Hizkia Yosie Polimpung
Peneliti di Pacivis—Pusat Kajian Global Civil Society,
Universitas Indonesia. Pegiat Kelompok Diskusi Sabtuan Hubungan Internasional
Kontemporer. Kontak: yosieprodigy@live.com
Memahami, apalagi mengkoreografikan
suatu pergerakan sosial-politik hari ini, tidak bisa tidak, harus diletakkan
dalam situasi dan kondisi relasi sosial politik yang sedang terjadi, yang really existing. Relasi sosial politik
tersebut tidak lain adalah jutaan relasi mikro yang terkandung dalam konsep
besar nan abstrak: kapitalisme neoliberal.[1]
Ini penting untuk senantiasa menancapkan gerakan tersebut dalam konteks
kesejarahannya yang spesifik. Tanpa ini, maka gerakan tersebut tidak lebih dari
suatu gerakan reaksioner emosional (bahkan tidak sedikit yang mesianik) yang
sama sekali ahistoris. Sehingga praktis, seluruh gerakan sosial politik yang
tidak disertai dengan pemahaman memadai tentang relasi sosial politik ini hanya
merepetisi ungkapan William Shakespeare, “much
ado about nothing”—yang ironisnya dilakukan demi menghindari tuduhan sinis
NATO (No Action Talk Only). Hal ini juga tidak mengecualikan gerakan mahasiswa,
yang menjadi subyek pembahasan kali ini.
Tulisan singkat ini akan mendiskusikan
mengenai hal-hal di dalam dan di seputar kedua konsep kapitalisme dan
neoliberalisme, terutama mengenai bagaimana keduanya bersifat paradoks: saling
meniadakan satu sama lain, namun saling membutuhkan satu sama lain. Berikutnya,
tulisan ini akan bergerak ke arah evolusi kontemporernya. Pembahasan akan
difokuskan pada bagaimana evolusi kapitalisme pasca-Fordisme menunjukkan sifat
lain dari produksi/kerja yang tidak hanya berimplikasi pada cara pandang
terhadap kapitalisme neoliberal kontemporer, melainkan kembali ke belakang,
terhadap seluruh evolusi kapitalisme semenjak abad pertengahan. Terakhir,
tulisan ini akan menunjukkan dimensi-dimensi eksploitatif dari kapitalisme
neoliberal kontemporer yang notabene amat subtil, dengan demikian mengangkatnya
ke permukaan sehingga dapat dijadikan sasaran bagi pergerakan yang mencoba
melawannya. Peran dan reposisi peran ‘mahasiswa’ dalam kapitalisme neoliberal
juga akan dibahas di bagian ini.
Metode
Arti penting mendiskusikan hal-hal ini
amatlah urjen direfleksikan sejenak (dan secara terus menerus). Berkaitan
dengan ini, saya menawarkan tiga kerangka (yang juga bisa berfungsi sebagai check-list) yang penting untuk dilakukan terkait
seluruh gerakan sosial politik, sebelum ia menggerak-gerakkan dirinya. Pertama, memahami situasi dan kondisi
yang obyektif yang sedang terjadi hari ini. Jika disepakati bahwa
kapitalisme neoliberal adalah backdrop kehidupan
hari ini, maka memahami keduanya adalah hal mutlak. ‘Memahami’ di sini berarti
memahami logika internal yang mengatur jalannya masing-masing sistem. Logika
internal ini sifatnya obyektif, dalam artian ia berjalan relatif secara otonom
tanpa perlu campur tangan manusia. Jika manusia juga ternyata termasuk dalam
sistem tersebut, maka ini jangan diartikan sebagai ketergantungan total
terhadap manusia. Jadi, kapitalisme, misalnya, harus dilihat sebagai memiliki
logika internalnya sendiri yang berpijak darinya, suatu analisis obyektif
tentangnya harus diarahkan. Menganalisis logika internal ini berarti
mendeskripsikan bagaimana kapitalisme, dengan caranya sendiri dan demi
reproduksi dirinya sendiri, melihat dan memperlakukan manusia dan hal-hal lain
seperti negara, institusi, alam, tapi juga batu, kertas, semut, tuhan, dst. Hal
serupa berlaku bagi neoliberalisme.
Kedua, memahami
dimensi eksploitatif dan dominatif dari kapitalisme neoliberal tersebut. Hal
ini sama sekali bukan sekedar menunjukkan siapa-siapa saja yang mendalangi
eksploitasi, atau siapa-siapa saja yang terkena eksploitasi. Nominalisme
semacam ini bukan hanya salah sasaran, namun ia rawan terjebak dalam kritisisme
personal—“kapitalisme jahat karena orang-orangnya bermasalah”—yang ujungnya
sudah jelas: gerakan menjadi salah arah dan sasaran. Yang dimaksud dimensi
eksploitatif di sini lebih sistemik sifatnya. Untuk ini, pertanyaan-pertanyaan
yang penting untuk dijawab adalah: prakondisi sistemik apa yang memungkinkan
terjadinya eksploitasi oleh orang-orang tersebut? Bagaimana detil mekanisme
sistem dan aparatus-aparatusnya dalam menjalankan eksploitasi tersebut? Apa
yang dieksploitasi? Untuk apa? Apa yang dilakukan terhadap mereka-mereka yang
dieksploitasi? Adakah perlawanan? Jika ada: bagaimana ia diredam? Jika tidak
ada: mekanisme kontrol seperti apa yang memungkinkan ketidak-sadaran ini? Dst.
Ketiga, tak
lain adalah menyusun program. Program yang dimaksud adalah serangkaian praksis
yang disusun berdasar pemahaman tentang really
existing condition dan diarahkan kepada dimensi eksploitatif dan dominatif
dari kondisi tersebut, dalam hal ini kapitalisme-neoliberal. Sehingga jelas,
hal ketiga ini tidak bisa dilakukan tanpa dua yang pertama. Namun demikian ini
tidak berarti bahwa ketiganya berjalan terpisah: sama sekali tidak! Ketiganya
bisa berjalan bersamaan, namun tetap mensyaratkan refleksi terhadap poin
pertama dan kedua, sembari menjalankan yang ketiga. Jadi problemnya bukan
seperti apa programnya (menjadi DPR, aktivis, akademisi, intelektual,
pengusaha, pemuka agama dst.), melainkan bagaimana program tersebut diletakkan
dalam konteks problematik yang dilihatnya masing-masing melalui analisis
obyektif terhadap kondisi eksploitatif kapitalisme neoliberal. Jelas disini
bahwa dalam mengevaluasi dan men-judge
suatu gerakan harus berdasarkan apa
yang dilihatnya sebagai problem dan apakah yang dilakukannya berkontribusi bagi
pemecahan problem tersebut. Tanpa ini, gerakan sosial politik, terutama gerakan
mahasiswa, tidak lebih dari manifestasi euforia heroisme naif atas kegalauan
kelas menengah yang neurotik—gegar di antara (apa yang dikira) panggilannya
dengan kondisi realitas di lapangan.
Sekilas tentang Kapitalisme
Untuk memahami kapitalisme, maka penting
untuk melihatnya pertama-tama sebagai suatu sistem ekonomi. Ekonomi, berasal
dari kata dalam bahasa Yunani, oikonomia,
yang terdiri dari dua kata oikos dan
nomos. Oikos berarti rumah-tangga, juga bisa berarti domestik; nomos berarti tatanan/atura. Oikonomia,
dengan demikian merupakan suatu pengaturan rumah-tangga domestik. Hal ini
penting didefinisikan dulu karena seringkali kapitalisme disamakan dengan
ekonomi. Padahal, hal tersebut tidak
berlangsung dua arah: kapitalisme merupakan sistem ekonomi, namun ekonomi tidak selalu berupa kapitalisme. Sistem
ekonomi lainnya bisa berupa barter, komune, dst.
Lalu apakah kapitalisme?[2]
Tanpa berpretensi memberi konseptualisasi yang final dan exhaustive, kapitalisme harus dipahami sebagai suatu sistem
penataan kehidupan domestik—ekonomi—yang berdasarkan pada proses pertukaran
komoditas. Lalu apakah komoditas? Komoditas, selanjutnya dapat secara sederhana
dilihat sebagai hasil dari proses produksi yang mengandung suatu nilai untuk
dipertukarkan di area pertukaran bernama pasar.
Proses produksi inilah yang mutlak mensyaratkan modal dan/atau kapital.
Itulah mengapa sistem ekonomi ini disebut kapital-isme.
Melihat kapitalisme secara ekonomistik,
sesederhana jual-beli, tukar-guling dst seperti ini akan tidaklah cukup. Hal
penting yang harus dilihat dalam mekanisme beroperasinya adalah bahwa kapitalisme telah dan akan selalu mensyaratkan suatu relasi sosial. Jejak-jejak
relasi sosial ini dapat dilihat pada, misalnya, ‘proses pertukaran’—ditukarkan
dengan siapa? Tentu dengan orang lain, yang hubungan dengannya telah membentuk
suatu dan terbentuk dalam relasi sosial tertentu. Lainnya, ‘nilai tukar
komoditas’—ditakar dari mana? Tentu dari relasinya dengan komoditas lain yang
bersama-sama menempati suatu ruang dimana suatu relasi sosial terjadi. Ruang
inilah yang kemudian disebut pasar.
Ini semua terlihat normal dan “baik-baik
saja.” Namun demikian, suatu ugly truth yang
penting untuk juga ditunjukkan, adalah bahwa kapitalisme telah dan akan
selalu mensyaratkan ketimpangan dan ketidak-setaraan dalam kepemilikan modal. Ketimpangan
ini sekaligus menjadi relasi sosial yang merupakan backdrop bagi tumbuh suburnya kapitalisme. Relasi sosial inilah yang
disusun oleh kelompok masyarakat yang didefinisikan dari aksesnya terhadap
kapital—yaitu kelas. Terdapat dua kelas: borjuasi, yaitu para pemilik modal;
dan proletar/buruh: yaitu mereka yang tidak memiliki modal, namun mempekerjakan
diri pada pemilik modal.[3]
Ketimpangan, dengan demikian, adalah unsur utama dan konstitutif bagi
kapitalisme; tanpa ketimpangan kepemilikan modal, maka tidak akan ada
kapitalisme. Kesetaraan—dan bukan seolah-olah
setara (misalnya setara sebagai konsumen Starbucks,
setara sebagai penonton Holywood, setara
sebagai pendengar Lady Gaga, setara sebagai pengunjung Grand Indonesia, dst.),
akhirnya, adalah musuh dari kapitalisme.
Pertanyaan berikutnya, mengapa
ketimpangan ini diperlukan? Sederhana saja: tanpa
ketimpangan kepemilikan modal, maka tidak akan dimungkinkan suatu akumulasi
modal. Akumulasi modal inilah yang didambakan oleh seluruh kapitalis.
Logikanya sebagai berikut: jika semua orang memiliki modal, maka tidak akan
terjadi pertukaran. Mengapa? Karena semua orang akan bekerja bagi, untuk dan
demi dirinya sendiri; tidak perlu orang lain—dalam artian, tanpa ada orang lain
pun, ia bisa hidup. Jika terjadi ketimpangan, maka akan muncul suatu perasaan
saling membutuhkan. Perasaan ini akan diikuti dengan upaya bersama untuk saling
memenuhi. Kesinambungan (dalam artian perpetuasi) upaya untuk saling memenuhi ini dibutuhkan untuk tetap
berproduksi (menggunakan kapital masing-masing), dengan demikian untuk
mengakumulasi profit bagi kapitalnya itu sendiri. Inilah sebabnya, kapitalisme akan
me-reifikasi relasi sosial yang
timpang ini—menjadikannya seolah-olah obyektif, normal dan tak terelakkan.
Jadi, sampai disini bisa sekiranya
disarikan beberapa konsep penting dalam kapitalisme. Modal, yaitu segala sesuatu yang
memungkinkan terjadinya proses produksi. Produksi,
selanjutnya tidak seharusnya dilihat dari produk-nya
semata; produksi adalah selalu aktivitas menghasilkan nilai untuk kemudian dipertukarkan. Sehingga produk dari produksi,
yaitu komoditas, tidak bisa dilihat
hanya dari bentuknya—barang dan/atau jasa—melainkan harus dari nilai-nya. Buruh, dari konseptualisasi-konseptualisasi ini, harus dilihat
sebagai kelas yang bekerja menghasilkan nilai dan komoditas dengan imbalan upah—dan
bukan nilai berikut komoditas yang dihasilkannya tersebut.
Negara di mata Kapitalisme[4]
Kapitalisme
tidak pernah bisa ada tanpa relasi sosial-politik yang mengawal dan
melindunginya. Oleh karena itu, tidak relevan membahas kapitalisme tanpa
mengikut-sertakan (neo)liberalisme, suatu sistem politik ekonomi negara yang
berbasiskan pada pemeliharaan berfungsi mulusnya pasar. Jika kapitalisme
berjalan dengan logika akumulasi kapital—semuanya demi kepentingan akumulasi
profit, maka negara berjalan dengan logika penguatan kedaulatan (raison d’etat)—semua dilakukan demi
memperkuat negara.
Raja – Ilahi – Realm >> Mustahil sejak revolusi demokrasi
Negara – Rakyat >>
Kemustahilan demokrasi langsung
Negara – Pasar – Rakyat >> Pemerintahan Liberal
Pasar – Negara – Akum. profit >> Kapitalisme
|
Skema 1. Logika internal negara dan kapitalisme
Kedua
logika ini, sialnya, relatif otonom dari manusia (kita semua); mereka berjalan
dengan logikanya sendiri, yang ironisnya, sudah menginklusi partisipasi manusia
didalamnya: bagi kapitalisme, manusia tidak lebih dari sekedar tubuh-tubuh
buruh dan/atau konsumen; bagi negara, manusia tidak lebih dari tubuh-tubuh
untuk diatur atas nama kewarga-negaraan, nasionalisme, kebangsaan,
ke-Indonesia-an, dll. Tidak hanya terhadap manusia, kedua logika ini juga
memiliki hubungan satu sama lain. Bagi kapitalisme, negara adalah entitas
sosial-politik untuk memfasilitasi dan melindunginya. Bagi negara, kapitalisme
adalah alat instrumen negara untuk mensejahterakan rakyatnya, namun bukan demi rakyat itu sendiri, melainkan
agar supaya rakyat-rakyat yang disejahterakannya itu memberikan legitimasi bagi
kedaulatannya. Ujung dari upaya negara, tidak lain, penguatan justifikasi
keberadaannya (kedaulatan), tidak lebih. Rakyat, akhirnya tidak lebih dari
sekedar kategori imajiner statistikal untuk sesekali dikutip untuk
menjustifikasi diri, baik oleh kapitalisme (dalam hal ‘kesejahteraan bersama’)
maupun oleh negara (dalam hal ‘kepentingan nasional’).
Kapitalisme Pasca-Fordisme dan Imaterialisasi Produksi
Mutasi terkini kapitalisme adalah apa
yang disebut-sebut sebagai kapitalisme pasca-industri, atau lainnya,
kapitalisme pasca-Fordisme. Singkatnya, kapitalisme pasca-Fordis ini merupkan
versi upgrade dari bentuk kapitalisme
Fordis. Jika pada Fordisme, produksi dilakukan secara massal, maka pada
pasca-Fordisme dilakukan secara terbatas, limited
edition dan just-in-time. Jika
produk Fordisme dilihat dari kuantitasnya, maka pada pasca-Fordisme dilihat
dari bagaimana ia menawarkan perbedaan, kelebihan, atau added-value dari produk lainnya. Di bidang manajerial, apabila
Fordisme menekankan hirarki manajemen, maka pada pasca-Fordisme, pola
manajerial mangambil rupa dalam bentuk desentralisasi, bahkan jaringan. Hal
terpenting untuk melihat perubahan ini adalah bagaiman perubahan ini bukan
sekedar perubahan, melainkan ia adalah suatu perubahan paradigmatik—suatu perubahan yang mempengaruhi
keseluruhan aspek bangunan logika internal.
Melihat sebagai suatu perubahan
paradigmatik, maka perubahan-perubahan di yang nampak terjadi di lapangan harus
diletakkan dalam konteks paradigmatik apa yang sekiranya melandasi dan
memungkinkannya. Misalnya, saat manajemen buruh tidak lagi hirarkis dan
represif, berubah menjadi (seolah-olah) setara yang terlihat dalam kemasan team-work dan acara-acara outbound/outing bersama atasan/bawahan,
kira-kira apa yang berubah pada cara pandang terhadap manajemen buruh? Lalu
saat dalam pasar swalayan para pelanggan dilayani dengan begitu ramah dan
mesra, kira-kira apa yang berubah pada cara pandang terhadap konsumen? Terakhir
misalnya saat untuk menjadi pekerja seseorang harus menyandang gelar tertentu,
dari universitas tertentu, dan dengan jurusan tertentu, kira-kira apa yang
berubah pada cara pandang terhadap konsep buruh/pekerja, atau terhadap kapital,
atau terhadap konsep kerja/produksi itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini
sekiranya dapat membantu analisis untuk sampai pada level paradigmatik dari
mutasi Fordisme ke Pasca-Fordisme ini.
Salah satu capaian paradigmatik yang
ingin ditekankan melalui tulisan ini adalah pada bagaimana Pasca-Fordisme tidak
lagi melihat bahwa produksi dan konsumsi sebagai dua hal yang terpisah.
Konsumsi dan produksi adalah satu koin dengan dua sisi yang berbeda.
Implikasinya, buruh dan kapitalis pun juga tak ubahnya sepeser koin. Buruh
adalah kapitalis, kapitalis adalah buruh.
Produksi Relasi Sosial
Memahami ini, perlu bagi kita untuk
memfokuskan pada relasi sosial yang menjadi unsur konstitutif bagi kapitalisme
itu sendiri. Jika relasi sosial adalah hal mutlak bagi kapitalisme, maka
bukankah hal ini berarti bahwa reproduksi relasi sosial itu adalah core business dari kapitalisme itu
sendiri? Jika demikian, bukankah hal ini juga berarti bahwa produksi dan
reproduksi relasi sosial itu sendiri telah selalu mengiringi kiprah kapitalisme
itu sendiri sejak dahulu kala? Jika disepakati bahwa nilai tukar suatu
komoditas adalah materialitas dari suatu proses produksi, maka dimensi
imaterial dari proses produksi tersebut adalah relasi sosial yang dibawa-bawa
sekaligus mensyaratkan komoditas tersebut. Jadi, apabila produksi nilai melalui
komoditas adalah kerja material; maka
produksi relasi sosial melalui komoditas adalah kerja imaterial. Komoditas, dengan demikian memiliki karakter
ganda: material dan imaterial. Aspek produksi relasi sosial inilah yang menjadi
pusat dalam produksi pasca-Fordisme, sekalipun tidak juga menafikan aspek
material.[5]
Masih terkait relasi sosial, perlu
ditekankan bahwa relasi sosial bagi
kapitalisme di sini harus diartikan sebagai segala bentuk relasi sosial yang
memungkinkan perpetuasi proses produksi komoditas dan, tentu saja, akumulasi
modal. Relasi sosial ini tidak selalu dalam artian yang makro seperti
relasi negara, institusi, dst. Tapi juga, misalnya Facebook dan Kaskus, sebagai
suatu forum dunia maya, ia memungkinkan terjadinya jutaan proses jual-beli;
Film-film Holywood memungkinkan terjadinya produksi dan jual-beli merchandise tentangnya. Indonesian Idol
memungkinkan laris-manisnya usaha-usaha kursus menyanyi, iklan-iklan, dst.
Sekolah dan Universitas memungkinkan terjadinya proses komodifikasi gelar dan
ekspertis. Dst.
Melihat hal-hal “non-konvensional” ini
sebagai bentuk kerja, perlu sekiranya mengembangkan konsep modal, produksi dan
nilainya yang baru. Kerja dalam audisi Indonesian Idol tentu berbeda dengan
bekerja yang dilakukan buruh pabrik sepatu Kasogi misalnya. Jika buruh Kasogi
menghasilkan sepatu, maka buruh bintang iklan Kasogi bekerja menghasilkan suatu
citra dan kesan di masyarakat (relasi sosial) yang sedemikian rupa
mengkondisikan mereka untuk membeli sepatu kasogi tersebut. Lainnya, buruh
Indonesian Idol bekerja menghasilkan produk berupa histeria akan idola-isme dan
selebriti-isme yang perpetuasi keberadaannya akan membuat industri periklanan,
tarik-suara, pemandu bakat, fashion, seluler, dan seterusnya, menjadi langgeng.
Modal yang harus dimiliki dengan demikian, bukan hanya tenaga lagi, melainkan
kecantikan/ketampanannya, warna kulitnya, sikapnya, keceriannya, bahkan
hidupnya—tidak heran sehingga ada penghargaan ‘life time dedication. Jadi, setiap
relasi sosial kapitalistik akan melahirkan konsepsi modalnya sendiri,
produksinya sendiri, dan nilainya sendiri. Inilah peran yang amat-sangat
vital dari relasi sosial.
Mahasiswa-Buruh-Kapitalis (dan Gerakan Mahasiswa?)
Saya akan memfokuskan pada universitas
kali ini. Melihat universitas dalam perspektif ini, maka bukankah Universitas
menciptakan mahasiswa sebagai komoditas, yang nilainya didapat dalam relasinya
(atau ranking-nya) dengan universitas
lain? Bukankah Universitas juga mentransformasi konsep modal menjadi sebagai
‘gelar’, ‘skill’, dan ‘ekspertis’? Bukankah kampanye universitas untuk
menghasilkan lulusan yang siap kerja merupakan sebentuk kerja imaterial yang
memproduksi suatu relasi sosial yang didalamnya hanya orang-orang berpendidikan
saja yang memiliki modal untuk bekerja/berproduksi? Bukankah pada akhirnya
identitas ‘mahasiswa’ yang dielu-elukan itu sendiri tak lain adalah
dimungkinkan, dan hanya dimungkinkan oleh kerja imaterial ini? Universitas
modern adalah manifestasi kapitalisme pasca-Fordis par excellence!
Hal ini selanjutnya membawa kita untuk
melihat bagaimana mahasiswa memiliki karakter ganda dalam kapitalisme
kontemporer: sebagai buruh dan kapitalis. Sebagai buruh, ia mempekerjakan
dirinya kepada perusahaan, pemerintah, dst., sebagai pekerja. Tapi disisi lain,
ia memiliki modal berupa gelar, intelegensia, skill (hard atau soft)—hadiah
dari universitas, sebagai modal. Dengan modal inilah ia memiliki kemampuan yang
memungkinkan ia untuk berproduksi/bekerja. Sekiranya cukup jelas bahwa nama
lengkap mahasiswa adalah: mahasiswa-buruh-kapitalis. Sehingga saat indeks
kesejahteraan salah satunya diukur dari pendidikan, dan pendidikan yang
dimaksud adalah melalui sekolah dan/atau universitas, maka proliferasi dan
reproduksi mahasiswa akan terus-menerus dilakukan. Akibatnya, dimana-mana akan
semakin sering kita temui mahasiswa, atau mereka-mereka yang penah menjadi,
atau akan menjadi mahasiswa. Jika seseorang bukan, atau belum pernah menjadi
manusia, maka bisa dipastikan ia tidak memiliki cukup modal dalam artian gelar
dan skill untuk bekerja.
Berangkat dari kenyataan inilah
sekiranya diskusi seputar gerakan mahasiswa harus diletakkan. Jika argumentasi
di atas disepakati, maka menjadi paradoks bagi mahasiswa untuk bergerak melawan
eksploitasi kapitalisme, justru dengan menggunakan identitas, modal dan status
yang notabene dimungkinkan oleh kapitalisme itu sendiri. Lebih ironisnya lagi,
beberapa mahasiswa malah mensakralkan ke-mahasiswa-an mereka! Selama gerakan
mahasiswa tidak menyadari ini, maka gerakan mahasiswa tidak hanya akan berifat
kontra-produktif, melainkan justru memperkuat sistem yang hendak dilawannya
sendiri. Selama mahasiswa secara naif terus menyerukan “kita sebagai mahasiswa
harus bergerak!” atau “kita sebagai insan intelektual harus berkontribusi bagi
pemecahan permasalahan bangsa!”, maka sebenarnya bukan masalah yang hendak
dipecahkan melalui gerakan tersebut, melainkan narisisisme identitas
ke-mahasiswa-an lah yang hendak diselamatkan dari guyuran tudingan “NATO—no action talk only!” yang kerap
diserangkan ke ‘mahasiswa’. Semenjak ke-mahasiswa-an adalah produk komoditas
kapitalisme par excellence, membela
ke-mahasiswa-an beresiko memperkuat kapitalisme itu sendiri.
Mungkin tepat di sinilah kita perlu
membela ‘mahasiswa’ dan ‘intelektualitas’, atau yang saya kira lebih baik
disebut ‘akademia’, demi pembedaan dari konsep terdahulu yang sudah bereputasi
“buruk”. Akademia perlu direposisi dalam relasinya dengan kapitalisme. Harus
diakui bahwa “modal” yang dimiliki akademia adalah dimungkinkan oleh
kapitalisme. Namun sekiranya hal ini tidak lantas membuat modal tadi tidak bisa
dipergunakan untuk melawan sistem yang memungkinkannya itu sendiri. Saat
akademia diciptakan terkotak-kotak sebagai ekspertis untuk menyelesaikan suatu
permasalahan, maka perlu sekiranya hal ini direfleksikan ulang. Akademisi yang
melakukan perlawanan memang mengupayakan
daya intelektualnya untuk menyelesaikan permasalahan, namun bukan permasalahan yang diberikan padanya untuk selesaikan. Akademisi
sejati adalah ia yang menyelesaikan permasalahan yang dihasilkannya sendiri
dari proses problematisasi dan reproblematisi kondisi yang secara
historis-spesifik ia jumpai di kesehariannya di lapangan. Kerja akademik yang
demikian adalah kerja perlawanan di basis ide. Selama mahasiswa sebagai insan
akademik tidak menyadari potensi perlawanan akademik ini, maka ia tak lebih
dari sekedar tukang ledeng untuk membenahi sekrup-sekrup longgar negara dan
pasar. [HYP]
[1] Hal ini tidak lantas menafikan
relasi sosial lainnya, namun dalam hal ini perlu saya tegaskan bahwa
relasi-relasi ini harus, dan tidak bisa tidak, dipahami dalam konteks
kapitalisme neoliberal. Hal ini demikian, karena kapitalisme neoliberal hari
ini telah menjadi backdrop dimana seluruh
relasi sosial didirikan. Tentang ini, akan dibahas pada kesempatan lainnya.
[2] Pembahasan berikut mungkin akan
terlihat sangat dangkal bagi beberap orang, namun perlu ditekankan bahwa hal
ini bukan dilakukan dalam rangka mereduksi kapitalisme itu sendiri, namun lebih
kepada upaya introduksi, untuk kemudian bisa diperdalam masing-masing.
[3] Definisi kelas ini, sebagaimana
yang akan dijelaskan berikutnya, akan bertransformasi seiring dengan
ditemukannya konsep ‘kerja imaterial’.
[4] Pembahasan tentang negara dan
neoliberalisme di sini tidak diberikan secara mendetil karena keterbatasan
tempat dan waktu. Prioritas dengan demikian diberikan pada kapitalisme itu
sendiri. Bagi yang hendak menagih pertanggungan –jawab saya tentang ini,
silakan melihat artikel saya lainnya: "Kapitalisme dalam Kerlingan
Negara-Berdaulat: Ulasan historis singkat dari era Imperium Romawi Agung sampai
era Neoliberal," makalah Workshop Kapitalisme Global, PACIVIS UI, 2011.
[5] Perlu ditekankan bahwa kerja
material tradisional (di pabrik, buruh upahan, buruh tani,dst.) perlu
diletakkan pula dalam konteks transformasi ini, yaitu pada perannya yang menopang
kerja imaterial modern. Inilah fungsi sosio-politis dari yang disebut-sebut "unequal development," yang
sengaja saya sisihkan untuk pembahasan yang ekstensif pada kesempatan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar