Senin, 14 Juli 2014

Kalau Jokowi Menang, Lalu Apa?

Oleh Rio Apinino, Sekjen SEMAR UI

Pemilihan Presiden kali ini sedikit berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya. Dalam Pilpres kali ini, hanya ada dua calon presiden yang mewakili dua kecenderungan yang berbeda: Prabowo dengan kecenderungan otoritarian (bahkan fasis) ala Orde Baru, dengan Jokowi dengan kecenderungan yang lebih demokratis.[1] Menghadapi fakta tersebut, berbagai gerakan sosial, baik yang pernah terlibat aktif dalam pengorganisiran melawan Orde Baru maupun yang tidak terlibat langsung tetapi mengetahui bagaimana Orde Baru bekerja melalui berbagai bacaan, dengan berbagai cara berusaha menghadang Prabowo untuk menempati posisi RI 1. Agendanya jelas, agar sisa-sisa Orde Baru yang ter-representasikan dalam dirinya tidak bangkit lagi dan transisi menuju Indonesia yang lebih demokratis terus berlanjut. Meskipun, misalnya, bila Jokowi menang-pun transisi demokrasi belum tentu akan lebih maju dari apa yang telah dicapai saat ini, tetapi hal tersebut tentu saja lebih baik daripada mundur ke belakang. Lebih baik jalan di tempat daripada terlempar lagi ke masa lalu, begitu kira-kira posisi politik saya sebelum saya berargumen lebih lanjut.


Selain kepentingan gerakan sosial, yaitu untuk memenangkan Jokowi agar Prabowo tidak menjadi Presiden, dalam Pilpres kali ini kita juga melihat adanya gejala lain yang berbeda, yaitu adanya gairah yang luas dari rakyat untuk berpartisipasi langsung memenangkan Jokowi. Hal tersebut terlihat dari menjamurnya relawan-relawan, baik yang individual mapun kelompok, untuk memenangkan Jokowi dengan berbagai metode kampanye. Sosok populis Jokowi, diakui ataupun tidak, memang menyita perhatian rakyat yang telah bosan dengan tingkah elitis politisi selama ini yang sangat berjarak dengan rakyat. Adapun tulisan ini bukan hanya hendak berkomentar tentang maraknya partisipasi tersebut, lebih jauh dari itu, tulisan ini hendak memberikan usulan apa yang dapat dilakukan pasca elektoral. 
 
Foto dari Facebook Ruangrupa Jakarta

(Harusnya) Tidak Berhenti Sampai Disini

Fenomena menjamurnya relawan, baik individual maupun kelompok yang mendukung Jokowi menjadi Presiden, bisa dibilang sebuah fenomena yang baru di tengah muaknya masyarakat dengan politik. Sebelum ini, politik seakan sesuatu yang begitu jauh: ia nun jauh disana, dan kita disini, tak ada hubungan sama sekali. Politik sebelum ini adalah politik yang diatur dan dijalankan sepenuhnya oleh para teknokrat, serta disisi lain menjauhkan diri dari rakyat banyak yang pada dasarnya telah menjadi massa mengambang. Tetapi, dengan adanya fenomena Jokowi, politik menjadi seakan-akan lebih dekat dengan rakyat dan menjadi keseharian rakyat. Jika selama ini politik identik dengan para oligark dan rakyat yang terdisorganisasi di akar rumput, maka dengan adanya fenomena Jokowi ini, sedikit banyak membawa rakyat sadar penting untuk berpartisipasi secara langsung dalam politik, atau dalam konteks saat ini berbentuk pengorganisiran diri untuk memenangkan Jokowi. Dengan kata lain, fenomena Jokowi yang melibatkan partisipasi rakyat banyak adalah antitesa politik hari ini.

Apa artinya? Yang dilakukan Jokowi ini membuat tradisi pengorganisiran diri dari rakyat yang selama puluhan tahun telah dilumpuhkan oleh Orde Baru sedikit banyak kembali hidup. Bagi saya, signifikansi dari Jokowi adalah memunculkan kesadaran bahwa untuk mencapai suatu keadaan tertentu caranya adalah dengan percaya pada diri sendiri dengan mengorganisir kepentingan dan tujuan yang sama, bukan dengan menggantungkan harapan pada segelintir orang, apalagi hanya satu orang (baca: Prabowo). Hal ini telah terlihat, misalnya, ketika Jokowi memimpin Jakarta. Apa yang dilakukan Jokowi ketika memimpin Jakarta adalah mendorong munculnya demos, atau kumpulan orang yang kuat dan mandiri, yang sadar hak-haknya sebagai warga negara seperti hak atas pendidikan, kesehatan, air, transportasi, dan pelayanan publik lainnya.[2] Dengan mendorong hal tersebut, Jokowi membuat masyarakat sadar akan hak-hak mereka sebagai warga negara dan juga berani menuntut hak-hak tersebut. Dalam konteks Pilpres, artinya, rakyat yang mengorganisir diri untuk kemenangan Jokowi bertujuan untuk memiliki Presiden yang dekat dengan rakyat, tidak elitis dan menembus kekakuan-kekakuan birokrasi.

Tetapi, perlu diingat bahwa mayoritas kelompok relawan tersebut ada dalam konteks pemenangan Jokowi, atau dengan kata lain hanya memastikan Jokowi menjadi presiden saja, dan belum ada proyeksi kelanjutannya setelah itu (setidaknya yang saya lihat). Hal ini dikarenakan mayoritas relawan tersebut bukanlah kelompok yang programatik, atau kelompok yang memiliki rencana jangka panjang setelah Jokowi menang dalam bentuk usulan program-program, ataupun justru intervensi program sedari awal. Meskipun ada beberapa kelompok relawan yang tergolong dalam kelompok yang programatik/ideologis, seperti Lingkar Trisakti yang berisi berbagai elemen gerakan sosial. Dengan demikian, sebenarnya mayoritas relawan Jokowi memiliki daur hidup yang tidak terlalu panjang.

Hal di atas menjadi sangat problematis. Meskipun fenomena Jokowi menghasilkan kemungkinan untuk mengubah tradisi apolitis dari rakyat, tetapi celah untuk mengubah sikap apolitis ini pun memiliki keterbatasan daur hidup. Maksudnya, sebagaimana yang telah dijelaskan, celah untuk mengubah tradisi apolitis ini memiliki kaitan erat dengan apa yang akan terjadi pasca Pilpres: apakah yang akan dilakukan oleh sekian banyak organisasi relawan setelah Pilpres selesai, dan seandainya Jokowi menang? Tentu ada banyak jawaban. Dan, bagi saya, yang paling berbahaya justru relawan pemenangan yang marak ini selesai begitu saja, tanpa ada kelanjutannya. Pasca menang, mereka yang tergabung dalam organisasi relawan, kemudian kembali menjalankan hiruk pikuk kehidupan seperti biasa. Hal ini sama saja dengan menganggap Jokowi adalah Ratu Adil yang akan membuat hidup kita menjadi lebih baik tanpa melakukan apapun setelahnya.

Tentu menggantungkan nasib kepada Jokowi adalah bermasalah, sebab Jokowi bukanlah Ratu Adil. Selain itu, hal yang lebih substansial adalah tertutupnya kembali tradisi baru yang sudah mulai dirintis dengan berbagai pengorganisiran selama ini. Setelah semuanya selesai, dan Jokowi pun menang, itu membuat celah untuk mengubah tradisi apolitis kembali tertutup. Jika modal dasar untuk mengorganisir diri dan partisipasi politik yang lebih luas telah terbangun di masa-masa seperti sekarang ini, maka pengorganisiran atau partisipasi tersebut harus didorong lebih jauh lagi. Bagaimana caranya setelah Jokowi menang partisipasi tersebut lebih diperluas dan tentu dengan cakupan isu yang lebih substansial juga. Kelompok-kelompok relawan tersebut dapat menjadi motor utama untuk membuat partisipasi dari bawah secara lebih luas pasca Pilpres: “Dari memenangkan politik elektoral menuju partisipasi rakyat pasca-elektoral. Bagaimanapun juga, menjamurnya kelompok relawan salah satunya adalah karena program-program yang ditawarkan Jokowi. Dengan begitu, tentu saja realisasi program tersebut sudah seharusnya diawasi dengan mengikutsertakan rakyat yang lebih luas, termasuk, ya para pendukung Prabowo. Mereka tidak akan pindah warga negara kan, seandainya Jokowi yang menang?

Kesadaran yang lebih mendalam untuk mengorganisir diri ini juga berkaitan erat dengan politik yang tidak berada di ruang vakum. Politik, dan tentu bagaimana negara dengan segala kebijakannya merupakan arena pertarungan kepentingan. Jika selama ini para oligarki/sisa-sisa Orde Baru lah yang memiliki kontrol terhadap negara, salah satunya, karena belum terorganisirnya kekuatan lain untuk berkontestasi melawannya. Kekuatan lain tersebut adalah rakyat banyak: buruh, tani, nelayan, masyarakat adat, guru, dosen, pekerja kantoran, pedagang, seniman, dsb. Dan, untuk melawan sisa-sisa Orde Baru/oligarki tersebut syarat utamanya adalah rakyat banyak tersebut harus menghimpun dan mengorganisir diri agar mampu memiliki kontrol terhadap negara (dalam iklim demokrasi, misalnya, dengan cara membentuk partai yang benar-benar berasal dari rakyat dan untuk kepentingan rakyat). Syarat yang lebih dasar agar rakyat mampu mengorganisir diri, tentu saja, adalah adanya iklim yang kondusif, yaitu iklim dimana tidak adanya represi dari aparatus negara terhadap partisipasi politik warganya, sebagaimana yang Orde Baru lakukan selama 32 tahun. Jokowi menyediakan hal tersebut, setidaknya menyediakan iklim yang lebih baik dari apa yang akan tersedia seandainya Prabowo yang menjadi Presiden. 

Jokowi menyediakan iklim yang lebih kondusif bagi konsolidasi kekuatan rakyat dibanding Prabowo. Bagi saya, itulah satu-satunya yang menjanjikan dari Jokowi. Adapun program-program kerakyatan yang Jokowi janjikan, belum tentu terlaksana. Sekali lagi, karena politik tidak berada di ruang vakum. Ada kontestasi kekuasaan disana. Selama kebijakan tidak berseberangan dengan kepentingan kelas yang berkuasa, maka kebijakan tersebut menjadi mungkin terlaksana. Tetapi sebaliknya, ketika kebijakan justru bertolak belakang dengan kepentingan kelas yang berkuasa, niscaya kebijakan tersebut tidak terealisasikan.

Tetapi, hal ini bukan berarti tertutup sama sekali untuk menawarkan/mendesakkan program yang berorientasi kerakyatan atau menagih janji-janji program kerakyatan pada Jokowi. Yang perlu diingat adalah, bahwa Jokowi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan struktural nantinya. Maksudnya adalah, Jokowi tetap akan bekerja dalam kerangka ekonomi politik kapitalisme yang pada dasarnya tidak pernah diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat banyak. Disinilah peran dari rakyat yang terorganisir menjadi sangat penting, yaitu menjadikan Jokowi sebagai penanda kosong, dimana pihak yang paling mampu untuk mempengaruhi Jokowi, maka kesanalah Jokowi akan pergi. Yang perlu dan memang harus dilakukan ketika Jokowi menang adalah tidak ragu untuk melakukan tekanan publik kepada Jokowi. Misalnya, mendorong Jokowi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti yang dilakukan oleh Prabowo, dan juga tentu saja orang-orang yang selama ini berada dalam barisan pendukungnya seperti Wiranto dan Hendropriyono. Selain itu, dapat juga mendorong Jokowi melaksanakan program-program pendidikan dan kesehatan yang murah dan terjangkau bagi seluruh rakyat, misalnya. Dengan demikian, walaupun hal tersebut belum tentu akan dijalankan oleh Jokowi (meskipun agenda kesehatan dan pendidikan, misalnya, sudah masuk visi misi resmi Jkw-Jk), upaya-upaya tersebut dapat menjadi pendidikan politik riil bagi rakyat untuk terus mengorganisir diri, tradisi yang sebenarnya berurat-berakar sebelum Orde Baru berdiri.

Tentu saja, tantangan untuk mengubah tradisi apolitis dan menggantinya dengan tradisi berorganisasi/partisipasi dalam politik ini tidak bisa dengan mudah dilakukan. Karena bagaimanapun, akan sangat sulit menghilangkan apa yang telah ditanamkan penguasa selama puluhan tahun. Tetapi Jokowi, dengan populismenya, telah menyediakan momen politik dimana tercipta peluang untuk mengubah tradisi apolitis tersebut. Tinggal bagaimana momen politik tersebut dimanfaatkan sebaik mungkin. Dengan rakyat yang terorganisir, maka, cita-cita menghilangkan sama sekali sisa-sisa Orde Baru memiliki peluang yang lebih besar untuk direalisasikan.

Hal Tersebut Dapat Terjadi Seandainya...

Semua yang ditulis disini, sebagaimana judulnya, diharuskan memenuhi prakondisi tertentu, yaitu Jokowi benar-benar menjadi Presiden. Jika Jokowi pada akhirnya kalah dan Prabowo menang menjadi Presiden, tulisan ini tentu tidak berlaku. Untuk itu, dalam sisa waktu yang tersedia sebelum tanggal 22 Juli nanti, mari bersama, meminjam istilah Martin Suryajaya, melakukan “kerja bakti politik” untuk memenangkan Jokowi dengan cara menjaga hasil pemilu tanggal 9 Juli kemarin dari para “mafia suara” yang sekarang sedang giat-giatnya bergentayangan.  

“Silence in the face of evil is it self evil. God will not hold us guiltless. Not to speak is to speak. No to act is to act.” (Deitrich Bonhoeffer)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar