyanyi, iklan-iklan, dst. Sekolah dan Universitas memungkinkan terjadinya proses komodifikasi gelar dan ekspertis. Dst.

Melihat hal-hal “non-konvensional” ini sebagai bentuk kerja, perlu sekiranya mengembangkan konsep modal, produksi dan nilainya yang baru. Kerja dalam audisi Indonesian Idol tentu berbeda dengan bekerja yang dilakukan buruh pabrik sepatu Kasogi misalnya. Jika buruh Kasogi menghasilkan sepatu, maka buruh bintang iklan Kasogi bekerja menghasilkan suatu citra dan kesan di masyarakat (relasi sosial) yang sedemikian rupa mengkondisikan mereka untuk membeli sepatu kasogi tersebut. Lainnya, buruh Indonesian Idol bekerja menghasilkan produk berupa histeria akan idola-isme dan selebriti-isme yang perpetuasi keberadaannya akan membuat industri periklanan, tarik-suara, pemandu bakat, fashion, seluler, dan seterusnya, menjadi langgeng. Modal yang harus dimiliki dengan demikian, bukan hanya tenaga lagi, melainkan kecantikan/ketampanannya, warna kulitnya, sikapnya, keceriannya, bahkan hidupnya—tidak heran sehingga ada penghargaan ‘life time dedication. Jadi, setiap relasi sosial kapitalistik akan melahirkan konsepsi modalnya sendiri, produksinya sendiri, dan nilainya sendiri. Inilah peran yang amat-sangat vital dari relasi sosial.

Mahasiswa-Buruh-Kapitalis (dan Gerakan Mahasiswa?)

Saya akan memfokuskan pada universitas kali ini. Melihat universitas dalam perspektif ini, maka bukankah Universitas menciptakan mahasiswa sebagai komoditas, yang nilainya didapat dalam relasinya (atau ranking-nya) dengan universitas lain? Bukankah Universitas juga mentransformasi konsep modal menjadi sebagai ‘gelar’, ‘skill’, dan ‘ekspertis’? Bukankah kampanye universitas untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja merupakan sebentuk kerja imaterial yang memproduksi suatu relasi sosial yang didalamnya hanya orang-orang berpendidikan saja yang memiliki modal untuk bekerja/berproduksi? Bukankah pada akhirnya identitas ‘mahasiswa’ yang dielu-elukan itu sendiri tak lain adalah dimungkinkan, dan hanya dimungkinkan oleh kerja imaterial ini? Universitas modern adalah manifestasi kapitalisme pasca-Fordis par excellence!

Hal ini selanjutnya membawa kita untuk melihat bagaimana mahasiswa memiliki karakter ganda dalam kapitalisme kontemporer: sebagai buruh dan kapitalis. Sebagai buruh, ia mempekerjakan dirinya kepada perusahaan, pemerintah, dst., sebagai pekerja. Tapi disisi lain, ia memiliki modal berupa gelar, intelegensia, skill (hard atau soft)—hadiah dari universitas, sebagai modal. Dengan modal inilah ia memiliki kemampuan yang memungkinkan ia untuk berproduksi/bekerja. Sekiranya cukup jelas bahwa nama lengkap mahasiswa adalah: mahasiswa-buruh-kapitalis. Sehingga saat indeks kesejahteraan salah satunya diukur dari pendidikan, dan pendidikan yang dimaksud adalah melalui sekolah dan/atau universitas, maka proliferasi dan reproduksi mahasiswa akan terus-menerus dilakukan. Akibatnya, dimana-mana akan semakin sering kita temui mahasiswa, atau mereka-mereka yang penah menjadi, atau akan menjadi mahasiswa. Jika seseorang bukan, atau belum pernah menjadi manusia, maka bisa dipastikan ia tidak memiliki cukup modal dalam artian gelar dan skill untuk bekerja.

Berangkat dari kenyataan inilah sekiranya diskusi seputar gerakan mahasiswa harus diletakkan. Jika argumentasi di atas disepakati, maka menjadi paradoks bagi mahasiswa untuk bergerak melawan eksploitasi kapitalisme, justru dengan menggunakan identitas, modal dan status yang notabene dimungkinkan oleh kapitalisme itu sendiri. Lebih ironisnya lagi, beberapa mahasiswa malah mensakralkan ke-mahasiswa-an mereka! Selama gerakan mahasiswa tidak menyadari ini, maka gerakan mahasiswa tidak hanya akan berifat kontra-produktif, melainkan justru memperkuat sistem yang hendak dilawannya sendiri. Selama mahasiswa secara naif terus menyerukan “kita sebagai mahasiswa harus bergerak!” atau “kita sebagai insan intelektual harus berkontribusi bagi pemecahan permasalahan bangsa!”, maka sebenarnya bukan masalah yang hendak dipecahkan melalui gerakan tersebut, melainkan narisisisme identitas ke-mahasiswa-an lah yang hendak diselamatkan dari guyuran tudingan “NATO—no action talk only!” yang kerap diserangkan ke ‘mahasiswa’. Semenjak ke-mahasiswa-an adalah produk komoditas kapitalisme par excellence, membela ke-mahasiswa-an beresiko memperkuat kapitalisme itu sendiri.

Mungkin tepat di sinilah kita perlu membela ‘mahasiswa’ dan ‘intelektualitas’, atau yang saya kira lebih baik disebut ‘akademia’, demi pembedaan dari konsep terdahulu yang sudah bereputasi “buruk”. Akademia perlu direposisi dalam relasinya dengan kapitalisme. Harus diakui bahwa “modal” yang dimiliki akademia adalah dimungkinkan oleh kapitalisme. Namun sekiranya hal ini tidak lantas membuat modal tadi tidak bisa dipergunakan untuk melawan sistem yang memungkinkannya itu sendiri. Saat akademia diciptakan terkotak-kotak sebagai ekspertis untuk menyelesaikan suatu permasalahan, maka perlu sekiranya hal ini direfleksikan ulang. Akademisi yang melakukan perlawanan memang mengupayakan daya intelektualnya untuk menyelesaikan permasalahan, namun bukan permasalahan yang diberikan padanya untuk selesaikan. Akademisi sejati adalah ia yang menyelesaikan permasalahan yang dihasilkannya sendiri dari proses problematisasi dan reproblematisi kondisi yang secara historis-spesifik ia jumpai di kesehariannya di lapangan. Kerja akademik yang demikian adalah kerja perlawanan di basis ide. Selama mahasiswa sebagai insan akademik tidak menyadari potensi perlawanan akademik ini, maka ia tak lebih dari sekedar tukang ledeng untuk membenahi sekrup-sekrup longgar negara dan pasar. [HYP]


[1] Hal ini tidak lantas menafikan relasi sosial lainnya, namun dalam hal ini perlu saya tegaskan bahwa relasi-relasi ini harus, dan tidak bisa tidak, dipahami dalam konteks kapitalisme neoliberal. Hal ini demikian, karena kapitalisme neoliberal hari ini telah menjadi backdrop dimana seluruh relasi sosial didirikan. Tentang ini, akan dibahas pada kesempatan lainnya.
[2] Pembahasan berikut mungkin akan terlihat sangat dangkal bagi beberap orang, namun perlu ditekankan bahwa hal ini bukan dilakukan dalam rangka mereduksi kapitalisme itu sendiri, namun lebih kepada upaya introduksi, untuk kemudian bisa diperdalam masing-masing.
[3] Definisi kelas ini, sebagaimana yang akan dijelaskan berikutnya, akan bertransformasi seiring dengan ditemukannya konsep ‘kerja imaterial’.
[4] Pembahasan tentang negara dan neoliberalisme di sini tidak diberikan secara mendetil karena keterbatasan tempat dan waktu. Prioritas dengan demikian diberikan pada kapitalisme itu sendiri. Bagi yang hendak menagih pertanggungan –jawab saya tentang ini, silakan melihat artikel saya lainnya: "Kapitalisme dalam Kerlingan Negara-Berdaulat: Ulasan historis singkat dari era Imperium Romawi Agung sampai era Neoliberal," makalah Workshop Kapitalisme Global, PACIVIS UI, 2011.
[5] Perlu ditekankan bahwa kerja material tradisional (di pabrik, buruh upahan, buruh tani,dst.) perlu diletakkan pula dalam konteks transformasi ini, yaitu pada perannya yang menopang kerja imaterial modern. Inilah fungsi sosio-politis dari yang disebut-sebut "unequal development," yang sengaja saya sisihkan untuk pembahasan yang ekstensif pada kesempatan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar