Oleh Rio Apinino, Sekjen SEMAR UI
Pemilihan Presiden kali ini sedikit berbeda dengan pemilihan-pemilihan
sebelumnya. Dalam Pilpres kali ini, hanya ada dua calon presiden yang mewakili
dua kecenderungan yang berbeda: Prabowo dengan kecenderungan otoritarian (bahkan
fasis) ala Orde Baru, dengan Jokowi dengan kecenderungan yang lebih demokratis.[1]
Menghadapi fakta
tersebut, berbagai gerakan sosial, baik yang pernah terlibat aktif dalam
pengorganisiran melawan Orde Baru maupun yang tidak terlibat langsung tetapi
mengetahui bagaimana Orde Baru bekerja melalui berbagai bacaan, dengan berbagai
cara berusaha menghadang
Prabowo untuk menempati posisi
RI 1. Agendanya jelas, agar sisa-sisa Orde Baru yang ter-representasikan
dalam dirinya tidak bangkit lagi dan transisi menuju Indonesia yang lebih demokratis
terus berlanjut. Meskipun, misalnya, bila Jokowi menang-pun transisi demokrasi belum tentu akan lebih
maju dari apa yang telah dicapai saat ini, tetapi hal tersebut tentu saja lebih
baik daripada mundur ke belakang. Lebih baik jalan di tempat daripada terlempar
lagi ke masa lalu, begitu kira-kira posisi politik saya sebelum saya berargumen lebih lanjut.
Selain kepentingan gerakan sosial, yaitu untuk memenangkan
Jokowi agar Prabowo tidak menjadi Presiden, dalam Pilpres kali ini kita juga melihat
adanya gejala lain yang berbeda, yaitu adanya gairah yang luas dari rakyat untuk
berpartisipasi langsung memenangkan Jokowi. Hal tersebut terlihat dari menjamurnya
relawan-relawan, baik yang individual mapun kelompok, untuk memenangkan Jokowi
dengan berbagai metode
kampanye. Sosok populis Jokowi, diakui ataupun tidak, memang menyita perhatian rakyat yang telah bosan
dengan tingkah elitis politisi
selama ini yang sangat berjarak dengan rakyat. Adapun tulisan ini bukan
hanya hendak berkomentar tentang maraknya partisipasi tersebut, lebih jauh dari
itu, tulisan ini hendak memberikan usulan apa yang dapat dilakukan pasca elektoral.
Foto dari Facebook Ruangrupa Jakarta |
(Harusnya) Tidak
Berhenti Sampai Disini
Fenomena menjamurnya relawan, baik individual maupun
kelompok yang mendukung Jokowi menjadi Presiden, bisa dibilang sebuah fenomena yang baru di tengah muaknya
masyarakat dengan politik. Sebelum ini, politik seakan sesuatu yang begitu
jauh: ia nun jauh disana, dan kita
disini, tak ada hubungan sama sekali. Politik sebelum ini adalah politik yang
diatur dan dijalankan sepenuhnya oleh para teknokrat, serta disisi lain
menjauhkan diri dari rakyat banyak yang pada dasarnya telah menjadi massa
mengambang. Tetapi, dengan adanya fenomena Jokowi, politik menjadi seakan-akan lebih dekat
dengan rakyat dan menjadi keseharian rakyat. Jika selama ini politik identik
dengan para oligark dan
rakyat yang terdisorganisasi di
akar rumput, maka dengan adanya fenomena Jokowi ini, sedikit banyak membawa
rakyat sadar penting untuk berpartisipasi
secara langsung dalam
politik, atau dalam konteks saat ini berbentuk pengorganisiran diri untuk
memenangkan Jokowi. Dengan kata lain, fenomena Jokowi yang melibatkan
partisipasi rakyat banyak adalah antitesa politik hari ini.
Apa artinya? Yang
dilakukan Jokowi ini membuat
tradisi pengorganisiran diri dari
rakyat yang selama puluhan tahun telah dilumpuhkan oleh
Orde Baru sedikit banyak kembali hidup. Bagi saya, signifikansi dari
Jokowi adalah memunculkan kesadaran bahwa untuk mencapai suatu keadaan tertentu
caranya adalah dengan percaya pada diri sendiri dengan mengorganisir
kepentingan dan tujuan yang sama, bukan dengan menggantungkan harapan pada segelintir orang, apalagi
hanya satu orang (baca: Prabowo). Hal ini telah terlihat, misalnya, ketika Jokowi memimpin
Jakarta. Apa yang dilakukan Jokowi ketika memimpin Jakarta adalah mendorong
munculnya demos, atau kumpulan orang
yang kuat dan mandiri, yang sadar hak-haknya sebagai warga negara seperti hak
atas pendidikan, kesehatan, air,
transportasi, dan pelayanan publik lainnya.[2]
Dengan mendorong hal tersebut, Jokowi membuat masyarakat sadar akan hak-hak
mereka sebagai warga negara dan juga berani menuntut hak-hak tersebut. Dalam
konteks Pilpres, artinya, rakyat yang mengorganisir diri untuk kemenangan
Jokowi bertujuan untuk memiliki Presiden yang dekat dengan rakyat, tidak elitis
dan menembus kekakuan-kekakuan birokrasi.
Tetapi, perlu diingat bahwa mayoritas kelompok relawan tersebut
ada dalam konteks pemenangan Jokowi, atau dengan kata lain hanya memastikan
Jokowi menjadi presiden saja, dan belum ada proyeksi kelanjutannya setelah itu
(setidaknya yang saya lihat). Hal ini dikarenakan mayoritas relawan tersebut
bukanlah kelompok yang programatik, atau kelompok yang memiliki rencana jangka
panjang setelah Jokowi menang dalam bentuk usulan program-program, ataupun
justru intervensi program sedari awal. Meskipun ada beberapa kelompok relawan
yang tergolong dalam kelompok
yang programatik/ideologis,
seperti Lingkar Trisakti yang berisi berbagai elemen gerakan sosial. Dengan
demikian, sebenarnya mayoritas relawan Jokowi memiliki daur hidup yang tidak terlalu panjang.
Hal di atas
menjadi sangat problematis. Meskipun fenomena Jokowi menghasilkan
kemungkinan untuk mengubah tradisi apolitis dari rakyat, tetapi celah untuk mengubah
sikap apolitis ini pun memiliki keterbatasan daur hidup. Maksudnya, sebagaimana
yang telah dijelaskan, celah untuk mengubah tradisi apolitis ini memiliki
kaitan erat dengan apa yang akan terjadi pasca Pilpres: apakah yang akan
dilakukan oleh sekian banyak organisasi relawan setelah Pilpres selesai, dan
seandainya Jokowi menang? Tentu ada banyak jawaban. Dan, bagi saya, yang paling
berbahaya justru relawan pemenangan yang marak ini selesai begitu saja, tanpa ada kelanjutannya. Pasca menang, mereka yang
tergabung dalam organisasi relawan, kemudian kembali menjalankan hiruk
pikuk kehidupan seperti biasa.
Hal ini sama saja dengan menganggap Jokowi adalah Ratu Adil yang akan
membuat hidup kita menjadi lebih baik tanpa melakukan apapun setelahnya.
Tentu menggantungkan nasib kepada Jokowi adalah bermasalah, sebab Jokowi bukanlah Ratu
Adil. Selain itu, hal yang lebih substansial adalah tertutupnya kembali tradisi baru yang sudah
mulai dirintis dengan berbagai pengorganisiran selama ini. Setelah semuanya selesai, dan Jokowi pun menang, itu membuat celah untuk
mengubah tradisi apolitis kembali tertutup. Jika modal dasar untuk
mengorganisir diri dan partisipasi politik yang lebih luas telah terbangun di
masa-masa seperti sekarang ini,
maka pengorganisiran atau partisipasi tersebut harus didorong lebih jauh lagi. Bagaimana caranya setelah Jokowi menang
partisipasi tersebut lebih diperluas dan tentu dengan cakupan isu yang lebih substansial juga. Kelompok-kelompok
relawan tersebut dapat menjadi motor utama untuk membuat partisipasi dari bawah secara lebih luas
pasca Pilpres: “Dari
memenangkan politik elektoral menuju partisipasi rakyat pasca-elektoral”. Bagaimanapun juga, menjamurnya kelompok
relawan salah satunya adalah karena program-program yang ditawarkan Jokowi.
Dengan begitu, tentu saja realisasi program tersebut sudah seharusnya diawasi
dengan mengikutsertakan rakyat yang lebih luas, termasuk, ya para pendukung Prabowo. Mereka tidak akan pindah warga negara
kan, seandainya Jokowi yang menang?
Kesadaran yang lebih mendalam untuk mengorganisir diri ini
juga berkaitan erat dengan politik yang tidak berada di ruang vakum. Politik,
dan tentu bagaimana negara dengan segala kebijakannya merupakan arena pertarungan kepentingan.
Jika selama ini para oligarki/sisa-sisa Orde Baru lah yang memiliki kontrol
terhadap negara, salah
satunya, karena belum terorganisirnya kekuatan
lain untuk berkontestasi melawannya. Kekuatan lain tersebut adalah
rakyat banyak: buruh, tani, nelayan, masyarakat adat, guru, dosen, pekerja kantoran, pedagang,
seniman, dsb. Dan,
untuk melawan sisa-sisa Orde Baru/oligarki tersebut syarat utamanya adalah
rakyat banyak tersebut harus menghimpun
dan mengorganisir diri agar mampu memiliki kontrol terhadap negara (dalam iklim
demokrasi, misalnya, dengan cara membentuk partai yang benar-benar berasal dari
rakyat dan untuk kepentingan rakyat). Syarat yang lebih dasar agar rakyat mampu
mengorganisir diri, tentu saja,
adalah adanya iklim yang kondusif, yaitu iklim dimana tidak adanya represi dari
aparatus negara terhadap
partisipasi politik warganya, sebagaimana yang Orde Baru lakukan selama
32 tahun. Jokowi menyediakan hal tersebut, setidaknya menyediakan iklim yang
lebih baik dari apa yang akan tersedia seandainya Prabowo yang menjadi
Presiden.
Jokowi menyediakan iklim yang lebih kondusif bagi
konsolidasi kekuatan rakyat dibanding Prabowo. Bagi saya, itulah satu-satunya
yang menjanjikan dari Jokowi. Adapun program-program kerakyatan yang Jokowi janjikan,
belum tentu terlaksana. Sekali
lagi, karena politik tidak berada di ruang vakum. Ada kontestasi kekuasaan
disana. Selama kebijakan tidak berseberangan dengan kepentingan kelas yang
berkuasa, maka kebijakan tersebut menjadi mungkin terlaksana. Tetapi
sebaliknya, ketika kebijakan justru bertolak belakang dengan kepentingan kelas
yang berkuasa, niscaya kebijakan tersebut tidak terealisasikan.
Tetapi, hal ini bukan berarti tertutup sama sekali untuk menawarkan/mendesakkan program
yang berorientasi kerakyatan atau menagih janji-janji program kerakyatan pada
Jokowi. Yang perlu diingat adalah, bahwa Jokowi juga memiliki
keterbatasan-keterbatasan struktural nantinya. Maksudnya adalah, Jokowi tetap
akan bekerja dalam kerangka ekonomi politik kapitalisme yang pada dasarnya
tidak pernah diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat banyak. Disinilah peran
dari rakyat yang terorganisir
menjadi sangat penting, yaitu menjadikan Jokowi sebagai penanda kosong, dimana pihak yang
paling mampu untuk mempengaruhi Jokowi, maka kesanalah Jokowi akan pergi. Yang
perlu dan memang harus dilakukan ketika Jokowi menang adalah tidak ragu untuk
melakukan tekanan publik kepada Jokowi. Misalnya, mendorong Jokowi
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti yang dilakukan oleh Prabowo,
dan juga tentu saja orang-orang yang selama ini berada dalam barisan
pendukungnya seperti Wiranto dan Hendropriyono. Selain itu, dapat juga mendorong
Jokowi melaksanakan program-program pendidikan dan kesehatan yang murah dan terjangkau bagi seluruh
rakyat, misalnya. Dengan demikian, walaupun hal tersebut belum tentu akan
dijalankan oleh Jokowi (meskipun agenda kesehatan dan pendidikan, misalnya,
sudah masuk visi misi resmi Jkw-Jk), upaya-upaya tersebut dapat menjadi pendidikan
politik riil bagi rakyat untuk terus
mengorganisir diri, tradisi yang sebenarnya berurat-berakar sebelum Orde Baru
berdiri.
Tentu saja, tantangan untuk mengubah tradisi apolitis dan
menggantinya dengan tradisi berorganisasi/partisipasi dalam politik ini tidak
bisa dengan mudah dilakukan. Karena bagaimanapun, akan sangat sulit
menghilangkan apa yang telah ditanamkan penguasa selama puluhan tahun. Tetapi
Jokowi, dengan populismenya, telah menyediakan momen politik dimana tercipta peluang
untuk mengubah tradisi apolitis tersebut. Tinggal bagaimana momen politik
tersebut dimanfaatkan sebaik mungkin. Dengan rakyat yang terorganisir, maka,
cita-cita menghilangkan sama sekali sisa-sisa Orde Baru memiliki peluang yang
lebih besar untuk direalisasikan.
Hal Tersebut Dapat
Terjadi Seandainya...
Semua yang ditulis disini, sebagaimana judulnya, diharuskan
memenuhi prakondisi tertentu, yaitu Jokowi benar-benar menjadi Presiden. Jika
Jokowi pada akhirnya kalah dan Prabowo menang menjadi Presiden, tulisan ini
tentu tidak berlaku. Untuk itu, dalam sisa waktu yang tersedia sebelum tanggal 22
Juli nanti, mari bersama, meminjam istilah Martin Suryajaya, melakukan “kerja bakti
politik” untuk memenangkan Jokowi dengan cara menjaga hasil pemilu tanggal 9
Juli kemarin dari para “mafia suara” yang sekarang sedang giat-giatnya
bergentayangan.
“Silence in the face of evil is it self evil.
God will not hold us guiltless. Not to speak is to speak. No to act is to act.”
(Deitrich
Bonhoeffer)
[1] Lihat Iqra
Anugrah, Demokrasi atau Barbarisme di
http://indoprogress.com/2014/05/demokrasi-atau-barbarisme/
[2] Wawancara
Fildzah Izzati dengan Hilmar Farid, http://indoprogress.com/2013/07/hilmar-farid-warisan-kunci-politik-orde-baru-adalah-kemiskinan-imajinasi-politik-sosial-dan-kultural/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar